Pertemuan antara PS Barito Putera dari Banjarmasin (Kalimantan Selatan) dan PSIS Semarang dari Jawa Tengah selalu menjanjikan narasi sepak bola yang kaya, sarat emosi, dan persaingan taktik yang ketat. Duel ini bukan sekadar perebutan tiga poin, melainkan representasi kebanggaan regional antara Laskar Antasari dan Mahesa Jenar. Melalui kancah Liga 1, kedua tim telah menorehkan sejarah panjang, menciptakan momen-momen ikonik, dan mendefinisikan filosofi permainan yang unik.
Rivalitas antara Barito Putera dan PSIS Semarang terbentuk di medan persaingan Liga Indonesia, jauh sebelum era profesionalisme modern sepenuhnya menguasai. Kedua klub memiliki akar kuat di kompetisi Divisi Utama, sebuah kawah candradimuka yang menuntut konsistensi dan determinasi tinggi untuk meraih promosi ke level tertinggi. Barito, dengan dukungan finansial yang solid sejak awal, selalu dikenal sebagai kekuatan yang tidak boleh dianggap remeh, mewakili ambisi besar Pulau Kalimantan. Sementara PSIS, yang memiliki sejarah panjang sebagai klub perserikatan legendaris, membawa beban ekspektasi dari salah satu kota terbesar di Jawa Tengah.
PSIS Semarang, yang berjuluk Mahesa Jenar, membawa warisan gaya bermain Jawa Tengah yang sering kali didasarkan pada kolektivitas dan organisasi pertahanan yang disiplin. Meskipun di era modern mereka juga menampilkan permainan menyerang, fondasi mereka selalu terletak pada stabilitas di lini tengah dan belakang. PSIS memiliki tradisi melahirkan pemain-pemain lokal berkualitas yang memahami betul karakter bermain keras namun sportif. Lini tengah PSIS sering menjadi kunci, bertindak sebagai jangkar yang menstabilkan ritme, baik saat bertahan maupun saat memulai serangan balik cepat.
Saat kedua tim bertemu di kasta kedua, pertandingan sering berakhir dengan skor tipis atau kejutan. Momen-momen di Divisi Utama menjadi panggung penentuan, di mana hasil seri di kandang lawan saja sudah dianggap pencapaian besar. Kenaikan mereka ke level teratas hampir bersamaan dalam siklus yang berbeda, yang kemudian membawa persaingan tersebut ke panggung nasional yang lebih besar, menarik perhatian media dan suporter. Pertandingan-pertandingan tersebut menanamkan benih permusuhan yang sehat, dimana setiap hasil adalah harga diri regional.
Ketika Barito Putera berhadapan dengan PSIS Semarang, pertemuan ini seringkali menjadi pertarungan filosofi taktik yang berlawanan, meskipun kedua tim sama-sama mengejar gaya bermain modern yang cepat. Barito, di bawah berbagai pelatih, cenderung mencari dominasi penguasaan bola (possession football) dan memanfaatkan lebar lapangan, seringkali menggunakan formasi 4-3-3 yang fleksibel. Sementara PSIS, terutama saat bermain tandang, lebih pragmatis, mengandalkan kedisiplinan 4-2-3-1 yang fokus pada transisi pertahanan ke serangan yang mematikan.
Kunci serangan Barito hampir selalu terletak pada sisi lapangan. Mereka mengandalkan Fullback yang agresif, yang berfungsi ganda sebagai sayap tambahan saat menyerang. Strategi ini menuntut gelandang bertahan tunggal (pivot) yang kuat untuk melindungi celah yang ditinggalkan bek sayap, sekaligus berperan sebagai distributor bola pertama.
Aspek rentan Barito terletak pada pertahanan transisi cepat. Jika mereka kehilangan bola saat bek sayap berada di posisi terlalu tinggi, PSIS memiliki peluang emas untuk melakukan serangan balik kilat ke pertahanan yang tidak terorganisir, sebuah skenario yang sering terjadi dalam persaingan ini.
PSIS Semarang dikenal memiliki salah satu lini tengah paling pekerja keras di Liga. Penggunaan dua gelandang bertahan (double pivot) dalam formasi 4-2-3-1 memastikan proteksi maksimal bagi empat bek mereka. Strategi mereka sangat bergantung pada kecepatan dan kemampuan individu di lini serang, terutama pada pemain nomor 10 dan penyerang tunggal.
Tantangan terbesar PSIS adalah menghadapi tekanan konstan di kandang Barito. Jika lini tengah mereka kelelahan atau tidak mampu memenangkan duel udara, tekanan Barito dari sisi lapangan dapat menghasilkan peluang berbahaya melalui skema bola mati atau umpan silang.
Setiap pertemuan antara Barito dan PSIS selalu menyisakan kisah dramatis. Ada pertandingan-pertandingan tertentu yang tidak hanya menentukan klasemen musim itu, tetapi juga mengukuhkan reputasi pemain tertentu sebagai pahlawan atau, sebaliknya, memicu kontroversi panjang yang dibicarakan oleh para suporter berbulan-bulan. Tiga pertandingan berikut mencontohkan intensitas persaingan ini.
Salah satu duel yang paling dikenang terjadi di stadion 17 Mei. Pertandingan dimulai dengan dominasi tak terduga dari PSIS, yang berhasil mencetak gol cepat, memanfaatkan kesalahan koordinasi di lini belakang Barito. Hingga paruh pertama, skor menunjukkan keunggulan dua gol untuk Mahesa Jenar, membuat ribuan Bartman terdiam. Pelatih Barito saat itu dituntut melakukan perubahan drastis, baik secara personel maupun mentalitas.
Babak kedua menjadi pertunjukan kebangkitan yang luar biasa. Barito Putera, didorong oleh teriakan suporter, bermain dengan intensitas yang menggila. Sebuah gol penalti kontroversial di menit ke-55 menjadi pemicu, membangkitkan moral tim. Tidak lama berselang, tercipta gol sundulan dari situasi sepak pojok, menyamakan kedudukan 2-2. PSIS mencoba bertahan, namun serangan Barito yang datang bergelombang menghasilkan gol ketiga lewat tendangan jarak jauh yang spektakuler.
Namun, drama belum selesai. PSIS berhasil menyamakan skor menjadi 3-3 melalui skema serangan balik yang cepat di menit-menit akhir. Ketika semua orang mengira pertandingan akan berakhir imbang, Barito melancarkan serangan terakhir. Di detik-detik tambahan, sebuah umpan silang rendah diselesaikan dengan sentuhan tumit oleh penyerang asing Barito, membuat skor berubah menjadi 4-3. Kemenangan ini bukan hanya tiga poin; itu adalah deklarasi bahwa Barito Putera adalah tim yang tidak pernah menyerah di kandang mereka.
Berbeda dengan duel di Banjarmasin yang fokus pada serangan terbuka, pertemuan di Stadion Jatidiri, Semarang, seringkali lebih bersifat taktis dan tertutup. Salah satu pertandingan paling sengit menampilkan perang taktik di lini tengah. Kedua tim saat itu sama-sama diperkuat oleh gelandang bertahan asing yang memiliki reputasi sebagai pemotong serangan yang sangat efektif.
Sepanjang 90 menit, permainan didominasi oleh duel fisik di lingkaran tengah lapangan. Jumlah tekel, intersep, dan pelanggaran jauh melebihi jumlah tembakan ke gawang. Pertandingan ini menjadi studi kasus tentang betapa pentingnya memenangkan duel lini tengah untuk mengontrol tempo. PSIS, bermain di kandang, mencoba menembus pertahanan Barito melalui umpan-umpan pendek yang rapi, tetapi selalu dihadang oleh lapisan pertahanan rapat.
Gol tunggal tercipta dari momen kecerdikan individu. Gelandang serang PSIS, yang terkenal dengan kaki kirinya yang akurat, berhasil lolos dari kawalan ketat di luar kotak penalti. Alih-alih menembak keras, ia melepaskan tendangan lob pelan yang melewati kiper yang sudah terlanjur maju. Skor 1-0 bertahan hingga akhir. Kemenangan ini dikenang karena menunjukkan bahwa dalam duel yang sangat seimbang, satu momen keajaiban individu dapat menjadi pembeda utama.
Tidak ada rivalitas yang lengkap tanpa kontroversi wasit. Dalam salah satu musim yang krusial, saat kedua tim sedang memperebutkan posisi di zona atas klasemen, pertandingan diwarnai insiden kartu merah cepat. Di awal babak pertama, bek tengah Barito diusir keluar lapangan karena dianggap melakukan pelanggaran keras terakhir pada striker PSIS yang sedang berlari menuju gawang. Keputusan ini memicu protes keras dari staf pelatih Barito dan Bartman.
Bermain dengan sepuluh pemain selama hampir 80 menit, Barito Putera terpaksa mengubah formasi total, menarik striker dan menambah gelandang bertahan untuk memperkuat pertahanan. PSIS memanfaatkan keunggulan jumlah pemain dengan serangan bertubi-tubi. Mereka berhasil mencetak dua gol. Meskipun Barito berhasil memperkecil ketertinggalan menjadi 2-1 melalui tendangan bebas yang indah di babak kedua, mereka tidak mampu menyamakan kedudukan. Pertandingan ini selalu dikenang sebagai contoh bagaimana satu keputusan wasit di awal dapat secara fundamental mengubah dinamika taktis seluruh pertandingan dan memicu perdebatan panjang di kalangan suporter tentang keadilan di lapangan hijau.
Kualitas sebuah pertandingan ditentukan oleh para pemain yang berjuang di lapangan. Dalam sejarah duel Barito Putera melawan PSIS Semarang, muncul beberapa nama yang secara konsisten menjadi penentu hasil pertandingan, baik sebagai mesin gol, tembok pertahanan, maupun otak di lini tengah.
PSIS sering mengandalkan kombinasi antara veteran lokal yang sarat pengalaman dan penyerang asing yang memiliki naluri predator tinggi.
Dijuluki "Bang Hari," ia adalah simbol loyalitas dan kerja keras. Meskipun bukan striker dengan kecepatan tertinggi, Hari Nur dikenal karena penempatan posisi yang cerdas dan penyelesaian yang klinis, terutama saat melawan Barito. Dalam beberapa pertemuan, gol-golnya seringkali menjadi pemecah kebuntuan, membuktikan bahwa dedikasi lokal bisa mengungguli pemain-pemain impor. Kontribusinya dalam menekan bek Barito dan membuka ruang bagi gelandang serang sangat vital bagi skema PSIS.
Bruno Silva, striker asal Brasil, dikenal karena kemampuannya dalam duel udara dan tendangan jarak jauh yang kuat. Saat menghadapi Barito, Bruno sering menjadi fokus utama bek tengah Barito, memaksa mereka untuk melakukan pengawalan ganda. Keberhasilannya menahan bola di lini depan memberi waktu bagi lini tengah PSIS untuk naik dan mendukung serangan, memanfaatkan ruang yang terbuka karena bek Barito Putera tertarik ke tengah.
Barito Putera sering menginvestasikan sumber daya pada kreator serangan dan pemain sayap yang lincah, sesuai dengan filosofi permainan cepat mereka.
Rivalitas Barito vs PSIS tidak hanya terjadi di lapangan hijau, tetapi juga di tribun penonton. Kedua tim memiliki basis suporter yang sangat fanatik dan loyal, yang menciptakan atmosfer intimidasi luar biasa di kandang masing-masing.
Bartman (Barito Mania) dikenal karena kreativitas koreografi dan dukungan yang tiada henti, bahkan ketika tim sedang tertinggal. Stadion 17 Mei dan stadion baru mereka selalu dipenuhi warna kuning khas Barito. Dukungan Bartman memiliki dampak nyata pada performa pemain. Tekanan yang mereka berikan kepada wasit dan pemain lawan sering kali diakui oleh para pemain sebagai faktor penentu kemenangan.
Saat menjamu PSIS, Bartman biasanya mempersiapkan sambutan khusus yang dirancang untuk mengganggu mental Mahesa Jenar sejak mereka menginjakkan kaki di Banjarmasin. Lagu-lagu dan yel-yel mereka yang khas Banjar menjadi soundtrack bagi setiap gol yang tercipta, meningkatkan adrenalin pemain Barito hingga batas maksimal.
PSIS Semarang didukung oleh dua kelompok suporter besar: Panser Biru dan Snex (Semarang Extreme). Kedua kelompok ini bekerja sama untuk menciptakan Lautan Biru di tribun, terutama di stadion kebanggaan mereka, Jatidiri.
Panser Biru dikenal dengan organisasinya yang solid dan gerakan masif saat mendukung. Sementara Snex membawa semangat militansi. Ketika Barito Putera bertandang ke Semarang, mereka disambut dengan suara gemuruh yang tidak berhenti selama 90 menit. Kunjungan Barito seringkali menjadi barometer bagi seberapa kuat solidaritas suporter PSIS, karena pertandingan ini dianggap sebagai salah satu laga yang wajib dimenangkan untuk menjaga kehormatan Jawa Tengah.
Persaingan di tribun ini juga tercermin dalam persaingan jumlah kehadiran suporter saat tur tandang. Baik Bartman maupun Panser Biru/Snex selalu berusaha mengirimkan kontingen suporter terbaik mereka untuk mengawal tim kesayangan mereka di kota lawan, meskipun harus menempuh jarak yang sangat jauh antar pulau dan provinsi. Kehadiran suporter tandang, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil, menjadi suntikan moral yang penting bagi pemain yang sedang berjuang di bawah tekanan atmosfer tuan rumah.
Untuk memahami mengapa hasil pertandingan antara Barito dan PSIS seringkali sulit diprediksi, perlu dilihat duel individu kunci yang terjadi di lapangan. Pertandingan ini hampir selalu ditentukan oleh siapa yang memenangkan pertarungan di tiga area spesifik.
Seperti yang dijelaskan dalam analisis taktik, Barito sangat mengandalkan serangan dari sayap. Oleh karena itu, duel antara winger Barito (misalnya, Rizky Pora atau pemain asing cepat) melawan bek sayap PSIS adalah titik panas. Bek sayap PSIS tidak hanya harus cepat dalam bertahan, tetapi juga harus cerdas dalam memilih kapan harus maju membantu serangan. Jika bek sayap PSIS terlalu sering naik, Barito akan menghukum mereka melalui serangan balik cepat di sisi tersebut. Sebaliknya, jika bek sayap PSIS bermain terlalu dalam, ini memberi ruang bagi Pora dan kawan-kawan untuk mengirimkan umpan silang akurat.
Studi Kasus: Pengaruh Kehilangan Posisi. Dalam beberapa kekalahan telak PSIS, penyebabnya seringkali adalah bek sayap yang gagal menutup ruang setelah maju menyerang. Barito dengan cepat memindahkan bola dari tengah ke sayap yang kosong tersebut, menciptakan situasi dua lawan satu melawan bek tengah. Konsistensi dalam menjaga jarak antar lini di area pertahanan adalah kunci bagi PSIS untuk meredam ancaman ini.
Ini adalah duel otak di lini tengah. Playmaker asing Barito (baik itu gelandang serang atau gelandang box-to-box) bertugas untuk menemukan celah di pertahanan berlapis PSIS. Tugasnya adalah memberikan umpan kunci yang membelah pertahanan atau melakukan penetrasi vertikal. Mereka harus menghadapi Double Pivot PSIS yang secara taktis sangat disiplin, bertugas menghancurkan ritme serangan lawan sebelum mencapai bek tengah.
Pemenang duel ini menentukan tim mana yang mengendalikan tempo permainan. Jika playmaker Barito berhasil meloloskan diri dan menciptakan peluang, tekanan pada pertahanan PSIS akan meningkat. Jika Double Pivot PSIS berhasil memotong jalur umpan secara konsisten, mereka akan memenangkan duel lapangan tengah, memungkinkan PSIS memulai serangan balasan mereka sendiri.
PSIS sering menggunakan striker yang kuat secara fisik atau sangat cepat dalam sprint. Duel antara bek tengah Barito (yang biasanya membutuhkan kecepatan dan kekuatan untuk menghadapi striker asing) melawan penyerang utama PSIS adalah pertarungan fisik klasik. Bek Barito harus mampu memenangkan duel udara dari umpan-umpan panjang, sekaligus menjaga kewaspadaan terhadap bola terobosan mendatar di belakang garis pertahanan.
Peran Kiper: Dalam duel ini, peran kiper Barito sangat menentukan. Keputusan kiper untuk keluar dari gawang (sweeping) atau tetap di garis saat menghadapi bola panjang akan sangat mempengaruhi efektivitas serangan balik PSIS. Ketika Mahesa Jenar memiliki Hari Nur atau Bruno Silva, kiper Barito harus memiliki reaksi cepat dan komunikasi yang jelas dengan bek tengahnya.
Sepak bola Indonesia terus berevolusi, dan Barito Putera maupun PSIS Semarang harus beradaptasi dengan perubahan regulasi, batasan pemain asing, dan tuntutan taktis yang semakin tinggi. Masa depan rivalitas ini akan ditentukan oleh kemampuan kedua tim untuk melakukan regenerasi dan memanfaatkan talenta muda.
Kedua klub telah menunjukkan komitmen yang signifikan terhadap pembinaan usia muda, di mana persaingan Barito vs PSIS kini merambah ke level U-18 dan U-20. Akademi yang kuat adalah jaminan keberlanjutan. Barito, dengan program pembinaan mereka, berusaha menanamkan filosofi "Waja Sampai Kaputing" sejak dini. PSIS, dengan basis pemain lokal Jawa Tengah yang besar, terus mencari bakat-bakat yang dapat dengan cepat diintegrasikan ke tim senior.
Pemain-pemain muda yang muncul dari akademi ini membawa pemahaman yang lebih dalam tentang rivalitas ini, karena mereka telah bertarung melawan rival regional mereka di setiap jenjang usia. Hal ini memastikan bahwa emosi dan intensitas duel senior akan terus berlanjut.
Siklus kepelatihan sering berganti di kedua klub, tetapi duel taktis antara pelatih adalah salah satu aspek yang paling menarik. Pelatih Barito Putera sering mencoba membawa sentuhan sepak bola Amerika Latin atau Eropa Timur, fokus pada fisik dan kreativitas, sementara PSIS cenderung memilih pelatih yang pragmatis dan mengutamakan organisasi pertahanan.
Tren Taktis Modern: Dalam beberapa musim terakhir, terlihat bahwa kedua tim mulai mengadopsi taktik yang lebih cair. Barito tidak lagi hanya menyerang dari sayap, tetapi juga mencari penetrasi dari lini kedua. PSIS mulai lebih berani dalam membangun serangan dari belakang (build-up play), tidak hanya mengandalkan bola panjang. Adaptasi ini membuat pertandingan mereka semakin sulit ditebak, karena skema yang disiapkan di sesi latihan sering kali berubah total di tengah pertandingan.
Stabilitas finansial Barito Putera, yang selalu didukung oleh pemilik klub, memberikan mereka keunggulan dalam hal perekrutan pemain bintang. Namun, PSIS Semarang menunjukkan bahwa dengan manajemen yang cerdas dan dukungan suporter yang masif, mereka dapat bersaing di level tertinggi, seringkali menemukan permata lokal yang underrated. Rivalitas ini juga merupakan pertarungan model bisnis: modal besar versus efisiensi berbasis komunitas.
Pada akhirnya, perseteruan antara PS Barito Putera dan PSIS Semarang adalah cerminan dari kompleksitas dan gairah sepak bola Indonesia. Setiap kali Laskar Antasari bertemu Mahesa Jenar, hasilnya adalah jaminan drama, aksi taktis, dan emosi yang meluap-luap. Pertandingan ini akan terus menjadi salah satu penentu peta kekuatan Liga 1, dengan kedua tim bertekad membuktikan diri sebagai yang terbaik di antara dua kekuatan regional yang tangguh.