Seni pertunjukan Naga (Liong) dan Barongsai (Tari Singa) bukan sekadar tontonan perayaan; ia adalah manifestasi hidup dari sejarah, filosofi, dan spiritualitas Tiongkok yang telah berakar kuat dan berakulturasi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dua bentuk seni ini, meskipun sering kali ditampilkan bersama, memiliki makna dan teknik yang berbeda namun saling melengkapi dalam ritual penyambutan keberuntungan, pengusiran roh jahat, dan penanda identitas budaya yang resilient.
Tari Naga dan Tari Singa memiliki sejarah yang panjang dan terpisah, namun keduanya bersatu dalam konteks perayaan besar seperti Tahun Baru Imlek. Asal usul kedua tarian ini dapat ditelusuri kembali ke masa dinasti-dinasti kuno di Tiongkok, di mana mereka berfungsi tidak hanya sebagai hiburan istana tetapi juga sebagai ritual keagamaan dan simbol kekuasaan.
Konon, Tari Singa (Barongsai) berakar dari legenda tentang makhluk buas bernama Nian yang muncul setiap pergantian tahun untuk memangsa penduduk desa. Masyarakat kemudian menemukan bahwa Nian takut terhadap suara keras (genderang dan mercon) serta warna merah cerah. Mereka menciptakan tiruan kepala singa yang menakutkan, menari dengan gerakan agresif diiringi musik yang memekakkan telinga, berhasil mengusir Nian. Dari sinilah Barongsai lahir sebagai simbol pelindung dan pembawa keberuntungan yang bertugas membersihkan wilayah dari energi negatif dan membuka jalan bagi kemakmuran.
Secara filosofis, Barongsai merefleksikan prinsip dualitas: Singa adalah hewan suci dan simbol keberanian. Gerakannya yang energik dan akrobatik melambangkan semangat juang dan kemampuan untuk mengatasi rintangan. Bagian kepalanya yang besar dan mata yang ekspresif diyakini dapat melihat jauh ke dalam masa depan dan mengidentifikasi potensi bahaya.
Berbeda dengan Singa, Naga (Liong) adalah makhluk mitologis yang paling dihormati dalam budaya Tiongkok. Naga adalah simbol kekuatan imperial, penguasa air, cuaca, dan kesuburan. Tari Naga diyakini berasal dari ritual doa meminta hujan di Tiongkok Utara, di mana gerakan naga yang meliuk-liuk di udara meniru pergerakan sungai di langit (awan dan petir) serta ombak laut yang mendatangkan kemakmuran bagi hasil panen.
Naga, atau Liong, juga mewakili roh Yang—elemen maskulin, terang, dan aktif—sementara pergerakannya yang tak terbatas melambangkan siklus abadi waktu dan alam semesta. Jumlah segmen tubuh naga memiliki makna numerik penting, sering kali berjumlah ganjil (9, 11, 13, atau bahkan 99 segmen), karena angka ganjil dianggap membawa keberuntungan dan kesempurnaan. Kepala naga, yang dipenuhi detail rumit berupa tanduk rusa, mata kelinci, sisik ikan, dan cakar elang, adalah kompilasi dari hewan-hewan terkuat, menandakan superioritasnya atas segala makhluk hidup.
Kepala Barongsai, simbol keberanian dan penghalau roh jahat.
Barongsai di Indonesia, khususnya yang dipengaruhi gaya Selatan, adalah perpaduan seni tari, akrobatik, dan drama musikal. Seni ini menuntut sinkronisasi yang luar biasa antara dua penari yang berada di bawah satu kostum, serta harmoni yang presisi dengan tim musik pengiring.
Meskipun sering disamakan, terdapat perbedaan mendasar antara Barongsai gaya Utara (Bei Shi) dan gaya Selatan (Nan Shi):
Ini adalah gaya yang paling umum ditemukan di Indonesia dan di sebagian besar komunitas Tionghoa di Asia Tenggara. Ciri khasnya adalah kepala yang besar, hiasan yang mewah, dan tanduk tunggal. Ekspresi wajah singa dapat berubah-ubah, dari gembira, penasaran, takut, hingga marah, memungkinkan singa mengekspresikan drama naratif. Gerakan fokus pada keagresifan, teknik akrobatik yang melibatkan pilar tinggi (jongs), dan interaksi dengan penonton (terutama saat mengambil angpao).
Gaya Utara lebih mirip singa asli, dengan bulu panjang berwarna keemasan atau merah yang lebih realistis dan empat kaki (ditarikan oleh dua pasang penari atau hanya satu pasang). Tarian ini sering memasukkan unsur akrobatik lantai yang intens, seperti berguling, melompat rendah, dan menampilkan kepolosan seekor hewan peliharaan. Gaya Utara lebih sering menampilkan narasi yang melibatkan tokoh lain, seperti biksu atau monyet, dan kurang menekankan pada pengambilan angpao di ketinggian.
Kostum Barongsai lebih dari sekadar penutup; setiap bagian memiliki makna. Kepala singa terbuat dari bahan ringan seperti bambu dan kertas yang diperkuat, dengan telinga dan mata yang dapat digerakkan. Tubuh, terbuat dari kain yang kuat, seringkali dihiasi sisik dan bulu sintetis. Warna utama yang digunakan memiliki arti yang mendalam:
Puncak dari seni Barongsai Selatan adalah tarian di atas pilar (jongs) atau meja bertingkat. Pilar-pilar ini dapat memiliki ketinggian bervariasi, mencapai hingga 3 meter. Tarian di atas pilar ini membutuhkan kekuatan fisik, keseimbangan, dan kepercayaan mutlak antara dua penari (kepala dan ekor).
Penari kepala, yang dikenal sebagai Kepala Singa, harus mampu mengendalikan berat kepala dan mengekspresikan emosi singa sambil menjaga keseimbangan. Penari ekor (Ekor Singa) berfungsi sebagai pangkalan yang kuat, menggunakan bahu dan punggungnya untuk menopang penari kepala dalam posisi melompat atau berjongkok. Gerakan yang dilakukan di atas pilar melambangkan singa yang melintasi medan sulit untuk mencapai hadiahnya (angpao), menunjukkan perjuangan dan kemenangan.
Salah satu gerakan paling penting adalah "Memetik Sayuran Hijau" (Cai Qing). Singa harus ‘memakan’ daun selada (yang melambangkan kehidupan) dan amplop merah (angpao, yang melambangkan kekayaan). Proses ini melibatkan ekspresi singa yang ragu, takut, mendekat perlahan, hingga akhirnya menelan sayuran dan meludahkan daunnya kembali ke penonton sebagai simbol keberuntungan yang telah dibagikan.
Tari Naga (Liong) adalah seni yang fundamentalnya berbeda dari Barongsai. Jika Barongsai adalah tarian dua orang yang fokus pada akrobatik individu, Liong adalah tarian kolektif yang menekankan sinkronisasi, fluiditas, dan kekuatan kelompok. Naga mewakili komunitas yang bergerak sebagai satu kesatuan yang kohesif.
Tubuh naga Liong terdiri dari banyak segmen yang dihubungkan dengan cincin atau tali, ditopang oleh tiang-tiang pegangan. Kepala Naga adalah bagian terberat dan paling kompleks, dilengkapi dengan mata yang dapat berkedip dan rahang yang bisa dibuka. Kepala ini menuntut kekuatan dan stamina dari penari pertamanya.
Panjang naga sangat bervariasi, mulai dari 9 meter hingga yang ekstrem mencapai puluhan meter (beberapa naga festival bisa mencapai 100 meter lebih), memerlukan 9 hingga lebih dari 50 penari. Setiap segmen harus dijaga agar tetap tegak dan mengalir, menciptakan ilusi makhluk tunggal yang panjang.
Elemen sentral dalam Tari Naga adalah Mutiara Cahaya (Pearl of Wisdom atau Lingzhu). Mutiara ini dibawa oleh seorang penari yang bergerak di depan kepala naga. Mutiara melambangkan kebijaksanaan, kebenaran, alam semesta, atau energi spiritual Qi.
Seluruh tarian Liong adalah pengejaran abadi oleh Naga terhadap Mutiara tersebut. Gerakan naga, seperti gelombang, spiral, dan putaran cepat, mencerminkan perjuangan dan hasrat untuk mencapai kebijaksanaan dan kesempurnaan. Penari Mutiara harus memiliki kecepatan dan kelincahan yang luar biasa, memandu naga melalui pola yang rumit tanpa pernah benar-benar tertangkap, menjaga dinamika pengejaran yang tiada akhir.
Gerakan meliuk Liong yang melambangkan kekuatan air dan alam semesta.
Kunci dari Tari Naga adalah kesinambungan gerakan. Penari harus bergerak dalam gelombang yang sempurna. Beberapa pola dasar yang sering ditampilkan meliputi:
Kesalahan sekecil apa pun, seperti tiang yang turun terlalu rendah atau terlalu tinggi, akan merusak ilusi naga utuh. Oleh karena itu, latihan fisik yang ketat dan koordinasi komunikasi non-verbal sangat vital bagi kesuksesan kelompok Liong.
Tanpa musik yang dinamis, baik Barongsai maupun Liong hanyalah kostum bergerak. Musiklah yang memberikan roh, menentukan tempo, dan memandu setiap emosi serta gerakan. Orkestra Barongsai, meskipun kecil, memiliki peran yang monumental.
Tim musik biasanya terdiri dari tiga instrumen utama, yang disebut 'Tiga Serangkai':
Drum adalah inti ritme, jantung yang berdetak. Penabuh drum (Gu Shou) adalah pemimpin orkestra dan pertunjukan. Dia harus menguasai ratusan pola ritme yang berbeda, yang masing-masing sesuai dengan emosi atau tindakan tertentu dari Singa atau Naga (misalnya, ritme "tidur," ritme "terkejut," ritme "marah," atau ritme "berjalan pelan"). Kualitas suara drum yang rendah dan bergetar memberikan fondasi energi yang dibutuhkan untuk tarian akrobatik.
Gong, yang biasanya berukuran besar, menghasilkan suara yang dalam dan panjang. Gong berfungsi sebagai penanda irama utama dan transisi. Bunyi gong yang keras di awal pertunjukan adalah panggilan untuk mengusir roh jahat dan menyambut dewa keberuntungan. Peran gong adalah memberikan penekanan dan otoritas pada ritme drum.
Simbal, atau Ceng Ceng (sepasang piringan logam kecil), adalah elemen paling fleksibel dan paling energik. Suara simbal yang nyaring dan tajam menciptakan lapisan kebisingan yang diyakini paling efektif dalam mengusir entitas jahat. Ritme simbal sangat bervariasi, bergerak cepat mengikuti kelincahan Barongsai atau berdentum keras saat naga mencapai titik klimaks formasi.
Sinkronisasi antara penari dan musisi haruslah instan. Para penari Barongsai, misalnya, sering kali memberi isyarat halus kepada penabuh drum untuk memperlambat atau mempercepat tempo, tergantung pada kesulitan manuver yang mereka lakukan. Ketika Singa mendaki pilar, ritme drum akan perlahan menegang dan meninggi; ketika Singa berhasil melompat, ritme meledak dalam teriakan instrumen, menandakan kemenangan dan kegembiraan. Hal ini menjadikan musik bukan hanya latar belakang, melainkan dialog aktif antara pemain dan instrumen.
Di Indonesia, sejarah Barongsai dan Liong sangat erat kaitannya dengan sejarah politik dan identitas etnis Tionghoa. Keberadaan seni ini bukan hanya perayaan budaya, melainkan juga simbol dari ketahanan dan perjuangan.
Selama periode Orde Baru (khususnya pasca 1967), ekspresi budaya Tionghoa di ruang publik secara resmi dilarang melalui kebijakan asimilasi yang ketat. Barongsai dan Liong, sebagai manifestasi paling terlihat dari budaya Tionghoa, dipaksa untuk 'tidur' atau hanya ditampilkan secara sembunyi-sembunyi di lingkungan tertutup kelenteng atau di rumah-rumah pribadi yang sangat terjamin keamanannya.
Masa ini menjadi ujian berat bagi para pewaris tradisi. Pelatihan tetap dilakukan, namun tanpa publik dan pengakuan, pengetahuan tentang teknik tinggi (terutama akrobatik jongs) hampir punah. Para master tua harus menurunkan ilmu mereka kepada generasi muda dengan risiko yang besar, memastikan bahwa warisan ini tidak terputus meskipun di bawah tekanan represif negara. Kelenteng-kelenteng menjadi benteng terakhir pelestarian seni ini.
Titik balik monumental terjadi pada tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara resmi mencabut larangan atas perayaan budaya Tionghoa di depan umum. Keputusan ini memicu kebangkitan Barongsai dan Liong di seluruh negeri. Kelompok-kelompok yang telah lama vakum atau bergerak di bawah tanah tiba-tiba dapat tampil secara bebas.
Dampaknya sangat besar: terjadi peningkatan minat yang masif dari generasi muda Tionghoa-Indonesia untuk mempelajari kembali seni ini. Yang lebih penting, Barongsai dan Liong tidak hanya menjadi milik etnis Tionghoa saja; banyak pemuda non-Tionghoa juga mulai bergabung dengan sasana (perkumpulan) Barongsai, melihatnya sebagai seni bela diri, olahraga akrobatik, dan budaya Indonesia yang kaya. Hal ini menandai puncak akulturasi, di mana Barongsai bertransformasi menjadi identitas budaya Indonesia yang multikultural.
Di Indonesia, Barongsai telah berinteraksi dengan budaya lokal. Contoh paling jelas adalah penyesuaian musik dan kostum di beberapa daerah. Di beberapa kota, Barongsai ditampilkan dalam konteks perayaan keagamaan non-Tionghoa, menunjukkan tingkat penerimaan dan pengakuan yang tinggi sebagai seni pertunjukan nasional.
Barongsai dan Liong kini memainkan peran sosial yang vital. Mereka menjadi sarana untuk melatih disiplin, kerja tim, dan ketahanan fisik. Kelompok Barongsai sering kali diundang tidak hanya pada Tahun Baru Imlek, tetapi juga pada pembukaan usaha baru, pernikahan, dan festival budaya daerah, berfungsi sebagai ritual pembuka yang membawa berkah dan keberuntungan universal.
Setiap gerakan dan warna dalam Tari Naga dan Singa dipenuhi dengan makna simbolis yang kaya, berakar pada Taoisme dan Konfusianisme, serta prinsip-prinsip Feng Shui dan Lima Elemen (Wu Xing).
Dalam teori Lima Elemen, setiap warna utama mewakili elemen tertentu, yang harus seimbang untuk mencapai harmoni kosmis:
Gerakan Barongsai menceritakan perjalanan spiritual dan emosional Singa:
Pertama, Gerakan Bangun Tidur (Awakening). Singa yang semula tampak lesu, perlahan membuka mata dan telinganya, menyerap energi dari drum. Ini melambangkan dimulainya kembali siklus kehidupan dan kesadaran spiritual.
Kedua, Pencarian dan Interaksi (Seeking). Singa bergerak dengan rasa ingin tahu, mencium tanah, dan berinteraksi dengan penonton (terutama anak-anak), yang melambangkan pencarian keberuntungan dan berbagi energi positif.
Ketiga, Kemarahan dan Pemberantasan (Exorcism). Jika ada hambatan atau energi buruk, Singa akan menunjukkan gerakan agresif, kepala bergetar hebat, diiringi ritme drum yang cepat, yang berfungsi sebagai ritual pengusiran.
Tari Naga, yang melibatkan banyak orang, adalah metafora sempurna untuk kehidupan sosial: kebutuhan akan persatuan dan kepemimpinan yang harmonis. Penari kepala adalah pemimpin yang harus memberikan visi, sementara penari ekor dan badan harus mengikutinya dengan presisi mutlak. Jika satu penari gagal mengangkat tiang pada waktu yang tepat, seluruh formasi akan runtuh, melambangkan bahwa kegagalan individu akan mempengaruhi seluruh komunitas.
Pola tarian naga, terutama formasi lingkaran dan spiral, melambangkan alam semesta yang terus berputar dan tanpa batas, serta penguasaan naga atas siklus kosmis. Ketika naga "meminum air" (menurunkan kepalanya ke lantai), itu melambangkan siklus kesuburan dan mendatangkan hujan, yang merupakan sumber kemakmuran utama di Tiongkok kuno.
Jauh di balik kemeriahan pertunjukan, Barongsai dan Liong adalah ritual sakral yang harus dipersiapkan dengan serius, melibatkan pemurnian dan upacara khusus.
Kostum Barongsai atau Liong yang baru dibuat tidak boleh digunakan sebelum melalui upacara ‘Pembukaan Mata’ (Khai Guang). Ini adalah ritual penting yang mengubah kostum mati menjadi entitas spiritual hidup. Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang biksu atau master yang disegani. Darah ayam jantan atau tinta merah khusus dioleskan pada mata, telinga, tanduk, dan mulut Singa/Naga. Ini diyakini memberikan roh atau Qi (energi kehidupan) kepada kostum, memungkinkan Barongsai/Liong benar-benar melihat, mendengar, dan membawa keberuntungan.
Tanpa ritual ini, kostum dianggap hanya kain dan bambu biasa, dan tidak memiliki kekuatan untuk mengusir roh jahat. Setelah upacara ini, Barongsai atau Liong dianggap sebagai makhluk suci yang dihormati.
Kelenteng (Vihara) sering kali menjadi rumah spiritual bagi kelompok Barongsai. Sebelum tampil, tim penari dan musisi biasanya melakukan pemujaan kepada dewa-dewa di kelenteng, memohon izin dan perlindungan. Tempat penyimpanan kostum, terutama kepala Naga dan Singa, diperlakukan sebagai altar dan sering kali ditempatkan di tempat yang tinggi dan bersih. Penari dilarang melangkahi atau memperlakukan kostum dengan tidak hormat, karena mereka membawa roh yang telah diberkati.
Ritual ini menanamkan rasa tanggung jawab dan disiplin spiritual yang mendalam pada para penari. Mereka tidak hanya tampil; mereka menjadi medium di mana semangat pelindung diwujudkan untuk membersihkan dan memberkati ruang yang mereka kunjungi.
Suara keras (genderang, simbal, gong, dan petasan) adalah aspek ritualistik yang paling eksplisit. Kebisingan ini bukan sekadar kegembiraan; itu adalah gelombang sonik yang secara ritualistik membersihkan lingkungan dari energi stagnan dan entitas jahat. Semakin keras dan ritmis musiknya, semakin efektif pembersihan spiritualnya. Dalam budaya Tiongkok, kekosongan (diam) dapat menarik hal-hal buruk; oleh karena itu, kegaduhan yang terstruktur dan meriah memastikan bahwa hanya energi positif yang dapat tinggal.
Menjadi penari Naga atau Singa membutuhkan dedikasi yang intensif, menggabungkan atletik tingkat tinggi dengan pemahaman budaya yang mendalam. Pelatihan fisik yang keras adalah prasyarat, terutama untuk gaya Barongsai Selatan yang akrobatik.
Penari Barongsai, terutama yang memegang kepala (Kepala Singa), harus memiliki inti tubuh (core strength) yang sangat kuat. Mereka sering berlatih seni bela diri dasar (seperti Kung Fu) untuk meningkatkan ketangkasan dan kekuatan kaki. Latihan keseimbangan di atas pilar memerlukan persiapan bertahun-tahun.
Latihan berpasangan adalah kunci. Penari ekor harus menjadi tumpuan yang stabil dan mampu mengangkat penari kepala hingga berulang kali. Komunikasi non-verbal yang sempurna, di mana hanya dengan sedikit perubahan berat badan atau tekanan tangan sudah dapat dimengerti, adalah hasil dari ratusan jam latihan bersama. Kepercayaan ini adalah filosofi tim yang diwujudkan.
Pelatihan Liong berfokus pada kekuatan daya tahan dan sinkronisasi ritmis. Karena naga bisa sangat panjang, setiap penari memikul beban yang signifikan selama durasi tarian. Latihan melibatkan koordinasi gerakan tiang secara simultan. Kesulitan Liong meningkat seiring dengan panjangnya tubuh naga. Semakin panjang, semakin kecil toleransi kesalahan yang dimiliki setiap penari tiang.
Pelatih sering menggunakan metode hitungan dan pola gerak yang kompleks, memastikan bahwa naga bergerak dengan fluiditas yang konsisten dari kepala hingga ekor, seolah-olah ditenagai oleh satu pikiran kolektif. Ini adalah olahraga yang mengutamakan ego kolektif di atas keahlian individu.
Dalam tradisi ini, peran Sifu (master atau guru) sangat penting. Sifu tidak hanya mengajarkan gerakan fisik; mereka menanamkan etika, sejarah, dan nilai-nilai spiritual yang terkait dengan seni tersebut. Pelatihan sering kali dimulai di usia muda dan mencakup tidak hanya tarian itu sendiri tetapi juga cara merawat kostum, ritual pra-pertunjukan, dan sejarah mitologis dari makhluk yang mereka wakili.
Di era modern, Barongsai dan Liong telah bertransformasi menjadi olahraga kompetitif internasional, diakui secara global, namun tetap mempertahankan akar ritualistiknya. Federasi Barongsai dan Liong internasional menyelenggarakan kejuaraan yang sangat teknis, terutama dalam kategori akrobatik jongs, mendorong batas-batas kemampuan fisik penari.
Perkembangan kompetisi telah mendorong inovasi dalam teknik tarian. Gerakan yang dulunya hanya sekadar ekspresi emosi kini menjadi manuver akrobatik yang diperhitungkan berdasarkan tingkat kesulitan. Misalnya, lompatan antara pilar yang berjarak jauh atau formasi ganda di Liong yang sangat kompleks. Standarisasi penilaian ini membantu melestarikan teknik, namun tantangannya adalah menjaga agar semangat spiritual dan filosofis tarian tidak hilang digantikan oleh tuntutan kemenangan semata.
Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi juga ikut memengaruhi pertunjukan. Kostum naga dan singa kini sering menggunakan bahan yang lebih ringan dan tahan lama. Lampu LED internal dipasang pada Liong pada pertunjukan malam (Naga Malam), menciptakan pertunjukan visual yang memukau. Namun, meskipun kostumnya berevolusi, esensi gerakan – yang dipandu oleh drum tradisional – tetap tidak tergantikan.
Di Indonesia, Barongsai dan Liong adalah kisah sukses tentang konservasi budaya yang resilient. Setelah sempat dilarang, kini mereka menjadi ikon multikulturalisme. Mereka bukan hanya dipandang sebagai warisan Tiongkok, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kekayaan budaya Indonesia. Keberadaan sasana Barongsai dan Liong yang terbuka untuk semua etnis memastikan bahwa seni ini akan terus hidup, berkembang, dan diwariskan dengan semangat akulturasi yang kuat.
Setiap dentuman drum, setiap lompatan singa di udara, dan setiap liukan naga yang mengejar mutiara adalah pengingat akan sejarah panjang, harapan akan masa depan yang cerah, dan kekuatan spiritual yang abadi. Naga dan Barongsai adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara mitologi dan realitas, sebuah perayaan hidup yang terus menerus. Seni ini telah mengajarkan bahwa semangat komunitas, keberanian, dan disiplin adalah kunci untuk menghadapi tantangan apa pun yang dibawakan oleh pergantian tahun atau pergantian zaman.
Seni Naga Barongsai adalah warisan kemanusiaan yang luar biasa, memadukan keindahan artistik dengan ketangkasan atletik, diperkaya oleh lapisan-lapisan filosofi yang mendalam. Di Indonesia, ia telah menjadi simbol yang kuat dari ketahanan budaya dan semangat persatuan, terus menari, mengaum, dan meliuk di hadapan kita, membawa pesan universal tentang keberuntungan, kemakmuran, dan keharmonisan.