Simbol daun hijau yang melambangkan alam dan kehidupan.
Adiwiyata, sebuah gerakan mulia yang mengusung visi sekolah peduli dan berbudaya lingkungan, bukan hanya sekadar program atau kurikulum. Ia adalah panggilan jiwa, ajakan untuk merajut kembali hubungan harmonis antara manusia dan alam. Melalui puisi, kita dapat menangkap esensi dari gerakan ini, merasakannya dalam setiap bait, dan menghayatinya sebagai inspirasi.
Puisi adiwiyata sering kali berpusat pada keindahan alam yang tak ternilai harganya, sekaligus mengingatkan kita akan tanggung jawab untuk menjaganya. Ia mengajak kita untuk membuka mata dan hati terhadap keajaiban di sekitar kita, dari gemericik air sungai hingga bisikan angin di pucuk pepohonan. Melalui kata-kata, kita diajak untuk melihat alam bukan sebagai objek yang dapat dieksploitasi, melampaui nilai ekonomi semata, tetapi sebagai sumber kehidupan yang perlu kita lindungi.
Gerakan Adiwiyata mendorong sekolah untuk menjadi ekosistem belajar yang mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Ini berarti menanam pohon, mengelola sampah dengan bijak, menghemat energi, dan menciptakan lingkungan belajar yang asri serta nyaman. Puisi adiwiyata dapat menjadi media yang ampuh untuk mengkomunikasikan nilai-nilai ini kepada siswa, guru, dan seluruh komunitas sekolah. Ia bisa menjadi jembatan antara teori dan praktik, antara pemahaman intelektual dan kesadaran emosional.
Hijau Dedaunan, Harapan Bangsa
Di sini, sekolahku berdiri,
Bukan hanya dinding dan kelas,
Namun hutan kecil bersemi,
Tempat cinta alam terlepas.
Pohon mangga rindang menaungi,
Tempat burung bernyanyi riang,
Sampah terpilah, tak terbuang percuma,
Menjadi kompos, pupuk harapan terbentang.
Sungai kecil mengalir jernih,
Ikan-ikan menari lincah,
Kita jaga, kita cintai tak henti,
Agar lestari sepanjang masa.
Air tak terbuang percuma,
Listrik hemat, lampu meredup,
Energi hijau jadi utama,
Bumi tersenyum, tak lagi redup.
Adiwiyata, bukan sekadar kata,
Ia adalah janji, tindakan nyata.
Belajar peduli, berkarya mulia,
Untuk alam lestari, masa depan dunia.
Puisi di atas mencoba menangkap beberapa esensi dari gerakan Adiwiyata. Baris pertama, "Di sini, sekolahku berdiri, Bukan hanya dinding dan kelas, Namun hutan kecil bersemi, Tempat cinta alam terlepas," menggambarkan bagaimana sekolah Adiwiyata bertransformasi menjadi lingkungan yang hijau dan asri, menumbuhkan rasa cinta terhadap alam.
Bagian tentang "Pohon mangga rindang menaungi" dan "Sampah terpilah, tak terbuang percuma" secara eksplisit menyinggung praktik-praktik nyata yang dilakukan dalam program Adiwiyata, seperti penghijauan, pengelolaan sampah organik, dan pemilahan sampah anorganik.
Frasa "Sungai kecil mengalir jernih, Ikan-ikan menari lincah," dan "Kita jaga, kita cintai tak henti, Agar lestari sepanjang masa" menekankan pentingnya menjaga kualitas air dan kelestarian ekosistem perairan, sebuah elemen krusial dalam keberlanjutan lingkungan.
Baris "Air tak terbuang percuma, Listrik hemat, lampu meredup, Energi hijau jadi utama," menyentuh aspek konservasi energi dan air, serta dorongan untuk beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Ini menunjukkan kesadaran bahwa setiap tindakan kecil memiliki dampak besar bagi bumi.
Terakhir, penutup puisi, "Adiwiyata, bukan sekadar kata, Ia adalah janji, tindakan nyata. Belajar peduli, berkarya mulia, Untuk alam lestari, masa depan dunia," menegaskan bahwa Adiwiyata adalah tentang komitmen, aksi konkret, dan upaya kolektif untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi planet ini.
Puisi seperti ini dapat dibacakan dalam berbagai kesempatan di sekolah, seperti saat upacara bendera, acara lingkungan, atau sebagai bagian dari pembelajaran sastra. Dengan menyajikan pesan tentang Adiwiyata melalui medium yang indah dan menyentuh, kita dapat membantu generasi muda untuk lebih terhubung dengan alam, memahami pentingnya pelestarian lingkungan, dan merasa termotivasi untuk menjadi agen perubahan. Gerakan Adiwiyata membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, dan puisi adalah salah satu cara yang efektif untuk menanamkan kesadaran sejak dini.