Di tengah hiruk pikuk Jakarta Utara, khususnya kawasan Sunter, denyutan tradisi kuno Tiongkok bergaung dengan irama genderang yang memukau. Ia bukan sekadar tarian; ia adalah manifestasi budaya, disiplin atletik, dan jembatan spiritual yang dikenal sebagai Barongsai. Di Sunter, Barongsai telah menjelma menjadi identitas komunal yang melintasi batas-batas etnis, tumbuh subur dalam semangat gotong royong dan dedikasi yang tak pernah padam.
Kawasan Sunter, dengan keberagaman demografisnya, menawarkan latar belakang unik bagi perkembangan seni pertunjukan ini. Berbeda dengan daerah pecinan tradisional, Sunter menjadi tempat di mana tradisi Barongsai tidak hanya dilestarikan, tetapi juga diinovasikan, memastikan relevansinya dalam konteks perkotaan yang modern dan dinamis. Artikel ini akan menyelami kedalaman sejarah, filosofi, teknik, dan semangat komunitas yang menjadikan Barongsai Sunter sebuah fenomena budaya yang patut diperhitungkan.
Untuk memahami Barongsai Sunter, kita harus kembali ke akar sejarahnya, sebuah kisah perjalanan ribuan kilometer dan ribuan tahun. Tarian Singa (Barongsai, atau Wu Shi dalam bahasa Mandarin) tiba di Indonesia melalui gelombang migrasi masyarakat Tiongkok, membawa serta ritual, kepercayaan, dan seni pertunjukan mereka. Awalnya, pertunjukan ini erat kaitannya dengan perayaan Tahun Baru Imlek dan upacara keagamaan di klenteng, berfungsi sebagai ritual pengusir roh jahat dan pembawa keberuntungan.
Ketika tarian singa pertama kali menginjakkan kaki di pelabuhan Sunda Kelapa (Batavia), ia segera beradaptasi dengan lingkungan lokal. Selama masa kolonial, Barongsai mengalami pasang surut. Ada periode di mana ia tumbuh subur, namun ada pula masa pembatasan ketat yang memaksanya bersembunyi atau menyamar dalam bentuk kesenian lokal lainnya. Di Jakarta, khususnya di Utara, tradisi ini bertahan karena kedekatan kawasan pesisir dengan jalur pelayaran dagang dan konsentrasi awal komunitas.
Sunter, yang awalnya merupakan daerah yang berkembang pesat pasca-kemerdekaan, mulai menarik perhatian kelompok-kelompok seni Barongsai. Mereka mencari ruang terbuka, lingkungan yang kondusif untuk latihan intensif, dan tentu saja, pasar yang berkembang untuk pertunjukan. Inilah yang membedakan Barongsai Sunter: ia bukan hanya warisan yang diwariskan dalam lingkungan tertutup, melainkan tradisi yang sengaja ditanam dan dibudidayakan di lingkungan baru, jauh dari pusat pecinan lama.
Setiap gerakan Barongsai mengandung makna filosofis yang mendalam, terutama dalam dua gaya utama: Nan Shi (Singa Selatan, lebih atletis dan ekspresif) dan Bei Shi (Singa Utara, lebih menyerupai singa asli dengan gerakan akrobatik dan lincah). Di Sunter, gaya Selatan mendominasi, karena fokusnya pada kekuatan, ekspresi wajah yang hidup (terutama saat 'tersenyum' atau 'marah'), dan kemampuan akrobatik tinggi yang diperlukan untuk tarian tonggak.
Sejarah Barongsai Sunter adalah sejarah ketahanan budaya. Setelah era reformasi, Barongsai mengalami kebangkitan masif, keluar dari klenteng menuju ruang publik. Sanggar-sanggar di Sunter, seperti yang berlokasi dekat danau atau di kompleks pergudangan, menjadi markas latihan yang tak kenal lelah, menghasilkan generasi penerus yang bermental baja dan berketerampilan tinggi.
Mengapa Sunter menjadi begitu identik dengan Barongsai? Jawabannya terletak pada sinergi antara ruang, komunitas, dan regenerasi. Sunter, sebagai wilayah yang relatif baru dan berkembang pesat, menawarkan infrastruktur yang memungkinkan sanggar-sanggar Barongsai untuk mendirikan basis latihan yang besar dan terorganisir, sesuatu yang sulit ditemukan di pusat kota yang padat. Kelompok-kelompok ini sering kali didirikan oleh para senior yang pindah dari kawasan Glodok atau Kota Tua, membawa serta keahlian mereka dan menanamkannya di lingkungan baru ini.
Sanggar (perkumpulan atau klub) di Sunter bukan sekadar tempat latihan; mereka adalah sekolah hidup. Para anggota, yang sering kali masih remaja atau mahasiswa, harus mematuhi disiplin militer dalam hal fisik, mental, dan spiritual. Latihan fisik mencakup seni bela diri (terutama Kung Fu Selatan, yang menjadi fondasi gerakan Barongsai), ketahanan kardio, dan akrobatik. Tanpa fondasi Kung Fu yang kuat, tarian Barongsai tonggak (Mei Hua Zhuang) tidak mungkin dilakukan dengan aman dan indah.
Proses menjadi penari Barongsai, terutama penari kepala yang memimpin, membutuhkan dedikasi bertahun-tahun. Penari kepala harus memiliki kekuatan inti yang luar biasa untuk mengayunkan kepala singa yang berat, serta ketahanan kaki yang diperlukan untuk melompat di atas tonggak setinggi dua hingga tiga meter. Sementara itu, penari ekor bertanggung jawab atas keseimbangan, kekuatan pendorong, dan memastikan momentum tarian. Mereka bekerja sebagai satu kesatuan, bernapas dan bergerak dalam sinkronisasi sempurna.
Latihan harian meliputi:
Di Sunter, kompetisi internal antar sanggar juga memicu peningkatan kualitas. Mereka tidak hanya bersaing di tingkat nasional tetapi sering kali mengirim wakil ke kompetisi internasional, membawa nama Jakarta Utara dan Indonesia ke panggung dunia. Persaingan sehat ini memastikan bahwa standar teknik dan artistik Barongsai Sunter tetap berada di garis terdepan.
Pertunjukan Barongsai telah berkembang jauh melampaui tarian di atas tanah. Puncak dari keahlian atletik dan artistik modern adalah tarian di atas tiang atau pilar (Tonggak atau Mei Hua Zhuang, Tiang Bunga Plum). Inilah yang sering kali menjadi daya tarik utama dan ciri khas pertunjukan Barongsai modern, dan di Sunter, teknik ini dikuasai hingga tingkat presisi yang menakjubkan.
Satu set tonggak biasanya terdiri dari sekitar 20 hingga 30 tiang baja atau kayu dengan platform kecil di puncaknya, diposisikan pada ketinggian dan jarak yang berbeda-beda, mensimulasikan medan berbahaya seperti pegunungan atau bebatuan yang tersebar. Jarak antar tonggak bisa mencapai 2,5 meter, dan ketinggian tertinggi dapat mencapai 3 meter.
Barongsai tonggak bukan hanya tarian kekuatan; ini adalah tarian kepercayaan. Penari kepala harus percaya sepenuhnya pada penari ekornya yang menahan berat badannya saat melompat di udara, dan penari ekor harus memiliki kepekaan sensorik untuk mengantisipasi setiap perubahan pusat gravitasi yang dilakukan oleh penari kepala. Kegagalan sinkronisasi sesaat dapat mengakibatkan cedera serius.
Barongsai tonggak adalah ujian akhir seni bela diri yang dilatih oleh para anggota sanggar di Sunter. Kuda-kuda yang stabil, gerakan yang eksplosif, dan pendaratan yang lembut semuanya berakar pada praktik Kung Fu. Beberapa sanggar Barongsai di Sunter terafiliasi langsung dengan sekolah seni bela diri, memastikan bahwa penari tidak hanya fokus pada pertunjukan tetapi juga pada aspek beladiri sebagai fondasi moral dan fisik.
Penguasaan teknik di Sunter tidak hanya diukur dari berhasil atau tidaknya sebuah lompatan, tetapi dari ekspresi yang menyertai. Singa harus menampilkan emosi—rasa ingin tahu saat mencari makanan, kegembiraan setelah berhasil, atau ketakutan sesaat sebelum melompat. Ini adalah perpaduan unik antara atletik dan teater, yang harus dikuasai oleh para praktisi Sunter.
Barongsai tidak akan lengkap tanpa irama yang menggelegar dan khas. Musik Barongsai adalah nyawa dari pertunjukan, yang mengendalikan tempo, suasana hati singa, dan memompa energi ke seluruh area pertunjukan. Di Sunter, tim musik (biasanya terdiri dari genderang besar, gong, dan simbal) adalah seniman yang sama pentingnya dengan penari itu sendiri.
Instrumen-instrumen ini memiliki peran yang sangat spesifik dan sinkron:
Ritme yang dimainkan oleh tim musik Sunter sering kali terdengar lebih cepat dan energik, menyesuaikan diri dengan suasana perkotaan yang serba cepat. Mereka harus mampu berimprovisasi berdasarkan gerakan singa, menciptakan dialog musikal tanpa kata yang hanya dapat dipahami oleh tim yang sudah sangat solid.
Anggota tim Barongsai Sunter menghabiskan waktu berjam-jam tidak hanya untuk melatih gerakan fisik, tetapi juga untuk menyempurnakan sinkronisasi antara penari dan musisi. Komunikasi mereka non-verbal; penari kepala menggunakan gerakan kecil pada kepala singa (seperti menjentikkan telinga atau mengedipkan mata) sebagai isyarat rahasia bagi pemain genderang untuk mengubah ritme dari tenang menjadi eksplosif. Keahlian ini membutuhkan intuisi yang hanya tumbuh dari persahabatan dan latihan yang ekstrem.
Di wilayah Sunter, Barongsai telah melampaui fungsinya sebagai sekadar perayaan etnis. Ia menjadi medium kuat untuk integrasi budaya, di mana pemuda dari berbagai latar belakang—bukan hanya keturunan Tionghoa—bergabung dan mendedikasikan diri mereka pada seni ini. Fenomena ini adalah bukti nyata dari semangat Bhinneka Tunggal Ika yang diwujudkan dalam kostum singa merah-emas.
Banyak sanggar Barongsai di Sunter bangga dengan keanggotaan mereka yang multi-etnis. Hal ini membantah stereotip lama bahwa Barongsai adalah seni tertutup. Dengan adanya anggota dari berbagai suku di Indonesia, Barongsai menjadi lebih mudah diterima di acara-acara publik non-Tionghoa, seperti peresmian pusat perbelanjaan, festival kota, dan acara pemerintah daerah.
Pengalaman bergabung dengan tim Barongsai menawarkan disiplin dan rasa memiliki yang dicari oleh banyak remaja. Mereka belajar tanggung jawab, kerja tim, dan ketahanan fisik. Para pelatih di Sunter menyadari bahwa mereka tidak hanya mengajarkan tarian singa; mereka membentuk karakter. Kunci keberhasilan regenerasi di Sunter adalah pendekatan yang inklusif dan terbuka terhadap semua pemuda yang memiliki gairah dan kesediaan untuk bekerja keras.
Barongsai Sunter juga memiliki dampak ekonomi lokal yang signifikan. Selama musim ramai (sekitar Imlek, Cap Go Meh, hingga Hari Kemerdekaan), permintaan akan pertunjukan meningkat drastis. Uang hasil pertunjukan ini sering kali digunakan untuk mendanai pelatihan, membeli peralatan baru (kostum Barongsai berkualitas tinggi harganya sangat mahal), dan mendukung kesejahteraan anggota sanggar.
Bisnis lokal di Sunter dan sekitarnya memainkan peran penting sebagai sponsor. Mereka mengakui nilai budaya dan daya tarik Barongsai dalam menarik pelanggan dan menciptakan suasana meriah. Dukungan ini menciptakan ekosistem berkelanjutan di mana tradisi dapat terus hidup tanpa sepenuhnya bergantung pada subsidi pemerintah atau organisasi keagamaan.
Meskipun memiliki semangat yang kuat, Barongsai Sunter menghadapi tantangan khas kota besar:
Untuk mengatasi hal ini, sanggar-sanggar di Sunter telah merangkul teknologi, menggunakan media sosial untuk mendokumentasikan proses latihan mereka dan menyiarkan kompetisi, sehingga menarik minat audiens yang lebih muda. Mereka menggabungkan tradisi kuno dengan pemasaran modern.
Keunikan Barongsai Sunter sering kali terletak pada detail teknis yang dieksekusi dengan kesempurnaan. Mereka dikenal karena menggabungkan kekuatan fisik gaya Selatan (Nan Shi) dengan keanggunan teater yang tinggi. Membedah komponen gerakan memberikan apresiasi yang lebih besar terhadap kesulitan seni ini.
Setiap penari di Sunter diwajibkan menguasai lima sikap dasar yang menirukan perilaku singa:
Kontras yang tajam antara kelima sikap ini adalah kunci untuk menciptakan pertunjukan yang hidup dan meyakinkan. Di Sunter, fokus ditekankan pada transisi antar sikap; transisi yang mulus menunjukkan penguasaan karakter singa sepenuhnya.
Dalam tarian tonggak, terdapat beberapa lompatan yang dianggap paling sulit dan paling sering dilatih oleh tim Barongsai Sunter:
Untuk mencapai tingkat kesulitan ini, sanggar-sanggar di Sunter menginvestasikan waktu yang besar dalam latihan safety line (tali pengaman) dan matras tebal, mengakui bahwa penguasaan teknik tinggi hanya bisa dicapai melalui pengulangan yang aman dan sistematis. Ini menunjukkan profesionalisme tinggi yang dianut oleh komunitas Barongsai modern di Jakarta Utara.
Perjalanan Barongsai di Sunter adalah kisah adaptasi, dedikasi, dan pengorbanan. Ia tidak hanya bertahan dari badai sejarah dan perubahan zaman, tetapi juga berkembang menjadi seni pertunjukan yang disegani secara nasional dan internasional. Kontinuasi semangat ini adalah tanggung jawab kolektif yang diemban oleh para pelatih senior, anggota aktif, dan masyarakat di Jakarta Utara.
Salah satu langkah penting yang diambil oleh para sesepuh Barongsai di Sunter adalah mendokumentasikan teknik dan filosofi mereka. Ini penting karena banyak pengetahuan Barongsai yang secara tradisional diwariskan secara lisan atau melalui praktik langsung. Dengan mendokumentasikan kurikulum latihan, mereka memastikan bahwa esensi Barongsai tidak hilang seiring berjalannya waktu, bahkan saat teknik baru diperkenalkan.
Program edukasi komunitas juga menjadi fokus. Sanggar-sanggar di Sunter sering mengadakan lokakarya terbuka untuk anak-anak sekolah, memperkenalkan mereka pada keindahan musik dan gerakan Barongsai. Hal ini menumbuhkan rasa bangga terhadap warisan budaya sejak usia dini, memastikan bahwa tali estafet tradisi akan terus dipegang teguh oleh generasi mendatang.
Bagi sebagian besar anggotanya, Barongsai adalah pelarian positif. Disiplin yang ketat, tantangan fisik, dan kepuasan saat tampil di depan ribuan orang memberikan dampak psikologis yang positif. Dalam lingkungan perkotaan yang penuh tekanan seperti Jakarta, aktivitas Barongsai berfungsi sebagai terapi sosial, mengalihkan energi pemuda dari kegiatan negatif menuju tujuan yang produktif dan artistik.
Ikatan persaudaraan yang terjalin di dalam sanggar Barongsai Sunter sangatlah kuat. Mereka adalah keluarga kedua. Saat seorang anggota jatuh (baik dalam latihan atau dalam hidup), komunitas Barongsai ada di sana untuk mendukungnya. Semangat solidaritas ini adalah inti filosofi Barongsai yang sebenarnya: keharmonisan dan dukungan timbal balik.
Ambisi tim Barongsai Sunter tidak terbatas pada perbatasan Jakarta. Dengan kualitas teknik dan koreografi yang terus meningkat, mereka bertekad untuk secara konsisten berkompetisi dan meraih gelar di kejuaraan Barongsai dunia. Ini bukan hanya tentang kemenangan, tetapi tentang memamerkan kepada dunia bagaimana tradisi kuno Tiongkok dapat hidup, berinovasi, dan makmur di tengah kebhinekaan budaya Indonesia.
Setiap pertunjukan di Sunter, baik di klenteng kecil saat perayaan khusus atau di panggung besar pusat perbelanjaan, adalah pelajaran sejarah yang bergerak. Itu adalah perwujudan semangat singa yang tak pernah mati, meraung dalam irama genderang yang berdetak di jantung Jakarta Utara. Barongsai Sunter adalah bukti hidup bahwa warisan dapat terus berevolusi tanpa kehilangan jiwanya.
Melalui dedikasi tanpa henti dan kecintaan pada seni, para praktisi Barongsai di Sunter telah memastikan bahwa suara gong dan genderang akan terus menggemakan keberuntungan dan semangat juang di seluruh penjuru ibu kota. Tradisi ini adalah hadiah yang berharga bagi kekayaan budaya Indonesia.