Seni pertunjukan Tiongkok, khususnya yang melibatkan gerakan tarian kolosal, memiliki akar sejarah yang sangat dalam dan makna filosofis yang kompleks. Di antara ribuan tradisi, Barongsai dan Liong—atau tarian Singa dan tarian Naga—berdiri sebagai manifestasi paling energik dan ikonik dari perayaan, penghormatan, dan harapan baik. Meskipun sering dikelompokkan bersama karena kemiripan konteks perayaan, keduanya memiliki teknik, sejarah, dan peran spiritual yang berbeda dalam khazanah budaya Tionghoa, serta telah mengalami adaptasi luar biasa, terutama di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk kedua kesenian agung ini. Kita akan menelusuri bagaimana Barongsai, si Singa Selatan yang lincah, berinteraksi dengan Liong, si Naga Surgawi yang panjang dan megah. Kita akan menyelami filosofi di balik setiap gerakan, menganalisis struktur musik yang mengiringi, dan memahami bagaimana kesenian ini menjadi jembatan budaya yang kokoh, melintasi batas geografis dan generasi, serta tetap relevan dalam masyarakat modern.
Untuk memahami kekuatan dan daya tarik Barongsai dan Liong, kita harus kembali ke ribuan tahun silam. Kedua tarian ini bukanlah hiburan semata, melainkan ritual yang berakar kuat pada kosmologi Tiongkok, khususnya pada masa Dinasti Han (206 SM – 220 M) meskipun Barongsai modern baru mulai terbentuk pada periode Dinasti Tang (618–907 M). Konsep dasar yang melandasi tarian ini adalah upaya untuk menjalin komunikasi simbolis dengan kekuatan alam dan spiritual.
Tarian Naga, atau Liong (Lóng), jauh lebih kuno dibandingkan Barongsai. Naga dalam budaya Tiongkok bukanlah makhluk jahat seperti yang sering digambarkan di Barat. Sebaliknya, Naga adalah simbol tertinggi dari kekuatan langit (Yang), air, kekayaan, dan kesuburan. Ia adalah penguasa cuaca, bertanggung jawab atas hujan, sungai, dan lautan. Oleh karena itu, tarian Naga awalnya adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat agraris untuk memohon hujan yang baik, panen yang melimpah, dan perlindungan dari bencana. Naga diasosiasikan langsung dengan Kaisar, yang dianggap sebagai Putra Langit (Tian Zi).
Gerakan tarian Liong menirukan gelombang air dan awan, mencerminkan kemampuan Naga untuk bergerak di antara dimensi langit dan bumi. Panjangnya kostum Naga yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan meter melambangkan kebesaran dan jangkauan pengaruhnya yang tak terbatas. Setiap segmen tubuh Naga, yang dipegang oleh penari terpisah, harus bergerak dalam harmoni sempurna, melambangkan pentingnya persatuan dan disiplin dalam masyarakat. Kegagalan dalam menciptakan gerakan yang cair dan berirama dipercaya dapat menyinggung roh Naga dan membawa nasib buruk.
Sementara Naga adalah entitas mitos yang dihormati, Singa (Barongsai, atau Shī) bukanlah fauna asli Tiongkok. Singa dibawa ke Tiongkok melalui jalur perdagangan Sutra dari Asia Barat dan India. Meskipun kehadirannya baru, Singa dengan cepat diakulturasi dan diangkat sebagai simbol keberanian, kekuatan, dan penjaga spiritual. Konsep Singa sebagai pelindung gerbang kuil (Shi Shi) sudah mapan sebelum tarian Barongsai muncul secara formal.
Barongsai memiliki narasi yang lebih spesifik, sering kali dikaitkan dengan legenda pemujaan kepada Buddha. Pada perkembangannya, tarian Barongsai terbagi menjadi dua aliran utama yang sangat berbeda dalam teknik dan estetika:
Secara filosofis, Barongsai adalah tarian pengusir roh jahat (pi-xie) dan pembawa keberuntungan (na-fu). Kehadirannya di pintu rumah atau toko dipercaya dapat membersihkan energi negatif dan memastikan kemakmuran untuk tahun yang akan datang. Ritual puncak yang paling dikenal adalah Cai Qing (Petik Sayur), di mana Barongsai harus menyelesaikan tantangan (biasanya berupa amplop merah berisi uang yang digantung tinggi) sebagai simbol mengambil keberuntungan.
Barongsai Selatan, yang menjadi fokus utama di Indonesia, secara teknis adalah perpaduan antara tarian dan seni bela diri Wushu. Setiap gerakan memiliki nama dan tujuan yang jelas, serta membutuhkan kekuatan fisik, stamina, dan koordinasi yang luar biasa dari kedua penari (kepala dan ekor). Hubungan antara gerakan singa dan kuda-kuda Wushu (stance) tidak dapat dipisahkan.
Penari Barongsai harus menguasai dasar-dasar Wushu. Kaki yang kuat adalah kunci untuk menampilkan Singa yang hidup dan berwibawa. Beberapa kuda-kuda dasar yang wajib dikuasai antara lain:
Pola pernapasan dan sinkronisasi antara penari kepala dan penari ekor adalah elemen kritikal. Penari kepala mengendalikan mulut, mata (kelopak mata dan telinga), memberikan ekspresi vitalitas dan emosi, sementara penari ekor harus menyesuaikan ketinggian dan aliran gerakan tubuh Singa secara konstan untuk menjaga ilusi makhluk hidup yang utuh. Kualitas Barongsai diukur dari seberapa ‘hidup’ Singa itu terlihat—apakah ia tampak bersemangat, takut, atau gembira.
Di dalam kategori Barongsai Selatan, terdapat dua gaya utama yang mendominasi, masing-masing dengan karakteristik unik:
Gaya Fut San berasal dari Kota Foshan, Provinsi Guangdong. Gaya ini dikenal karena tampilannya yang megah dan berwibawa. Kepala Singa Fut San biasanya lebih berat, memiliki bibir berbentuk tanduk yang menonjol, dan penampilan yang lebih garang. Gerakan Fut San cenderung lambat, berirama, dan sangat fokus pada 'perasaan' Singa. Fokus utamanya adalah pada pertarungan dan demonstrasi kekuatan. Musik pengiringnya, terutama pukulan drumnya, cenderung lebih keras, lebih cepat, dan agresif. Tarian ini sering memasukkan gerakan bergulat dan sikap 'raja hutan'.
Gaya Hok San berasal dari Kabupaten Heshan, Guangdong. Gaya ini dikembangkan dengan filosofi yang berlawanan. Kepala Singa Hok San lebih ringan, memiliki paruh pendek, dan memiliki penampilan yang lebih ramah atau lucu. Gerakannya sangat lincah, akrobatik, dan cepat, menirukan gerakan kucing yang lebih kecil dan hewan lain. Penekanan diletakkan pada ‘kelucuan’ dan ‘kepintaran’ Singa, sering kali dengan banyak melompat dan berguling. Karena kepala yang lebih ringan, Singa Hok San adalah gaya yang lebih sering digunakan untuk pertunjukan akrobatik di atas tiang (juga dikenal sebagai Gao Qiao).
Cai Qing adalah puncak dari pertunjukan Barongsai, sebuah ritual yang lebih kompleks daripada sekadar mengambil amplop merah. "Sayur" (Qing) yang biasanya digunakan adalah selada, yang homofon dengan kata 'kekayaan' atau 'kemakmuran' (Cai). Uang (Hongbao) yang tersembunyi di dalamnya melambangkan keuntungan yang akan diperoleh setelah perjuangan.
Proses Cai Qing adalah pertunjukan drama mini. Singa akan mendekati tantangan dengan penuh hati-hati, menampilkan emosi seperti ketakutan, rasa ingin tahu, dan akhirnya, keberanian. Proses ini bisa melibatkan memanjat struktur tinggi, menyeberangi rintangan, atau memecahkan teka-teki kecil. Setelah 'memakan' sayur (mengunyahnya secara simbolis) dan mengambil Hongbao, Singa akan ‘meludahkan’ daun selada yang tersisa ke arah pemilik rumah atau penonton. Tindakan ini adalah penyebaran berkat dan keberuntungan kepada orang-orang di sekitarnya. Keberhasilan dalam Cai Qing dianggap sebagai pertanda baik untuk bisnis atau keluarga yang mengundang.
Jika Barongsai adalah tarian individu (dua penari) yang fokus pada ekspresi, Liong adalah tarian kolektif yang menekankan sinkronisasi dan kekuatan komunitas. Tarian Liong melibatkan minimal sembilan orang hingga puluhan penari, masing-masing memegang tiang yang menyangga tubuh Naga. Naga tidak bisa bergerak sendiri; ia membutuhkan koordinasi sempurna dari semua anggotanya, melambangkan bagaimana masyarakat harus bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Kepala Naga haruslah yang terbesar dan paling berat, melambangkan kepemimpinan dan kebijaksanaan. Di depan kepala Naga selalu ada penari yang memegang mutiara bercahaya (Lóng Zhū), atau ‘Mutiara Kebijaksanaan’. Naga harus selalu mengejar mutiara ini, sebuah simbolisasi filosofis tentang pengejaran ilmu, kesempurnaan, atau nasib baik yang abadi. Tanpa pengejaran ini, Naga akan diam dan mati.
Bagian tubuh Naga terdiri dari banyak segmen, idealnya berjumlah ganjil (9, 11, 13, dst.), karena angka ganjil diasosiasikan dengan Yang (langit, maskulin) dan keberuntungan. Bahan pembuatannya seringkali dari sutra, kertas, atau bahan sintetis yang ringan namun kuat, dengan detail sisik yang rumit. Panjang Naga dapat mencapai ratusan kaki, terutama untuk pertunjukan kolosal dalam perayaan besar.
Gerakan Liong dirancang untuk meniru gelombang, pusaran air, dan penerbangan yang anggun. Ini memerlukan kekuatan lengan dan pinggang yang luar biasa dari setiap penari. Beberapa formasi dan gerakan kunci termasuk:
Liong, tidak seperti Barongsai, jarang melibatkan interaksi langsung dengan rintangan fisik (seperti tiang atau rintangan vertikal). Fokusnya adalah pada keindahan pola kolektif yang dilihat dari atas atau kejauhan, menciptakan pemandangan yang megah dan menakjubkan yang mewakili kekuatan kosmik yang tak terhingga. Di beberapa wilayah, Liong juga dikenal dengan Liong api (Fire Dragon Dance), di mana tubuh Naga dihiasi dengan dupa yang menyala atau lilin, memberikan efek visual dramatis pada malam hari, sebuah praktik yang sangat berbahaya namun spiritual.
Baik Barongsai maupun Liong tidak akan lengkap tanpa iringan musik mereka yang khas dan membahana. Musik ini bukan sekadar latar belakang; ia adalah jantung, penentu kecepatan, pemicu emosi, dan penanda transisi dalam tarian. Alat-alat musik utama yang digunakan adalah perkusi, seringkali disebut sebagai orkestra Barongsai atau Liong, yang terdiri dari tiga elemen utama: Gong, Simbal, dan Drum (Da Gu).
Drum besar, Da Gu, adalah pemimpin orkestra. Ritme drum menentukan jenis gerakan Singa atau Naga. Ada ratusan pola ritme yang berbeda, masing-masing sesuai dengan emosi atau tindakan tertentu:
Penabuh drum harus memiliki stamina luar biasa dan pemahaman mendalam tentang tarian, karena dialah yang harus berkomunikasi dengan penari, memberitahu mereka kapan harus melompat, kapan harus beristirahat, dan kapan harus mengubah emosi Singa. Ketukan drum ini juga berfungsi sebagai energi spiritual yang membersihkan lingkungan.
Simbal (Bo) dan Gong (Luo) memberikan warna dan aksen pada ritme drum. Simbal menghasilkan suara yang tajam dan nyaring, sering digunakan untuk menambah semangat pada gerakan cepat atau melompat. Gong, dengan bunyinya yang dalam dan bergema, memberikan dasar ritmis dan otoritas, menandai awal dan akhir dari fase gerakan tertentu. Dalam banyak tradisi, bunyi Gong yang keras dipercaya memiliki kemampuan untuk mengusir roh jahat secara langsung, memperkuat fungsi ritualistik tarian tersebut.
Sinkronisasi antara ketiga instrumen ini adalah kunci. Dalam tarian Barongsai yang paling profesional, simbal dan gong tidak hanya mengikuti drum, tetapi kadang-kadang mendahului atau menyela untuk menirukan suara Singa yang meraung, tertawa, atau menggerutu, sebuah teknik yang membutuhkan latihan bertahun-tahun.
Di Indonesia, Barongsai dan Liong memiliki kisah perjalanan yang unik dan sarat makna. Kesenian ini tidak hanya bertahan, tetapi juga beradaptasi dan berkembang, berinteraksi erat dengan budaya lokal, dan menjadi salah satu simbol paling nyata dari kebangkitan dan penerimaan budaya Tionghoa setelah periode sulit dalam sejarah nasional.
Selama periode Orde Baru di Indonesia (1967–1998), ekspresi kebudayaan Tionghoa di ruang publik dibatasi secara ketat. Barongsai dan Liong, sebagai seni pertunjukan yang paling mencolok, hampir menghilang dari mata publik. Namun, tradisi ini tidak mati. Mereka dilestarikan secara sembunyi-sembunyi di dalam klenteng, perkumpulan tertutup, atau dalam lingkungan keluarga, diajarkan dari generasi ke generasi untuk menjaga nyala tradisi agar tidak padam. Para pelestari seni bela diri Wushu sering kali menjadi pilar utama yang menjaga teknik gerakan Barongsai agar tetap murni.
Periode ini menunjukkan komitmen luar biasa dari komunitas Tionghoa Indonesia untuk mempertahankan identitas budaya mereka di tengah tekanan. Latihan dilakukan dengan minim peralatan dan terkadang hanya berdasarkan ingatan, memastikan bahwa ketika waktu kebebasan tiba, seni ini dapat segera bangkit kembali.
Titik balik besar terjadi setelah Reformasi pada tahun 1998, yang diikuti oleh pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Kebijakan ini membebaskan ekspresi kebudayaan Tionghoa, dan Barongsai serta Liong kembali memenuhi jalanan. Kebangkitan ini tidak hanya disambut oleh komunitas Tionghoa, tetapi juga oleh masyarakat Indonesia secara luas, menjadi simbol pluralisme dan keberagaman.
Di Indonesia, Barongsai telah mengalami akulturasi yang menarik. Banyak tim Barongsai dan Liong modern tidak hanya didominasi oleh keturunan Tionghoa, tetapi juga melibatkan anggota dari berbagai suku dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa kesenian ini telah melampaui batas etnis dan menjadi warisan budaya Indonesia yang dihargai.
Perbedaan regional juga terlihat. Di beberapa daerah, seperti di Kalimantan Barat (Pontianak dan Singkawang), Tarian Liong menjadi sangat terkenal dan berkembang dengan teknik yang sangat spesifik, bahkan memecahkan rekor dunia untuk Liong terpanjang. Di daerah lain, seperti Jakarta dan Surabaya, Barongsai tipe Hok San lebih mendominasi karena fokus pada kecepatan dan akrobatik yang cocok untuk pertunjukan di mal atau acara modern.
Kostum Barongsai dan Liong bukan sekadar pakaian; mereka adalah karya seni spiritual yang sarat dengan simbolisme. Pembuatan kostum melibatkan keahlian tingkat tinggi dalam menjahit, memahat, dan melukis, yang sering kali membutuhkan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.
Setiap warna pada Barongsai memiliki makna yang dalam, sering kali mengaitkannya dengan karakter sejarah Tiongkok atau elemen kosmik (Wu Xing):
Kepala Barongsai sendiri biasanya terbuat dari bambu yang dibentuk, kemudian dilapisi kain dan dihias dengan bulu dan cermin kecil. Cermin ini (sering diletakkan di dahi) berfungsi ganda: sebagai pengusir roh jahat (roh jahat akan takut melihat bayangan dirinya sendiri) dan sebagai simbol cahaya pengetahuan.
Kepala Liong jauh lebih kompleks dan besar daripada kepala Barongsai. Diperlukan kerangka yang kuat—tradisionalnya dari rotan atau bambu yang fleksibel—untuk menahan bentuknya yang memanjang, yang dihiasi dengan tanduk, taring, dan mata yang besar dan melotot. Kepala Liong harus ringan, namun cukup kokoh untuk menahan gerakan memutar dan membanting yang ekstrem. Bahan-bahan modern seperti aluminium dan serat karbon juga mulai digunakan untuk mengurangi berat, yang sangat krusial mengingat panjang total naga yang harus digerakkan oleh para penari.
Detail sisik pada tubuh Naga biasanya dilukis atau dijahit dengan benang emas dan perak, menciptakan efek kilauan saat terkena cahaya, meniru sisik naga mitologi. Simbolisme warna pada Liong sering kali merujuk pada Naga dari Empat Lautan (Sì Hǎi Lóng Wáng), misalnya Naga Timur (hijau/biru) atau Naga Selatan (merah).
Menjadi penari Barongsai atau Liong menuntut tingkat disiplin dan dedikasi yang setara dengan atlet profesional. Latihan intensif diperlukan untuk mencapai kesempurnaan gerakan, terutama dalam konteks Barongsai akrobatik di atas tiang.
Pertunjukan Barongsai yang paling memukau saat ini adalah tarian di atas tiang besi (Gao Qiao). Tiang-tiang ini tingginya bisa mencapai tiga hingga empat meter, dan jarak antar tiang bisa mencapai dua hingga tiga meter. Pertunjukan ini adalah puncak dari teknik dan keberanian. Penari depan dan belakang harus mampu melakukan lompatan jarak jauh dan menyeimbangkan Singa di atas permukaan tiang yang sempit, sering kali hanya selebar piring.
Pelatihan untuk Gao Qiao melibatkan:
Tingkat kesulitan ini telah mengangkat Barongsai menjadi cabang olahraga yang dipertandingkan secara internasional, dengan standar penilaian yang ketat mencakup tingkat kesulitan akrobatik, ekspresi emosi singa (shen), dan kualitas musik pengiring.
Meskipun Liong jarang melibatkan akrobatik vertikal, tuntutan fisiknya ada pada daya tahan dan koordinasi. Satu naga panjang dapat memiliki lebih dari sepuluh penari, dan mereka harus menjaga tubuh Naga agar tetap mengalir dalam formasi yang kompleks selama 15 hingga 30 menit tanpa henti. Gerakan memutar dan mengayunkan naga ke atas kepala memerlukan kekuatan bahu dan punggung yang luar biasa.
Latihan Liong fokus pada disiplin grup. Jika satu penari salah mengangkat tiang atau salah tempo, seluruh aliran tarian akan terganggu. Oleh karena itu, latihan Liong adalah pelajaran tentang kerja sama tim yang ekstrem, di mana ego pribadi harus dikesampingkan demi kesempurnaan formasi kolektif.
Di luar perayaan Imlek, Barongsai dan Liong hari ini memainkan peran penting dalam masyarakat kontemporer. Mereka berfungsi sebagai alat diplomasi budaya, simbol keberagaman, dan bahkan sebagai industri pariwisata yang signifikan.
Di banyak kota di Asia Tenggara, pertunjukan Barongsai dan Liong telah menjadi daya tarik pariwisata. Tarian ini menandai pembukaan pusat perbelanjaan baru, peresmian proyek infrastruktur, atau festival budaya multi-etnis. Kehadiran mereka membawa aura kemakmuran dan kegembiraan, menjadikannya investasi yang berharga bagi entitas bisnis yang ingin menarik perhatian publik.
Industri terkait juga berkembang pesat, mulai dari pembuatan kostum Barongsai yang diekspor ke seluruh dunia hingga pelatihan tim profesional yang bersaing di kancah global. Indonesia sendiri telah menghasilkan beberapa tim Barongsai yang diakui prestasinya di tingkat internasional, memperkuat citra negara sebagai rumah bagi seni budaya Tionghoa yang hidup dan dinamis.
Perkumpulan Barongsai dan Liong (sering disebut sebagai Sasana) berfungsi sebagai sekolah non-formal yang mendidik generasi muda tentang disiplin, sejarah, dan nilai-nilai luhur. Anak-anak muda yang bergabung diajarkan lebih dari sekadar tarian; mereka belajar tentang hierarki tim, rasa hormat terhadap senior, komitmen jangka panjang, dan pentingnya menjaga kebersihan spiritual dan fisik.
Bagi banyak anak muda di Indonesia, bergabung dengan Sasana Barongsai menawarkan jalur untuk berolahraga, berprestasi, dan terhubung dengan warisan leluhur mereka, sekaligus berinteraksi dengan teman-teman dari latar belakang etnis yang beragam. Ini memperkuat peran Barongsai sebagai alat integrasi sosial yang efektif.
Barongsai dan Liong adalah dua pilar penting dalam seni pertunjukan Tiongkok yang saling melengkapi. Barongsai menawarkan drama pribadi, kelincahan, dan fokus pada pengusiran kejahatan dan pencarian kekayaan. Liong menawarkan kemegahan kolektif, simbolisme kosmik Naga, dan penekanan pada persatuan dan kebesaran yang tak terbatas.
Dari akar sejarahnya yang terjalin dengan ritual Wushu dan mitologi agraris, hingga statusnya sebagai olahraga kompetitif dan simbol pluralisme budaya di Indonesia, kedua tarian ini terus beradaptasi. Mereka adalah narasi bergerak tentang kekuatan, kegembiraan, dan harapan—sebuah warisan yang tidak hanya dilihat, tetapi juga dirasakan melalui getaran drum yang memompa semangat dan kilauan sisik Naga di bawah cahaya festival.
Seiring waktu berlalu, tantangan dalam melestarikan kerajinan pembuatan kepala tradisional, menjaga kemurnian teknik Wushu, dan menarik minat generasi baru tetap ada. Namun, melihat betapa hidupnya tradisi Barongsai dan Liong di Nusantara, dipastikan bahwa Singa dan Naga akan terus menari dan meraung, membawa keberuntungan dan kegembiraan bagi masyarakat, jauh melampaui batas-batas perayaan tradisional semata, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari identitas budaya global dan lokal.
Mereka adalah tarian yang abadi, mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati tidak hanya terletak pada keindahan visual, tetapi pada makna spiritual yang mendalam, disiplin keras, dan harmoni kolektif yang mereka representasikan.
Pemahaman Barongsai harus diperdalam melalui lensa Wu Xing (Lima Elemen: Kayu, Api, Tanah, Logam, Air). Setiap elemen memengaruhi tidak hanya warna Barongsai (seperti yang telah dibahas sebelumnya), tetapi juga gaya dan ritme tarian. Misalnya, Singa yang didominasi elemen Api (merah) harus menampilkan gerakan yang cepat, agresif, dan penuh ledakan energi. Kontrasnya, Singa dengan dominasi elemen Air (hitam/biru) mungkin menunjukkan gerakan yang lebih mengalir, tenang, dan strategis, mirip seperti arus sungai yang tak terduga, namun bertenaga.
Hubungan antara elemen ini juga mencerminkan interaksi antara Barongsai dalam tarian berpasangan. Dalam beberapa koreografi, dua singa yang berinteraksi melambangkan siklus penciptaan dan kehancuran (Sheng dan Ke). Singa elemen Kayu (Kesehatan) dapat menciptakan Singa elemen Api (Kegembiraan), menunjukkan bagaimana kesehatan memicu semangat. Pemahaman mendalam ini membuat penampilan Barongsai bukan hanya sekadar tarian akrobatik, melainkan sebuah pertunjukan metafisik yang merangkum dinamika alam semesta Tiongkok.
Detail teknis peran penari kepala (Dai Tou) dan penari ekor (Dai Wei) sangat penting. Penari kepala, yang biasanya adalah anggota yang paling berpengalaman, bertanggung jawab penuh atas ekspresi Barongsai. Mereka tidak hanya mengendalikan mulut dan mata, tetapi juga menentukan tempo gerakan dan interpretasi musik. Penari kepala harus memiliki penglihatan yang terbatas, membutuhkan memori spasial yang sangat baik, terutama saat melakukan lompatan. Kontrol ekspresi ini melibatkan penguasaan tali dan tuas di dalam kepala singa, memungkinkan mata singa untuk berkedip, telinga untuk bergerak, dan mulut untuk membuka lebar—memberikan karakter Singa itu kehidupannya.
Sementara itu, penari ekor, meskipun peran tampak lebih sederhana, menghadapi tantangan fisik yang lebih besar, terutama dalam hal menopang, mendorong, dan mengangkat penari kepala. Dalam posisi 'Tai Shan' (Gunung Tai), penari ekor harus menopang seluruh berat penari kepala di punggung atau bahu, sementara harus mempertahankan kuda-kuda Wushu yang kokoh. Penari ekor harus mampu membaca bahasa tubuh penari kepala hanya dari gerakan pinggul dan bahu, memastikan bahwa lekukan dan panjang tubuh Singa terlihat alami, seperti tulang belakang yang lentur. Kegagalan penari ekor untuk menyesuaikan ketinggian dapat menyebabkan Singa terlihat "patah pinggang" atau tidak hidup.
Liong api tradisional, yang menggunakan lilin atau dupa yang berpotensi membahayakan, telah mengalami transformasi signifikan seiring modernisasi. Tarian Naga kini sering menampilkan teknologi LED (Light Emitting Diode) di sepanjang tubuh Naga, terutama dalam pertunjukan malam hari (disebut Naga Malam). Penggunaan LED memungkinkan koreografi yang lebih dinamis dan visual yang spektakuler, karena warna dan intensitas cahaya dapat diubah sesuai dengan ritme musik, meniru kilat atau aliran energi kosmik. Inovasi ini telah membuat tarian Liong semakin populer di festival dan acara modern yang membutuhkan elemen visual yang kuat dan aman.
Namun, perubahan ini juga memunculkan debat. Beberapa puritan khawatir bahwa fokus pada efek visual dapat menggeser fokus dari kesakralan dan kesulitan teknis tarian. Namun, kebanyakan komunitas menyambut baik modernisasi ini sebagai cara untuk menjaga tradisi tetap menarik bagi audiens baru, terutama dalam lingkungan perkotaan yang padat.
Meskipun Cai Qing (Petik Sayur) sering dianggap sebagai pertunjukan komersial mencari uang, akarnya lebih dalam dari sekadar mengambil Hongbao. Proses di mana Singa mendekati tantangan, mengamati, dan kemudian menaklukkannya, seringkali mengandung filosofi Taoisme. Singa harus bertindak dengan hati-hati dan kesabaran (Wu Wei - tindakan tanpa usaha yang dipaksakan). Singa tidak langsung menyerbu; ia mengamati rintangan dan menyusun strategi. Ini mengajarkan bahwa kekayaan dan keberuntungan (Cai Qing) tidak datang dari agresi buta, melainkan dari kebijaksanaan, keberanian yang dipertimbangkan, dan keharmonisan dengan lingkungan.
Benda-benda lain yang digunakan dalam Cai Qing (selain selada dan uang) juga sarat makna, seperti jeruk (simbol kemakmuran), pisang (simbol persatuan keluarga), atau bahkan cermin (refleksi diri dan pengusiran ilusi). Seluruh rangkaian ritual Cai Qing adalah sebuah pelajaran etika yang dikemas dalam bentuk drama tarian yang lincah.
Dalam beberapa gaya Barongsai Selatan, terdapat karakter pendamping yang dikenal sebagai Jiao Tou atau 'Big Head Buddha' (Kepala Besar). Karakter ini adalah figur berkepala besar, berpakaian longgar, yang bertugas menggoda dan memimpin Singa. Jiao Tou melambangkan senyum dan keceriaan, berfungsi sebagai jembatan antara dunia spiritual Barongsai yang agung dan audiens manusia. Ia sering menggunakan kipas, labu, atau sapu sebagai properti. Meskipun ia tampak sebagai karakter komedi, perannya sangat penting: ia mengendalikan kerumunan, mempersiapkan arena untuk Cai Qing, dan menstimulasi respons emosional dari Singa, membuat tarian menjadi lebih hidup dan interaktif. Kehadiran Jiao Tou menambah dimensi naratif yang sangat diperlukan dalam pertunjukan jalanan tradisional.
Liong Tiongkok sangat unik jika dibandingkan dengan konsep naga di budaya lain (misalnya, naga Barat yang bersayap dan bernapas api). Liong adalah makhluk tanpa sayap yang mengendalikan air dan seringkali dianggap sebagai entitas baik hati yang terkait dengan langit dan kekuasaan kerajaan. Tarian Liong mencerminkan keunikan ini, menonjolkan gerakan yang seperti gelombang, bukan penerbangan keras. Di Tiongkok, ada empat jenis Naga utama (Naga Surgawi, Naga Spiritual, Naga Bumi, dan Naga Harta Karun), dan tarian ini sering menjadi representasi dari Naga Surgawi yang membawa kemakmuran dan keseimbangan kosmik ke dunia fana. Ini adalah manifestasi budaya yang sangat spesifik, menekankan harmoni daripada dominasi.
Perkumpulan Barongsai dan Liong di Indonesia tidak hanya berkumpul untuk berlatih tarian; mereka sering beroperasi sebagai Sasana seni bela diri. Disiplin yang diajarkan dalam Wushu (terutama aliran Selatan seperti Hung Gar atau Choy Lee Fut) adalah fondasi bagi gerakan Barongsai. Hubungan ini memastikan bahwa seni tarian tersebut tetap berakar pada kekuatan fisik dan spiritual. Anggota sasana menjalani hidup yang terstruktur, sering kali dilarang merokok atau minum alkohol, dan dituntut untuk menjaga kehormatan tim. Ini menciptakan lingkungan yang sangat mendukung perkembangan karakter, menjadikan sasana sebagai institusi penting dalam pembentukan moralitas dan disiplin diri bagi anggotanya.
Dalam Barongsai Selatan, kompleksitas ritme perkusi mencapai puncaknya. Pola-pola ritme ini memiliki nama yang puitis dan berfungsi sebagai kode komunikasi yang hanya dipahami oleh penari dan musisi. Misalnya, Pola Lima Harimau (Wu Hu), adalah ritme yang sangat kuat, cepat, dan agresif, digunakan saat Singa menunjukkan dominasi atau bersiap untuk Cai Qing yang sulit. Sebaliknya, Pola Tujuh Bintang (Qi Xing) adalah ritme yang lebih melodis, lambat, dan ritualistik, digunakan saat Singa mengamati lingkungan atau melakukan gerakan pemujaan spiritual.
Setiap pukulan drum, setiap denting simbal, dan setiap getaran gong, memiliki penempatan waktu yang tepat. Musisi Barongsai yang handal tidak bermain secara acak, tetapi mengikuti partitur non-tertulis yang telah diwariskan secara lisan, memastikan bahwa suara yang dihasilkan secara sempurna mencerminkan emosi, dari rasa takut (bunyi gong pelan dan cepat) hingga kemarahan (pukulan drum bertubi-tubi).
Selain Barongsai tiang (Gao Qiao) yang terkenal, ada juga variasi akrobatik lain yang sangat sulit dan menuntut. Tarian Singa Meja (Ping Tai Shi) melibatkan Barongsai menari dan melakukan keseimbangan di atas tumpukan meja, yang tingginya bisa mencapai dua hingga tiga meter. Tarian ini menuntut ketepatan pendaratan dan transisi yang ekstrem dari satu permukaan datar ke permukaan datar lainnya.
Sementara itu, Tarian Singa Balok (Deng Zi Shi) menggunakan bangku atau balok kayu sebagai rintangan, mirip dengan Gao Qiao namun dengan permukaan yang lebih luas. Kedua bentuk ini menguji kekuatan statis dan daya tahan penari lebih dari sekadar lompatan, menunjukkan fleksibilitas Barongsai sebagai bentuk seni yang terus mencari batas baru dalam atletis dan akrobatik.
Akhirnya, Barongsai dan Liong telah bertransformasi menjadi fenomena global. Dari Chinatown di San Francisco hingga parade Tahun Baru di London, tarian ini berfungsi sebagai simbol harapan, kebahagiaan, dan persatuan. Di tengah masyarakat yang semakin terpecah, tarian-tarian ini—dengan penekanan pada harmoni tim, disiplin, dan pengusiran kejahatan—memberikan pesan universal yang relevan bagi semua budaya. Mereka adalah warisan yang melintasi etnis, memberikan energi visual dan audial yang tak tertandingi, dan menjamin bahwa si Naga kosmik dan si Singa perkasa akan terus menari di masa depan yang tak terbatas.