Barongsai, tarian singa tradisional yang berakar kuat dari kebudayaan Tionghoa, telah lama melampaui batas perayaan etnis semata. Di Indonesia, khususnya di berbagai kota wisata yang kaya akan pluralitas budaya, Barongsai menjelma menjadi simbol keberagaman, semangat persatuan, dan daya tarik magnetis bagi turis domestik maupun mancanegara. Kehadirannya tidak hanya terbatas pada perayaan Imlek atau Cap Go Meh, melainkan telah menjadi pertunjukan reguler yang memperkaya khazanah seni pertunjukan lokal, membuktikan kemampuan tradisi kuno untuk beradaptasi dan bersinar dalam sorotan modernitas.
Di tengah hiruk pikuk arsitektur modern, pusat perbelanjaan megah, dan destinasi buatan yang menjadi ciri khas kota wisata kontemporer, bunyi genderang yang bergemuruh dan simbal yang berdentang menawarkan kontras yang memukau. Kontras inilah yang menarik; perpaduan antara spiritualitas masa lalu dan komersialitas masa kini. Barongsai di kota wisata bukan sekadar pertunjukan; ia adalah narasi visual tentang sejarah migrasi, perjuangan asimilasi, dan keberhasilan masyarakat Tionghoa dalam menjaga identitasnya seraya berkontribusi pada lanskap budaya Indonesia yang luas. Artikel ini akan menelusuri bagaimana tarian singa ini berevolusi, makna mendalam di balik setiap gerakan, dan peran krusialnya dalam membentuk citra kota wisata sebagai jembatan harmoni dan kekayaan budaya.
Untuk memahami mengapa Barongsai memiliki daya tarik universal, kita harus kembali ke akarnya. Tarian singa (yang dalam bahasa Mandarin disebut Wǔ Shī) adalah salah satu seni pertunjukan tertua yang masih dipraktikkan secara luas di dunia. Singa, meskipun bukan hewan endemik di sebagian besar wilayah Tiongkok, diimpor maknanya dari Asia Tengah melalui Jalur Sutra dan dihormati sebagai makhluk pelindung dan lambang keberanian. Legenda mengatakan bahwa tarian ini muncul sebagai cara untuk mengusir makhluk jahat atau roh-roh pengganggu yang diyakini membawa nasib buruk, khususnya saat pergantian musim atau tahun baru.
Secara tradisional, Barongsai dibagi menjadi dua aliran utama yang memiliki ciri khas sangat berbeda, baik dari segi kostum maupun gaya gerak. Kedua aliran ini mencerminkan keragaman geografis dan budaya Tiongkok yang kemudian dibawa ke Indonesia oleh para perantau:
Singa Utara, yang dikenal dengan bulunya yang tebal dan lebat, sering kali menyerupai anjing Peking atau singa penjaga istana. Gerakannya lebih berfokus pada akrobatik dan kelincahan, sering kali menampilkan lompatan di atas bola besar atau meniru permainan lucu anak-anak singa. Kostumnya lebih realistis, dan pertunjukannya sering menyertakan dua singa yang berpasangan. Di Indonesia, gaya ini kurang dominan dibandingkan Singa Selatan, namun ia membawa narasi keanggunan dan kekuatan fisik yang menantang gravitasi.
Singa Selatan adalah jenis yang paling sering kita lihat di kota wisata dan perayaan Imlek di Indonesia. Singa ini memiliki kepala yang lebih ekspresif, dengan mata besar yang bisa berkedip, mulut yang bisa membuka dan menutup, serta cermin kecil di dahi (yang konon berfungsi untuk menakut-nakuti roh jahat dengan memantulkan citra diri mereka). Gaya Nan Shi dibagi lagi menjadi dua sub-gaya utama, yaitu:
Pemilihan gaya ini di Indonesia sangat dipengaruhi oleh daerah asal para imigran Tionghoa. Di kota-kota pelabuhan dan perdagangan, di mana komunitas Tionghoa berkembang pesat, gaya Nan Shi menjadi primadona karena fleksibilitasnya dalam menceritakan kisah dan kemampuan visualnya yang dramatis, menjadikannya tontonan ideal bagi pengunjung kota wisata.
Setiap bagian dari Barongsai dipenuhi dengan makna simbolis yang mendalam, yang dipercaya membawa berkah. Warna kepala singa, misalnya, sering dikaitkan dengan tokoh-tokoh legendaris dari Tiga Kerajaan Tiongkok atau lima elemen dasar alam:
Cermin yang dipasang di dahi singa melambangkan pandangan spiritual yang meluas dan kemampuan untuk mengusir makhluk gaib. Tanduk yang mirip tanduk unicorn melambangkan keadilan, sementara bulu yang berkibar-kibar melambangkan pergerakan energi chi yang vital. Bagi masyarakat Tionghoa, melihat Barongsai tampil sama dengan menerima aliran energi positif dan perlindungan sepanjang tahun.
Representasi visual kepala Barongsai, lambang kekuatan dan pembawa keberuntungan.
Barongsai bukan hanya tarian, tetapi juga karya seni pahat dan tekstil. Pembuatan satu set Barongsai membutuhkan keterampilan tinggi dalam pertukangan, menjahit, dan melukis. Kualitas Barongsai sering kali menentukan performa, karena berat dan keseimbangan kepala singa akan memengaruhi kemampuan penari untuk melakukan gerakan akrobatik yang presisi. Peran Barongsai sebagai alat peraga utama dalam pertunjukan di kota wisata menuntut daya tahan dan estetika yang tinggi, sering kali dihiasi dengan payet dan manik-manik yang memantulkan cahaya panggung.
Inti dari Barongsai adalah kepalanya, yang biasanya dibuat dari rangka bambu yang ringan namun kokoh, dilapisi kain kasa, dan kemudian dicat atau diberi lapisan kertas yang diperkuat (teknik papier-mâché). Setelah kering, kepala dicat dengan warna cerah dan dihiasi bulu sintetis atau alami, serta kain mengkilap. Bagian terpenting adalah sistem penggerak mata dan mulut, yang dikontrol oleh penari kepala melalui tali atau tuas tersembunyi. Kemampuan penari untuk "menghidupkan" wajah singa—membuatnya berkedip, menguap, atau menggeram—adalah kunci keberhasilan pertunjukan.
Di belakang kepala terdapat kain tubuh panjang yang seringkali dihiasi motif sisik atau bulu, memberikan kesan fisik singa yang utuh. Kain tubuh ini harus cukup panjang untuk menutupi kedua penari sepenuhnya, memungkinkan mereka bergerak secara sinkron tanpa mengungkapkan kaki manusia di dalamnya. Kualitas bahan ini juga penting; kain harus bernapas agar penari di dalamnya tidak cepat kelelahan, mengingat intensitas gerakan yang ekstrem dan panasnya cuaca tropis di Indonesia.
Tanpa musik, Barongsai hanyalah kostum yang bergerak. Musik pengiring adalah elemen vital yang menyediakan ritme, suasana hati, dan isyarat untuk setiap gerakan. Orkestra Barongsai, yang sering disebut sebagai luó gǔ, umumnya terdiri dari tiga jenis instrumen utama, yang masing-masing memiliki peran unik dalam menentukan dinamika tarian. Keterampilan musisi dalam memainkan instrumen ini adalah setara dengan keterampilan penari itu sendiri.
Gendang besar (seringkali terbuat dari kulit sapi dan kayu) adalah konduktor utama orkestra. Pemain gendang (gǔ shī) tidak hanya menjaga tempo, tetapi juga memberikan isyarat kapan singa harus melompat, berhenti, atau mengubah ekspresi. Ritme gendang memiliki berbagai pola, mulai dari ritme yang cepat dan agresif (untuk pertempuran atau kemarahan singa) hingga ritme yang lambat dan berirama (untuk eksplorasi atau tidur singa). Seluruh pertunjukan Barongsai mengalir sesuai dengan ketukan dan intensitas gendang, menjadikannya suara yang paling dominan dan energik.
Simbal, yang dimainkan berpasangan, menambahkan tekstur sonik yang tajam dan dinamis. Simbal berfungsi sebagai penentu aksen dan emosi. Ketika Barongsai terkejut atau melompat, simbal akan menghasilkan suara tajam yang keras. Saat singa sedang membersihkan diri atau dalam keadaan tenang, simbal mungkin hanya menghasilkan suara gesekan atau ketukan ringan. Simbal dimainkan untuk menekankan momen-momen dramatis dan memastikan bahwa ritme yang dihasilkan oleh gendang tidak terasa monoton.
Gong memberikan resonansi yang mendalam dan spiritual pada musik. Bunyi gong, yang seringkali rendah dan bergetar, melambangkan kekuatan alam dan energi spiritual yang ditimbulkan oleh tarian. Gong biasanya dipukul pada awal setiap siklus ritmis dan berfungsi sebagai penanda transisi antara segmen tarian yang berbeda. Bersama-sama, trio instrumen ini menciptakan simfoni yang energik, yang memiliki dampak fisik yang kuat pada penonton, bahkan di tengah keramaian kota wisata.
Tarian Barongsai memerlukan koordinasi dan stamina yang luar biasa. Setiap singa diperankan oleh dua orang penari: penari kepala (yang mengendalikan ekspresi wajah dan gerakan tubuh atas) dan penari ekor (yang bertanggung jawab atas kekuatan dorongan, kelincahan, dan keseimbangan tubuh bagian belakang). Kedua penari ini harus bergerak seolah-olah mereka adalah satu entitas biologis—sebuah sinkronisasi yang dicapai melalui pelatihan bertahun-tahun dan pemahaman mendalam tentang karakter singa.
Gerakan dalam Barongsai tidak dilakukan secara acak; setiap langkah memiliki makna dan tujuan naratif. Tujuannya adalah menirukan perilaku singa dalam berbagai situasi, sekaligus melakukan ritual penolak bala:
Puncak dari setiap pertunjukan Barongsai, terutama di konteks komersial kota wisata, adalah ritual Choy Cheng (bahasa Hokkien: Cai Qing), yang berarti "memetik sayuran" atau "mengumpulkan hijau-hijauan". Sayuran yang dimaksud seringkali adalah selada (qing) yang digantung tinggi bersama dengan amplop merah berisi uang (angpao). Selada dan angpao ini sengaja digantung di tempat yang sulit dijangkau, memaksa singa untuk melakukan manuver yang rumit dan menantang.
Proses Choy Cheng bukan sekadar akrobatik. Singa harus menunjukkan keragu-raguan, rasa penasaran, perencanaan, dan akhirnya, keberanian untuk mencapai "makanan" tersebut. Keberhasilan singa dalam memetik selada melambangkan keberhasilan dan kemakmuran yang akan dibawa kepada tuan rumah atau bisnis yang mengundang mereka. Setelah berhasil mengambil angpao, singa akan "meludahkan" daun selada tersebut kepada penonton, melambangkan pembagian kemakmuran dan berkah kepada semua yang hadir.
Dalam Barongsai kontemporer, terutama yang ditampilkan di panggung-panggung besar di kota wisata, elemen akrobatik semakin ditingkatkan melalui penggunaan Jongs (tiang-tiang baja atau kayu). Penari kepala dan ekor harus melompat dari tiang ke tiang, yang tingginya bisa mencapai beberapa meter, sambil mempertahankan sinkronisasi tubuh singa. Teknik ini membutuhkan kekuatan inti, keseimbangan, dan kepercayaan mutlak antara dua penari.
Pertunjukan Jongs ini sangat diminati oleh audiens modern karena memberikan tingkat ketegangan dan drama yang tinggi. Keberhasilan dalam pertunjukan Jongs ini tidak hanya menunjukkan kehebatan fisik, tetapi juga kesatuan roh yang sempurna antara kedua pemain, mencerminkan harmoni yang dicari dalam filosofi Tionghoa.
Kedatangan Barongsai di Nusantara sejalan dengan gelombang migrasi Tionghoa selama berabad-abad. Namun, tidak seperti di Tiongkok, di Indonesia tarian ini mengalami pasang surut yang signifikan, terutama selama masa Orde Baru ketika segala bentuk ekspresi kebudayaan Tionghoa dilarang secara publik. Larangan ini memaksa Barongsai bersembunyi atau berasimilasi, hanya dimainkan secara tertutup di klenteng-klenteng atau dalam lingkup keluarga yang sangat terbatas.
Pencabutan larangan terhadap ekspresi kebudayaan Tionghoa pada awal abad ke-21 membuka kembali gerbang bagi Barongsai untuk tampil di ruang publik. Kebangkitan ini sangat dramatis, terutama di kota-kota yang mengandalkan pariwisata. Barongsai tidak hanya kembali sebagai tarian ritual, tetapi juga sebagai seni pertunjukan berkelas dunia. Pemerintah daerah di kota wisata menyadari bahwa Barongsai adalah aset budaya yang unik dan menarik, mampu menarik minat wisatawan yang mencari pengalaman otentik dan spektakuler.
Di kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan berbagai destinasi wisata di luar Jawa, Barongsai menjadi bagian tak terpisahkan dari festival budaya, peresmian mal, dan bahkan upacara pernikahan besar. Transformasi ini mengubah Barongsai dari sekadar ritual etnis menjadi ikon multikultural, yang dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terlepas dari latar belakang etnis mereka.
Kota wisata memanfaatkan Barongsai dalam beberapa cara strategis:
Gendang, gong, dan simbal adalah trio yang menentukan ritme dan emosi tarian Barongsai.
Di balik gemerlap kostum dan sorakan penonton di kota wisata, terdapat kerja keras dan disiplin yang tak terhitung dari para pemain Barongsai. Pelatihan untuk menjadi penari Barongsai, terutama pada level kompetisi yang melibatkan Jongs, setara dengan pelatihan atletik profesional. Kelompok-kelompok Barongsai modern sering kali dikelola seperti sanggar seni bela diri, dengan fokus pada kedisiplinan, rasa hormat, dan teknik fisik yang mumpuni.
Penari kepala dan ekor harus memiliki stamina kardio yang luar biasa, fleksibilitas untuk jongkok dan melompat, serta kekuatan otot yang signifikan—terutama di kaki dan punggung. Penari kepala, yang harus menopang kepala Barongsai (yang bisa berbobot 5–15 kg) sambil melakukan gerakan akrobatik dan mengendalikan ekspresi, menghadapi tantangan berat. Latihan rutin mencakup latihan kung fu dasar, latihan beban, dan yang paling penting, latihan sinkronisasi gerakan yang intensif dan berulang-ulang.
Selain kekuatan fisik, diperlukan juga disiplin mental. Barongsai adalah bentuk seni yang sangat rawan cedera, terutama saat melakukan lompatan di atas Jongs. Kepercayaan antara penari kepala dan ekor adalah pondasi utama. Hanya dengan kepercayaan penuh, mereka dapat melakukan manuver yang berisiko tinggi tanpa ragu, menunjukkan kekompakan yang sempurna di hadapan ribuan penonton.
Warisan Barongsai di Indonesia dijaga oleh para guru (shifu) yang berperan penting dalam meneruskan teknik dan filosofi tarian. Di banyak kota wisata, kelompok Barongsai bukan hanya tempat latihan, tetapi juga pusat komunitas yang menyediakan struktur dan bimbingan bagi kaum muda. Proses pewarisan ini memastikan bahwa Barongsai tidak hanya dipandang sebagai olahraga atau tontonan semata, tetapi juga sebagai penghormatan terhadap leluhur dan nilai-nilai budaya yang melekat padanya, seperti kesetiaan, keberanian, dan kerja sama tim.
Bagian terdalam dari Barongsai adalah kemampuannya menceritakan kisah tanpa menggunakan kata-kata, semata-mata melalui pergerakan singa. Singa adalah makhluk mitologis yang membawa seluruh spektrum emosi manusia. Penari yang mahir mampu menghadirkan narasi yang kompleks hanya dengan menggerakkan mata, telinga, atau bibir singa.
Mata adalah jendela jiwa singa. Melalui tali atau tuas, penari kepala dapat membuat mata berkedip cepat (menunjukkan kegugupan atau kegembiraan), berkedip lambat (menunjukkan kehati-hatian), atau menatap tajam (menunjukkan kemarahan atau kewaspadaan). Telinga, yang sering kali dapat digoyangkan atau ditarik ke belakang, juga berfungsi sebagai indikator suasana hati. Telinga yang terkulai menunjukkan kesedihan atau ketakutan, sementara telinga yang berdiri tegak menunjukkan kewaspadaan atau agresivitas. Demikian pula dengan bibir atau rahang yang dapat membuka lebar untuk "menggeram" atau menutup rapat saat tenang.
Kemahiran dalam pengendalian ekspresi ini sering kali diuji dalam adegan "berinteraksi dengan hantu" (jika ada) atau saat mendekati angpao yang sulit. Singa mungkin tampak gugup pada awalnya, matanya berkedip cepat saat mengamati lingkungan yang asing, dan kemudian berubah menjadi penuh tekad saat ia memutuskan untuk melompat. Detail-detail kecil ini memisahkan pertunjukan yang baik dari pertunjukan yang luar biasa, menjadikannya pengalaman yang imersif bagi para wisatawan.
Meskipun penari kepala mendapatkan sebagian besar perhatian, peran penari ekor sama pentingnya. Ekor singa berfungsi sebagai stabilisator dan perpanjangan emosi singa. Jika penari kepala ingin menunjukkan singa yang bersemangat, penari ekor harus mengayunkan kain tubuh dengan cepat, menciptakan ilusi energi yang bergelombang. Ketika singa marah, ekor harus bergerak kaku dan agresif. Sinkronisasi keduanya sangat krusial; jika penari ekor bergerak terlalu lambat saat penari kepala melompat, keseluruhan ilusi akan hancur dan berpotensi menyebabkan kecelakaan.
Penari ekor juga bertanggung jawab penuh atas manuver fisik saat singa berdiri tegak di atas bahu penari kepala (teknik yang dikenal sebagai "keseimbangan langit"). Dalam posisi ini, seluruh berat kepala dan penari kepala berada di atas penari ekor, menuntut kekuatan luar biasa dan fokus yang tak tergoyahkan. Keberhasilan dalam manuver ini adalah simbol kekuatan dan ketangkasan tim Barongsai.
Di kota wisata modern, Barongsai terus berinovasi untuk mempertahankan relevansinya dan daya tariknya. Meskipun tradisi inti dipertahankan, elemen-elemen baru sering kali dimasukkan untuk memberikan kejutan dan kesenangan bagi audiens internasional yang semakin beragam. Inovasi ini sering melibatkan teknologi dan integrasi dengan bentuk seni lainnya.
Beberapa kelompok Barongsai di kota wisata besar kini menggunakan teknologi LED pada kostum mereka. Barongsai LED (disebut juga Glow Lion Dance) memungkinkan pertunjukan yang dramatis di malam hari atau di dalam ruangan gelap. Lampu LED yang dipasang di sepanjang kepala, mata, dan tubuh singa dapat diatur untuk berkedip sesuai ritme musik, menciptakan efek futuristik yang tidak mengurangi keindahan tarian tradisional, melainkan memperkuat aura magisnya. Penggunaan efek kabut asap dan proyektor laser juga menjadi pemandangan umum dalam pertunjukan Barongsai berkelas pariwisata.
Untuk menarik audiens yang lebih luas, terutama di lingkungan multikultural kota wisata, Barongsai sering berkolaborasi dengan tarian tradisional Indonesia atau seni pertunjukan modern lainnya. Misalnya, Barongsai mungkin tampil diiringi musik gamelan Jawa, atau bahkan berintegrasi dengan tarian kontemporer yang menggabungkan elemen akrobatik dari tarian singa dengan narasi lokal. Kolaborasi semacam ini menunjukkan fleksibilitas budaya Barongsai dan kemauan komunitas untuk berdialog dengan budaya lain, memperkuat citra Indonesia sebagai negara yang harmonis.
Di mata dunia, Barongsai telah berevolusi menjadi olahraga kompetitif yang diatur oleh standar internasional, khususnya dalam kategori Jongs (tiang). Kompetisi ini menuntut presisi, waktu, dan akrobatik yang ekstrem. Keberhasilan tim Indonesia di kancah internasional (seperti Kejuaraan Dunia Tarian Singa) telah meningkatkan profil Barongsai, mengubahnya dari sekadar ritual menjadi kebanggaan nasional. Kualitas kompetitif ini semakin meningkatkan daya tarik pertunjukan Barongsai di kota wisata, karena penonton tahu bahwa mereka menyaksikan puncak dari keahlian fisik dan artistik.
Meskipun Barongsai telah sukses menjadi ikon pariwisata, pelestariannya menghadapi beberapa tantangan serius, terutama dalam konteks komersial yang serba cepat.
Pembuatan dan pemeliharaan Barongsai yang berkualitas tinggi sangat mahal. Kepala singa yang dibuat dengan tangan oleh pengrajin ahli dapat berharga jutaan rupiah, dan kostum harus diganti secara berkala karena intensitas latihan dan pertunjukan. Selain itu, pelatihan akrobatik membutuhkan fasilitas yang aman dan pelatih yang berdedikasi. Di kota wisata, kelompok Barongsai sering kali harus menyeimbangkan antara mempertahankan kualitas artistik tradisional dan memenuhi permintaan komersial yang mengutamakan kecepatan dan profit. Ketergantungan pada pendapatan dari pertunjukan komersial bisa mengaburkan nilai spiritual asli tarian jika tidak dikelola dengan bijak.
Mencari dan melatih generasi muda yang berkomitmen untuk seni yang menuntut fisik dan disiplin tinggi ini merupakan tantangan berkelanjutan. Di era digital, kaum muda di kota wisata memiliki banyak pilihan hobi dan kegiatan. Kelompok Barongsai harus bekerja keras untuk membuat tarian ini tetap menarik bagi mereka, sering kali dengan menyoroti elemen olahraga dan persaudaraan tim.
Terdapat diskusi yang berkelanjutan di kalangan komunitas Barongsai mengenai sejauh mana inovasi boleh dilakukan. Di satu sisi, modernisasi (seperti LED dan musik fusion) menarik perhatian wisatawan. Di sisi lain, puritan berpendapat bahwa perubahan yang terlalu ekstrem dapat menghilangkan makna filosofis dan spiritual yang mendalam dari tarian tersebut. Menemukan keseimbangan antara mempertahankan ritme gendang yang otentik dan memasukkan elemen kontemporer adalah seni pelestarian itu sendiri.
Kehadiran Barongsai di kota wisata Indonesia menunjukkan bahwa warisan budaya dapat bertahan dan berkembang dalam lingkungan modern yang dinamis. Proyeksi masa depan Barongsai terlihat cerah, asalkan upaya pelestarian terus difokuskan pada tiga pilar utama: edukasi, inovasi, dan kolaborasi.
Barongsai harus semakin diintegrasikan ke dalam kurikulum budaya dan acara publik, bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai pelajaran sejarah hidup. Kota wisata memiliki peran unik untuk menyediakan ruang bagi pertunjukan dan workshop Barongsai yang interaktif, di mana turis dapat belajar tentang makna filosofis di balik gerakan dan alat musik. Dengan meningkatkan pemahaman publik, nilai Barongsai akan semakin dihargai, jauh melampaui citranya sebagai 'tarian singa'.
Barongsai di kota wisata adalah duta besar budaya yang efektif. Tarian ini melintasi batas bahasa dan etnis, menyampaikan pesan universal tentang keberanian, kemakmuran, dan harapan. Dengan terus mempromosikan Barongsai sebagai bagian integral dari paket pariwisata Indonesia, pemerintah daerah dapat menggunakan seni ini sebagai alat diplomasi budaya, mempererat hubungan dengan Tiongkok dan menarik perhatian global pada kekayaan multikultural Indonesia.
Pada akhirnya, masa depan Barongsai terletak pada keberlanjutan komunitas yang melestarikannya. Dukungan finansial, pengakuan resmi, dan dukungan media sangat penting untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok Barongsai di kota wisata dapat terus melatih anggota baru, membeli peralatan berkualitas tinggi, dan terus berinovasi tanpa mengorbankan inti spiritual dari tarian singa yang megah ini. Dengan demikian, Barongsai akan terus meraung, membawa berkah dan keajaiban, dari generasi ke generasi, di tengah gemerlapnya pusat-pusat pariwisata modern.
Transformasi Barongsai dari ritual sakral menjadi atraksi wisata yang populer adalah kisah sukses budaya yang luar biasa di Indonesia. Di setiap Kota Wisata, tarian singa ini bukan hanya sekedar pertunjukan, tetapi manifestasi hidup dari semangat adaptasi, ketahanan, dan harmoni budaya Tionghoa-Indonesia yang tak lekang oleh waktu, menjadi pengingat yang bersemangat bahwa tradisi kuno memiliki tempat yang berharga di dunia yang terus berubah dan bergerak cepat.
Ritme gendang yang keras dan gerakan singa yang lincah akan terus memecah keheningan di jalan-jalan kota, mengundang semua orang untuk menyaksikan keajaiban spiritual dan kehebatan akrobatik. Barongsai adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, menyajikan keindahan warisan yang memukau mata dan memperkaya jiwa setiap pengunjung Kota Wisata.