Kesenian Barongsai, atau Tarian Singa, di wilayah Cirebon bukanlah sekadar tontonan musiman yang hadir saat perayaan Imlek atau Cap Go Meh. Ia adalah manifestasi hidup dari sejarah panjang akulturasi, percampuran budaya Tionghoa, Jawa, dan Sunda, yang telah membentuk identitas pesisir Cirebon sebagai salah satu pusat perdagangan dan pertemuan kultural terpenting di Nusantara. Keunikan Barongsai Cirebon terletak pada kemampuannya menyerap kearifan lokal tanpa kehilangan esensi tradisi asalnya, menciptakan sebuah sintesis artistik yang kaya makna dan dinamis.
Cirebon, sebagai kota pelabuhan yang strategis sejak era Kesultanan, menjadi gerbang masuknya berbagai pengaruh, termasuk budaya Tionghoa yang dibawa oleh para pedagang dan imigran. Kesenian Barongsai tidak hanya dibawa sebagai ritual keagamaan atau hiburan etnis, melainkan diadaptasi menjadi bagian integral dari kehidupan sosial, bahkan seringkali berinteraksi dengan kesenian lokal seperti Tarling atau kesenian dari keraton-keraton setempat.
Memahami Barongsai Cirebon berarti menyelami lebih jauh dari sekadar gerakan akrobatik yang energik. Ini adalah penelusuran terhadap filosofi keberuntungan, penolak bala, dan semangat persatuan yang terkandung dalam setiap kibasan kepala singa, setiap dentuman drum, dan setiap langkah penari yang lincah. Seni ini merekam jejak migrasi, perjuangan, dan penerimaan yang telah berlangsung selama berabad-abad di tanah pesisir Utara Jawa Barat.
Sejarah Barongsai di Cirebon tidak dapat dipisahkan dari sejarah Pelabuhan Cirebon (Pelabuhan Muara Jati) itu sendiri. Sejak abad ke-15, Cirebon telah menjadi persinggahan penting bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru Asia, termasuk dari Tiongkok Selatan, khususnya Fukien (Hokkien) dan Kanton (Guangdong). Para pedagang dan perantau Tionghoa membawa serta tradisi mereka, termasuk praktik ritual tarian singa untuk merayakan festival besar dan mendoakan keselamatan dalam perjalanan.
Pada awalnya, pertunjukan Barongsai mungkin terbatas pada komunitas Tionghoa di sekitar pecinan dan klenteng, seperti di Vihara Dewi Welas Asih. Namun, sifat seni pertunjukan yang meriah dan atraktif, ditambah dengan simbolisme keberuntungan yang universal, membuat kesenian ini segera menarik perhatian masyarakat pribumi. Kedekatan budaya pesisir yang terbuka terhadap pengaruh luar mempercepat proses integrasi.
Integrasi ini diperkuat oleh patronase dari kalangan bangsawan atau pejabat lokal yang melihat Barongsai sebagai simbol kemakmuran dan persahabatan antar etnis. Bukti awal akulturasi terlihat dari penggunaan beberapa motif batik Cirebon yang menunjukkan pengaruh Tionghoa, serta arsitektur klenteng yang berpadu dengan unsur-unsur Jawa-Sunda. Barongsai, sebagai bagian dari warisan budaya yang dipertunjukkan di ruang publik, menjadi duta akulturasi yang paling terlihat.
Secara umum, Barongsai yang berkembang di Cirebon cenderung mengadopsi gaya Selatan atau Nan Pai (terutama sub-gaya Hokkien atau Kanton) dibandingkan dengan gaya Utara (Bei Pai). Ciri khas Nan Pai yang menonjol adalah kepala singa yang memiliki tanduk tunggal, mata besar yang dapat berkedip, mulut yang bisa dibuka lebar, dan jubah yang penuh warna cerah. Gerakannya menekankan pada kekuatan, kelincahan, dan ekspresi emosional singa, seperti saat singa tidur, membersihkan diri, atau berburu makanan (memetik sayur/Ching Cai).
Adaptasi di Cirebon melibatkan penyesuaian irama musik pengiring. Meskipun instrumen dasarnya tetap gong, simbal, dan drum besar (taiko atau da gu), ritme yang dimainkan terkadang disesuaikan dengan tempo yang lebih dikenal oleh telinga lokal, bahkan dalam beberapa kelompok, ada eksplorasi ritme yang mendekati irama gamelan Cirebon yang dinamis dan bersemangat, menciptakan suasana yang berbeda dari pertunjukan di wilayah lain.
Representasi visual kepala Barongsai gaya Selatan (Nan Pai) yang dominan di Cirebon, dikenal karena ekspresinya yang dinamis dan mata yang bisa berkedip.
Barongsai jauh melampaui sekadar pertunjukan seni bela diri atau tari. Dalam konteks budaya Tionghoa, singa adalah makhluk mitologis yang membawa keberuntungan (Hokkie), kemakmuran, dan perlindungan dari roh jahat atau nasib buruk (Tolak Bala). Simbolisme ini dipegang teguh oleh komunitas di Cirebon, menjadikan Barongsai sebagai ritual penting dalam siklus kehidupan dan perayaan.
Setiap Barongsai memiliki warna dominan yang bukan hanya estetika, tetapi mengandung makna filosofis:
Di Cirebon, seringkali singa merah dan kuning menjadi yang paling populer, mencerminkan semangat perdagangan dan harapan akan kemakmuran yang selalu menjadi ciri khas kota pelabuhan ini. Ekspresi wajah Barongsai, yang berubah dari ganas menjadi lucu atau penasaran, menggambarkan dualisme kehidupan dan kemampuan singa untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, sebuah metafora yang sangat relevan bagi komunitas perantau.
Ritual inti dalam setiap pertunjukan Barongsai adalah Ching Cai (atau Cai Qing), yang secara harfiah berarti 'memetik sayur' (biasanya selada air atau daun sawi) yang digantung bersama angpau (amplop merah berisi uang). Ritual ini adalah puncak pertunjukan dan mengandung makna mendalam:
Dalam konteks Cirebon, Ching Cai seringkali dipadukan dengan penghormatan terhadap Dewa Bumi lokal atau penguasa keraton, menunjukkan adaptasi ritual Tionghoa ke dalam kerangka penghormatan budaya Jawa-Sunda.
Pertunjukan Barongsai Cirebon, meskipun berakar pada teknik Nan Pai, telah diperkaya dengan interpretasi lokal, terutama dalam hal kecepatan dan transisi gerakan. Barongsai membutuhkan dua penari: penari kepala (yang mengendalikan ekspresi wajah, telinga, dan mata) dan penari ekor (yang memberikan kekuatan pada postur dan pergerakan badan).
Gerakan dalam Barongsai tidak dilakukan secara acak, melainkan mengikuti pola yang sangat disiplin dan diatur oleh irama musik. Kunci keberhasilan terletak pada sinkronisasi sempurna antara kedua penari (kepala dan ekor) yang harus bergerak seolah-olah mereka adalah satu entitas.
1. Sikap Hormat (Salam Perkenalan): Setiap pertunjukan dimulai dengan salam, yang menunjukkan singa menghormati tempat dan tuan rumah. Gerakan ini lambat, anggun, dan sering kali melibatkan tiga kali anggukan kepala yang dalam.
2. Sikap Tidur dan Bangun (Sleeping and Awakening): Gerakan yang sangat penting secara filosofis. Singa muncul dari keadaan tidur, yang melambangkan keheningan dan persiapan spiritual. Proses bangun dilakukan perlahan, mulai dari menggeliat, membersihkan diri (menggaruk telinga), hingga akhirnya membuka mata lebar-lebar, siap menghadapi dunia. Di Cirebon, momen kebangkitan ini sering diiringi oleh pukulan drum yang meningkat intensitasnya, dari pelan menjadi tiba-tiba meledak.
3. Sikap Ganas dan Penaklukan: Gerakan cepat, melompat, dan mengaum (melalui penari kepala yang menggerakkan mulut). Ini dilakukan saat singa menghadapi 'rintangan' atau saat memasuki area yang harus 'dibersihkan' dari roh jahat. Penggunaan *kuda-kuda* rendah dan pukulan kaki yang kuat adalah ciri khasnya.
Musik adalah elemen krusial; ia adalah jiwa dan komando bagi para penari. Tanpa irama yang tepat, singa tidak dapat bergerak. Orkestra Barongsai (Wushi) biasanya terdiri dari:
Pola Irama Khas Cirebon: Meskipun mengadopsi pola dasar Nan Pai (seperti 'Tujuh Bintang' atau 'Tiga Bintang'), kelompok Barongsai di Cirebon sering menggunakan variasi tempo yang lebih kaya, terkadang memasukkan jeda yang dramatis, mengingatkan pada irama kendang pencak atau jipeng lokal. Pengaturan kecepatan ini sangat dipengaruhi oleh suasana hati penonton dan lingkungan pesisir yang cenderung ceria dan terbuka.
Musisi Barongsai, penentu tempo dan jiwa pertunjukan, memainkan peran vital dalam sinkronisasi gerakan singa.
Proses akulturasi Barongsai di Cirebon adalah contoh nyata dari keharmonisan budaya yang tidak memaksa. Kesenian ini tidak hanya diterima, tetapi juga diperkaya oleh unsur-unsur lokal. Hubungan erat ini terbentuk karena kesamaan fungsi ritual dan sosial.
Di masa lalu, dan bahkan hingga hari ini, Barongsai sering diundang untuk mengisi acara-acara yang sepenuhnya bersifat pribumi, seperti pernikahan, sunatan, atau peresmian bangunan. Kehadiran singa dipercaya memberikan aura kemakmuran dan mengusir roh jahat, fungsi yang selaras dengan kepercayaan tradisional Jawa-Sunda mengenai keselamatan (slametan).
Salah satu wujud akulturasi yang paling menarik adalah perpaduan kostum. Meskipun kepala singa mempertahankan desain Tionghoa, beberapa kelompok di Cirebon diketahui menambahkan ornamen lokal pada jubah ekor singa atau pada pakaian penari yang terlihat (seperti penggunaan batik Cirebon, khususnya motif Mega Mendung, pada unsur-unsur visual yang mengiringi pertunjukan). Ini menunjukkan identitas ganda yang bangga.
Cirebon memiliki warisan keraton (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, Keprabon). Barongsai memiliki peran unik dalam menghormati struktur kekuasaan ini. Kelompok Barongsai sering diundang untuk tampil di area keraton saat festival besar, sebuah kehormatan yang menegaskan penerimaan seni ini sebagai bagian dari khazanah budaya Cirebon, bukan hanya milik satu etnis saja.
Selain itu, adaptasi Barongsai Cirebon juga terlihat pada bagaimana Barongsai berinteraksi dengan kesenian rakyat lain di panggung. Tidak jarang ditemukan Barongsai tampil berdampingan dengan Sisingaan (kuda lumping ala Sunda yang juga melambangkan singa) atau berinteraksi dengan penari Topeng Cirebon, menciptakan dialog visual yang unik antara singa dari Timur dan singa dari Barat (lokal).
Meskipun aba-aba dan istilah teknis dalam Barongsai masih menggunakan bahasa Tiongkok (seperti *ching cai*, *hoi*), interaksi antara kelompok Barongsai dan penonton di Cirebon sepenuhnya menggunakan bahasa Cirebon (dialek Jawa atau Sunda), menunjukkan kedekatan dan keakraban yang telah terjalin. Humor dan improvisasi yang dilemparkan oleh penari atau pemain musik seringkali menggunakan idiom lokal, menjadikan Barongsai relevan dan lucu bagi audiens Cirebon.
Untuk mencapai durasi pertunjukan yang prima dan menjaga makna filosofis, Barongsai harus dirawat dengan teliti. Proses pembuatan dan pemeliharaan kostum, khususnya kepala singa, adalah sebuah seni tersendiri yang membutuhkan dedikasi dan keterampilan turun-temurun. Di Cirebon, beberapa perajin lokal yang memahami teknik pembuatan kepala singa telah muncul, seringkali mengadaptasi bahan lokal untuk daya tahan di iklim tropis.
Kepala singa Barongsai umumnya dibuat dari rangka bambu atau rotan yang fleksibel, tetapi kuat. Rangka ini harus ringan karena harus diangkat dan digerakkan dengan cepat oleh penari kepala. Setelah rangka terbentuk, ia dilapisi dengan kertas khusus (kertas emas atau kertas tebal) dan dicat dengan pigmen cerah. Detail yang sangat ditekankan pada kepala singa Cirebon meliputi:
Perawatan kepala singa sangat penting. Kepala yang rusak atau kusam dianggap mengurangi kekuatan spiritualnya. Secara tradisional, sebelum kepala singa baru dapat digunakan, ia harus menjalani upacara 'Menghidupkan Singa' (Kaiguang), di mana mata dan anggota tubuhnya 'dibuka' dengan kuas yang dicelupkan ke tinta merah, sebuah ritual yang menghubungkan kostum fisik dengan roh penjaga keberuntungan.
Jubah ekor Barongsai, yang menutupi penari ekor dan badan singa, biasanya terbuat dari kain sutra atau satin tebal yang dihiasi dengan sisik payet, bulu, dan beludru. Karena iklim Cirebon yang lembap, perawatan jubah sangat intensif. Jubah harus sering dijemur (tetapi tidak di bawah sinar matahari langsung yang dapat memudarkan warna) dan diperiksa dari kerusakan akibat kelembaban atau serangga.
Penggunaan payet emas dan perak pada jubah Barongsai Cirebon seringkali sangat padat, memberikan efek visual gemerlap saat singa bergerak di bawah cahaya. Desain motif pada sisik-sisik ini terkadang menunjukkan adaptasi, misalnya dengan sisik yang menyerupai pola awan seperti pada batik Mega Mendung, meskipun disajikan dalam gaya Tionghoa klasik. Hal ini adalah salah satu bukti tak terucapkan dari akulturasi visual yang terjadi.
Dalam masyarakat Cirebon yang multikultural, Barongsai berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai lapisan etnis. Di luar perayaan Imlek, kelompok Barongsai sering berpartisipasi dalam festival kota, acara promosi pariwisata, hingga kegiatan sosial amal, menanggalkan label etnis dan merangkul identitas Cirebon secara keseluruhan.
Salah satu perkembangan paling signifikan dalam sejarah Barongsai Cirebon pasca-reformasi adalah partisipasi non-Tionghoa dalam kelompok Barongsai. Kini, banyak penari, musisi, dan pelatih berasal dari etnis Jawa atau Sunda. Fenomena ini menunjukkan keberhasilan Barongsai sebagai seni pertunjukan yang diterima secara luas, tidak lagi eksklusif. Mereka yang terlibat belajar tidak hanya teknik, tetapi juga filosofi Tionghoa yang mendasarinya, menciptakan pemahaman budaya yang lebih dalam.
Pelatihan Barongsai di Cirebon seringkali dilakukan di ruang terbuka atau lapangan, menjadikannya tontonan publik bahkan selama latihan. Kedisiplinan fisik yang tinggi dan tuntutan sinkronisasi gerakan menjadi pelajaran berharga bagi para pemuda yang terlibat, membentuk karakter yang kuat dan kemampuan kerja tim yang solid.
Pelestarian Barongsai menghadapi tantangan modern. Tantangan utama meliputi:
Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa kelompok Barongsai di Cirebon mulai berkolaborasi dengan lembaga pendidikan dan pemerintah daerah untuk mengadakan festival dan lokakarya reguler. Penggunaan media sosial dan platform digital juga dimanfaatkan untuk mendokumentasikan dan mempromosikan keindahan Barongsai Cirebon ke khalayak yang lebih luas, memastikan warisan ini terus hidup dan relevan.
Musikalitas Barongsai di Cirebon (sering disebut sebagai 'Simfoni Lima Instrumen', meskipun kadang hanya tiga yang dominan) memiliki kompleksitas ritmik yang memerlukan analisis khusus untuk mencapai kedalaman kata yang diperlukan, sekaligus menyoroti keunikan lokal. Ritme bukan sekadar pengiring; ia adalah narasi emosional singa.
Seorang penabuh drum Barongsai harus mahir dalam setidaknya sepuluh pola dasar yang mengindikasikan gerakan spesifik singa. Di Cirebon, pola dasar sering dimodifikasi dengan akselerasi mendadak. Misalnya, pola "Tiga Bintang Mengambil Makanan" (San Xing Shi) biasanya dimainkan dalam tempo sedang, tetapi ketika singa Cirebon berada di puncak tiang atau akan mengambil 'Cai Qing', tempo bisa meningkat drastis hingga 180 beat per menit, meniru detak jantung singa yang bersemangat.
Terdapat pola ritmik yang dikenal sebagai **Pola Sambutan Cepat Cirebon**. Pola ini menggunakan kombinasi pukulan rim drum (pukulan di tepi) yang cepat dan pukulan tengah yang keras, menciptakan suara yang sangat nyaring dan meriah, digunakan khusus saat Barongsai diundang masuk ke area kompleks klenteng atau rumah ibadah yang padat. Ritme ini memiliki daya tarik yang sangat kuat, sering kali membuat penonton tanpa sadar ikut bergoyang mengikuti alunan musik yang energik.
Luo (gong) dan Bo (simbal) berfungsi sebagai penanda koma, titik, dan seruan dalam kalimat musik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa fondasi Barongsai adalah seni bela diri (Kungfu). Para penari Barongsai harus memiliki latar belakang yang kuat dalam *kuda-kuda* dan teknik pernapasan. Di Cirebon, beberapa kelompok Barongsai berafiliasi dengan perguruan bela diri lokal yang mengajarkan Kungfu tradisional yang sudah beradaptasi dengan aliran lokal. Hal ini menghasilkan gaya Barongsai yang sangat stabil saat berada di ketinggian (tiang) dan memiliki kekuatan kaki yang mengagumkan, sebuah ciri khas yang membedakannya dari gaya Barongsai yang lebih mengutamakan kelucuan.
Gerakan *mencari kutu* atau *menggaruk* singa yang biasanya terlihat lembut, diinterpretasikan oleh penari Cirebon dengan sentuhan sedikit agresif dan terukur, menunjukkan bahwa bahkan dalam keadaan santai, singa tetap waspada. Ini adalah cerminan dari filosofi bela diri Tionghoa-Nusantara: kekuatan yang terkontrol.
Meskipun Barongsai Selatan secara tradisional lebih fokus pada permainan lantai dan interaksi Ching Cai, banyak kelompok Barongsai Cirebon yang terinspirasi oleh kompetisi modern telah mengadopsi dan menguasai teknik permainan tiang (*Gao Zhuang*). Permainan tiang adalah puncak tantangan fisik dan sinkronisasi, di mana singa melompat dari tiang ke tiang dengan ketinggian hingga 3 meter atau lebih.
Permainan tiang menuntut penari kepala dan penari ekor memiliki pusat gravitasi yang sinkron. Penari kepala harus memiliki kekuatan inti yang luar biasa untuk menahan posisi, sementara penari ekor harus menyediakan platform stabil. Dalam konteks Cirebon, karena banyak penari yang berlatar belakang silat atau kungfu lokal, mereka memiliki keunggulan dalam menjaga *kuda-kuda* yang sangat rendah dan kuat saat berada di tiang. Beberapa kelompok bahkan mempraktikkan "Tiang Tunggal Cirebon," di mana singa harus menstabilkan diri hanya pada satu tiang sebelum melompat ke tiang lain, menuntut konsentrasi yang ekstrem.
Lompatan paling ikonik, 'Lompatan Kematian' (Tiao Yue Si Wang), adalah lompatan jarak jauh dari tiang tinggi ke tiang yang lebih rendah. Sebelum lompatan, penari kepala harus melakukan ritual mengaum dan melihat sekeliling, diikuti oleh *Da Gu* yang dimainkan dengan ritme ledakan cepat. Suksesnya lompatan ini tidak hanya mengundang decak kagum, tetapi secara simbolis melambangkan keberhasilan singa dalam mengatasi rintangan paling sulit demi mendapatkan keberuntungan.
Penari ekor (Hou Tui) memainkan peran yang sangat krusial dalam permainan tiang, sering kali lebih penting daripada penari kepala dalam menjaga keselamatan. Tugasnya meliputi:
Di Cirebon, penari ekor dari kelompok-kelompok yang berprestasi sering melatih ketahanan otot paha dan betis dengan teknik latihan yang terinspirasi dari gerakan *kuda-kuda* silat yang berkepanjangan, memberikan fondasi yang kuat bagi gerakan akrobatik yang membutuhkan stamina tinggi. Aspek fisik yang ekstrim ini menjadikan Barongsai, terutama *Gao Zhuang*, sebagai olahraga sekaligus seni yang dihormati.
Kekayaan budaya Cirebon tidak lepas dari warisan batiknya yang terkenal, terutama motif Mega Mendung (awan bergumpal) dan Wadasan (batu karang). Dalam upaya pelestarian dan penekanan identitas lokal, terjadi sinergi visual antara Barongsai dan seni Batik Cirebon.
Motif Mega Mendung, yang melambangkan kesuburan, kedamaian, dan harapan, adalah motif Tionghoa yang diadaptasi secara sempurna oleh budaya Cirebon. Secara simbolis, awan yang membawa hujan melambangkan rezeki. Beberapa sanggar Barongsai di Cirebon mulai berkolaborasi dengan perajin batik untuk mengaplikasikan motif Mega Mendung pada:
Integrasi visual ini adalah langkah sadar untuk memperkuat narasi akulturasi. Barongsai tidak lagi hanya dipandang sebagai budaya impor, melainkan sebagai produk budaya Cirebon yang kaya dan multietnis, sejajar dengan Topeng atau Tarling.
Selain integrasi pada kostum pertunjukan, Barongsai sering dijadikan objek utama dalam lukisan dan seni rupa Cirebon. Seniman lokal melukis adegan Barongsai berlatar belakang Keraton atau Vihara Dewi Welas Asih, mengabadikan momen sinergis ini. Representasi artistik ini membantu mematrikan Barongsai ke dalam memori kolektif masyarakat Cirebon sebagai ikon kebersamaan dan festival yang penuh warna.
Meskipun Barongsai tampil sepanjang tahun, puncak kegiatannya terjadi selama perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh (hari ke-15 setelah Imlek). Di Cirebon, perayaan ini memiliki nuansa yang sangat khusus karena melibatkan seluruh elemen kota, dari pecinan hingga alun-alun utama.
Perayaan dimulai dengan ritual sembahyang di Vihara-vihara dan Klenteng tua. Barongsai memiliki peran ritual yang sakral, membersihkan area klenteng dan membawa persembahan. Setelah ritual, dimulailah pawai akbar yang menjadi daya tarik utama.
Pawai Barongsai di Cirebon biasanya sangat panjang, melibatkan puluhan kelompok dari berbagai sanggar, yang tidak hanya menampilkan Barongsai, tetapi juga Liongbang (Tari Naga), Kesenian Tionghoa lainnya, dan iringan dari kesenian lokal Cirebon. Pawai ini adalah momen paling jelas di mana Barongsai berinteraksi langsung dengan masyarakat luas. Rute pawai yang melintasi pusat kota, pasar, hingga pemukiman padat menciptakan suasana festival yang meriah dan terbuka bagi siapa saja.
Selama periode Imlek, kelompok Barongsai melakukan tradisi kunjungan ke rumah-rumah (terutama rumah Tionghoa, tetapi sering juga rumah pengusaha atau tokoh masyarakat Cirebon dari etnis lain) yang dikenal sebagai 'Kunjungan Hokkie'. Singa memasuki rumah, menari di ruang tamu, dan melakukan ritual Ching Cai di ambang pintu.
Tradisi ini sangat dihargai karena dipercaya membawa keberuntungan maksimal selama setahun penuh. Keunikan di Cirebon, interaksi ini sering kali diakhiri dengan pertukaran makanan khas Cirebon (seperti Nasi Jamblang atau Empal Gentong) antara kelompok Barongsai dan tuan rumah, melambangkan kehangatan dan rasa persaudaraan yang melampaui batas etnis.
Sebagian besar kelompok Barongsai di Cirebon beroperasi atas dasar sukarela atau non-profit, memandang pertunjukan mereka sebagai pelayanan budaya dan sosial. Mereka berdedikasi untuk menjaga tradisi ini tetap hidup dan dapat diakses oleh semua kalangan, menegaskan peran Barongsai sebagai aset budaya komunal Cirebon yang harus dijaga bersama.
Barongsai di Cirebon adalah kisah abadi tentang adaptasi dan penerimaan. Ia bukan lagi sekadar tarian singa dari negeri seberang, melainkan sebuah pusaka budaya yang telah diolah, dibentuk, dan diresapi oleh semangat pesisir Cirebon yang terbuka, dinamis, dan bersahabat. Setiap gerakan lincah, setiap dentuman drum, dan setiap ornamen pada kostumnya adalah rekaman sejarah yang kompleks, menceritakan perjalanan panjang akulturasi antara Tionghoa, Jawa, dan Sunda.
Warisan ini, yang terus dipelihara melalui dedikasi generasi muda yang lintas etnis, menjamin bahwa Barongsai Cirebon akan terus menjadi simbol harapan, keberanian, dan yang terpenting, simbol kebhinekaan yang menyatukan masyarakat di bawah satu atap kebudayaan Nusantara yang megah. Melalui penampilan yang penuh energi, Barongsai Cirebon akan terus mengaumkan semangat kemakmuran bagi seluruh penduduk kota udang tersebut.