Tradisi Singa Yang Melahap Berkah: Mendalami Filosofi Gerak dan Simbol Kemakmuran
Barongsai, atau Tarian Singa, adalah salah satu warisan budaya Tionghoa yang paling dinamis dan memesona, diakui secara global sebagai simbol perayaan, keberanian, dan pengusiran roh jahat. Namun, di antara berbagai variasi tarian singa yang ada, konsep Barongsai Caplokan menawarkan dimensi interaktif dan ritual yang sangat spesifik, terutama di konteks perayaan Imlek dan festival penting lainnya. Istilah "Caplokan" dalam bahasa Indonesia merujuk pada aksi melahap, menggigit, atau menyambar, dan inilah inti dari pertunjukan ini: Singa tersebut tampil untuk mengambil, melahap, atau menyambar persembahan yang disiapkan oleh tuan rumah.
Tradisi Barongsai Caplokan tidak hanya sebatas atraksi fisik semata, tetapi merupakan sebuah ritual pemindahan energi positif, simbol harapan akan panen yang melimpah, dan doa untuk kemakmuran yang berlimpah ruah. Ketika singa menari, ia bukan hanya menampilkan kelincahan akrobatik, melainkan sedang menjalankan tugas spiritualnya. Ia adalah perantara antara dunia manusia dan entitas spiritual yang dipercaya membawa rezeki. Oleh karena itu, setiap gerakan, setiap hentakan drum, dan setiap ‘caplokan’ yang dilakukan, dipenuhi dengan makna dan harapan yang mendalam.
Fenomena Barongsai Caplokan ini sangat populer di Indonesia, di mana komunitas Tionghoa telah berakulturasi kuat dengan budaya lokal. Prosesi ini biasanya dimulai ketika singa mendekati sebuah tempat—rumah, toko, atau panggung—tempat sebuah persembahan, yang dikenal sebagai Cai Qing (memetik sayuran), telah digantungkan. Persembahan ini seringkali berupa amplop merah (angpao) yang berisi uang, digantung bersama sayuran (seperti selada atau jeruk), melambangkan rezeki dan kehidupan baru. Aksi 'caplok' inilah yang menjadi puncak ketegangan dan kegembiraan bagi para penonton dan tuan rumah.
Memahami Barongsai Caplokan memerlukan kajian yang melampaui estetika gerakan. Kita harus menyelami sejarahnya, melihat filosofi di balik kostumnya yang berwarna-warni, dan mendengarkan ritme musik yang berfungsi sebagai jantung yang memompa kehidupan ke dalam tarian tersebut. Caplokan adalah momen ketika si Singa, melalui keahlian para penarinya, menunjukkan keberanian, kerendahan hati saat mendekat, dan kekuatan spiritual saat berhasil "menaklukkan" hadiah yang melambangkan keberuntungan. Keberhasilan singa melakukan caplokan dianggap sebagai afirmasi positif bagi kemakmuran tuan rumah sepanjang tahun yang baru dimulai.
Tarian Singa memiliki sejarah yang panjang, berakar dari Dinasti Han di Tiongkok, meskipun format Barongsai yang kita kenal saat ini, terutama gaya Selatan (Nan Shi) yang dominan di Asia Tenggara, berkembang pesat pada era Dinasti Tang. Dalam konteks Tiongkok daratan, tarian ini awalnya berfungsi sebagai pengusir wabah penyakit dan roh jahat, serta persembahan ritual di kuil-kuil. Namun, ketika Barongsai bermigrasi bersama para perantau ke Nusantara, ia mulai mengadopsi fungsi baru, yaitu fungsi interaktif dan komersial yang dilekatkan pada tradisi 'Caplokan'.
Caplokan, atau Cai Qing (secara harfiah 'memetik hijau'), adalah adaptasi dari cerita rakyat kuno yang menekankan hubungan antara keberanian, kelicikan, dan imbalan. Singa, sebagai makhluk mitologi yang kuat dan bijaksana, harus melalui rintangan—baik berupa tumpukan benda, atau ketinggian—untuk mendapatkan 'makanan' atau 'berkah'. Rintangan ini melambangkan kesulitan hidup atau tantangan bisnis yang harus dihadapi oleh tuan rumah. Keberhasilan Barongsai Caplokan menandakan bahwa kesulitan tersebut telah "dilahap" dan diubah menjadi keberuntungan.
Filosofi tarian Caplokan sangat terkait dengan konsep Yin dan Yang. Singa tidak selalu bergerak agresif. Sebelum caplokan terjadi, ada fase observasi (Yin), di mana singa tampak ragu, waspada, dan mengamati lingkungan. Ini melambangkan kebijaksanaan dan kehati-hatian dalam mengambil keputusan finansial. Setelah fase Yin ini, datanglah aksi Caplokan (Yang) yang eksplosif, cepat, dan penuh energi. Transisi dari gerak lambat yang penuh pemikiran ke gerak cepat yang menentukan inilah yang mencerminkan dualitas kehidupan dan strategi dalam mencari rezeki.
Gerakan tubuh singa, yang diperankan oleh dua penari, harus selaras sempurna untuk menggambarkan satu entitas yang hidup. Kepala (yang dikendalikan oleh penari depan) mewakili pikiran, emosi, dan keberanian. Ekor (yang dikendalikan oleh penari belakang) mewakili dukungan, kekuatan fisik, dan kesinambungan. Keseimbangan antara pikiran dan kekuatan fisik ini adalah pelajaran filosofis yang mendalam; bahwa kemakmuran tidak didapat hanya dengan keberanian buta, tetapi harus didukung oleh perencanaan yang matang dan koordinasi yang sempurna.
Dalam Caplokan, angpao bukan hanya sekadar uang, melainkan manifestasi energi rezeki (Qi). Pemberian angpao kepada Barongsai adalah bentuk investasi spiritual oleh tuan rumah. Mereka ‘memberi makan’ singa mitos ini agar singa tersebut, dengan kekuatannya, dapat ‘mengunyah’ nasib buruk dan ‘meludahkan’ kembali keberuntungan yang berlipat ganda. Tuan rumah menyiapkan persembahan dengan harapan yang tulus, dan kesungguhan ini menjadi bagian integral dari ritual Caplokan. Jika persembahan digantung terlalu mudah, Caplokan dianggap kurang bernilai; tantangan yang tinggi mencerminkan besarnya imbalan yang diharapkan.
Terkadang, angpao digantung sangat tinggi atau di tempat yang sulit dijangkau, memaksa Barongsai untuk melakukan akrobatik ekstrem, seperti melompat di atas tiang (Jing) atau menyusun formasi tangga manusia. Tantangan fisik ini bukan hanya tontonan, tetapi demonstrasi komitmen dan pengorbanan dari tim Barongsai, yang juga merupakan bagian dari ritual pengorbanan demi tercapainya berkah. Setiap tetes keringat penari adalah penanda keseriusan dalam menjalankan ritual suci ini, memperkuat ikatan spiritual antara penampil, singa, dan tuan rumah.
Caplokan adalah dialog non-verbal antara harapan manusia dan energi kosmik, di mana singa bertindak sebagai penerjemah yang mengubah niat baik menjadi keberuntungan nyata yang dapat dirasakan oleh komunitas atau keluarga yang memberikan persembahan.
Pertunjukan Caplokan adalah simfoni yang terstruktur ketat, menggabungkan atletis, seni teater, dan disiplin spiritual. Untuk mencapai keharmonisan yang memukau, setiap elemen harus bekerja sinkron. Ini bukan sekadar tarian, melainkan narasi yang dimainkan dalam waktu nyata, menceritakan kisah singa yang berinteraksi dengan dunia manusia.
Penari depan memegang peranan krusial, karena ia menghidupkan kepala Barongsai. Kepala adalah pusat emosi. Selama Caplokan, ekspresi wajah singa berubah-ubah:
Teknik Caplokan yang paling umum adalah 'Ngong Chong', di mana singa perlahan mendekati persembahan, bermain-main dengannya, menciumnya, dan akhirnya menyambarnya dengan cepat. Kecepatan dan ketepatan gerakan rahang sangat penting, karena amplop atau sayuran harus berhasil 'dimakan' tanpa merusak persembahan itu sendiri. Setelah berhasil dicaplok, singa akan 'mengunyah' sejenak, seringkali disertai dengan gerakan menggoyangkan kepala, sebelum akhirnya 'memuntahkan' daun selada (yang melambangkan kehidupan baru) kembali ke lantai atau ke arah tuan rumah, sementara angpao disimpan di dalam mulut.
Musik Barongsai, yang terdiri dari drum besar, gong, dan simbal, bukanlah sekadar latar belakang, melainkan instruksi yang mengarahkan emosi dan langkah singa. Ritme harus berubah secara dinamis sesuai dengan tahapan Caplokan:
Keselarasan antara kepala (pengambil keputusan), ekor (kekuatan fisik), dan musik (komando spiritual) adalah kunci dari Caplokan yang sukses. Tanpa ritme yang tepat, singa akan kehilangan jiwanya, dan Caplokan hanya akan menjadi aksi fisik yang kosong makna. Para musisi, yang sering disebut sebagai Lao Shi (Guru), harus memiliki pemahaman mendalam tentang koreografi dan situasi panggung. Mereka adalah sutradara yang tidak terlihat.
Teknik Caplokan memiliki tingkat kesulitan yang bervariasi, tergantung pada lokasi persembahan. Semakin sulit lokasi Cai Qing, semakin besar kehormatan yang diberikan kepada tuan rumah, karena ini menunjukkan bahwa tim Barongsai telah mengerahkan usaha maksimal demi keberkahan mereka:
Semua varian Caplokan ini memiliki satu kesamaan: mereka harus dilakukan dengan keanggunan. Singa tidak boleh tampak terburu-buru atau panik. Bahkan saat melompat tinggi, gerakan harus mencerminkan martabat seekor singa mitologi yang bijaksana, bukan sekadar atlet yang terdesak. Inilah yang membedakan Barongsai sebagai seni dan ritual, bukan hanya olahraga.
Tidak ada satu pun elemen dalam pertunjukan Barongsai Caplokan yang tanpa makna. Dari warna kulit singa hingga jenis sayuran yang digantung, semuanya memiliki kode simbolik yang kuat, menghubungkan pertunjukan tersebut dengan kosmologi Tiongkok kuno. Memahami simbolisme ini memungkinkan kita untuk menghargai kedalaman spiritual dari tradisi Caplokan.
Setiap warna Barongsai mewakili karakter, usia, dan atribut spiritual yang berbeda. Pemilihan singa untuk Caplokan sering kali disesuaikan dengan kebutuhan spiritual tuan rumah atau jenis acara:
Ekspresi wajah singa saat Caplokan juga mengandung makna. Mulut terbuka lebar bukan hanya untuk mengambil angpao, tetapi untuk menelan aura negatif dan memancarkan aura positif (Hao Yun). Pipi yang menggembung setelah mencaplok angpao melambangkan perut yang kenyang, sebuah metafora untuk gudang rezeki yang penuh.
Cai Qing, atau persembahan yang diambil singa, secara tradisional terdiri dari selada (Luo Han Cai) dan jeruk. Penggunaan selada (生菜 - Shēng Cài) sangat penting karena pelafalannya dalam dialek Kanton terdengar seperti Shēng Cái (生財), yang berarti 'menghasilkan kekayaan' atau 'kemakmuran yang tumbuh'. Ketika singa memetik dan memakan selada, ia secara simbolis sedang 'menanam' benih kemakmuran di tempat tersebut.
Jeruk, khususnya jeruk Mandarin, melambangkan emas dan keberuntungan. Warna oranye atau kuning keemasan dari jeruk adalah warna kekayaan. Jika Caplokan melibatkan jeruk, ini adalah doa agar kemakmuran datang dalam bentuk kekayaan materi yang mudah diakses. Kombinasi sayuran dan buah ini menunjukkan bahwa kemakmuran yang diminta bersifat holistik: kekayaan spiritual (yang diwakili oleh gerakan tarian) dan kekayaan materi (yang diwakili oleh angpao).
Setiap gigitan Barongsai adalah mantra visual. Ia bukan hanya menyambar, ia sedang memanifestasikan. Ia menelan kesulitan, mengunyah harapan, dan memuntahkan keberuntungan yang segar dan bersemi. Keberhasilan Caplokan adalah jaminan spiritualitas yang kuat.
Prosesi setelah Caplokan juga sarat makna. Setelah singa berhasil mengambil angpao dan 'memuntahkan' sayuran yang sudah dikunyah (atau sobekan daun yang melambangkan benih baru), penari akan melakukan tarian yang riang dan mengucapkan salam keberuntungan kepada tuan rumah. Tindakan 'meludahkan' ini adalah cara singa membagikan kembali berkah yang baru saja ia dapatkan, memastikan bahwa energi positif tersebut tidak hanya tersimpan, tetapi menyebar ke seluruh ruangan atau komunitas.
Filosofi kemakmuran dalam Barongsai sering kali dikaitkan dengan Fu Lu Shou (Tiga Dewa Bintang: Kebahagiaan, Kemakmuran, dan Panjang Umur). Ketika singa melakukan Caplokan, ia secara tidak langsung mewakili upaya manusia untuk memohon berkah dari tiga aspek kehidupan yang paling diidamkan ini.
Angpao (Amplop Merah) itu sendiri adalah simbol terpenting. Warna merah melambangkan perlindungan dari kejahatan dan keberuntungan. Uang di dalamnya (yang harus berupa uang baru dan jumlah genap) adalah persembahan yang murni. Namun, nilai nominal uangnya kurang penting dibandingkan niat di baliknya. Niat tulus dari tuan rumah untuk berbagi rezeki dan menghormati tradisi adalah kekuatan spiritual yang menarik singa mitologi untuk datang dan memberkati. Caplokan, dengan demikian, adalah pertukaran energi: uang fisik ditukar dengan janji rezeki spiritual.
Singa juga sering membawa benda-benda pelengkap, seperti cermin kecil di dahi kepala. Cermin ini dipercaya berfungsi sebagai penolak bala, memantulkan kembali energi negatif. Ketika singa menari, ia tidak hanya membersihkan lokasi dari roh jahat, tetapi juga menggunakan cerminnya untuk 'memperjelas' jalan menuju keberuntungan. Seluruh ritual Caplokan adalah sebuah ritual pembersihan yang menyeluruh, baik secara fisik maupun spiritual, mempersiapkan tempat untuk menerima keberuntungan yang besar.
Di Indonesia, Barongsai Caplokan telah melampaui batas-batas etnisitas dan agama, menjadi bagian dari lanskap budaya nasional. Dalam konteks sosial, Caplokan memiliki peran ganda: sebagai ritual keagamaan dan sebagai sarana pemersatu komunitas. Ketika Barongsai berkeliling, mereka tidak hanya mencari angpao; mereka sedang menegaskan kembali identitas budaya dan membangun jembatan interaksi.
Secara ekonomi, tradisi Caplokan memberikan dorongan signifikan. Uang yang diterima oleh tim Barongsai (dari angpao) sering digunakan untuk mendanai pelatihan, membeli perlengkapan baru, dan membantu anggota tim yang membutuhkan. Ini menjadikan Caplokan sebagai mekanisme ekonomi sirkular yang mendukung keberlanjutan seni tradisional. Tim Barongsai profesional, yang harus menjaga kebugaran fisik dan keterampilan akrobatik yang tinggi, mengandalkan musim perayaan untuk menopang kegiatan mereka sepanjang tahun.
Permintaan akan tim Barongsai yang ahli dalam Caplokan tingkat tinggi, terutama yang mampu menari di atas tiang atau menaklukkan rintangan yang rumit, sangat tinggi. Hal ini mendorong persaingan sehat dan inovasi dalam koreografi, memastikan bahwa seni ini terus berevolusi dan tetap relevan. Tuan rumah bersedia membayar lebih untuk tim yang memiliki reputasi kuat, karena dipercaya bahwa semakin hebat Barongsai yang tampil, semakin besar berkah yang akan mereka terima. Ini menciptakan sistem meritokrasi yang menjamin kualitas pertunjukan tetap terjaga.
Barongsai yang tampil di Indonesia sering menunjukkan ciri khas akulturasi. Meskipun gerak dasarnya tetap sesuai tradisi Tiongkok Selatan, beberapa tim memasukkan elemen musik atau kostum yang terinspirasi dari budaya lokal, seperti penggunaan batik atau modifikasi ritme musik agar lebih sesuai dengan telinga masyarakat setempat. Caplokan di Indonesia, khususnya, ditandai dengan interaksi yang lebih hangat dan terbuka antara singa dan penonton non-Tionghoa, menunjukkan betapa tradisi ini telah diterima secara luas sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara.
Pada hari-hari perayaan, singa sering kali diundang memasuki rumah-rumah warga. Ini adalah momen yang sangat intim. Barongsai akan menari di setiap ruangan, melakukan ritual pembersihan, dan Caplokan kecil di area sembahyang atau di ambang pintu, memastikan bahwa setiap sudut rumah telah diberkati dan bebas dari energi negatif. Bagi keluarga Tionghoa, ritual ini sama pentingnya dengan sembahyang leluhur, karena ia secara fisik membawa energi keberuntungan ke dalam struktur rumah tangga mereka.
Setiap kelompok Barongsai di daerah memiliki sejarahnya sendiri, yang seringkali diwariskan secara lisan. Mereka menjadi penjaga cerita dan nilai-nilai komunitas. Keberhasilan atau kegagalan sebuah Caplokan di depan umum menjadi cerita yang dibicarakan, memperkuat ikatan emosional antara penari, pemimpin (Sui Sing), dan masyarakat. Caplokan dengan rintangan yang sangat sulit sering dicatat sebagai legenda lokal, menjadi bukti semangat pantang menyerah komunitas tersebut.
Tradisi Caplokan juga berfungsi sebagai wadah untuk mendidik generasi muda. Anak-anak yang tertarik pada Barongsai belajar tentang disiplin, kerja tim, rasa hormat terhadap tradisi, dan pentingnya menjaga kebugaran fisik. Proses pelatihan untuk menjadi penari Caplokan yang handal sangat ketat, membutuhkan bertahun-tahun dedikasi. Dengan demikian, Barongsai adalah sekolah karakter yang menanamkan nilai-nilai luhur Tionghoa melalui medium seni pertunjukan yang energik dan penuh makna. Warisan ini terus dipelihara melalui semangat para pemuda yang rela meluangkan waktu dan tenaga untuk menjaga denyut nadi tradisi ini agar tidak meredup ditelan zaman modern.
Meskipun Barongsai Caplokan sangat dicintai dan dinantikan, tradisi ini menghadapi sejumlah tantangan serius di era kontemporer. Pelestarian seni ini memerlukan keseimbangan yang hati-hati antara mempertahankan esensi ritual dan beradaptasi dengan tuntutan zaman modern, termasuk aspek keselamatan dan profesionalisme.
Caplokan, terutama yang melibatkan tiang tinggi atau akrobatik, adalah kegiatan berisiko tinggi. Keselamatan para penari adalah prioritas utama. Tantangannya adalah mempertahankan standar akrobatik yang memukau tanpa mengorbankan keamanan. Hal ini memerlukan investasi besar dalam peralatan keselamatan, matras yang memadai, dan, yang paling penting, pelatihan yang sangat disiplin dan di bawah pengawasan master yang berpengalaman (Lao Shi).
Pelatihan Barongsai Caplokan membutuhkan jam terbang yang sangat panjang. Penari tidak hanya harus kuat secara fisik, tetapi juga harus memiliki sinkronisasi mental yang sempurna dengan pasangannya. Mencari dan mempertahankan penari muda yang bersedia mengorbankan waktu dan mendedikasikan diri pada kedisiplinan keras ini menjadi tantangan tersendiri di tengah padatnya jadwal kehidupan modern dan daya tarik hiburan instan. Oleh karena itu, komunitas perlu terus mempromosikan nilai dan kebanggaan yang didapat dari pelestarian seni ini.
Tuntutan pasar terkadang mendorong tim Barongsai untuk berinovasi, misalnya dengan menambahkan efek lampu LED, musik modern, atau koreografi yang lebih bergaya 'pop'. Meskipun inovasi ini menarik perhatian penonton baru, terdapat risiko bahwa esensi ritual dan filosofi Caplokan dapat terkikis. Diskusi kritis harus terus dilakukan di kalangan seniman dan pemuka agama mengenai batasan antara pertunjukan seni dan ritual sakral.
Salah satu inovasi yang diterima baik adalah profesionalisme dalam manajemen. Banyak tim Barongsai modern kini dikelola seperti organisasi profesional, dengan jadwal tur yang terencana, pemasaran yang efektif, dan standar etika yang jelas. Profesionalisme ini membantu meningkatkan citra Barongsai dari sekadar tarian jalanan menjadi seni budaya tinggi yang dihormati dan dibayar sesuai dengan tingkat kesulitannya.
Masa depan pelestarian Barongsai Caplokan sangat bergantung pada pemanfaatan teknologi digital. Dokumentasi visual dan audio yang mendetail mengenai setiap gerakan, ritme drum, dan teknik Caplokan sangat penting untuk transmisi pengetahuan kepada generasi mendatang. Platform digital memungkinkan tim Barongsai untuk memamerkan keahlian mereka di luar batas geografis dan memobilisasi dukungan dari publik yang lebih luas.
Proyek-proyek pendidikan yang didukung oleh komunitas, yang fokus pada pengajaran sejarah dan filosofi di balik tarian, bukan hanya akrobatiknya, sangat diperlukan. Dengan mengajarkan generasi muda bahwa Caplokan adalah tentang menghormati tradisi dan mencari berkah, dan bukan sekadar mengambil uang, nilai spiritual tarian ini akan tetap utuh. Ini adalah investasi jangka panjang dalam menjaga agar Singa yang gagah perkasa ini tetap hidup dan terus menari untuk kemakmuran Nusantara.
Pada akhirnya, Barongsai Caplokan adalah sebuah penanda peradaban yang mampu bertahan melewati badai sejarah. Ia adalah cerminan dari semangat komunitas Tionghoa yang ulet dan berani, yang melalui tarian singa mitologis ini, mereka terus merayakan kehidupan, keberanian, dan harapan abadi akan kemakmuran yang tak pernah padam. Setiap Caplokan yang berhasil adalah janji baru, sebuah afirmasi bahwa tahun yang akan datang akan dipenuhi dengan rezeki, kesehatan, dan kebahagiaan yang berlipat ganda. Tradisi ini akan terus menjadi denyut nadi perayaan, seiring dentuman drum yang terus menggetarkan hati dan simbal yang terus menari di udara.
Keindahan Barongsai Caplokan terletak pada kemampuannya untuk menyatukan elemen artistik yang ekstrem dengan keyakinan spiritual yang tulus. Dibutuhkan kekuatan fisik yang luar biasa, koordinasi yang presisi, dan hati yang penuh rasa hormat. Ketika singa menari, ia bukan hanya bergerak; ia sedang berdoa dalam bentuk tarian. Ritual 'melahap berkah' ini adalah warisan yang tak ternilai, mengingatkan kita bahwa keberanian dan kemakmuran harus selalu berjalan beriringan, dipandu oleh kebijaksanaan sang Singa Emas.
Penting untuk dipahami bahwa setiap kali Barongsai melakukan aksi Caplokan, ia sedang menegaskan kembali ikatan komunitas, mendoakan keberuntungan bagi lingkungan sekitar, dan membersihkan energi negatif yang mungkin menghalangi rezeki. Ini adalah pertunjukan yang membawa harapan universal, membuat tradisi ini relevan tidak hanya bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga bagi seluruh masyarakat yang percaya pada kekuatan doa, energi positif, dan indahnya seni pertunjukan. Ritme drum yang riang dan gerakan singa yang lincah adalah bahasa universal dari optimisme yang terus digaungkan di seluruh pelosok negeri.
Melalui pengamatan yang cermat, kita dapat melihat bahwa keberhasilan sebuah tim Barongsai Caplokan tidak hanya diukur dari seberapa tinggi mereka bisa melompat, atau seberapa cepat mereka bisa menyelesaikan rintangan. Keberhasilan yang sejati terletak pada seberapa baik mereka mampu membangkitkan rasa takjub, menyebarkan semangat perayaan, dan, yang paling penting, menghidupkan kembali roh singa mitos yang membawa berkah. Oleh karena itu, pelestarian Barongsai Caplokan adalah tugas kolektif, memastikan bahwa tawa riang penonton, gemuruh drum yang menggema, dan gerakan singa yang anggun akan terus mewarnai perayaan budaya selama generasi-generasi mendatang. Ini adalah warisan yang tak boleh pudar, simbol abadi dari harapan yang terus diperbarui.
Setiap kali singa menyelesaikan Caplokan, ada jeda sesaat yang diisi oleh sorak sorai penonton. Jeda inilah yang penuh makna, waktu singkat di mana energi positif diyakini telah terserap sepenuhnya. Kemudian, singa melanjutkan perjalanannya, membawa angpao yang telah disucikan dan meninggalkan di belakangnya janji akan masa depan yang cerah dan penuh kemakmuran. Barongsai Caplokan, sebuah tarian yang hidup, bernapas, dan penuh makna, akan terus menjadi simbol tak tergantikan dalam perayaan budaya dan spiritualitas.