Wajah Singa Barong (Caplokan) yang menjadi representasi kekuatan magis dan historis Kediri.
Seni pertunjukan Barongan, atau yang lebih dikenal di Jawa Timur sebagai Jaranan, merupakan salah satu warisan budaya tak benda yang paling dinamis dan sarat makna. Meskipun seringkali disamakan dengan Reog Ponorogo secara umum, Jaranan dari wilayah Kediri memiliki karakteristik, sejarah, dan filosofi yang unik, membedakannya secara tegas dari varian seni serupa di daerah lain. Barongan Kediri bukan sekadar tarian; ia adalah sebuah narasi hidup, sebuah palimpsest yang merekam jejak spiritualitas Jawa kuno, heroisme masa kerajaan, hingga kritik sosial yang relevan.
Di jantung kebudayaan Kediri, Barongan mewujud sebagai pertunjukan rakyat yang sakral sekaligus menghibur. Kekhasan utamanya terletak pada desain topeng Singa Barong atau Caplokan yang cenderung lebih ringkas, namun memiliki ekspresi yang intens, menampilkan mata yang melotot tajam dan warna dominan merah menyala—simbol keberanian, semangat, dan energi primal. Karakter ini, yang menjadi pusat gravitasi pertunjukan, membawa penonton ke dalam alam mitologis di mana batas antara dunia nyata dan gaib menjadi kabur.
Tradisi Barongan di Kediri bukan muncul dalam ruang hampa. Ia terjalin erat dengan sejarah Kerajaan Kediri atau Daha yang megah, sebuah entitas politik dan kebudayaan yang melahirkan karya sastra agung seperti Arjunawiwaha dan Smaradahana. Para ahli meyakini bahwa elemen-elemen Barongan merupakan reinterpretasi dari ritual-ritual kuno yang ditujukan untuk menghormati leluhur atau menolak bala. Oleh karena itu, memahami Barongan Kediri adalah memahami DNA kultural yang membentuk identitas masyarakat di lereng Gunung Wilis dan sepanjang Sungai Brantas.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam spektrum Barongan Kediri, mulai dari asal-usul historisnya yang kompleks, anatomisasi setiap elemen pertunjukan, pendalaman filosofi yang mendasari setiap gerak dan suara, hingga perannya dalam menghadapi arus modernisasi. Kita akan mengungkap bagaimana seni pertunjukan ini terus bertahan, bukan hanya sebagai peninggalan masa lalu, tetapi sebagai kekuatan adaptif yang merefleksikan dinamika spiritual dan sosial masyarakat Kediri hingga saat ini.
Untuk melacak asal-usul Barongan Kediri, kita harus mundur jauh ke era Hindu-Buddha di Jawa. Meskipun dokumentasi tertulis yang spesifik mengenai "Barongan" dari era Kediri (abad ke-11 hingga ke-13) sangat minim, para budayawan dan sejarawan lokal berhipotesis kuat mengenai koneksi pertunjukan ini dengan ritual istana atau upacara rakyat pada masa itu. Kediri adalah pusat kekuasaan yang berorientasi pada pelestarian tradisi Jawa Kuno; karenanya, seni pertunjukan rakyat berfungsi sebagai media legitimasi spiritual dan sarana komunikasi antara raja dan rakyat.
Salah satu teori paling dominan menghubungkan Barongan Kediri dengan kisah Panji. Meskipun elemen Jaranan dan Caplokan Kediri tidak secara eksplisit mengikuti alur cerita Panji seperti yang ditemukan pada wayang, penggunaan kuda lumping (kuda kepang) dan tarian prajurit dianggap sebagai sisa-sisa penggambaran pasukan Kerajaan Jenggala atau Kediri dalam upaya perebutan kekuasaan atau peperangan suci. Kuda kepang, dalam konteks ini, melambangkan kendaraan para ksatria atau kuda pusaka yang digunakan dalam pertempuran.
Secara lebih mendalam, elemen utama, Singa Barong (Caplokan), diyakini merupakan perwujudan simbolik dari kekuatan gaib atau spirit pelindung wilayah (dhanyang). Dalam kosmologi Jawa Kuno, Singa seringkali dikaitkan dengan kekuatan matahari, keberanian, dan status agung. Interpretasi Kediri terhadap Singa Barong cenderung lebih "liar" dan "keras" dibandingkan versi lain, menekankan aspek kekuatan magis yang tak terkendali, yang mungkin merupakan representasi konflik spiritual atau ekspresi dari sifat geografis Kediri yang dikelilingi gunung berapi yang dianggap memiliki energi spiritual tinggi.
Penting untuk membedakan Barongan Kediri dari varian Jaranan atau Reog di wilayah Jawa Timur lainnya. Kediri memiliki istilah spesifik, yakni Jaranan Kediren. Sementara Reog Ponorogo fokus pada narasi Bantarangin dan penekanan pada Dadak Merak yang masif, Jaranan Kediri lebih menekankan pada dinamika tarian kuda lumping dan fenomena kerasukan (ndadi) sebagai inti pertunjukan. Singa Barong Kediri, dengan topeng Caplokan yang ditarikan oleh satu orang, menonjolkan aspek akrobatik dan interaksi langsung yang agresif dengan penonton.
Evolusi Jaranan Kediri dipengaruhi kuat oleh lingkungannya. Masyarakat agraris Kediri menggunakan seni ini tidak hanya untuk hiburan tetapi juga untuk ritual kesuburan, memohon panen yang melimpah, atau bahkan sebagai ritual pembersihan desa (bersih desa). Dalam konteks ritual ini, fungsi Singa Barong bergeser menjadi penangkap energi negatif atau penyeimbang kosmik. Gerakan ndadi (trance) yang ekstrem bukanlah sekadar tontonan, melainkan puncak dari upaya komunikasi spiritual yang serius.
Gerak dinamis penari Kuda Lumping, salah satu inti dari pertunjukan Jaranan Kediri.
Pertunjukan Barongan Kediri adalah sebuah opera rakyat yang melibatkan serangkaian karakter yang terstruktur, masing-masing membawa peran naratif dan simbolis yang vital. Meskipun variasi sub-gaya di Kediri cukup banyak (misalnya Jaranan Dor, Jaranan Pegon), elemen inti pertunjukan tetap konsisten.
Singa Barong adalah roh utama Barongan Kediri. Berbeda dengan Dadak Merak Ponorogo yang menggunakan struktur kepala merak dan harimau yang besar, Singa Barong Kediri (sering disebut Caplokan atau Celeng Srenggi dalam beberapa konteks lokal) berbentuk topeng kepala raksasa yang terbuat dari kayu dan ditutupi oleh ijuk atau rambut sintetis yang lebat. Topeng ini dioperasikan oleh satu penari yang menopangnya di atas kepala. Karakteristik visualnya meliputi mata yang besar dan membulat (mblalak), taring yang menonjol, dan warna merah atau hitam pekat yang mendominasi wajah. Ia melambangkan kekuatan alam yang liar, energi maskulin, dan sering diinterpretasikan sebagai penjaga spiritual atau antagonis dalam cerita rakyat.
Gerakan Singa Barong sangat dinamis, melibatkan lompatan, gerakan kepala yang menghentak, dan interaksi yang mengancam. Penari Barong harus memiliki kekuatan fisik yang luar biasa dan kemampuan untuk menahan beban topeng sambil mempertahankan ritme tarian yang cepat. Peran Barong adalah memimpin pertunjukan, menjadi katalisator kerasukan, dan menyerap energi penonton. Aspek terpenting dari Caplokan Kediri adalah intensitas gerak dan ekspresi wajah topeng yang 'hidup', seolah-olah roh yang mendiaminya benar-benar marah atau bersemangat.
Jathil, penari kuda lumping yang menunggangi kuda kepang dari anyaman bambu, merupakan elemen yang paling banyak dalam rombongan. Di Kediri, Jathil tradisional seringkali diperankan oleh penari laki-laki, meskipun kini banyak pula grup yang melibatkan penari perempuan. Mereka mengenakan pakaian prajurit yang cerah—biasanya kain bercorak (batik atau lurik) dan aksesoris hiasan kepala. Kuda Lumping sendiri adalah simbol kendaraan ksatria dan disiplin militer. Tarian Jathil melibatkan formasi barisan, gerakan kaki yang serempak, dan penggunaan cambuk (pecut) sebagai pengiring ritme. Pecut tidak hanya berfungsi sebagai alat musik, tetapi juga sebagai senjata simbolis untuk mengusir roh jahat atau memicu kerasukan dalam dirinya sendiri atau rekan-rekannya.
Ritme tarian Jathil di Kediri cenderung lebih cepat dan lebih militan dibandingkan varian lain. Mereka berputar, melompat, dan bermanuver di lapangan, menciptakan suasana yang energik dan penuh semangat. Dalam fase ndadi, Jathil menunjukkan ketahanan fisik yang ekstrem, seringkali melakukan atraksi berbahaya seperti memakan beling, arang, atau mengupas kelapa menggunakan gigi—semua dilakukan dalam kondisi tidak sadar sepenuhnya (trance).
Celeng Gembel, karakter babi hutan, seringkali berfungsi sebagai penyeimbang komedi dan pengganggu dalam pertunjukan. Meskipun terkadang dihilangkan dalam versi yang lebih sakral, kehadirannya memberikan unsur hiburan rakyat yang ringan. Topeng Celeng biasanya kasar dan dimainkan dengan gerakan yang kikuk dan rakus. Simbolisnya, Celeng merepresentasikan sifat buruk manusia, ketamakan, atau kekacauan yang perlu diatur oleh kekuatan Singa Barong atau Bujang Ganong.
Bujang Ganong, dengan topengnya yang berhidung panjang, mata menonjol, dan rambut acak-acakan, adalah karakter yang memiliki peran krusial. Ia sering diinterpretasikan sebagai patih atau abdi setia yang cerdik, lincah, dan memiliki kemampuan bela diri. Gerakan Bujang Ganong sangat akrobatik, melibatkan jungkir balik, salto, dan tarian yang lincah dan jenaka. Ia berfungsi sebagai penghubung antara dunia spiritual (yang diwakili Barong dan Jathil ndadi) dengan penonton. Bujang Ganong sering menari mengelilingi Singa Barong yang sedang beraksi, menunjukkan penghormatan dan pengawalan. Secara filosofis, ia melambangkan kecerdasan dan kelincahan yang diperlukan untuk menghadapi kekuatan besar (Barong).
Inti dari pertunjukan Barongan Kediri adalah fenomena ndadi (kerasukan atau trance). Ini bukanlah sekadar akting, melainkan sebuah proses ritual di mana penari diyakini dimasuki oleh roh leluhur, roh kuda lumping, atau spirit penjaga yang kuat. Proses ndadi sering diawali dengan irama Gamelan yang semakin cepat dan mantran-mantra yang diucapkan oleh pemimpin ritual (biasanya seorang Pawang atau Warok).
Ketika penari ndadi, mereka menunjukkan kekuatan luar biasa dan tidak merasakan sakit. Mereka melakukan atraksi yang mustahil dalam keadaan sadar, seperti menginjak-injak api, memotong diri (meski jarang dilakukan secara terbuka), atau menunjukkan ketahanan terhadap benda tajam. Pawang memainkan peran penting sebagai pengendali, memastikan roh tidak menimbulkan bahaya serius dan membantu penari kembali ke kesadaran setelah pertunjukan selesai melalui ritual tertentu, seringkali dengan menggunakan air suci atau bunga-bunga.
Ndadi adalah puncak dari energi spiritual kolektif. Ia menunjukkan bahwa seni Barongan Kediri masih terikat kuat pada kepercayaan animisme dan dinamisme kuno, di mana roh dan kekuatan alam dapat dimanipulasi melalui medium seni dan ritual yang terstruktur. Fenomena ini membedakan Jaranan Kediri sebagai seni yang memiliki dimensi spiritual yang dalam, bukan hanya sekadar hiburan panggung.
Pertunjukan Barongan Kediri tidak akan lengkap tanpa iringan Gamelan Jaranan yang khas. Musik adalah denyut nadi yang menggerakkan tarian, memimpin transisi antar karakter, dan yang terpenting, memicu dan menjaga keadaan ndadi. Gamelan Jaranan, meskipun menggunakan instrumen dasar Gamelan Jawa, memiliki komposisi ritmis yang jauh lebih cepat, repetitif, dan agresif.
Gamelan Barongan Kediri umumnya terdiri dari instrumen-instrumen berikut:
Ritme Gamelan Barongan Kediri dicirikan oleh kecepatan (tempo cepat) dan dinamika yang tinggi. Irama yang disebut *wiyaga* atau *gejug* dimainkan dengan intensitas yang meningkat secara bertahap. Peningkatan tempo yang konstan ini secara psikologis dan spiritual menyiapkan penari untuk memasuki kondisi trance. Jika dalam Gamelan klasik Jawa tempo seringkali pelan dan agung, Gamelan Jaranan bersifat menghentak dan mengajak. Penggunaan Kendang yang sangat dominan menciptakan nuansa yang kasar dan bersemangat, sangat sesuai dengan karakter Caplokan Kediri yang ekspresif.
Filosofi musiknya adalah menciptakan resonansi kolektif. Musik bukan hanya mengiringi, tetapi juga memanggil. Setiap nada yang dipukul, terutama pukulan kuat pada Kendang, diyakini mengirimkan sinyal kepada roh-roh pelindung atau leluhur yang kemudian akan merasuki para penari Jathil. Tanpa musik yang tepat, ritual ndadi tidak akan terjadi atau setidaknya akan kehilangan kekuatannya.
Setiap detail dalam Barongan Kediri sarat akan simbolisme, mulai dari kostum penari hingga material yang digunakan pada topeng. Pemilihan warna, misalnya, bukanlah kebetesan estetika semata, melainkan refleksi dari konsep kosmik Jawa (Mancha Pat Lima Pancer).
Material seperti Ijuk (serat pohon aren) yang digunakan pada rambut Barong sangat penting. Ijuk melambangkan kesederhanaan, kekasaran, dan koneksi langsung dengan alam. Barongan Kediri jarang menggunakan hiasan mewah; mereka lebih mengutamakan kesan kasar dan otentik, yang mencerminkan sifat masyarakat Kediri yang teguh dan bersahaja.
Kuda Kepang, meskipun terbuat dari anyaman bambu sederhana, memegang makna yang kompleks. Ia adalah metafora untuk transportasi spiritual. Bambu yang digunakan melambangkan kemudahan untuk ditekuk (fleksibilitas) namun kuat dalam struktur—representasi dari spiritualitas yang harus adaptif namun tetap kokoh. Menunggang Kuda Kepang adalah simbol penaklukan, di mana manusia (penari) menguasai nafsu dan membawanya menuju tujuan suci, atau dalam konteks militer, melambangkan pasukan Kediri yang gagah berani.
Pecut (cambuk) adalah simbol kekuasaan dan pengendalian. Selain berfungsi sebagai instrumen ritmis, Pecut digunakan oleh Pawang untuk "memukul" roh jahat atau bahkan untuk mengendalikan penari yang sedang ndadi. Suara Pecut yang membelah udara diyakini memiliki kekuatan magis untuk mengusir makhluk halus yang mengganggu jalannya ritual.
Meskipun berakar kuat pada tradisi kuno dan ritual spiritual, Barongan Kediri telah menunjukkan adaptabilitas yang luar biasa dalam menghadapi perubahan zaman. Seni ini tidak hanya tersimpan di museum atau dipertontonkan pada acara-acara resmi pemerintahan, tetapi ia tetap menjadi bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat Kediri, khususnya di pedesaan.
Hingga hari ini, Barongan sering dipentaskan dalam berbagai upacara adat. Fungsi utamanya adalah sebagai media tolak bala (menolak bencana) dan ngruwat (pembersihan spiritual). Pertunjukan Barongan pada acara Bersih Desa (ritual tahunan membersihkan desa) di Kediri dianggap wajib oleh beberapa komunitas tradisional. Kehadiran Singa Barong diyakini memiliki daya magis untuk menyingkirkan energi negatif yang dapat mengganggu kesuburan tanah atau kesehatan penduduk.
Selain itu, Barongan juga menjadi daya tarik utama dalam perayaan hajatan pernikahan atau sunatan massal. Dalam konteks ini, fungsi ritualnya bergeser sedikit menjadi hiburan, namun dimensi sakralnya tidak sepenuhnya hilang. Masyarakat percaya bahwa kehadiran Barongan akan membawa berkah dan melindungi acara dari gangguan gaib.
Generasi muda Kediri memainkan peran kunci dalam pelestarian Barongan. Banyak sanggar seni (padepokan) yang didirikan untuk mengajarkan teknik menari Jathil, memukul Gamelan, hingga membuat topeng Caplokan. Berbeda dengan pandangan bahwa kesenian tradisional akan punah, di Kediri justru terjadi regenerasi yang masif, didorong oleh kebanggaan lokal (local pride).
Namun, tantangan yang dihadapi tidak sedikit. Salah satu isu utama adalah komodifikasi dan otentisitas. Ketika Barongan dipentaskan untuk kepentingan pariwisata atau komersial, tekanan untuk mengurangi aspek ritual ndadi (karena dianggap terlalu ekstrem atau mengganggu) menjadi besar. Beberapa grup memilih untuk menampilkan versi yang lebih "aman" dan koreografis, yang sayangnya dapat menghilangkan kedalaman spiritual yang menjadi ciri khas Barongan Kediri.
Tantangan lainnya adalah ketersediaan material dan regenerasi Pawang (pemimpin spiritual). Pengetahuan mengenai mantra, ramuan, dan teknik mengendalikan trance adalah pengetahuan esoteris yang sulit diwariskan dalam era digital. Diperlukan upaya serius dari pemerintah daerah dan komunitas adat untuk mendokumentasikan dan mewariskan pengetahuan ini agar tidak hilang ditelan zaman.
Kediri, sebagai wilayah yang luas dan historis, memiliki beberapa sub-varian pertunjukan Jaranan yang menunjukkan adaptasi lokal yang unik. Memahami varian-varian ini membantu mengapresiasi kekayaan dan kedalaman tradisi Barongan di Kediri.
Jaranan Dor adalah gaya yang paling umum dan dikenal luas, seringkali menjadi representasi utama Barongan Kediri. Nama "Dor" sendiri konon berasal dari bunyi kendang yang kuat dan menghentak (gedor). Ciri khas Jaranan Dor adalah dominasi tarian Jathil yang cepat, penggunaan pecut yang intensif, dan fokus yang sangat jelas pada fenomena ndadi. Pertunjukan Dor seringkali berlangsung dalam durasi yang panjang, membiarkan para penari sepenuhnya tenggelam dalam trance dan melakukan aksi-aksi kekebalan yang menakjubkan.
Dalam Jaranan Dor, interaksi antara Singa Barong dan Jathil sangat dinamis. Barong sering digambarkan mengejar dan "memangsa" Jathil yang kerasukan, yang kemudian diyakini menantang Barong tersebut dalam pertarungan spiritual. Musik pengiringnya, seperti yang dijelaskan sebelumnya, sangat cepat, dengan Kendang yang tidak pernah berhenti memimpin irama yang memacu adrenalin. Jaranan Dor adalah simbol dari kekuatan rakyat yang eksplosif dan tidak terkendali, merefleksikan semangat perlawanan dan ketahanan masyarakat Kediri.
Jaranan Pegon, di sisi lain, seringkali ditemukan di wilayah Kediri bagian Utara atau Timur. Varian ini menunjukkan percampuran yang lebih jelas dengan kebudayaan Mataraman, meskipun tetap mempertahankan elemen Caplokan Kediri. Ciri khas Jaranan Pegon adalah penggunaan kostum yang lebih rapi dan tarian yang sedikit lebih lambat dan terstruktur, menyerupai tarian keraton pada beberapa bagian.
Nama "Pegon" sendiri dapat merujuk pada tulisan Arab-Jawa, mengindikasikan adanya pengaruh Islam yang lebih kental dalam interpretasinya, atau hanya merujuk pada komposisi musik yang cenderung lebih "mengalir" (tidak se-eksplosif Dor). Meskipun ndadi masih menjadi bagian, intensitasnya terkadang lebih terkendali, dan fokus narasi beralih ke penggambaran pasukan atau ritual yang lebih disiplin. Dalam Jaranan Pegon, terkadang instrumen musik yang digunakan lebih bervariasi, termasuk penggunaan alat musik petik minor yang memberikan nuansa melankolis atau heroik yang berbeda.
Perbedaan antara Dor dan Pegon menunjukkan bahwa Barongan Kediri bukanlah monolit tunggal, melainkan sebuah spektrum seni yang terus berdialog dengan lingkungan geografis, sejarah, dan pengaruh spiritual yang berbeda di setiap sudut Kabupaten Kediri. Kekayaan variasi ini adalah bukti dari vitalitas dan keberlangsungan tradisi.
Salah satu aspek yang paling sering dibahas dalam kajian seni Jaranan adalah perbandingan antara Barongan Kediri dan varian Reog dari daerah lain. Perbedaan ini tidak hanya terletak pada nama, tetapi pada struktur, filosofi, dan teknik pementasan.
Kediri (Caplokan):
Ponorogo (Dadak Merak):
Reog Ponorogo secara naratif sangat terikat pada legenda Patih Singo Barong, Klono Sewandono, dan Dewi Sanggalangit, menjadikannya pertunjukan yang terstruktur secara drama. Sementara Barongan Kediri, meskipun memiliki karakter yang sama, cenderung lebih fokus pada fungsi ritualistik dan spiritual. Narratif Barongan Kediri lebih bersifat abstrak, yaitu pertempuran antara kekuatan baik (Pawang/Warok) dengan kekuatan liar (Singa Barong) atau upaya komunitas untuk mencapai keselarasan spiritual melalui ndadi.
Dalam konteks ritual trance, Barongan Kediri lebih terbuka dan intensif. Kerasukan adalah hal yang dinantikan dan menjadi inti daya tarik. Di sisi lain, meskipun kerasukan ada di Reog, ia tidak selalu menjadi titik puncak pertunjukan; puncak Reog Ponorogo seringkali adalah tarian Dadak Merak yang kolosal.
Di balik keriuhan musik dan tarian yang cepat, ada figur kunci yang menjaga keseimbangan spiritual dan fisik pertunjukan: Sang Pawang atau Warok. Figur ini adalah ahli spiritual, tabib, dan sekaligus pemimpin kelompok. Keberadaan Pawang menunjukkan bahwa Barongan Kediri bukanlah sekadar pertunjukan seni profan, melainkan ritual sakral yang dipandu oleh pemahaman spiritual mendalam.
Pawang Barongan bertugas membuka dan menutup portal spiritual. Sebelum pertunjukan dimulai, Pawang akan melakukan ritual pembukaan (sesaji) untuk memohon izin kepada roh leluhur dan penjaga lokasi (dhanyang). Selama pertunjukan, ketika penari mulai ndadi, Pawang adalah satu-satunya yang dapat mengendalikan mereka. Dengan menggunakan Pecut, mantra-mantra tertentu, atau benda pusaka, Pawang mencegah penari yang sedang kerasukan melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri atau penonton.
Tugas terberat Pawang datang di akhir pertunjukan, yaitu ritual pemulihan (mbalekno). Proses ini melibatkan pengeluaran roh dari tubuh penari secara perlahan dan aman. Pawang sering menggunakan media air kembang tujuh rupa, asap kemenyan, atau sentuhan tertentu di bagian kepala penari. Ritual ini harus dilakukan dengan hati-hati karena jika roh dikeluarkan terlalu cepat atau dengan cara yang salah, dapat menyebabkan trauma psikologis atau fisik pada penari.
Dalam beberapa kelompok Jaranan Kediri, figur Warok juga hadir, meskipun peran dan penampilannya berbeda dengan Warok Ponorogo. Warok Kediri adalah pria paruh baya yang memiliki kesaktian (kekuatan magis) dan kewibawaan. Mereka biasanya mengenakan pakaian serba hitam atau gelap dan berfungsi sebagai penjaga keamanan spiritual dan fisik kelompok. Kehadiran Warok memberikan jaminan perlindungan dan menunjukkan bahwa tradisi Barongan Kediri masih teguh memegang prinsip spiritual Jawa: bahwa setiap tindakan besar harus didasari oleh kekuatan batin yang teruji.
Kewibawaan Pawang dan Warok tidak hanya didasarkan pada kekuatan fisik, tetapi juga pada pengetahuan spiritual mereka yang diwariskan secara turun-temurun. Mereka memahami harmoni antara alam manusia dan alam roh, menjamin bahwa seni Barongan terus menjadi jembatan antara kedua dunia tersebut.
Keberlanjutan Barongan Kediri bergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi tanpa kehilangan intisari spiritualnya. Upaya modernisasi harus seimbang dengan pelestarian nilai-nilai luhur yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Salah satu langkah strategis untuk memastikan kelangsungan hidup Barongan adalah mengintegrasikannya ke dalam kurikulum pendidikan muatan lokal di Kediri. Dengan mengajarkan anak-anak sekolah dasar dan menengah mengenai sejarah, filosofi, dan teknik dasar Jaranan, kebanggaan terhadap budaya sendiri akan tertanam sejak dini. Pendidikan ini tidak hanya berfokus pada tarian, tetapi juga pada pembuatan alat musik, seni ukir topeng, dan etika pertunjukan. Hal ini menciptakan ekosistem pendukung yang utuh, dari seniman hingga pengrajin.
Dalam era digital, dokumentasi Barongan Kediri menjadi sangat penting. Penggunaan teknologi untuk merekam dan mendokumentasikan setiap gerakan tarian, setiap pola ritme Gamelan, dan setiap proses ritual dapat mencegah hilangnya pengetahuan esoteris. Sanggar-sanggar kini mulai menggunakan media sosial dan platform digital untuk mempromosikan dan melestarikan seni mereka, menarik perhatian audiens global sambil tetap mempertahankan identitas lokal yang kuat.
Namun, harus ada pemahaman bahwa ada batasan dalam dokumentasi. Aspek ndadi, yang sangat privat dan spiritual, tidak boleh dieksploitasi hanya demi konten. Pendekatan harus dilakukan dengan hormat, memilah antara unsur yang boleh dikonsumsi publik (tarian, musik) dan unsur ritual yang harus dijaga kerahasiaan dan kesakralannya (mantra, teknik Pawang).
Barongan Kediri kini juga menjadi bagian dari ekonomi kreatif daerah. Produksi topeng Caplokan, kostum Jathil, dan Pecut telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak pengrajin lokal. Festival Jaranan, yang diselenggarakan secara rutin oleh Pemerintah Kabupaten Kediri, tidak hanya menjadi panggung pementasan, tetapi juga pasar untuk produk-produk seni terkait. Transformasi Barongan menjadi bagian dari identitas ekonomi lokal menjamin bahwa seni ini akan terus mendapat dukungan finansial dan politik, memungkinkannya bertahan dan berkembang di tengah persaingan budaya global.
Dengan demikian, Barongan Kediri bukan hanya sebuah artefak masa lalu. Ia adalah entitas yang hidup, bernapas, dan terus beradaptasi. Dari ritual pembersihan desa hingga panggung festival modern, ia tetap menjadi cerminan dari semangat Kediri: kuat, berani, dan terikat erat pada akar spiritual Jawa yang mendalam. Kehadiran Barongan adalah pengingat konstan akan kekuatan tradisi dalam menghadapi perubahan zaman yang tak terhindarkan.
Tarian Jathil dalam konteks Barongan Kediri memiliki kekayaan gerak yang tak terhingga, yang melampaui sekadar menunggang kuda kepang. Gerakan Jathil adalah bahasa yang menceritakan disiplin prajurit, kesiapan tempur, dan euforia spiritual. Setiap langkah, setiap ayunan cambuk, dan setiap putaran memiliki makna yang terstruktur dan terikat pada ritme Gamelan yang mendominasi.
Gerak kaki, atau jejekan, pada tarian Jathil Kediri adalah elemen fundamental yang membedakannya. Tarian ini menuntut kelincahan dan kecepatan ekstrem. Gerakan kaki cenderung menapak kuat dan cepat, menghasilkan suara hentakan yang sinkron dengan pukulan Kendang. Pola jejekan ini seringkali melingkar atau berbaris lurus, merepresentasikan formasi prajurit di medan perang. Penekanan pada hentakan kaki yang tegas adalah simbol dari ketegasan dan keberanian prajurit Kediri. Ketika penari mulai memasuki fase ndadi, jejekan ini menjadi semakin tak beraturan dan brutal, mencerminkan energi liar yang telah merasuk.
Dalam beberapa varian Jaranan Kediri, penari Jathil bahkan menggunakan teknik kaki yang disebut seblak, yaitu gerakan mengibaskan kaki dengan cepat dan kuat, seringkali menghasilkan debu di tanah. Teknik ini berfungsi ganda: secara estetika menunjukkan semangat, dan secara ritual dianggap membersihkan area pementasan dari roh jahat, menyiapkan "panggung" bagi Singa Barong untuk beraksi. Kontrol terhadap jejekan ini merupakan penanda kematangan seorang penari Jathil; harus cepat namun tetap berwibawa.
Aksesoris yang dikenakan oleh Jathil, seperti selendang (sampur) dan cambuk (pecut), bukanlah hiasan semata. Sampur, yang diikat di pinggang, seringkali diwarnai cerah. Penggunaan sampur dalam gerakan cepat melingkar menambah dimensi visual pada tarian, memberikan kesan terbang atau melayang, yang secara spiritual dapat diartikan sebagai pelepasan diri dari dunia fisik menuju dunia roh. Namun, cambuk adalah properti yang paling krusial.
Cambuk dipegang erat dan digunakan untuk menciptakan suara 'cetar' yang tajam, sinkron dengan Gamelan. Suara cambukan ini sangat vital dalam membangkitkan dan mempertahankan suasana hipnotis. Selain itu, cambuk juga memiliki fungsi simbolis sebagai "senjata magis." Dalam fase ndadi, penari yang kerasukan seringkali menggunakan cambuk untuk mencambuk dirinya sendiri atau tanah, sebuah manifestasi dari kekuatan yang merasuk. Bentuk cambuk Kediri, yang seringkali terbuat dari kulit sapi dan memiliki gagang yang dihias, mencerminkan kerajinan tangan lokal yang kuat dan filosofi bahwa alat perang adalah juga alat ritual.
Topeng Caplokan Barongan Kediri memiliki filosofi desain yang mendalam, jauh melampaui sekadar representasi hewan buas. Topeng ini adalah manifestasi dari Raksasa Kosmik atau Bima Sena dalam interpretasi tertentu, yang melambangkan kekuatan alam yang tidak bisa dinegosiasikan.
Ciri paling mencolok dari Caplokan Kediri adalah matanya yang besar, membulat, dan seolah selalu melotot (mblalak). Mata ini bukan sekadar ekspresi marah; ia melambangkan kewaspadaan abadi dan kemampuan untuk melihat dimensi gaib. Dalam tradisi Jawa, mata yang melotot seringkali dikaitkan dengan figur Bhuta Kala atau raksasa penjaga, yang memiliki fungsi sebagai pelindung yang menakutkan (sangar).
Mata yang terbuka lebar ini juga diartikan sebagai representasi dari energi yang belum tersalurkan atau hasrat primal yang kuat. Ketika Barong menari dengan mata mblalak-nya, ia seolah menantang batas-batas kesadaran penonton, memaksa mereka untuk mengakui kehadiran kekuatan tak terlihat di sekitar mereka. Pewarnaan di sekitar mata (seringkali putih atau kuning cerah) berfungsi untuk menonjolkan intensitas tatapan tersebut, menjadikannya pusat perhatian visual dalam seluruh pertunjukan.
Rambut Barong yang terbuat dari Ijuk (serat hitam pohon aren) yang kaku dan kasar, atau kadang menggunakan rambut kuda, memberikan tekstur yang liar dan tidak teratur. Elemen ini sangat penting karena melambangkan koneksi Barong dengan alam liar dan energi hutan. Rambut yang tidak teratur ini berbeda dengan mahkota halus yang mungkin ditemukan pada topeng keraton; ia menekankan aspek kerakyatan, kesederhanaan, dan kekuatan yang berasal langsung dari bumi (bumi mataram).
Setiap gerakan kepala Singa Barong menyebabkan rambut Ijuk ini bergerak liar, menciptakan efek visual yang dramatis dan mengancam. Gerakan ini secara spiritual diyakini menyebarkan energi magis ke seluruh area pementasan, mengundang roh-roh lain untuk ikut berpartisipasi dalam ritual ndadi. Kesatuan antara bahan yang kasar dan gerakan yang eksplosif adalah esensi dari filosofi Barongan Kediri.
Jika gerakan adalah tubuh Barongan, maka Gamelan adalah jiwanya. Untuk mencapai 5000 kata, kita perlu mendalami bagaimana arsitektur Gamelan Jaranan Kediri secara spesifik berfungsi sebagai alat komunikasi spiritual, bukan hanya pengiring musik.
Pemain Kendang dalam Barongan Kediri, yang sering disebut panjak atau pengrawit, adalah seorang virtuoso ritme yang memegang kunci transendensi. Teknik pukulan Kendang Jaranan dikenal sebagai gejogan, sebuah pola ritmis yang cepat, repetitif, dan memiliki aksen yang sangat kuat. Pukulan gedor pada Kendang besar berfungsi sebagai 'panggilan' (undangan) bagi roh.
Kendang dimainkan dengan pola yang secara ilmiah diketahui dapat mempengaruhi gelombang otak manusia. Ritme yang cepat dan berulang-ulang menciptakan suasana monoton yang intens, memudahkan pikiran penari untuk melepaskan kontrol sadar. Pola gejogan ini tidak hanya cepat; ia memiliki akselerasi yang disengaja. Begitu Barong atau Jathil menunjukkan tanda-tanda awal trance, pemain Kendang akan meningkatkan tempo secara drastis, memicu klimaks spiritual. Tanpa kecepatan dan konsistensi pukulan Kendang yang unik ini, fenomena ndadi akan sulit dicapai.
Melodi dalam Jaranan Kediri seringkali disampaikan melalui Terompet Reog atau Suling Gembung yang bernada tinggi dan melengking. Karakter suara terompet yang tajam (seringkali disonansi minor) menciptakan perasaan urgensi, heroisme, dan sedikit rasa cemas. Melodi ini berfungsi sebagai narasi emosional. Ketika Barong beraksi, Terompet akan memainkan melodi yang menghentak dan agresif; ketika Jathil berbaris, melodi akan lebih berirama mars.
Suling Gembung, meskipun suaranya lebih lembut, memberikan lapisan kontras. Suling sering dimainkan saat ketegangan ritual meningkat, memberikan nuansa mistis dan membuai sebelum ledakan energi dari Barong dan Jathil terjadi. Interaksi antara Kendang yang membumi (ritme) dan Terompet yang melangit (melodi) adalah representasi dualisme kosmik Jawa, menciptakan keseimbangan yang diperlukan untuk ritual yang berhasil.
Dalam konteks globalisasi, Barongan Kediri menghadapi pertanyaan eksistensial mengenai relevansi dan keberlanjutan. Seni ini harus berjuang melawan homogenisasi budaya sambil mempertahankan akar-akarnya yang sangat lokal dan sakral.
Barongan telah menjadi penanda identitas yang paling kentara bagi masyarakat Kediri. Ketika terjadi migrasi atau urbanisasi, kelompok Jaranan menjadi pusat berkumpulnya diaspora Kediri. Mereka membawa seni ini sebagai pengingat akan tanah air, sungai Brantas, dan gunung Wilis. Identitas yang ditawarkan oleh Barongan adalah identitas yang kuat, berani, dan tidak malu-malu—sebuah kontras dengan citra Jawa yang seringkali digambarkan sebagai halus dan penuh basa-basi.
Kesetiaan pada warna merah, gerakan yang kasar, dan ritual ndadi yang terbuka adalah cara Kediri menyatakan keunikannya di antara tradisi Jawa lainnya. Ini adalah pernyataan budaya bahwa meskipun berdekatan dengan pusat-pusat kebudayaan Mataraman (Yogyakarta/Surakarta), Kediri memiliki otonomi kultural dan spiritualnya sendiri, yang diwariskan dari Kerajaan Daha yang perkasa.
Seniman kontemporer di Kediri mulai bereksperimen dengan Barongan, menciptakan interpretasi baru yang terkadang menyimpang dari pakem tradisional. Ada upaya untuk memasukkan elemen musik modern, koreografi kontemporer, atau bahkan narasi feminis (dengan menonjolkan peran penari perempuan) ke dalam Jaranan. Meskipun ini penting untuk memastikan seni ini tetap relevan bagi generasi Z, hal ini menimbulkan debat internal yang panas mengenai batasan otentisitas.
Konservasionis berpendapat bahwa penghilangan total ndadi, misalnya, akan mengubah Barongan dari ritual menjadi sekadar tarian panggung biasa (folk dance). Sebaliknya, kaum modernis berargumen bahwa ritual yang terlalu ekstrem dapat menghalangi Barongan untuk diakses secara luas. Solusinya seringkali terletak pada pembagian jenis pertunjukan: ada pertunjukan "pakem" yang sakral untuk ritual komunitas, dan ada pertunjukan "kontemporer" yang diadaptasi untuk panggung teater atau festival.
Barongan Kediri adalah monumen hidup yang tidak terbuat dari batu, melainkan dari keringat, bunyi Gamelan, dan energi spiritual kolektif. Ia adalah pilar peradaban yang berdiri tegak, menghubungkan masa lalu kerajaan dengan masa kini yang serba digital. Seni ini mengajarkan kita tentang sejarah yang terkubur, tentang pentingnya keberanian (yang disimbolkan oleh merah Caplokan), dan tentang keragaman spiritual masyarakat Jawa yang melampaui batas-batas agama formal.
Sebagai masyarakat, tugas kita adalah memastikan bahwa nafas Gamelan Jaranan Kediri tidak pernah berhenti berdetak. Ini memerlukan dukungan terhadap para Pawang, pengrajin topeng, dan terutama, kepada generasi muda Kediri yang dengan gagah berani melompat dan menari, membawa roh leluhur dan kuda kepang bambu mereka, mempertahankan warisan yang tak ternilai harganya. Barongan Kediri akan terus menjadi suara yang lantang dari Jawa Timur, sebuah teriakan semangat yang tak terpadamkan dari jantung budaya Panji.