Di balik gemuruh gamelan yang riuh dan gerakan tari yang dinamis, tersimpan kisah-kisah purba yang merayap dari kegelapan. Barongan, sebagai salah satu ikon seni pertunjukan tradisional Indonesia, bukan hanya sekadar topeng atau kostum. Ia adalah entitas spiritual yang dipercaya mampu menjadi wadah bagi roh-roh leluhur, atau bahkan kekuatan primordial alam yang penuh misteri. Dalam khazanah budaya Nusantara, beberapa jenis Barongan dikenal bukan hanya karena keindahannya, tetapi justru karena aura mistis dan kengerian yang ditimbulkannya. Pencarian akan Barongan yang paling seram membawa kita pada perpaduan estetika, ritual magis, dan kesurupan yang menghadirkan pengalaman spiritual yang mendebarkan, memecah batas antara dunia nyata dan dunia gaib.
I. Definisi Keseraman dalam Konteks Barongan Nusantara
Konsep keseraman dalam Barongan tidak selalu diukur dari bentuk fisiknya saja. Lebih dari itu, keseraman ini muncul dari tiga pilar utama: Mitologi Purba, Ritual Pemanggilan Arwah, dan fenomena Trans (Kesurupan) yang terjadi di atas panggung. Barongan adalah simbol kekuatan tak terkendali—entah itu roh hutan, raja iblis, atau perwujudan energi negatif yang harus diseimbangkan.
Dalam tradisi Jawa dan Bali, Barongan seringkali merupakan perwujudan dualisme kosmik. Misalnya, Singo Barong di Jawa mewakili ambisi dan kekuatan tirani yang buas, sementara Rangda di Bali adalah personifikasi kejahatan dan penyihir yang haus darah. Keduanya memiliki kemampuan untuk menginduksi keadaan trans yang sangat intens pada para penarinya, mengubah manusia biasa menjadi wadah bagi kekuatan supranatural yang liar. Inilah inti dari kengerian yang sebenarnya: menyaksikan hilangnya kesadaran manusia digantikan oleh insting hewani atau energi kegelapan yang diyakini autentik.
Pengalaman menyaksikan Barongan yang seram seringkali melibatkan elemen auditori yang memperkuat rasa ngeri. Suara yang dihasilkan oleh alat musik, seperti kendang yang ditabuh secara agresif, saron yang bergetar cepat, dan terutama Gong, sering diyakini sebagai medium komunikasi langsung dengan dunia lain. Dentuman Gong yang berat dan dalam seolah menjadi detak jantung sang raksasa Barongan yang siap memangsa siapa saja yang ragu akan kekuatannya. Ritme yang cepat dan kacau ini mendorong penari ke ambang batas rasionalitas, memicu keadaan yang dalam budaya Jawa disebut *ndadi* atau *janturan*.
Barongan vs. Barong: Perbedaan Estetika Kengerian
Meskipun kata Barongan dan Barong sering digunakan bergantian, ada perbedaan signifikan dalam konteks geografis dan intensitas mistisnya, terutama dalam mendefinisikan "keseraman." Barongan (dengan sufiks -an) umumnya merujuk pada tradisi Jawa Timur dan Jawa Tengah (seperti Jaranan atau Reog) yang lebih menonjolkan aspek topeng singa raksasa yang bergerak liar, seringkali berakhir dengan atraksi kekebalan tubuh dan makan beling. Sementara Barong (khususnya di Bali) adalah figur pelindung, simbol kebaikan. Namun, di Bali, Barong tidak bisa disebut seram tanpa Rangda, sang penyeimbang yang mewakili kejahatan murni.
Fokus keseraman dalam Barongan Jawa terletak pada kekuatan fisik yang tak wajar dan potensi kekerasan yang mengancam penari dan penonton, ditunjukkan melalui adegan makan bara api atau memecahkan benda keras dengan kepala saat dalam keadaan trans. Kontrasnya, keseraman Barong Bali terletak pada energi spiritual dari konflik abadi antara Barong dan Rangda, di mana sosok Rangda tampil sebagai manifestasi kengerian yang paling eksplisit secara visual—lidah menjulur, taring panjang, payudara menggantung, dan rambut acak-acakan yang melambangkan kekacauan kosmik.
II. Singo Barong Ponorogo: Raja Hutan yang Paling Menggetarkan
Salah satu Barongan yang paling masyhur dan dikenal dengan keseramannya adalah Singo Barong dari Reog Ponorogo. Singo Barong bukan sekadar topeng; ia adalah kepala singa raksasa yang megah, berukuran luar biasa besar, dihiasi bulu merak asli yang beratnya bisa mencapai 50 kilogram. Namun, keseraman Singo Barong tidak terletak pada ukuran atau beratnya, melainkan pada legenda yang melingkupinya dan cara ia dihidupkan.
Menurut mitologi Reog, Singo Barong adalah jelmaan Raja Singabarong, seorang pemimpin yang angkuh dan zalim yang kemudian menjelma menjadi makhluk buas dengan kekuatan magis. Topeng ini dibawa dan digerakkan oleh satu orang penari saja, menggunakan kekuatan gigitan leher dan rahang yang ekstrem. Adegan di mana penari Singo Barong mulai bergetar hebat, matanya berubah tatap, dan gerakannya menjadi tidak teratur—momen ini dikenal sebagai *janturan*—adalah puncak kengerian. Penonton meyakini bahwa saat itu, roh Singabarong yang buas telah mengambil alih tubuh penari.
Manifestasi Kengerian Singo Barong
Keseraman Singo Barong diperkuat oleh beberapa elemen pementasan yang secara sadar dibangun untuk menimbulkan rasa takut dan kagum:
- Tatap Mata: Mata Singo Barong dibuat lebar dan tajam, seringkali diwarnai merah pekat, memberikan kesan predator yang siap menyerang. Ketika penari mulai trance, tatapan matanya, yang seolah-olah mengarah langsung ke penonton, menimbulkan rasa tidak nyaman dan hipnotis.
- Gerakan Tak Terduga: Dalam kondisi *janturan*, penari bisa melakukan gerakan yang melampaui kemampuan manusia normal—melonjak tinggi, mengayunkan kepala barongan yang berat dengan kecepatan menakutkan, atau bahkan menyentakkan tubuh ke tanah dengan keras tanpa merasa sakit. Ini dipercaya sebagai bukti bahwa tubuh mereka dikendalikan oleh kekuatan adi-kodrati.
- Interaksi Spiritual dengan Warok: Singo Barong selalu didampingi oleh Warok, figur pria berotot yang menjadi penjaga spiritual. Hubungan intens antara Warok dan Singo Barong, yang melibatkan mantra dan komunikasi non-verbal, menambah lapisan misteri yang menegaskan bahwa pertunjukan ini adalah ritual, bukan sekadar hiburan.
Kisah-kisah tentang Singo Barong yang "tersesat" atau "keluar jalur" saat trans menjadi cerita rakyat yang sering diceritakan. Diyakini bahwa jika pawang gagal mengendalikan energi Singo Barong, makhluk itu bisa menjadi sangat agresif, bahkan konon pernah terjadi penari yang melukai diri sendiri atau mencoba melukai orang lain sebelum berhasil dinetralkan. Ketidakpastian inilah yang menjaga aura mistis Singo Barong sebagai Barongan yang paling seram di Jawa Timur.
III. Rangda Bali: Kengerian Feminin yang Murni
Jika Singo Barong mewakili kebuasan hewani, maka Rangda dari Bali mewakili kengerian spiritual dan sihir hitam murni. Rangda, yang secara harfiah berarti "janda," adalah antagonis abadi Barong (yang melambangkan Dharma). Sosoknya adalah personifikasi dari Dewi Durga atau Ratu Daksina, sang ratu pemuja Bhuta Kala (roh jahat). Secara visual, Rangda adalah definisi visual dari teror dalam mitologi Hindu-Bali.
Detail Anatomi Rasa Takut pada Rangda
Topeng Rangda diciptakan dengan intensitas detail yang mengerikan:
- Taring dan Lidah Api: Taringnya panjang, tajam, dan lidah yang menjulur panjang hingga ke dada, sering digambarkan sebagai lidah api atau darah. Ini melambangkan nafsu Rangda yang tak terpuaskan terhadap korban dan kemampuannya melahap kehidupan.
- Rambut Kusut dan Kuku Panjang: Rambutnya terurai liar, putih keabu-abuan, dan kusut, melambangkan ketidakberesan dan kekuatan magis yang tak teratur. Kuku-kukunya dibuat panjang dan tajam, siap mencabik.
- Payudara Menggantung: Tubuh Rangda sering digambarkan dengan payudara yang panjang dan menggantung, melambangkan keibuan yang berubah menjadi predator, sebuah distorsi dari kasih sayang menjadi teror.
Keseraman Rangda mencapai puncaknya dalam pertunjukan Calon Arang atau Barong, di mana ia mampu membuat penari Kris (keris) menancapkan keris ke tubuh mereka sendiri dalam keadaan trance masif. Momen ini, yang disebut *Ngelawang* atau *Ngontek* di beberapa daerah, adalah tontonan yang menggabungkan keindahan estetika tarian dengan teror nyata saat penari menunjukkan kekebalan yang didapat dari kekuatan spiritual Barong dan Rangda. Penonton, menyaksikan darah yang tidak menetes meskipun keris menusuk kulit, merasakan kombinasi ketakutan dan penghormatan yang mendalam terhadap kekuatan Rangda.
IV. Barongan Blora dan Kediri: Nuansa Kengerian Regional
Di luar nama-nama besar seperti Singo Barong dan Rangda, Barongan di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga memiliki variasi kengerian spesifik yang terikat erat pada konteks lokal dan ritual agraris kuno.
Barongan Blora: Aura Hutan dan Kekuatan Primal
Barongan dari Blora, Jawa Tengah, seringkali disebut sebagai salah satu Barongan tertua, memiliki estetika yang lebih primitif dan kurang dihiasi bulu merak dibandingkan Reog Ponorogo. Keseramannya muncul dari aspek yang lebih purba: ia dipercaya sebagai roh penjaga hutan atau raja siluman yang sangat dekat dengan elemen tanah dan air.
Topeng Blora cenderung lebih kasar, dengan mata yang lebih cekung dan ekspresi wajah yang lebih suram. Kengeriannya terwujud saat Barongan ini bergerak dengan irama yang sangat cepat dan repetitif, sering kali memicu trance kolektif di kalangan penari Jaranan (kuda lumping) yang menyertainya. Keadaan *ndadi* di Blora sering dihubungkan dengan kebutuhan spiritual masyarakat untuk melepaskan diri dari tekanan hidup, memungkinkan roh Barongan mengambil alih dan melakukan aksi-aksi yang dianggap suci, meskipun menakutkan (seperti makan bara api atau memakan pecahan kaca).
Barongan Blora mengajarkan kengerian yang berbeda—kengerian dari alam liar yang tak tersentuh, kekuatan yang tidak mengenal belas kasihan, sebuah manifestasi dari hutan yang murka. Suara gamelannya pun cenderung lebih bernuansa 'gelap,' menggunakan instrumen perkusi berat yang menghasilkan dentuman mematikan, yang seolah-olah memanggil roh dari lapisan bumi paling dalam.
Barongan Kediri: Sentuhan Sejarah dan Mistis
Kediri, sebagai salah satu pusat kerajaan kuno, memiliki Barongan yang dipengaruhi oleh legenda Dewi Kilisuci dan mitologi Lembu Suro. Barongan Kediri memiliki ciri khas pada detail ukiran dan warna yang lebih kompleks, namun tetap memancarkan aura keganasan. Kengerian Barongan Kediri sering dikaitkan dengan kekuatan magis yang terkandung dalam topengnya, yang diyakini telah melalui proses ritual pengisian energi (pengisian *aji*) oleh para sesepuh atau dukun setempat selama ratusan tahun.
Penari Barongan Kediri seringkali harus menjalani puasa dan ritual khusus sebelum pementasan. Saat trans, Barongan ini tidak hanya menunjukkan kekebalan fisik tetapi juga sering mengeluarkan suara auman yang sangat mirip dengan suara harimau atau singa sungguhan, meskipun dilakukan oleh manusia yang terjepit di dalam topeng kayu yang berat. Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan penonton apakah suara tersebut benar-benar berasal dari manusia ataukah suara roh yang kini mendiami topeng tersebut.
V. Fenomena Trans (Kesurupan): Jantung Kengerian Barongan
Keseraman Barongan mencapai titik klimaksnya saat fenomena trans (atau *ndadi*) terjadi. Trans adalah momen ketika batas antara aktor dan entitas spiritual hilang. Fenomena ini bukanlah akting. Dalam konteks Barongan, trans adalah ritual penyerahan diri yang disengaja dan didorong oleh ritme gamelan, asap kemenyan, serta jampi-jampi yang dilantunkan oleh Pawang. Ini adalah aspek paling menakutkan, karena ia menunjukkan dominasi mutlak kekuatan tak kasat mata atas kehendak bebas manusia.
Ritual Pemanggilan Roh dan Makanan Roh
Sebelum pertunjukan Barongan yang seram dimulai, serangkaian ritual ketat harus dilaksanakan. Ini melibatkan sesajen (*sajen*) yang lengkap, yang berfungsi sebagai "makanan" bagi roh yang akan dipanggil. Sesajen ini bisa terdiri dari kembang tujuh rupa, rokok kretek tanpa filter, kopi pahit dan manis, serta daging mentah atau kepala ayam. Fungsi dari ritual ini adalah meminta izin dan sekaligus mengundang roh Barongan agar mau masuk dan mendiami topeng serta penari.
Kegagalan dalam ritual ini diyakini dapat mendatangkan roh yang marah atau bahkan roh-roh liar (Bhuta Kala) yang tidak dapat dikendalikan, yang kemudian akan menyebabkan kekacauan atau bahkan kematian. Kekuatan Pawang sangat vital di sini; ia harus memiliki *waskita* (intuisi spiritual) yang tinggi untuk membedakan roh yang mana yang sedang masuk dan bagaimana cara menanganinya ketika roh tersebut menjadi terlalu liar.
Saat *ndadi* terjadi, penari seringkali menunjukkan selera makan yang aneh dan berbahaya, seperti memakan bunga, meminum air dalam jumlah besar, atau yang paling menakutkan, memakan beling atau bara api. Tindakan ini bukan hanya atraksi, tetapi dipercaya sebagai pemenuhan hasrat fisik dari entitas Barongan yang kini bersemayam, yang haus akan sensasi fisik ekstrem yang tidak bisa dirasakan di alam gaib. Kengerian ini adalah pengingat bahwa di balik seni, ada perjanjian spiritual yang dijaga ketat.
VI. Keterkaitan Barongan dengan Leak dan Celuluk
Dalam mencari Barongan yang paling seram, tidak lengkap rasanya tanpa menyinggung sosok Leak dan Celuluk, meskipun mereka secara teknis berbeda dari topeng Barong raksasa. Leak adalah jenis penyihir terbang dalam mitologi Bali yang mampu mengubah diri menjadi berbagai bentuk menakutkan, termasuk Rangda. Kengerian Leak bersifat personal dan tersembunyi, seringkali beroperasi di malam hari dan di pemakaman.
Leak, ketika ditampilkan dalam bentuk Barongan (seringkali berupa topeng kepala yang terpisah dari tubuh, dengan organ dalam menjuntai), adalah visualisasi paling ekstrem dari kekuatan hitam. Ia mewakili ketakutan masyarakat terhadap ilmu sihir yang digunakan untuk mencelakai. Berbeda dengan Singo Barong yang ganas di panggung, kengerian Leak adalah kengerian yang mengintip dari balik tirai kehidupan sehari-hari, sebuah ancaman laten.
Celuluk: Horror Komedi yang Tetap Seram
Celuluk adalah sosok pengikut Rangda, seringkali digambarkan sebagai makhluk berkepala botak, mata besar, dan taring kecil. Meskipun seringkali berfungsi sebagai elemen komedi dalam pementasan, Celuluk tetap memiliki akar spiritual yang dalam dan dapat menjadi wadah trans. Kengerian Celuluk adalah kengerian yang licik dan mengganggu, seringkali menjadi pembawa pesan-pesan yang mengacaukan moralitas. Walaupun penampilannya lucu, gerakan tiba-tiba Celuluk saat trance, disertai suara tertawa yang histeris dan tidak wajar, seringkali membuat anak-anak dan orang dewasa merinding.
VII. Mendalami Filosofi Ketakutan: Mengapa Barongan Harus Seram?
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: mengapa seni yang indah dan dihormati ini harus dipenuhi dengan unsur kengerian yang begitu mendalam? Jawabannya terletak pada fungsi sosiokultural dan spiritual Barongan itu sendiri.
Keseimbangan Kosmik (Rwa Bhineda)
Dalam pandangan Jawa dan Bali, kehidupan diatur oleh prinsip dualisme: kebaikan tidak akan berarti tanpa kehadiran kejahatan, terang tanpa gelap. Barongan yang seram, entah itu Singo Barong yang buas atau Rangda yang penuh sihir, berfungsi sebagai representasi visual dan spiritual dari energi negatif atau Bhuta Kala yang harus diakui dan dihormati. Dengan menampilkan Barongan yang seram dan mengendalikan energi transnya, masyarakat secara simbolis telah melakukan ritual penetralisiran kekuatan jahat tersebut. Kengerian adalah harga yang harus dibayar untuk mencapai keseimbangan.
Uji Iman dan Kekebalan
Keseraman Barongan juga berfungsi sebagai uji spiritual bagi para pemain dan Pawang. Kemampuan mereka untuk menghadapi, mengundang, dan mengendalikan energi yang menakutkan ini adalah bukti dari kekuatan spiritual (*kesakten*) yang mereka miliki. Pertunjukan Barongan yang sukses, di mana penari mencapai trans ekstrem namun akhirnya berhasil dinetralkan, menegaskan kembali hierarki spiritual dan perlindungan ilahi yang dimiliki komunitas tersebut.
Tanpa unsur kengerian, Barongan hanyalah tarian topeng biasa. Dengan unsur kengerian, Barongan menjadi sebuah media komunikasi antara manusia dan alam gaib, sebuah peringatan bahwa di sekeliling kita terdapat kekuatan besar yang tidak boleh dianggap remeh. Rasa takut yang ditimbulkan adalah rasa takut yang mendidik, mengajarkan tentang batas-batas duniawi dan pentingnya menghormati tradisi dan leluhur.
VIII. Teknik Gamelan sebagai Pemicu Kengerian (Musik Gaib)
Barongan yang paling seram tidak akan lengkap tanpa musik pengiringnya, yang sering disebut Gamelan Setan atau Gending Laras Ati (irama jiwa). Musik ini tidak hanya mengiringi tarian, tetapi secara aktif memanipulasi kesadaran penari dan penonton. Gamelan yang digunakan dalam Jaranan atau Reog memiliki irama yang sangat spesifik, yang dirancang untuk memecah konsentrasi dan mendorong penari memasuki kondisi hipnotis yang dalam.
Alat musik seperti Kendang (gendang) dimainkan dengan kecepatan yang tidak wajar dan pola yang berulang-ulang, meniru detak jantung yang panik. Saron dan Bonang menghasilkan melodi yang mendesak dan kadang terasa sumbang, menciptakan disonansi yang meniru kebingungan mental. Namun, yang paling krusial adalah peranan Gong. Dentuman Gong yang besar, berat, dan resonan, diyakini sebagai suara Barongan itu sendiri, sebuah panggilan dari dimensi lain yang tidak dapat diabaikan oleh para penari yang jiwanya sensitif.
Ritme ini berfungsi sebagai tali penghubung. Ketika ritme dipercepat, energi Barongan pun meningkat, dan penari didorong lebih dalam ke keadaan trans. Ketika Pawang merasa energi terlalu besar, ia akan memberikan isyarat kepada penabuh gamelan untuk mengubah pola irama menjadi lebih tenang, sebuah upaya untuk menarik kembali roh Barongan dari cengkeraman penari. Kontrol halus antara Pawang dan Gamelan inilah yang menjaga agar kengerian tetap berada dalam batas-batas ritual.
IX. Warisan Barongan Seram dalam Kehidupan Kontemporer
Meskipun zaman telah berubah dan hiburan modern mendominasi, pesona dan kengerian Barongan yang paling seram tetap hidup. Di era digital, rekaman-rekaman pertunjukan trans yang ekstrem, terutama yang melibatkan Singo Barong atau Rangda, menjadi viral. Namun, hal ini juga menimbulkan tantangan: bagaimana menjaga kesakralan ritual di tengah sorotan publik yang cenderung melihatnya hanya sebagai pertunjukan sirkus atau atraksi horor.
Para pelaku seni Barongan kontemporer menghadapi dilema. Mereka harus menjaga tradisi ritual yang menuntut pengorbanan spiritual dan fisik yang besar, tetapi juga harus memastikan keselamatan penari dan memenuhi ekspektasi penonton modern. Di beberapa tempat, aspek trans yang paling ekstrem mulai dikurangi untuk menghindari cedera dan konflik dengan otoritas, namun hal ini sering dikritik karena menghilangkan "roh" asli dari Barongan.
Di sisi lain, justru aspek kengerian inilah yang menjaga Barongan tetap relevan. Ketidakmampuan ilmu pengetahuan modern untuk sepenuhnya menjelaskan fenomena trans dan kekebalan tubuh para penari membuat Barongan tetap menjadi misteri yang memikat. Topeng-topeng kuno, yang usianya bisa mencapai ratusan tahun, terus dihormati bukan hanya sebagai karya seni ukir, tetapi sebagai benda pusaka yang menyimpan kekuatan spiritual yang tak terhingga.
Setiap Barongan, dengan taringnya yang menakutkan, matanya yang melotot, dan aumannya yang memekakkan, adalah pengingat bahwa alam semesta ini lebih luas daripada yang terlihat. Mereka adalah penjaga mitos, guru spiritual, dan yang terpenting, perwujudan kengerian yang diperlukan untuk menghargai kedamaian.
X. Analisis Detail Kengerian: Singo Barong vs. Rangda
Untuk menutup eksplorasi mengenai Barongan yang paling seram, penting untuk menganalisis secara mendalam perbandingan antara dua ikon kengerian ini, Singo Barong (Jawa) dan Rangda (Bali), berdasarkan sumber rasa takut yang mereka timbulkan:
Singo Barong (Kengerian Agresi)
Singo Barong mewakili kengerian yang terfokus pada agresi dan dominasi fisik. Rasa takut muncul dari:
- Ancaman Fisik: Kekuatan rahang yang luar biasa untuk mengangkat topeng berat, yang secara metaforis melambangkan kekuatan menindas yang tidak dapat dilawan.
- Liar dan Buas: Gerakannya tidak memiliki pola yang anggun; ia buas, merangkak, dan menggeram. Kengerian ini adalah ketakutan manusia terhadap kekuatan hewani yang tak terkontrol.
- Trance Ekstrem: Fenomena *ndadi* di Reog seringkali diikuti atraksi kekebalan tubuh yang melibatkan paku atau benda tajam, mempertontonkan rasa sakit yang diabaikan oleh roh Barongan. Ini adalah teror yang menantang nalar medis.
- Dominasi Alam: Singo Barong adalah penguasa hutan, mengingatkan manusia akan kelemahan mereka di hadapan alam liar.
Rangda (Kengerian Sihir dan Spiritual)
Rangda mewakili kengerian yang terfokus pada spiritualitas, sihir, dan ancaman dari dimensi gaib. Rasa takut muncul dari:
- Kekuatan Destruktif: Rangda adalah ratu Leak, penyihir yang bertanggung jawab atas penyakit dan kematian. Kengerian ini adalah ketakutan terhadap sihir dan nasib buruk.
- Visual Distorsi: Penampilan fisiknya yang menjijikkan (lidah menjulur, payudara menggantung) adalah simbol kekacauan spiritual dan moral yang mengerikan.
- Trance Massal: Rangda mampu memicu trans kolektif yang lebih luas (seperti pada penari keris), menciptakan teror psikologis yang lebih halus namun lebih meresap.
- Konflik Kosmik: Ketakutan terhadap Rangda adalah ketakutan bahwa kejahatan (Adharma) akan menang melawan kebaikan (Dharma), sebuah ancaman eksistensial bagi tatanan masyarakat.
Meskipun berbeda dalam manifestasi, baik Singo Barong maupun Rangda memenuhi syarat sebagai Barongan yang paling seram, tergantung pada lensa budaya mana kita melihatnya. Keduanya adalah cermin yang memantulkan ketakutan purba manusia terhadap hal yang tidak dapat dijelaskan, kekuatan yang lebih besar dari diri mereka sendiri, dan misteri yang terkandung dalam warisan budaya Nusantara yang kaya dan gelap.
Kisah Barongan, dengan segala kengerian dan keindahannya, akan terus mengalir, dihidupkan oleh setiap tabuhan kendang, setiap jampi Pawang, dan setiap penari yang bersedia menyerahkan raga mereka sebagai jembatan menuju dunia para roh.