Membuka Tirai Keagungan Barongan Ijo
Dalam khazanah seni pertunjukan tradisional Jawa, khususnya yang berkaitan dengan Jathilan, Kuda Lumping, atau Reog mini, sosok Barongan adalah entitas sentral yang menawan sekaligus menakutkan. Barongan, yang secara harfiah berarti topeng menyerupai singa atau harimau raksasa, bukan sekadar properti panggung, melainkan perwujudan energi spiritual yang diyakini mampu menampung roh leluhur atau makhluk penunggu.
Sementara Barongan klasik sering diidentikkan dengan warna merah menyala (melambangkan keberanian, nafsu, dan api), ada varian warna yang memiliki kedalaman makna dan kekhususan ritual yang jauh lebih tenang, namun penuh misteri: **Barongan Warna Ijo** (Hijau). Barongan berwarna hijau ini seringkali dianggap sebagai manifestasi yang lebih tua, lebih dekat dengan alam, dan memiliki kaitan erat dengan dimensi spiritualitas Jawa yang murni.
Warna ijo, atau hijau, dalam kosmologi Jawa tidak sekadar melambangkan tumbuh-tumbuhan atau kesuburan, melainkan gerbang menuju keseimbangan (keseimbangan antara *jagat cilik* / mikro kosmos dan *jagat gedhe* / makro kosmos). Sosok Barongan Ijo hadir sebagai penyeimbang kekuatan merah yang agresif. Ia adalah penjaga harmoni yang diselimuti oleh aura kebijaksanaan dan energi penyembuhan. Memahami Barongan Ijo berarti menyelami lapisan-lapisan mistik Jawa yang melampaui sekadar pertunjukan kesenian, menyentuh pada akar-akar kepercayaan yang telah mengikat masyarakat Nusantara selama berabad-abad.
Artikel ini akan menelusuri secara komprehensif segala aspek yang melingkupi Barongan Warna Ijo. Mulai dari filosofi mendalam di balik pigmen hijau, anatomi topeng yang unik, peran ritualnya dalam upacara adat, hingga tantangan pelestarian di era modern. Barongan Ijo bukan hanya sepotong artefak, tetapi sebuah teks hidup yang menceritakan hubungan abadi antara manusia, alam, dan kekuatan gaib yang diyakini menaungi tanah Jawa.
Sketsa visual topeng Barongan Ijo, menekankan warna hijau tua yang dominan dan elemen emas yang melambangkan keagungan.
Filosofi dan Simbolisme Warna Ijo
Untuk memahami Barongan Ijo, kita harus terlebih dahulu mengupas tuntas makna warna hijau dalam konteks budaya dan spiritual Jawa. Warna ini jauh melampaui persepsi modern tentang ramah lingkungan; ia adalah representasi dari lapisan terdalam spiritualitas dan tata krama hidup.
Ijo: Simbol Keseimbangan dan Keselamatan (Slamet)
Warna ijo erat kaitannya dengan konsep Slamet (keselamatan, ketenangan, kesejahteraan batin). Jika merah (Abang) melambangkan api dan hawa nafsu (Amara), hijau melambangkan air dan bumi yang menenangkan (Pertiwi). Barongan Ijo berfungsi sebagai perwujudan kekuatan yang membumi, yang mampu meredam gejolak emosi dan spiritual. Ia membawa pesan bahwa kekuatan sejati terletak pada pengendalian diri dan kesatuan dengan alam semesta.
Dalam pertunjukan, ketika Barongan Merah tampil garang dan agresif, Barongan Ijo sering muncul dengan gerakan yang lebih ritmis, lebih anggun, namun tetap menyimpan kekuatan besar yang tersembunyi. Kehadirannya seringkali menstabilkan suasana, menunjukkan transisi dari kekacauan menuju tatanan—sebuah proses yang sangat dihargai dalam falsafah Jawa.
Dimensi Hijau dalam Tiga Lapisan
Filosofi Ijo dapat dibedakan berdasarkan gradasi warna yang digunakan pada topeng, yang masing-masing memiliki interpretasi tersendiri:
Ijo Lumut (Hijau Lumut atau Hijau Tua)
Ijo Lumut adalah warna hijau tertua dan paling gelap. Ini melambangkan kedalaman spiritual, kebijaksanaan leluhur, dan koneksi langsung dengan tanah (Bumi Pertiwi). Barongan yang diwarnai Ijo Lumut seringkali dikaitkan dengan dhanyang (roh penjaga tempat) atau roh para sesepuh yang telah mencapai tingkat kesucian tinggi. Energi yang dibawanya sangat kuat, bersifat konservatif, dan biasanya digunakan dalam ritual-ritual sakral, bukan sekadar hiburan.
Ijo Godhong (Hijau Daun atau Hijau Cerah)
Ijo Godhong melambangkan kehidupan, pertumbuhan, kesuburan, dan regenerasi. Ini adalah simbol dari energi muda yang terus berkembang. Barongan dengan warna ini mungkin mewakili Satriyo (kesatria) yang sedang berjuang mencari jati diri, atau semangat alam yang subur. Ia memiliki aura yang lebih dinamis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat agraris Jawa.
Ijo Pupus (Hijau Pucuk Daun Muda)
Warna hijau yang sangat muda, hampir kekuningan. Ijo Pupus melambangkan harapan baru, kesucian yang baru lahir, dan kerendahan hati. Dalam konteks Barongan, warna ini mungkin jarang digunakan sebagai warna dominan, namun muncul pada ornamen-ornamen tertentu untuk menunjukkan pembaruan spiritual atau permulaan siklus baru. Ia adalah janji akan masa depan yang lebih baik setelah melewati kesulitan.
Hubungan Ijo dengan Ratu Kidul dan Dunia Bawah Air
Secara mitologis, warna hijau tua (terkadang biru kehijauan atau *Ijo Tosca*) juga sangat terkait dengan Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan. Meskipun Barongan merupakan kesenian daratan, pengaruh spiritual penguasa lautan ini tidak terhindarkan. Barongan Ijo, dalam interpretasi ini, menjadi jembatan antara kekuatan darat (Gunung) dan kekuatan laut (Segara). Ia membawa wibawa yang dingin, misterius, dan diyakini mampu menahan bencana alam yang berasal dari air.
Kaitan dengan air juga berarti koneksi dengan Rezeki (kemakmuran). Air adalah sumber kehidupan; oleh karena itu, pertunjukan Barongan Ijo sering dilakukan sebagai bagian dari ritual ruwatan atau bersih desa, di mana tujuannya adalah memohon kelancaran panen dan perlindungan dari hama. Fungsi Barongan Ijo sebagai media doa dan permohonan inilah yang menjadikannya sangat dihormati dan seringkali diletakkan di tempat khusus (Pusaka) ketika tidak digunakan.
Warna ijo, secara keseluruhan, adalah manifestasi dari Laku Batin—jalan spiritual yang ditempuh dengan ketenangan, introspeksi, dan kepatuhan pada tatanan kosmik. Barongan Ijo adalah visualisasi dari seorang ksatria yang tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga kaya secara batin dan spiritual, menjadikannya ikon keagungan yang hening.
Genealogi Barongan Ijo dalam Tradisi Jawa
Asal-usul Barongan sangat kompleks, seringkali berakar dari kisah-kisah legendaris Jawa Timur, terutama terkait dengan tokoh-tokoh besar seperti Prabu Klono Sewandono atau Ki Ageng Kutu. Namun, varian hijau ini memiliki jalur sejarah yang agak berbeda, terutama berkembang di wilayah yang memiliki koneksi kuat dengan tradisi Islam awal atau kebudayaan agraris yang sangat kental.
Barongan Ijo sebagai Adaptasi Lokal
Barongan Ijo tidak muncul secara serentak di seluruh Jawa. Di beberapa daerah seperti Jawa Tengah bagian selatan atau daerah Mataraman, warna hijau dipercaya memiliki kekuatan penetralisir yang lebih besar dibandingkan merah. Di wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, warna hijau dipilih untuk Barongan karena dianggap lebih "cocok" dengan ruh tanah dan tanaman.
Awalnya, Barongan Ijo mungkin hanyalah Barongan merah atau hitam yang dicat ulang setelah melalui peristiwa mistis tertentu. Cerita rakyat sering menyebutkan bahwa Barongan tertentu yang awalnya merah, setelah diletakkan di tempat yang dianggap keramat atau setelah mengalami "proses pensucian" (seperti direndam dalam air kembang tujuh rupa), warnanya berubah menjadi hijau. Perubahan warna ini menandakan peningkatan derajat spiritual, dari entitas yang bersifat duniawi (nafsu) menjadi entitas yang bersifat ukhrawi (spiritual).
Pengaruh Mistik Islam dan Wali Songo
Warna hijau adalah warna yang sangat dihormati dalam tradisi Islam (warna surga, warna jubah para wali). Ketika kesenian Barongan dan Reog menghadapi tantangan di masa penyebaran Islam, beberapa seniman dan tokoh spiritual mengadopsi elemen Islam ke dalam kesenian mereka agar tetap relevan dan diterima. Penggunaan warna hijau pada Barongan bisa jadi merupakan upaya sinkretisme budaya.
Barongan Ijo kemudian diposisikan sebagai "Penjaga Ajaran", berbeda dari Barongan merah yang melambangkan kekuatan fisik. Barongan Ijo mewakili kekuatan batin, puasa, dan tirakat. Versi Barongan Ijo ini sering ditemukan dalam grup-grup Jathilan yang berafiliasi dengan pesantren atau kelompok spiritual yang menekankan pada nilai-nilai asketisme Jawa-Islam.
Legenda Barongan Ijo Wasesa
Dalam beberapa narasi lisan, terdapat legenda mengenai Barongan Ijo Wasesa (kekuatan agung). Kisah ini menceritakan tentang seorang pertapa yang menjelma menjadi makhluk buas berwarna hijau setelah mencapai kesempurnaan batin di tengah hutan. Barongan ini tidak bergerak karena nafsu atau amarah, melainkan karena kehendak alam semesta untuk menertibkan ketidakadilan. Legenda ini memperkuat citra Barongan Ijo sebagai manifestasi keadilan yang tenang, tetapi mematikan bagi kejahatan.
Perkembangan Barongan Ijo juga tidak lepas dari peran Pujangga dan Dalang. Merekalah yang merangkai narasi pertunjukan, menetapkan peran, dan menentukan warna topeng mana yang paling sesuai dengan karakter yang diangkat. Jika cerita berkisar tentang peperangan batin, Barongan Ijo pasti hadir sebagai refleksi dari sisi spiritual sang pahlawan.
Pada akhirnya, sejarah Barongan Ijo adalah sejarah adaptasi dan penyerapan makna. Ia merupakan bukti bagaimana seni tradisi Jawa mampu berevolusi, mengambil nilai-nilai baru tanpa kehilangan akar mistisnya, menjadikan warna hijau sebagai simbol keabadian budaya yang terus bertumbuh.
Anatomi, Estetika, dan Proses Sakral Pembuatan
Topeng Barongan, atau Bapang, adalah mahakarya seni pahat yang menggabungkan ekspresi liar dan detail spiritual. Untuk Barongan Ijo, proses pembuatan dan pemilihan bahan memiliki lapisan ritual yang lebih ketat, sejalan dengan fungsinya yang lebih sakral.
Pemilihan Kayu: Kesaktian dari Bumi
Pemilihan material utama (kayu) sangat krusial. Kayu yang paling sering digunakan untuk Barongan Ijo adalah kayu Pule atau Randu alas (kapuk hutan). Kayu Pule dikenal ringan namun kuat, dan secara spiritual diyakini memiliki ‘isi’ atau energi bawaan yang baik, sering digunakan untuk topeng-topeng sakral. Pemilihan pohon Pule pun tidak sembarangan; harus dilakukan dengan upacara khusus (Nyuwun atau memohon izin) agar roh pohon tidak marah.
Kayu tersebut kemudian diukir menjadi bentuk Bapang (kepala singa/macan) dengan ciri khas rahang yang besar, mata melotot, dan taring menonjol. Meskipun ekspresinya buas, Barongan Ijo seringkali memiliki pahatan yang sedikit lebih halus dan teratur dibandingkan Barongan merah, mencerminkan pengendalian diri di balik keganasan.
Perbedaan Ekspresi Visual
- Warna Dasar: Dominasi hijau tua (Ijo Lumut) dengan sentuhan hijau muda pada detail lekukan wajah, menciptakan dimensi kedalaman.
- Gigi Taring: Sering dihiasi dengan taring dari gading buatan atau tulang yang dicat putih gading. Pada Barongan Ijo sakral, taring ini melambangkan kekejaman yang digunakan untuk membersihkan kejahatan, bukan untuk menyerang tanpa alasan.
- Hiasan Kepala (Mahkota/Jengger): Mahkota Barongan Ijo sering dihiasi dengan motif daun, sulur-suluran, atau ukiran yang menyerupai naga hijau. Warna emas (Pramono) atau perak digunakan sebagai aksen untuk menunjukkan kedudukan tinggi.
Rambut dan Hiasan Pelengkap (Gimbal)
Rambut Barongan (disebut Gimbal) adalah bagian yang paling mencolok dan dinamis. Secara tradisional, gimbal dibuat dari serat tumbuhan, bulu binatang (kambing, sapi), atau ijuk. Untuk Barongan Ijo, seringkali digunakan perpaduan warna hitam legam dan serat yang dicat hijau lumut, atau bahkan serat yang diwarnai emas/coklat pekat untuk kontras.
Panjangnya gimbal melambangkan kemegahan dan kegagahan. Gerakan gimbal yang meliuk-liuk saat menari diyakini mampu menyebarkan aura perlindungan ke seluruh area pertunjukan. Dalam beberapa interpretasi, gimbal Barongan Ijo yang panjang diibaratkan seperti akar-akar pohon besar yang menancap kuat di bumi, menarik energi spiritual dari bawah tanah.
Proses Pewarnaan dan Ritual Pengecatan
Pengecatan Barongan Ijo adalah ritual tersendiri. Cat yang digunakan haruslah pigmen alami atau campuran yang disiapkan dengan tirakat. Sebelum cat hijau diterapkan, topeng biasanya diberi lapisan dasar tertentu (seringkali hitam atau cokelat tanah) sebagai lambang kesiapan spiritual.
Pengecatan warna hijau tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Seringkali dilakukan pada malam hari (setelah tengah malam) diiringi pembacaan doa-doa atau mantera (Donga) agar warna hijau tersebut tidak hanya sekadar estetika, tetapi benar-benar "berisi" dan mampu menarik energi positif (Pulung).
Aspek Ijo dalam Aksesori Tubuh
Barongan Ijo tidak hanya dinilai dari topengnya saja, tetapi juga dari kostum tubuh yang dikenakan oleh penari. Kostum ini biasanya berupa jubah atau kain yang dipenuhi aksen hijau, yang dilengkapi dengan:
- Kain Penutup (Kelamben): Kain lebar yang menutupi tubuh penari, biasanya berwarna hijau lumut atau hijau army, melambangkan penyamaran di hutan belantara.
- Stagen dan Sabuk: Sabuk yang diikatkan di pinggang, seringkali menggunakan kain batik motif parang atau truntum dengan aksen hijau, menunjukkan keterikatan dengan tradisi Keraton atau bangsawan (walaupun Barongan bersifat kerakyatan, ia membawa wibawa).
- Rumbai-rumbai (Krembyah): Dibuat dari benang atau kain berwarna emas dan hijau yang dipasang di leher dan bahu, berfungsi menangkal pengaruh buruk saat penari memasuki kondisi trans.
Keseluruhan anatomi Barongan Ijo dirancang untuk menciptakan kesan **mistik yang damai**. Ia adalah entitas yang siap mengamuk jika diperlukan, tetapi secara bawaan lebih memilih untuk memelihara kedamaian. Setiap garis pahatan, setiap helai rambut, dan setiap sapuan warna hijau mengandung doa dan harapan agar pertunjukan tersebut membawa berkah dan keselamatan bagi masyarakat yang menyaksikannya.
Motif sulur dan daun hijau yang mencerminkan simbolisme alam, pertumbuhan, dan kekayaan spiritual Barongan Ijo.
Dinamika Gerak: Barongan Ijo dalam Panggung Jathilan
Barongan Ijo tidak hanya sekadar hiasan; ia adalah aktor utama yang memainkan peran spesifik dalam narasi pertunjukan. Dalam pementasan Jathilan atau Reog Gembong, Barongan Ijo sering diposisikan sebagai karakter yang paling berwibawa dan memiliki tingkat kesaktian batin tertinggi.
Barongan Ijo sebagai 'Penengah' dan 'Penyembuh'
Ketika konflik dalam cerita mencapai puncaknya—misalnya, ketika Jathil (penari kuda lumping) mengalami kesurupan (Ngelmu) yang tak terkontrol, atau ketika Barongan Merah terlalu liar—Barongan Ijo akan muncul. Perannya adalah menengahi atau bahkan ‘mengobati’ situasi.
Barongan Ijo sering melakukan Tari Laku Batin, sebuah gerakan yang lebih lambat, lebih fokus pada pernapasan, dan menggunakan gerakan kepala yang melingkar seolah sedang membaca mantera. Gerakannya bukan tentang kecepatan atau agresivitas, tetapi tentang daya magnetis yang menarik kembali roh-roh liar ke dalam kendali. Dalam banyak pertunjukan, hanya Barongan Ijo yang mampu 'membangunkan' penari Jathil yang kesurupan parah, melalui sentuhan topengnya atau gerakan menghisap energi negatif.
Ciri Khas Gerakan (Tari Barongan Ijo)
Gerakan Barongan Ijo sangat khas, membedakannya dari Barongan warna lain:
1. Gerak Sembah Bumi (Penyatuan Energi)
Penari Barongan Ijo seringkali menjatuhkan kepala topengnya hingga hampir menyentuh tanah, atau bahkan menggesekkan hidung topeng ke bumi. Gerakan ini melambangkan penghormatan kepada Bumi Pertiwi dan upaya untuk menyerap energi bumi yang stabil dan menenangkan. Gerakan ini esensial sebelum Barongan Ijo memulai tugas beratnya menetralkan energi.
2. Tari Nyawang (Pengamatan Spiritual)
Gerakan ini melibatkan pengamatan yang intens, kepala Barongan bergerak perlahan dari kiri ke kanan, seolah memindai aura seluruh penonton dan arena. Ini bukan sekadar melihat, tetapi mencari titik-titik energi negatif atau kehadiran gaib yang mengganggu pertunjukan. Mata Barongan Ijo yang besar dan melotot menjadi fokus dalam gerakan ini, memancarkan wibawa yang mampu membuat roh-roh halus gentar.
3. Gerak Ngayomi (Mengayomi dan Melindungi)
Barongan Ijo akan menggunakan tubuhnya yang besar untuk mengayomi penari lain, terutama penari Jathil yang rentan. Ia berdiri tegak di samping mereka, menciptakan benteng spiritual. Gerakan kaki Barongan Ijo saat Ngayomi sangat mantap, tidak berjingkat-jingkat liar seperti Barongan lain, menunjukkan pondasi yang tak tergoyahkan.
Barongan Ijo dan Ritual Trans (Ngelmu)
Meskipun Barongan Merah sering kali menjadi pemicu trans massal, Barongan Ijo adalah pengendali trans. Penari Barongan Ijo harus memiliki tingkat spiritualitas (Laku) yang sangat tinggi. Mereka harus mampu mengendalikan roh yang merasuki mereka, memastikan bahwa energi yang keluar bersifat konstruktif, bukan destruktif.
Dalam ritual pemanggilan roh, Barongan Ijo diposisikan di tengah. Dupa dan sesajen seringkali diletakkan di bawah Barongan Ijo. Kehadirannya memastikan bahwa roh yang dipanggil adalah roh penjaga yang baik (Pulung Wasesa) dan bukan roh jahat (Pulung Ala). Tanpa Barongan Ijo, pertunjukan yang melibatkan trans dapat berisiko kehilangan kontrol dan membawa dampak buruk bagi penonton.
Keterlibatan Barongan Ijo dalam ritual juga sering dikaitkan dengan fungsi Ruwat Sukerta (pembersihan sial). Di beberapa desa, setelah upacara bersih desa, Barongan Ijo diarak mengelilingi batas desa, diyakini bahwa aura hijau dan kekuatan spiritualnya akan menyerap semua nasib buruk, penyakit, dan energi negatif yang beredar, memastikan desa tersebut mendapatkan keselamatan (Slamet) selama setahun ke depan. Dengan demikian, Barongan Ijo bukan hanya seniman, tetapi juga pendeta dan penjaga batin masyarakat.
Keterkaitan Mistik: Barongan Ijo, Dhanyang, dan Pusaka
Membicarakan Barongan Ijo berarti masuk ke ranah yang sangat pekat dengan kepercayaan mistik Jawa. Setiap Barongan Ijo yang dianggap ‘hidup’ pasti memiliki kaitan dengan kekuatan gaib tertentu, menjadikannya Pusaka desa atau Pusaka kelompok seni.
Barongan Ijo sebagai Manifestasi Dhanyang
Dhanyang adalah roh penjaga suatu tempat—hutan, sungai, atau desa. Dalam banyak kasus, Barongan Ijo diciptakan atau diyakini mengandung roh dari Dhanyang yang telah lama bersemayam di wilayah tersebut. Karena Dhanyang adalah entitas yang menjaga keseimbangan ekosistem, warna hijau sangat cocok untuk merepresentasikan mereka.
Jika Barongan Ijo adalah manifestasi Dhanyang, maka ia memiliki otoritas penuh di wilayah tersebut. Sebelum pementasan dimulai, sang penari dan pawang harus meminta izin secara khusus kepada Dhanyang melalui Barongan Ijo tersebut, agar pertunjukan berjalan lancar dan terhindar dari gangguan makhluk halus lainnya. Kegagalan melakukan ritual ini diyakini dapat menyebabkan Barongan menjadi sangat berat atau bahkan menolak untuk menari.
Pusaka Hidup dan Perawatan Khusus
Barongan Ijo yang dianggap Pusaka membutuhkan perawatan spiritual yang intensif. Ini bukan hanya tentang menyimpan di tempat yang aman, tetapi juga tentang memberikan ‘makan’ (Sajen) secara rutin. Sajen untuk Barongan Ijo sering terdiri dari elemen-elemen yang melambangkan alam:
- Kopi Pahit dan Teh Manis: Keseimbangan rasa hidup.
- Kembang Tujuh Rupa: Melambangkan keharuman dan spiritualitas.
- Jenang Suro/Abang Putih: Lambang asal-usul manusia dan keselarasan.
- Minyak Khusus: Digunakan untuk mengolesi topeng, sering kali menggunakan minyak wangi yang tidak mengandung alkohol, untuk menjaga kehalusan dan kekuatan mistisnya.
Perawatan ini dilakukan pada malam-malam tertentu, seperti Malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon, yang diyakini sebagai momen ketika dimensi spiritual dan duniawi bertemu.
Fenomena Jalak Ijo
Dalam tradisi Jawa, terdapat cerita mistis tentang Jalak Ijo, seekor burung hijau yang sangat langka dan diyakini membawa keberuntungan serta wibawa besar. Dalam interpretasi seni, Barongan Ijo sering dikaitkan dengan kekuatan Jalak Ijo ini. Barongan yang memiliki kekuatan Jalak Ijo dipercaya mampu menarik rezeki, memimpin dengan wibawa, dan memiliki insting tajam untuk mendeteksi kebohongan atau bahaya.
Penari yang dirasuki Barongan Ijo yang mengandung elemen Jalak Ijo sering menunjukkan gerakan mata yang sangat fokus dan gerakan tangan yang menyerupai cakaran burung, menandakan kecepatan dan ketepatan tindakan spiritual. Ini adalah puncak dari penguasaan seni Barongan Ijo, yang menggabungkan kebuasan singa dengan ketajaman burung.
Kontemplasi dan Tirakat Penari
Penari yang didapuk untuk membawakan Barongan Ijo harus menjalani serangkaian tirakat (puasa dan pantangan) yang lebih berat daripada penari lainnya. Mereka dituntut untuk menjaga hati, menghindari perkataan kotor, dan sering melakukan puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air putih) sebelum pertunjukan besar. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri agar dapat menjadi wadah yang murni bagi energi spiritual yang diwakili oleh Barongan Ijo.
Tanpa kesucian batin, dikhawatirkan Barongan Ijo akan menolak atau malah merasuki penari dengan energi negatif yang tidak terkontrol. Kepatuhan pada laku ini memastikan bahwa Barongan Ijo tetap menjadi simbol keselamatan (Slamet) dan bukan bencana.
Melestarikan Aura Hijau: Barongan Ijo di Era Kontemporer
Di tengah gempuran budaya pop dan modernisasi, seni Barongan, termasuk Barongan Ijo, menghadapi tantangan besar. Meskipun demikian, Barongan Ijo menunjukkan ketahanan yang luar biasa berkat nilai spiritualnya yang unik.
Tantangan Globalisasi dan Komersialisasi
Salah satu tantangan utama adalah komersialisasi. Barongan yang dahulu ditarikan hanya untuk ritual desa atau upacara sakral, kini sering ditarikan untuk acara pariwisata atau penyambutan. Hal ini berpotensi mengikis kedalaman ritualnya.
Ketika Barongan Ijo harus tampil cepat dan energik untuk memuaskan penonton, peran dasarnya sebagai penenang dan penyeimbang spiritual terkadang terabaikan. Kelompok seni modern cenderung menyederhanakan gerakan spiritual yang kompleks menjadi sekadar aksi panggung, menghilangkan makna Gerak Sembah Bumi atau Tari Nyawang yang penting.
Regenerasi Seniman dan Pengetahuan Spiritual
Masalah lain adalah regenerasi. Menjadi penari Barongan Ijo membutuhkan dedikasi spiritual yang tinggi (tirakat), sesuatu yang sulit diterima oleh generasi muda yang tumbuh di lingkungan serba instan. Banyak pembuat Barongan baru hanya fokus pada estetika visual, tetapi kurang mendalami ritual pemilihan kayu, ritual pengecatan, dan donga yang menyertai proses tersebut.
Oleh karena itu, banyak kelompok seni yang kini mengambil inisiatif untuk mendokumentasikan pengetahuan lisan dari para sesepuh (Pinisepuh) mengenai filosofi Barongan Ijo, memastikan bahwa makna warna hijau sebagai keselamatan tidak hilang, meskipun media pertunjukannya berubah.
Inovasi Tanpa Menghilangkan Sakralitas
Upaya pelestarian Barongan Ijo harus seimbang antara inovasi dan mempertahankan sakralitas. Beberapa kelompok seni mulai menciptakan pertunjukan Barongan Ijo yang dikemas lebih sinematik, menggabungkan musik tradisional dengan aransemen modern, namun tetap menempatkan ritual Ruwatan atau pembersihan di awal dan akhir pementasan.
Penggunaan media digital, seperti video dokumenter dan edukasi melalui platform daring, juga menjadi kunci untuk memperkenalkan Barongan Ijo kepada khalayak yang lebih luas, termasuk diaspora Jawa. Dengan menunjukkan kedalaman filosofi di balik warna hijau, kesenian ini dapat dilihat tidak hanya sebagai tarian, tetapi sebagai warisan intelektual dan spiritual.
Di berbagai sanggar seni, Barongan Ijo juga digunakan sebagai media terapi atau meditasi. Para seniman percaya bahwa energi ‘Slamet’ yang terkandung dalam Barongan Ijo dapat membantu penari dan penonton untuk mencapai ketenangan batin, menegaskan kembali perannya sebagai penjaga harmoni di tengah hiruk pikuk kehidupan modern.
Apresiasi Pembeda Warna
Penting bagi publik untuk diajak mengapresiasi perbedaan warna. Barongan Ijo harus dipromosikan sebagai entitas yang berbeda dari Barongan Merah atau Hitam, masing-masing membawa pesan yang unik. Kampanye edukasi harus menyoroti bahwa warna hijau adalah simbol *wibawa* yang sejuk, berbeda dari *wibawa* yang panas (merah).
Dengan dukungan pemerintah daerah dalam bentuk festival budaya yang mengutamakan orisinalitas ritual, serta kesadaran kolektif dari para seniman untuk mempertahankan tirakat, aura hijau Barongan Ijo akan terus bersinar, menjadikannya lentera kebijaksanaan bagi generasi mendatang.
Pendalaman Simbolisme: Ijo dalam Konteks Keraton dan Lingkaran Hidup
Warna hijau pada Barongan Ijo juga tidak terlepas dari pengaruh kultur Keraton dan pandangan siklus hidup (Cakra Manggilingan) Jawa. Meskipun Barongan adalah seni rakyat, penyerapan simbolisme Keraton menambah lapisan keagungan pada maknanya.
Ijo dan Keseimbangan Empat Nafsu (Sedulur Papat)
Dalam ajaran Jawa, manusia lahir bersama empat saudara spiritual (Sedulur Papat: Amarah, Supiyah, Aluamah, Mutmainah) dan satu pusat (Pancer). Warna merah sering dikaitkan dengan Amarah dan Supiyah (nafsu duniawi). Barongan Ijo, dengan sifatnya yang menenangkan, mewakili nafsu yang telah disucikan, atau sering dikaitkan dengan Mutmainah (ketenangan batin/nafsu yang damai).
Barongan Ijo berfungsi sebagai Pancer yang bijaksana, yang berada di pusat dan bertugas menyeimbangkan keempat sedulur lainnya. Penari Barongan Ijo adalah representasi fisik dari individu yang telah mencapai kesempurnaan dalam mengolah seluruh nafsunya, sehingga gerakannya menjadi penuh wibawa dan mampu menertibkan kekacauan yang dimunculkan oleh Barongan lainnya.
Kaitan Barongan Ijo dengan Papan dan Sandhang
Dalam kebutuhan dasar manusia (Pangan, Sandhang, Papan), warna hijau melambangkan Papan (tempat tinggal, tanah, keamanan). Barongan Ijo, sebagai penjaga alam dan keselamatan, secara simbolis menjaga teritori masyarakat. Ketika Barongan Ijo menari, ia bukan hanya menghibur, tetapi secara esoteris sedang menguatkan batas-batas spiritual desa dari segala mara bahaya, baik yang kasat mata maupun tidak.
Simbolisme ini terlihat jelas pada ritual di mana Barongan Ijo dihadapkan ke empat penjuru mata angin sebelum pertunjukan, memohon perlindungan dari setiap arah: Utara (rejeki), Selatan (kemakmuran), Timur (cahaya dan permulaan), dan Barat (kesudahan yang baik).
Proses Ijoisasi dan Transendensi
Konsep ‘Ijoisasi’ dalam Barongan merujuk pada proses spiritual yang harus dilalui oleh sang Bapang (topeng) dari sekadar benda mati menjadi Pusaka yang hidup. Proses ini melibatkan waktu, doa, dan sentuhan tangan seniman yang memiliki ‘isi’ spiritual.
Apabila sebuah Barongan Ijo berusia ratusan tahun dan telah melewati banyak generasi penari, diyakini bahwa pigmen hijau tersebut telah menyerap ribuan doa dan energi bumi. Pada titik ini, Barongan tersebut bukan lagi milik pribadi kelompok seni, melainkan milik kolektif desa, dihormati setara dengan pusaka Keris atau Tombak kuno.
Barongan Ijo dalam Seni Lukis dan Ukir
Pengaruh Barongan Ijo juga merambah ke seni rupa Jawa. Figur Barongan Ijo sering diukir pada pintu rumah adat atau diukir dalam relief candi modern sebagai simbol perlindungan. Dalam seni lukis modern, Barongan Ijo diinterpretasikan sebagai guardian yang tenang, seringkali dikelilingi oleh motif batik Parang Rusak atau Truntum, motif yang melambangkan kesinambungan dan kesetiaan.
Hal ini menunjukkan bahwa makna Barongan Ijo telah melampaui panggung pertunjukan. Ia telah menjadi ikon kebudayaan yang merepresentasikan aspek terdalam dari spiritualitas Jawa: ketenangan dalam kekuatan, kedamaian dalam kebuasan, dan kehidupan abadi yang dipersembahkan oleh alam semesta.
Barongan Ijo: Warisan Abadi Sang Penjaga
Barongan Warna Ijo berdiri sebagai monumen kebudayaan yang kaya akan simbolisme dan filosofi. Ia adalah perpaduan harmonis antara keganasan singa dan kedamaian alam semesta, sebuah kontradiksi yang justru menciptakan kekuatan spiritual yang unik. Warna hijau bukan hanya pilihan estetika, melainkan penanda fungsi ritual yang vital: membawa keselamatan (Slamet), menyeimbangkan energi spiritual, dan memastikan harmoni antara manusia dan lingkungannya.
Dari pemilihan kayu Pule yang sakral, detail Gimbal yang meliuk, hingga Gerak Sembah Bumi yang penuh wibawa, setiap elemen Barongan Ijo adalah rangkaian doa dan tirakat. Ia adalah perwujudan Dhanyang yang menjaga desa, representasi Mutmainah yang menenangkan nafsu, dan simbol Jalak Ijo yang membawa keberuntungan. Perannya dalam ritual trans dan pembersihan desa menegaskan bahwa Barongan Ijo adalah figur otoritas spiritual, bukan sekadar hiburan musiman.
Pelestarian Barongan Ijo menuntut lebih dari sekadar penampilan. Ia membutuhkan penghormatan terhadap laku batin dan filosofi leluhur. Dengan upaya yang berkelanjutan dari para seniman dan komunitas untuk meneruskan pengetahuan mendalam tentang 'isi' spiritualnya, Barongan Warna Ijo akan terus menari, menjaga keseimbangan, dan mengingatkan kita akan keagungan warisan budaya Jawa yang tak lekang oleh zaman. Barongan Ijo adalah pengingat bahwa kekuatan terbesar sering kali ditemukan dalam ketenangan yang membumi, abadi seperti hijaunya dedaunan di Nusantara.