Menyelami kedalaman spiritual dan visual dari salah satu kelompok seni Jathilan paling berpengaruh di Jawa Timur.
Seni pertunjukan tradisional Jawa, khususnya di wilayah Timur dan Tengah, selalu menjadi cerminan dari kompleksitas spiritual dan sosial masyarakatnya. Di antara ragam kesenian yang ada, Jathilan atau yang sering dikenal sebagai Kuda Lumping, menempati posisi unik. Ia adalah tarian rakyat yang menggabungkan gerak ritmis, musik gamelan yang menghentak, serta elemen mistik yang kental, mencapai puncaknya pada adegan 'ndadi' atau kesurupan massal.
Di tengah pusaran pelestarian budaya ini, munculah sebuah nama yang kini menjadi patokan bagi kualitas dan filosofi pertunjukan: Barongan Wahyu Putro Budoyo. Kelompok seni ini bukan sekadar pementas Jathilan biasa. Mereka adalah penjaga etika, pewaris tradisi, sekaligus inovator yang berhasil mengangkat pertunjukan rakyat ini ke panggung yang lebih luas tanpa menghilangkan akar magisnya. Nama "Wahyu Putro Budoyo" sendiri sarat makna. "Wahyu" merujuk pada karunia atau ilham spiritual yang diturunkan, menandakan bahwa seni yang mereka bawakan adalah anugerah dan titipan leluhur. "Putro" (Putra) menegaskan regenerasi dan keberlanjutan, sementara "Budoyo" (Budaya) adalah komitmen mereka untuk memuliakan warisan tradisi.
Barongan Wahyu Putro Budoyo (selanjutnya disingkat BWP Budoyo) dikenal karena kualitas Barongan (topeng singa) mereka yang artistik, kekuatan magis saat pementasan, dan kesetiaan mereka pada pakem musik klasik Jathilan. Kelompok ini telah menjadi ikon budaya di daerah asalnya, sering kali dipanggil untuk upacara adat, bersih desa, hingga festival seni regional. Memahami BWP Budoyo adalah memahami bagaimana tradisi dapat bertahan dan berevolusi di tengah derasnya arus modernitas, menjadikan mereka studi kasus penting dalam antropologi seni pertunjukan Nusantara.
Ilustrasi Kepala Singo Barong, lambang kekuatan dan penjaga dalam pertunjukan BWP Budoyo.
Untuk memahami BWP Budoyo, kita harus melihat konteks geografis dan historis Jawa Timur, khususnya wilayah yang kental dengan budaya Jathilan dan Reyog. Seni Barongan sering kali menjadi bagian integral dari pertunjukan Kuda Lumping, berfungsi sebagai komandan spiritual atau penjaga panggung. Pada dekade tertentu, banyak kelompok Jathilan mulai kehilangan pakem dan unsur ritualnya, cenderung menjadi hiburan semata.
BWP Budoyo didirikan dengan visi untuk mengembalikan kemuliaan dan kesakralan pertunjukan tersebut. Pendirian kelompok ini berawal dari inisiasi sekelompok seniman lokal yang merasa terpanggil untuk melestarikan seni pagelaran pusaka. Mereka tidak hanya mewarisi teknik gerak dan musik, tetapi juga disiplin spiritual yang diturunkan oleh para sesepuh. Proses pembentukannya tidaklah instan, melainkan melalui serangkaian ritual dan tirakat panjang yang bertujuan meminta restu alam dan leluhur, sebuah proses yang menegaskan unsur 'Wahyu' dalam nama mereka.
Pada awalnya, BWP Budoyo mungkin hanya dikenal di lingkup desa. Namun, dedikasi mereka terhadap detail artistik dan kekuatan spiritual membuat reputasi mereka menyebar cepat. Mereka konsisten menggunakan bahan-bahan tradisional untuk kostum dan properti: kulit kerbau untuk kuda lumping, kayu pilihan untuk topeng Barongan, dan instrumen gamelan yang dirawat dengan ritual khusus. Perbedaan BWP Budoyo terletak pada: (1) Kualitas visual Barongan yang lebih garang dan detail; (2) Kekuatan ritual yang dijaga ketat, memastikan pementasan selalu disertai energi spiritual yang tinggi; dan (3) Kreativitas dalam batas tradisi, di mana mereka berhasil memasukkan variasi tarian baru tanpa merusak esensi Jathilan klasik.
Seiring waktu, BWP Budoyo menjadi mentor bagi kelompok-kelompok seni lain. Mereka menjadi rujukan dalam hal etika panggung dan cara menangani fenomena 'ndadi' yang sakral. Keputusan mereka untuk tampil dalam format yang lebih terorganisir, termasuk penggunaan manajemen waktu dan tata panggung yang profesional, membantu mengangkat citra Jathilan dari sekadar seni jalanan menjadi pertunjukan budaya berkelas tinggi.
Pertunjukan Barongan Wahyu Putro Budoyo adalah simfoni visual yang terdiri dari berbagai elemen koreografi, kostum, dan musik yang terintegrasi. Setidaknya, ada lima pilar karakter utama yang selalu hadir dalam pementasan mereka, masing-masing membawa peran simbolis yang mendalam.
Sosok Barongan, atau Singo Barong, adalah pusat gravitasi pertunjukan. Dalam BWP Budoyo, topeng Barongan dibuat dengan detail ukiran yang luar biasa. Ciri khasnya meliputi mata melotot yang dihiasi cat merah menyala, taring gading yang menonjol, dan rambut gimbal panjang yang terbuat dari tali rami atau ijuk yang dicat hitam pekat. Desain ini bukan hanya estetika; ia melambangkan kekuatan mistis yang mampu menolak bala dan mengendalikan roh-roh liar yang mungkin hadir selama pertunjukan.
Penari Barongan (Penggarap Barongan) harus memiliki stamina fisik luar biasa, mengingat beratnya topeng dan busana. Geraknya harus tegas, menghentak, dan dominan. Ia seringkali berinteraksi secara agresif dengan penonton atau dengan karakter Bujang Ganong, menciptakan dinamika komedi sekaligus ketegasan. Filosofi gerak Barongan adalah 'Gagah Berani dalam Kebaikan'. Kehadiran Barongan adalah sinyal dimulainya fase puncak ritual.
Penari Jathil adalah tulang punggung pertunjukan. Dalam BWP Budoyo, penari Jathil—yang mayoritas adalah remaja dan pemuda—mengenakan kostum yang seragam, didominasi warna merah, hitam, dan emas, serta membawa properti kuda anyaman bambu atau kulit. Gerakan mereka berirama dan sinkron, melambangkan pasukan berkuda yang setia. Sebelum mencapai tahap 'ndadi', tarian mereka cenderung disiplin dan elegan.
Detail Gerakan Jathil:
Kualitas BWP Budoyo terlihat dari transisi antara gerak sadar dan gerak 'ndadi'. Mereka mengontrol energi ini agar tetap dalam batas-batas ritual yang diizinkan, memastikan keselamatan spiritual dan fisik penari.
Bujang Ganong: Sosok yang ikonik dengan topeng berhidung panjang dan ekspresi jenaka. Peran Bujang Ganong adalah sebagai komedian, penghubung antara dunia sakral (Barongan/Jathil) dan dunia profan (penonton). Ia adalah pemecah ketegangan dan pemberi komentar sosial. Namun, di balik kelucuannya, Ganong juga seringkali menjadi penjaga gerbang spiritual yang membersihkan arena dari energi negatif.
Celeng Srenggi: Karakter babi hutan yang melambangkan nafsu atau rintangan yang harus ditaklukkan. Kehadirannya sering menjadi katalisator bagi konflik gerak atau pemicu kondisi 'ndadi' yang lebih liar. Celeng Srenggi, dengan gerakannya yang tak terduga dan seringkali agresif, memberikan kontras yang diperlukan dalam narasi pertunjukan.
Gerakan ritmis Jathil yang merupakan inti dari pertunjukan BWP Budoyo.
Pertunjukan Jathilan Barongan tidak akan lengkap tanpa iringan musik Gamelan yang berfungsi ganda: sebagai pengiring ritmis dan sebagai penarik roh. BWP Budoyo dikenal memiliki perangkat Gamelan yang dirawat dengan sangat baik, seringkali merupakan pusaka turun temurun. Musik dalam konteks ini adalah bahasa komunikasi antara penari, Pawang, dan entitas spiritual.
Susunan Gamelan BWP Budoyo, meskipun sederhana dibandingkan Gamelan Keraton, memiliki fungsi yang sangat spesifik untuk Jathilan:
Setiap kelompok Jathilan memiliki gending (melodi) khas, dan BWP Budoyo mempertahankan gending-gending klasik yang dipercaya memiliki daya magis. Beberapa gending fokus pada kecepatan tinggi yang memicu adrenalin, sementara yang lain bernuansa mistis yang bertujuan membuka gerbang dimensi lain. Gending seperti 'Gending Semarangan' atau 'Gending Singo Manggolo' sering menjadi pembuka sebelum pementasan mencapai puncaknya.
Peran Pawang (Pengendali): Pawang adalah figur paling krusial. Ia bukan hanya pimpinan teknis, tetapi juga mediator spiritual. Pawang BWP Budoyo bertugas memimpin ritual pra-pertunjukan (seperti bakar kemenyan dan doa), menjaga keamanan penonton dan penari selama 'ndadi', serta mengakhiri kondisi trance. Kekuatan BWP Budoyo terletak pada kontrol Pawang yang ketat, memastikan bahwa energi spiritual yang dilepaskan tetap positif dan konstruktif.
Filosofi di balik BWP Budoyo jauh melampaui hiburan semata. Ia adalah praktik spiritual yang mengajarkan disiplin diri, koneksi dengan alam, dan penghormatan terhadap entitas tak kasat mata. Konsep inti yang mereka pegang adalah Jalmo Rogo, yaitu pemisahan sementara kesadaran manusia (Jalmo) dari raga (Rogo) untuk memberikan tempat pada energi atau roh lain. Dalam Jathilan, inilah yang terjadi saat 'ndadi'.
Menjadi anggota BWP Budoyo membutuhkan komitmen spiritual yang serius. Sebelum setiap pementasan besar, anggota harus menjalani tirakat (puasa atau pantangan tertentu) dan ritual pembersihan diri. Tujuannya adalah menyucikan diri agar layak menjadi wadah bagi kekuatan yang akan datang. Ritual pra-pementasan meliputi:
Penghormatan terhadap Barongan (topeng singa) adalah mutlak. Barongan dianggap sebagai benda hidup, bahkan sering kali disimpan di tempat khusus dan tidak boleh diperlakukan sembarangan. Prosesi ini menegaskan bahwa Barongan Wahyu Putro Budoyo memegang teguh identitas mereka sebagai kelompok seni ritual, bukan sekadar komersial.
'Ndadi' bukan sekadar kesurupan tanpa makna, melainkan manifestasi dari koneksi spiritual. Dalam konteks BWP Budoyo, 'ndadi' melambangkan pencarian jati diri yang hilang dan kembalinya manusia pada insting purba, seringkali diwujudkan dalam perilaku seperti makan beling, mengupas kelapa dengan gigi, atau makan bunga. Meskipun tampak ekstrem, tindakan ini dilakukan di bawah pengawasan Pawang yang menggunakan energi spiritual untuk melindungi penari dari bahaya fisik.
Filosofi terdalam dari 'ndadi' adalah Harmonisasi Kekuatan. Penari belajar bagaimana menyerahkan diri pada kekuatan yang lebih besar, namun tetap memiliki kesadaran bawah sadar (rogo) yang membatasi tindakannya agar tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Ini adalah pelajaran tentang kontrol diri melalui pelepasan kontrol.
Tantangan terbesar bagi seni tradisional adalah relevansi di era digital. Barongan Wahyu Putro Budoyo, meskipun berakar kuat pada tradisi, menunjukkan kecakapan adaptasi yang luar biasa. Mereka berhasil menjaga keaslian ritual, sambil memanfaatkan teknologi modern untuk pelestarian dan promosi.
BWP Budoyo sangat aktif di platform media sosial, terutama YouTube dan TikTok. Mereka menggunakan platform ini untuk mendokumentasikan setiap pementasan, menjangkau audiens muda, dan bahkan menjelaskan filosofi di balik tarian mereka. Video-video mereka yang menunjukkan detail Barongan, kekuatan 'ndadi', dan irama Gamelan yang memukau sering menjadi viral, yang secara tidak langsung memberikan edukasi budaya kepada masyarakat di luar Jawa.
Fenomena digital ini memiliki dua dampak positif:
Meskipun sukses dalam adaptasi, BWP Budoyo menghadapi tantangan yang serupa dengan kelompok seni tradisional lainnya:
Kendang, alat musik utama yang mengatur ritme dan memicu fase trance dalam pertunjukan.
Kualitas Barongan Wahyu Putro Budoyo terletak pada detail terkecil, mulai dari jahitan busana hingga pola gerak kaki yang tidak boleh melenceng dari pakem. Analisis mikro ini mengungkapkan tingkat dedikasi yang diperlukan untuk mempertahankan standar 'Budoyo' mereka.
Tata rias dalam BWP Budoyo, khususnya bagi penari Jathil, didasarkan pada warna-warna cerah yang melambangkan semangat dan keberanian.
Gerak Jathilan BWP Budoyo menuntut keseimbangan yang sempurna antara kelembutan dan kekuatan. Meskipun gerakannya terlihat kasar dan enerjik, ada filosofi pengendalian energi di baliknya.
Kepala Barongan adalah artefak terpenting dan termagical dalam kelompok ini. Dalam BWP Budoyo, setiap Barongan tidak hanya dianggap sebagai properti, tetapi sebagai pusaka hidup yang memiliki energi penunggu. Proses pembuatannya adalah ritual yang panjang dan penuh persyaratan.
Kayu yang digunakan haruslah kayu pilihan, seringkali dari pohon tertentu yang dianggap memiliki energi spiritual kuat (misalnya, pohon randu alas atau jaranan).
Pengisian Energi (*Ngelmu*): Setelah Barongan selesai diukir dan dicat, ia tidak bisa langsung digunakan. Pawang atau sesepuh kelompok akan melakukan ritual pengisian energi (*ngelmu*) selama beberapa malam. Ritual ini bertujuan 'menghidupkan' topeng, menjadikannya perantara spiritual yang sah. Inilah alasan mengapa Singo Barong BWP Budoyo seringkali memiliki aura yang sangat kuat saat dipentaskan, bahkan sebelum penari memulainya.
Perawatan pusaka Barongan sangat ketat. Ia tidak boleh diletakkan sembarangan, tidak boleh dilangkahi, dan hanya boleh disentuh oleh anggota kelompok yang sudah menjalani ritual penyucian. Pantangan ini adalah bagian dari etika 'Budoyo' yang mereka junjung, memastikan bahwa kekuatan dan kesakralan Barongan tetap terjaga, membedakan mereka dari kelompok lain yang mungkin memperlakukan topeng hanya sebagai kostum.
Keberlanjutan sebuah kelompok seni tradisional tidak hanya diukur dari seberapa sering mereka pentas, tetapi dari seberapa efektif mereka mewariskan pengetahuan dan spiritualitas kepada generasi berikutnya. BWP Budoyo memiliki program regenerasi yang terstruktur, memastikan bahwa estafet 'Wahyu' tidak terputus.
Anggota muda (Putro) BWP Budoyo tidak hanya diajarkan koreografi. Mereka melalui pelatihan intensif yang meliputi:
Regenerasi ini memastikan bahwa tradisi tidak menjadi fosil, melainkan mata air yang terus mengalir. Anggota muda didorong untuk menemukan gaya mereka sendiri, asalkan tidak melanggar pakem dasar yang diwariskan oleh sesepuh pendiri BWP Budoyo.
Visi jangka panjang BWP Budoyo adalah menjadikan Barongan sebagai identitas budaya yang diakui di tingkat nasional maupun internasional. Mereka aktif berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan institusi pendidikan untuk memasukkan seni Jathilan ke dalam kurikulum lokal. Dengan demikian, mereka berperan sebagai benteng terakhir yang menjaga warisan Jathilan dari kepunahan.
Komitmen BWP Budoyo terhadap kualitas, etika ritual, dan keberlanjutan regenerasi menjadikan mereka lebih dari sekadar kelompok seni; mereka adalah institusi kebudayaan berjalan. Barongan Wahyu Putro Budoyo telah membuktikan bahwa seni yang berakar kuat pada spiritualitas dan disiplin tinggi mampu menembus batas-batas zaman, mempertahankan kesakralan di tengah hiruk pikuk modernitas, dan terus memancarkan 'Wahyu' budaya bagi Nusantara.
Secara keseluruhan, Barongan Wahyu Putro Budoyo merepresentasikan puncak seni pertunjukan Jathilan di Jawa Timur. Mereka berhasil menyatukan keindahan visual (melalui Barongan yang detail dan kostum yang megah), ketegangan dramatis (melalui interaksi karakter), keunikan musikal (melalui Gamelan yang memacu), dan kedalaman spiritual (melalui ritual 'ndadi' yang terkontrol).
Melalui dedikasi yang tak terputus terhadap tradisi dan kemampuan adaptasi yang cerdas di era digital, BWP Budoyo tidak hanya melestarikan seni, tetapi juga mengangkat martabat budaya rakyat yang sempat dipandang sebelah mata. Mereka adalah penjaga api, memastikan bahwa semangat Singo Barong akan terus berteriak, dan ritme Kendang Jathilan akan terus menghantarkan warisan spiritual dari generasi ke generasi, sebuah warisan budaya yang abadi dan penuh makna.