Ketika Seni Berpijak pada Ritual dan Kepercayaan Leluhur
Dalam khazanah kebudayaan Jawa, terutama di wilayah Mataraman dan sekitarnya, istilah Barongan seringkali disamakan dengan kesenian rakyat yang bersifat hiburan semata. Namun, bagi para pelaku, sesepuh, dan pewaris tradisi sejati, terdapat pembedaan mendasar antara Barongan sebagai tontonan biasa dengan Barongan Tenanan. Konsep tenanan, yang secara harfiah berarti 'sungguh-sungguh' atau 'otentik', merujuk pada Barongan yang masih mempertahankan akar ritual, spiritualitas, dan pakem (aturan baku) yang diwariskan secara turun-temurun.
Barongan Tenanan bukanlah sekadar gerak tari dan iringan musik; ia adalah manifestasi spiritual, jembatan antara dunia manusia dengan alam gaib, serta penghormatan tulus terhadap Danyang (roh penjaga tempat) dan leluhur. Aspek keseriusan ini menuntut totalitas, bukan hanya dari penari yang mengenakan mahkota Singa Barong, melainkan juga dari seluruh perangkat pendukung, mulai dari pengrawit (pemain gamelan) hingga sesepuh yang memimpin jalannya ritual.
Inti dari tenanan terletak pada dimensi Jumenengan, sebuah proses penjiwaan dan penyatuan roh. Ketika Barongan itu 'menari' dalam keadaan Nglamun atau Janturan (trance), ia tidak lagi dikendalikan oleh kesadaran manusiawi sang penari. Ia adalah representasi makhluk gaib yang diundang, sebuah manifestasi kekuatan kosmik yang hadir untuk memberikan berkah, perlindungan, atau sekadar memberikan pelajaran spiritual kepada masyarakat yang menyaksikan.
Kesungguhan ini meliputi kesakralan uborampe (sesajen), ketepatan laku tirakat (puasa dan pantangan), serta kebersihan hati (niat suci) para pemain. Tanpa elemen-elemen ini, Barongan akan kehilangan daya magisnya, berubah menjadi topeng kosong yang hanya mampu menghibur mata, namun gagal menyentuh jiwa. Inilah garis pemisah tegas yang memisahkan Barongan sejati dari versi komersial yang menjamur di era modern.
Para penggiat Barongan Tenanan senantiasa menekankan bahwa kesenian ini adalah sebuah pusaka, sebuah warisan yang harus dijaga keasliannya dari pengaruh-pengaruh luar yang cenderung mereduksi nilai sakralnya. Mereka meyakini bahwa sekali pakem dilanggar atau ritual diabaikan, maka kekuatan spiritual yang melingkupi Barongan akan menghilang, meninggalkan sisa-sisa pertunjukan tanpa nyawa.
Representasi Singa Barong, Mahluk Penjaga yang Dihormati dalam Ritual Barongan Tenanan.
Filosofi Barongan Tenanan berakar kuat pada sinkretisme Jawa-Hindu-Buddha dan animisme lokal. Makhluk Barong, atau Singa Barong, sering diasosiasikan dengan kekuatan alam, representasi Raja Hutan yang menjaga keseimbangan kosmos. Ia bukan sekadar binatang buas, melainkan simbol kekuatan tak terhingga yang harus dihormati dan diselaraskan.
Puncak dari keseriusan Barongan Tenanan adalah momen Janturan (trance). Proses ini adalah hasil dari persiapan mental dan spiritual yang panjang (tirakatan). Penari yang tenanan harus mampu mengosongkan diri secara total, menjadikan raganya sebagai wadah murni bagi entitas spiritual yang diundang.
Dalam keadaan Nglamun, penari menunjukkan kekuatan fisik luar biasa, kebal terhadap rasa sakit, dan melakukan gerakan-gerakan yang mustahil dilakukan dalam keadaan sadar. Ini adalah bukti visual bahwa jiwa Barong telah menyatu. Sesepuh harus memastikan bahwa entitas yang masuk adalah roh yang baik dan dihormati, seringkali merupakan Danyang yang dihormati di wilayah tersebut, atau bahkan roh leluhur yang memiliki ikatan darah dengan kelompok Barongan tersebut.
Keseluruhan ritual ini dilindungi oleh pagar gaib yang dipasang oleh pawang. Tanpa perlindungan ini, interaksi dengan alam lain dapat menjadi kacau dan berbahaya, menegaskan bahwa Barongan Tenanan adalah praktik yang mengandung risiko spiritual dan harus dilakukan dengan ilmu dan etika yang tinggi.
Para pengrawit juga memainkan peran vital dalam Janturan. Irama Gamelan dalam Barongan Tenanan bukanlah irama biasa; ia memiliki pola spesifik yang berfungsi sebagai mantra suara, panduan bagi roh untuk masuk dan keluar dari raga penari. Jika iramanya salah, proses trance bisa terganggu, atau roh yang masuk menjadi tidak terkontrol. Inilah sebabnya mengapa pelatihan Gamelan Barongan membutuhkan hafalan yang tidak hanya teknis, tetapi juga spiritual.
Setiap perangkat dalam Barongan Tenanan memiliki nilai sakral. Topeng Barong (Gamelan) sendiri diyakini memiliki ‘isi’ atau energi spiritual. Perawatannya dilakukan melalui ritual khusus, seringkali diwarnai dengan puasa weton (hari kelahiran) dan pemberian sesaji pada malam-malam tertentu (seperti Malam Jumat Kliwon).
Uborampe yang wajib ada dalam setiap ritual meliputi:
Mengabaikan salah satu uborampe dianggap sebagai penghinaan terhadap kekuatan yang diundang. Inilah yang membedakannya dari pertunjukan Barongan modern yang mungkin hanya menggunakan properti tanpa makna ritual mendalam. Bagi mereka yang tenanan, uborampe adalah kontrak spiritual yang harus dipenuhi.
Penyimpanan topeng dan peralatan juga diatur ketat. Mereka tidak boleh diletakkan sembarangan, apalagi dilangkahi. Tempat penyimpanan (Pusaka Dalem) seringkali diperlakukan layaknya tempat ibadah kecil, selalu dijaga kebersihannya dan jauh dari hal-hal yang dianggap kotor atau pamali. Kepercayaan ini melanggengkan rasa hormat dan kesadaran akan tanggung jawab spiritual yang diemban oleh kelompok kesenian tersebut.
Walaupun Barongan Tenanan terlihat dinamis, ia mengikuti struktur pertunjukan yang kaku, yang bertujuan untuk memicu dan mengendalikan energi spiritual. Urutan ritual biasanya dimulai dengan pembersihan (ruwatan) tempat pertunjukan, diikuti dengan pemanggilan roh, dan diakhiri dengan ritual penetralan.
Dalam Barongan Tenanan, setiap peran memiliki tanggung jawab spiritual yang setara:
Penari yang memanggul Barong harus menjalani puasa terberat. Ia adalah poros energi. Gerakannya bukan hanya tari, tetapi ekspresi kehendak entitas yang merasukinya. Kostumnya, yang meliputi topeng besar, hiasan rambut dari kulit, dan kain penutup berwarna merah-hitam, melambangkan kekuatan dan dualitas.
Bujang Ganong sering digambarkan sebagai patih yang setia, lincah, dan kadang jenaka. Namun, dalam konteks tenanan, ia berfungsi sebagai mediator, yang bisa berkomunikasi dengan Singa Barong yang sedang trance. Topengnya yang berambut panjang dan bermata lebar mencerminkan kecerdasan dan energi yang tak terduga. Penari Ganong harus memiliki kemampuan akrobatik yang tinggi, namun juga kepekaan spiritual untuk membaca suasana hati Barong.
Topeng Bujang Ganong, Wujud Patih yang Lincah dan Mediator Spiritual.
Jathilan, atau penari kuda kepang, melambangkan prajurit dan rakyat biasa. Dalam Barongan Tenanan, mereka juga sering mengalami trance (ndadi). Mereka adalah energi kolektif yang menyerap dan melepaskan tekanan spiritual selama ritual. Pakaian mereka yang seragam dan rapi mencerminkan disiplin prajurit.
Tokoh sentral dalam tenanan. Ia adalah juru kunci yang menguasai mantera dan ritual pemanggilan serta penetralan. Pawang bertanggung jawab atas keselamatan spiritual dan fisik seluruh pemain. Pengetahuan pawang harus meliputi tradisi lisan, pengobatan tradisional, dan pemahaman mendalam tentang klenik lokal.
Pertunjukan Barongan Tenanan sejati selalu diawali dengan:
Durasi Barongan Tenanan yang otentik bisa mencapai berjam-jam, jauh berbeda dari pertunjukan komersial yang dipersingkat. Waktu yang lama ini diperlukan untuk menuntaskan siklus spiritual, bukan hanya untuk hiburan semata.
Aspek tenanan juga menuntut bahwa pertunjukan ini dilakukan di tempat yang diyakini memiliki energi spiritual tinggi atau di depan situs-situs bersejarah, seperti makam leluhur atau sendang (mata air keramat), bukan semata di lapangan terbuka untuk keramaian.
Globalisasi dan tuntutan pasar telah memberikan dilema besar bagi kelompok-kelompok yang memegang teguh tradisi Barongan Tenanan. Demi mendapatkan penghasilan, banyak kelompok terpaksa mengurangi atau bahkan menghilangkan ritual-ritual sakral, mempercepat durasi, dan mengubah pakem gerak demi daya tarik visual yang lebih instan.
Ketika Barongan hanya dipentaskan sebagai atraksi wisata, fokus bergeser dari penyatuan spiritual menjadi atraksi fisik. Trance yang seharusnya adalah manifestasi spiritual murni, terkadang direkayasa atau dipaksa, yang menurut kepercayaan tradisional, dapat mendatangkan marabahaya dan menghilangkan keberkahan pusaka.
Kelompok tenanan menolak tegas praktik-praktik ini. Mereka meyakini bahwa spiritualitas tidak dapat diperjualbelikan. Kewajiban mereka adalah melestarikan, bukan mengkomodifikasi. Ini seringkali membuat mereka berbenturan dengan realitas ekonomi, di mana kelompok yang 'lebih lentur' dalam pakemnya justru lebih sering mendapat panggilan pentas.
Salah satu perubahan paling signifikan adalah hilangnya laku tirakat. Di masa lalu, seorang penari Barong sejati harus berpuasa mutih selama 40 hari, menghindari makanan tertentu, dan menjalani ritual mandi kembang. Saat ini, banyak penari hanya perlu berlatih fisik tanpa disertai pendalaman batin. Konsekuensinya, energi yang dihasilkan saat pentas menjadi kurang kuat, atau bahkan kosong dari esensi spiritual.
Para penjaga tradisi juga menghadapi masalah regenerasi. Generasi muda lebih tertarik pada bentuk seni yang menawarkan popularitas dan pendapatan cepat, kurang sabar untuk menjalani proses pendalaman spiritual yang memakan waktu bertahun-tahun. Ini adalah tantangan terbesar: mencari penerus yang memiliki kemauan dan hati yang tenanan untuk memikul tanggung jawab sakral ini.
Meskipun menghadapi tekanan modern, banyak komunitas masih berjuang untuk menjaga otentisitas Barongan Tenanan. Konservasi ini dilakukan melalui:
Mempertahankan Barongan Tenanan berarti menjaga integritas budaya. Ini adalah pertarungan melawan pelupaan sejarah dan penolakan terhadap pemurnian seni hanya demi keuntungan materi. Tenanan adalah sebuah penolakan terhadap kepalsuan; ia adalah janji abadi kepada leluhur untuk menjaga api spiritual tetap menyala.
Keberadaan Barongan yang sejati berfungsi sebagai penyeimbang spiritual di komunitasnya. Jika pertunjukan Barongan Tenanan diadakan di suatu desa, masyarakat meyakini bahwa desa tersebut akan dilindungi dari bencana dan mara bahaya, serta hasil panen akan melimpah. Fungsi ini, sebagai tolak bala dan penarik rezeki, hilang ketika Barongan direduksi menjadi sekadar hiburan.
Oleh karena itu, setiap kelompok Barongan yang menyebut dirinya tenanan membawa beban moral dan spiritual yang sangat berat. Mereka bukan hanya seniman, tetapi juga penjaga tradisi, dukun, dan penghubung spiritual masyarakatnya.
Sangat penting untuk memahami bahwa menjadi penari Barongan Tenanan, khususnya Singa Barong, memerlukan laku batin yang luar biasa. Kualitas penampilan di atas panggung adalah refleksi dari kualitas laku tirakat di luar panggung. Tirakat adalah kunci untuk membuka gerbang spiritual yang memungkinkan roh Barong merasuk dengan sempurna dan aman.
Sebelum pementasan besar, para pemain inti diwajibkan menjalani puasa yang spesifik. Jenis puasa yang umum adalah puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air putih) atau puasa ngebleng (tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak berbicara selama periode tertentu, biasanya 24 jam atau 40 jam). Puasa ini bertujuan membersihkan raga dan jiwa dari hawa nafsu duniawi, sehingga tubuh menjadi wadah yang ‘bersih’ (suci) untuk dihuni oleh entitas gaib.
Selain puasa, terdapat pantangan-pantangan (pamali) yang harus dihindari sepanjang hidup sebagai pemain tenanan. Pantangan ini sering berkaitan dengan perilaku moral, seperti larangan berbohong, mencuri, atau menggunakan ilmu spiritual untuk tujuan jahat. Pelanggaran terhadap pamali ini diyakini akan menyebabkan kualat, yaitu hukuman spiritual yang bisa berupa hilangnya kemampuan menari, sakit parah, atau bahkan kegilaan ketika berusaha kerasukan.
Pengetahuan tentang hari baik dan hari buruk (petungan Jawa) juga menjadi bagian integral dari laku spiritual. Pementasan tidak dilakukan sembarangan. Hari dan tanggal harus dipilih berdasarkan perhitungan primbon untuk memastikan bahwa energi alam mendukung ritual, sehingga Singa Barong dapat hadir dengan energi maksimal dan membawa berkah.
Dalam Barongan Tenanan yang otentik, diyakini bahwa topeng Barong dan Gamelan pendukung memiliki khodam (pendamping gaib) yang menjaga dan memberikan kekuatan. Khodam ini bukanlah sesuatu yang bisa dipesan, melainkan entitas yang terikat oleh perjanjian leluhur atau hasil dari ritual pengisian yang dilakukan oleh Pawang tertinggi.
Proses pengisian pusaka (Nyepuh) adalah ritual yang sangat rahasia, melibatkan mantera-mantera kuno dan medium khusus, sering dilakukan di tempat yang dianggap wingit (angker) dan penuh aura spiritual. Ketika sebuah pusaka telah terisi, ia harus dihormati; tidak ada yang boleh menyentuhnya kecuali pawang atau pemain utama yang telah disucikan.
Penghormatan terhadap pusaka ini adalah bagian dari komitmen tenanan. Topeng Barong tidak dilihat sebagai benda mati, tetapi sebagai entitas hidup yang memiliki keinginan dan perasaan. Jika ia merasa diabaikan, ia dipercaya bisa ‘marah’ atau ‘pergi’, yang akan berdampak buruk pada kelompok dan desa yang menaunginya.
Maka, ritual pemandian topeng pusaka, yang biasanya melibatkan air tujuh sumur atau air kembang setaman, adalah kewajiban periodik. Pemandian ini bukan hanya membersihkan secara fisik, tetapi membersihkan dari energi negatif dan memperbarui perjanjian spiritual dengan khodam yang bersemayam di dalamnya. Kelompok Barongan Tenanan sejati menghabiskan lebih banyak waktu untuk ritual perawatan ini daripada waktu untuk berlatih tari biasa.
Di berbagai daerah, Barongan Tenanan bukan hanya seni, tetapi penanda identitas yang mengikat masyarakat pada sejarah lokal mereka. Legenda yang melatarbelakangi Barongan, seperti kisah Prabu Klono Sewandono dari Ponorogo atau kisah-kisah Danyang di Blora dan Kediri, adalah narasi yang memperkuat rasa kepemilikan dan kebanggaan komunitas.
Meskipun memiliki inti spiritual yang sama, Barongan Tenanan di setiap wilayah memiliki pakem dan ciri khas yang berbeda.
Kelompok tenanan dari satu wilayah akan mempertahankan pakem wilayahnya mati-matian, menolak untuk mencampuradukkan gaya dari daerah lain, karena mereka percaya bahwa setiap pakem telah diselaraskan dengan energi Danyang setempat.
Peran Warok (pemimpin spiritual dan fisik) sangat menonjol dalam Barongan Tenanan. Warok adalah simbol kesatriaan, kejujuran, dan disiplin. Warok tidak hanya memastikan Barongan berjalan lancar, tetapi juga menjaga moralitas kelompok. Etos Warok yang tenanan menuntut mereka menjadi figur yang disegani di masyarakat, bukan hanya karena kekuatan fisiknya, tetapi karena kemurnian spiritualnya.
Kehadiran Warok memberikan nuansa maskulinitas dan kekuatan penjaga dalam setiap pementasan. Mereka adalah representasi dari kekuatan pelindung kerajaan kuno, dan mereka yang bertanggung jawab memastikan bahwa entitas yang merasuki Barong atau Jathilan tidak menimbulkan kerusakan pada penonton atau lingkungan sekitar.
Pewarisan ilmu Warok melibatkan ritual berat dan transfer energi (Ijazah) yang harus disetujui oleh sesepuh. Seseorang tidak bisa sekadar memakai pakaian Warok; ia harus memiliki tenanan dalam jiwanya untuk memikul gelar tersebut.
Filosofi yang dianut oleh kelompok Barongan Tenanan mengajarkan tentang Sangkan Paraning Dumadi (asal-usul kehidupan) dan pentingnya harmoni dengan alam semesta. Setiap gerakan tari, setiap pukulan Gamelan, adalah refleksi dari perjuangan hidup, peperangan melawan kebatilan, dan pencarian jati diri sejati.
Gamelan dalam Barongan Tenanan adalah denyut nadi ritual. Ia bukanlah sekadar musik pengiring, melainkan jembatan suara yang menghubungkan dimensi spiritual dan fisik. Irama yang dimainkan (Gendhing) harus memiliki kekuatan magis untuk memanggil roh, menjaga roh yang merasuk tetap berada dalam kendali, dan akhirnya, mengembalikannya.
Dalam Barongan Tenanan, peran Kendang (drum) sangat dominan. Pukulan Kendang tidak hanya mengatur tempo, tetapi bertindak sebagai komunikasi spiritual langsung dengan Barong. Ritme yang cepat dan mendesak (disebut ‘Kendang Janturan’) adalah pemicu utama trance. Pemain Kendang harus memiliki kepekaan psikis yang luar biasa untuk merasakan kapan Barong siap dirasuki dan kapan ia perlu ditenangkan.
Gong, dengan suaranya yang dalam dan bergetar, berfungsi sebagai penutup siklus spiritual. Bunyi Gong yang khidmat memberikan batasan pada energi yang dilepaskan, memastikan ritual tetap terkendali. Alat musik lain seperti Kenong, Kempul, dan Saron, semua diatur sedemikian rupa untuk menciptakan suasana yang wingit (mistis) namun teratur.
Terdapat Gendhing-Gendhing tertentu yang hanya dimainkan dalam konteks Barongan Tenanan, bukan untuk panggung hiburan biasa. Contohnya, 'Gendhing Setan Kober' atau 'Gendhing Jaran Dawuk'. Gendhing-gendhing ini diyakini memiliki kekuatan pemanggil yang sangat kuat dan berbahaya jika dimainkan oleh orang yang tidak memiliki bekal spiritual yang memadai.
Untuk menjaga nilai tenanan, pengrawit sering diwajibkan melakukan ritual pembersihan pada Gamelan mereka sebelum dan sesudah pertunjukan. Mereka harus memastikan bahwa perangkat Gamelan mereka bebas dari energi negatif yang mungkin menempel selama proses Janturan.
Komitmen tenanan bagi seorang pengrawit adalah memastikan setiap not yang dimainkan adalah bentuk doa, bukan sekadar bunyi. Mereka harus berada dalam kondisi konsentrasi penuh (manunggaling rasa) sepanjang pementasan, karena kesalahan irama sekecil apa pun dapat membahayakan penari yang sedang berada dalam kondisi trance yang rentan.
Gamelan Barongan, secara keseluruhan, adalah sebuah orkestra spiritual. Ia adalah nyanyian alam yang merangkum tawa dan tangis, keganasan dan kedamaian, yang semuanya disalurkan melalui Barong dan Jathilan, sebagai medium penerima pesan kosmik.
Barongan Tenanan adalah lebih dari sekadar kesenian; ia adalah living tradition, sebuah cara hidup yang diwariskan oleh leluhur. Konsep tenanan menuntut integritas spiritual, kejujuran batin, dan kepatuhan absolut terhadap pakem ritual yang telah teruji selama berabad-abad.
Menyaksikan Barongan Tenanan adalah menyaksikan sejarah yang hidup, menyaksikan manifestasi kekuatan alam yang terbalut dalam keindahan gerak dan irama Gamelan yang sakral. Ini adalah pengingat bahwa di balik hiruk pikuk modernitas, masih ada dimensi spiritualitas yang tak ternilai harganya.
Oleh karena itu, kewajiban kita bersama, baik sebagai pelaku seni, pemerhati budaya, maupun penonton, adalah memberikan penghormatan tertinggi kepada praktik-praktik yang masih memegang teguh nilai tenanan. Kita harus mendukung mereka yang berani menolak komersialisasi demi mempertahankan kemurnian spiritual pusaka Barongan, sehingga generasi mendatang masih dapat merasakan kedalaman dan kekuatan sejati dari Singa Barong.
Barongan Tenanan adalah cermin spiritualitas Jawa; ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati datang dari pengendalian diri, penghormatan terhadap alam gaib, dan dedikasi yang sungguh-sungguh.
Keseluruhan laku dan prosesi yang mendalam ini, dari tirakat pemain hingga kesakralan uborampe, menjamin bahwa pengalaman menyaksikan Barongan Tenanan akan selalu menjadi pengalaman yang mengubah pandangan, menanamkan rasa hormat, dan menegaskan kembali pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia spiritual.
Maka, ketika kita berbicara tentang Barongan yang autentik, kita tidak hanya membicarakan tentang kostum yang bagus atau gerakan yang lincah, tetapi kita membicarakan tentang jiwa yang hadir. Itulah inti dari Barongan Tenanan.
Dedikasi para penjaga tradisi ini meluas hingga ke detail terkecil, seperti pemilihan jenis kayu untuk topeng, yang harus dari kayu pilihan yang diyakini memiliki ‘isi’ atau energi tertentu (seperti kayu nangka atau kayu dadap serep), dan proses pemahatannya harus dilakukan di bawah pantangan-pantangan tertentu. Semua detail ini menambah lapisan spiritual yang membedakan topeng pusaka dari sekadar kerajinan tangan biasa. Inilah yang membuat Barongan Tenanan selalu terasa hidup dan berwibawa.
Tugas para generasi penerus Barongan Tenanan adalah mempertahankan rantai pewarisan ini. Mereka harus memastikan bahwa ilmu penguasaan rasa, pengendalian sukma, dan komunikasi dengan Danyang tidak terputus. Tanpa proses transmisi yang otentik, Barongan akan selamanya menjadi cangkang tanpa roh. Ini adalah tanggung jawab moral yang melampaui kepentingan pribadi, sebuah janji suci kepada bumi pertiwi dan para leluhur yang telah mewariskan kekayaan spiritual yang tak ternilai harganya ini.
Dengan demikian, Barongan Tenanan akan terus menjadi monumen hidup dari spiritualitas Jawa yang kaya, kompleks, dan penuh makna, sebuah warisan yang keberadaannya harus terus kita perjuangkan dan hormati.