Barongan Telon Hijau: Mitologi, Filosofi, dan Kekuatan Linuwih dalam Pusaka Nusantara
Di tengah pusaran waktu dan gempita modernitas, warisan budaya Nusantara tetap tegak berdiri sebagai penanda jati diri yang tak lekang oleh zaman. Salah satu entitas budaya yang paling kuat memancarkan aura magis dan filosofis adalah Barongan. Namun, di antara berbagai ragam Barongan yang dikenal khalayak, terdapat satu wujud yang menyimpan lapisan makna lebih dalam, yakni Barongan Telon Hijau.
Barongan ini bukan sekadar pertunjukan seni tari biasa, melainkan sebuah pusaka bergerak, sebuah manifestasi spiritual yang diyakini membawa daya linuwih (kekuatan istimewa) yang bersumber dari alam semesta dan dimensi gaib. Kehadirannya selalu disertai ritual sakral, menjadikannya penghubung antara jagad manusia (*jagad cilik*) dan jagad raya (*jagad gedhe*). Warna hijau pekat, yang menjadi ciri khasnya, bukan sekadar pewarna, melainkan simbolisasi kesuburan, kehidupan abadi, dan energi primal yang mendiami bumi.
Artikel ini akan mengupas tuntas Barongan Telon Hijau, mulai dari akar mitologinya, filosofi di balik penggunaan ‘Telon’ dan ‘Hijau’, hingga ritual kompleks yang mengiringi pementasannya. Pemahaman mendalam ini penting untuk menghargai betapa kayanya spiritualitas yang tersembunyi dalam warisan seni pertunjukan tradisional Jawa dan sekitarnya.
Akar Sejarah dan Konteks Mitologi Barongan
Barongan, secara umum, merupakan representasi makhluk mitologis yang memiliki kemiripan dengan barong di Bali atau singa barong di Jawa Timur. Awal mula kemunculannya seringkali dikaitkan dengan tradisi animisme kuno di mana masyarakat menghormati arwah leluhur dan roh penjaga alam. Sebelum Islam dan Hindu-Buddha meresap, roh-roh alam ini dipersonifikasikan dalam wujud topeng-topeng buas yang berfungsi sebagai pelindung desa dari bencana dan roh jahat.
Dalam perkembangannya di tanah Jawa, Barongan banyak dipengaruhi oleh kisah-kisah epik Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata, namun identitasnya tetap kuat berakar pada kepercayaan lokal. Ia seringkali diasosiasikan dengan kekuatan Raja Singa, atau bahkan penjelmaan dari tokoh legendaris yang memiliki kesaktian luar biasa. Intinya, Barongan adalah simbol kekuatan tak terkalahkan yang bertugas menjaga keseimbangan kosmik.
Kelahiran Entitas Telon Hijau
Barongan Telon Hijau, khususnya, diyakini muncul dari tradisi Barongan yang lebih kuno dan kental dengan nuansa ritual *pemujaan danyang* (roh penjaga tempat). Konon, Barongan ini tidak dibuat oleh sembarang perajin, melainkan diukir dari kayu pilihan yang berasal dari hutan keramat, atau bahkan dari pohon yang dianggap memiliki roh penunggu. Pewarna hijau yang digunakan bukanlah pigmen modern, melainkan ekstrak alami dari dedaunan tertentu yang diolah bersama ramuan khusus, seringkali dicampur dengan minyak pusaka.
Warna hijau yang mendominasi topeng dan kostum Barongan ini adalah kunci. Hijau di Nusantara, khususnya dalam tradisi Jawa Kejawen, sangat erat kaitannya dengan Dewi Sri (dewi kesuburan), Laut Selatan (kekuatan Nyi Roro Kidul), serta energi yang tersimpan di dalam tanah. Barongan Telon Hijau secara spesifik berfungsi sebagai pemanggil hujan, penolak bala yang berhubungan dengan hama pertanian, dan pelindung batas-batas spiritual sebuah wilayah. Mitologi tertentu menyebutkan bahwa Barongan ini adalah perwujudan dari *Prajurit Abadi* yang bertugas menjaga kesejukan dan kemakmuran bumi Mataram.
Perbedaan utama Barongan Telon Hijau dengan Barongan pada umumnya terletak pada proses inisiasi dan penyatuan roh. Barongan biasa mungkin hanya memerlukan ritual sederhana, tetapi Barongan Telon Hijau harus melalui serangkaian tirakat (bertapa) dan puasa oleh si pemangku (pemain) agar roh penjaga (yang sering disebut *singa wisesa*) bersedia mendiami topeng. Inilah yang membuat Barongan Telon Hijau memiliki daya magis yang jauh lebih kuat dan gerak tari yang tidak sekadar indah, melainkan juga mengandung energi yang mampu mengubah suasana spiritual sekitarnya.
Filosofi Simbolis: Menelisik Makna Hijau dan Telon
Untuk memahami kekuatan spiritual Barongan ini, kita harus membedah dua komponen kuncinya: ‘Hijau’ dan ‘Telon’. Keduanya saling mengikat, membentuk sebuah konsep filosofis yang kompleks dalam tradisi Kejawen.
Makna Kosmik Warna Hijau (Ijo Lumut)
Warna hijau dalam Barongan Telon Hijau seringkali disebut sebagai Ijo Lumut atau hijau lumut, yang merujuk pada kelembaban, kesuburan yang tak pernah kering, dan kedekatan dengan air. Secara esoteris, hijau melambangkan:
- **Kesuburan dan Pertumbuhan Abadi:** Hijau adalah warna kehidupan. Kehadiran Barongan ini diharapkan dapat menjamin panen melimpah dan menjauhkan desa dari kelaparan.
- **Kesejukan dan Keseimbangan:** Dalam kosmologi Jawa, hijau menempati posisi tengah atau penghubung antara elemen api (merah) dan air (biru), menciptakan harmoni yang diperlukan untuk kehidupan.
- **Dimensi Gaib Laut Selatan:** Hijau, terutama hijau kebiruan (hijau telon), seringkali dikaitkan dengan kerajaan gaib di Laut Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa entitas Barongan tersebut memiliki koneksi dengan kekuatan bawah laut yang sangat dihormati dan ditakuti.
- **Roh Leluhur Penjaga Hutan:** Dalam banyak kasus, Barongan Telon Hijau merupakan representasi dari *Danyang* hutan atau gunung yang tugasnya menjaga kelestarian alam. Gerak Barongan ini adalah bahasa bisu para penjaga alam kepada manusia.
Pewarnaannya sangat detail. Hijau yang baik adalah hijau yang terasa dingin, tidak mencolok, seperti warna yang sudah menyatu dengan waktu. Pakaian penari atau pengiring pun seringkali menggunakan nuansa hijau, kuning gading, atau cokelat tanah, menekankan ikatan yang kuat dengan ibu pertiwi.
Elaborasi Tentang Hijau dalam Filosofi Jawa Kuno
Dalam konsep Hindu-Jawa, hijau bisa dikaitkan dengan Chakra Anahata (Chakra Jantung), pusat kasih sayang dan keseimbangan. Barongan Telon Hijau, dengan dominasi warna ini, sesungguhnya membawa pesan tentang pentingnya harmoni emosional dan spiritual di antara warga desa. Ketika Barongan menari, ia tidak hanya membersihkan tempat secara fisik, tetapi juga menyembuhkan luka batin dan perselisihan, mengembalikan masyarakat pada kondisi tenteram (*ayem tentrem*).
Mengupas Tuntas Makna 'Telon'
Istilah ‘Telon’ dalam konteks Barongan ini jauh lebih kompleks daripada sekadar merujuk pada angka tiga. ‘Telon’ memiliki akar yang dalam pada tradisi sesaji dan ritual keselamatan Jawa. Umumnya, Telon mengacu pada:
1. **Tiga Warna Dasar Sesaji (Merah, Putih, Hitam):** Meskipun Barongan ini dominan hijau, istilah Telon seringkali merujuk pada tiga warna fundamental dalam sesaji yang wajib disertakan saat ritual inisiasi Barongan, melambangkan tiga penjuru utama dunia atau tiga dimensi eksistensi (dunia atas, tengah, dan bawah).
2. **Tiga Jenis Minyak Pusaka (Minyak Telon):** Pada Barongan pusaka, istilah Telon mengacu pada minyak yang digunakan untuk merawat topeng. Minyak ini biasanya terdiri dari tiga jenis inti, seperti minyak cendana, minyak melati, dan minyak misik. Minyak ini bukan hanya wewangian, tetapi berfungsi sebagai makanan spiritual bagi roh *singa wisesa* yang bersemayam dalam topeng. Perawatan ini dilakukan setiap malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon, menjadikannya benda yang selalu ‘hidup’.
3. **Tri Murti Kejawen:** Telon dapat melambangkan tiga kekuatan kosmis yang dijaga dan dihormati: *Hyang Wisesa* (Tuhan Yang Maha Kuasa), *Leluhur* (Nenek Moyang), dan *Jagad Alam* (Alam Semesta). Barongan ini adalah perwujudan dari keseimbangan antara ketiganya.
Ketika ‘Telon’ digabungkan dengan ‘Hijau’, terciptalah sebuah entitas yang memadukan kekuatan spiritual tritunggal dengan energi kesuburan alam, menjadikannya Barongan yang sangat spesifik dan hanya digunakan untuk kepentingan ritual yang sangat penting, seperti upacara besar desa atau pembersihan skala luas (*ruwatan ageng*).
Morfologi, Pusaka, dan Gerak Tari
Barongan Telon Hijau memiliki karakteristik visual dan gerak yang membedakannya dari Barongan lain, menunjukkan statusnya sebagai pusaka yang sarat makna.
Karakteristik Visual Topeng dan Kostum
Topeng Barongan Telon Hijau, yang biasanya terbuat dari kayu Jati atau Pule, memiliki ukiran yang lebih detail dan ekspresi yang lebih kuno, seringkali menampilkan wajah singa yang lebih menyerupai naga atau makhluk purba (proto-singa). Ciri khasnya meliputi:
**Warna Primer:** Hijau lumut atau hijau tua yang hampir kehitaman, dihiasi dengan aksen emas yang melambangkan kemuliaan atau kedudukan tinggi.
**Rambut (Gimbal):** Rambut Barongan ini tidak sembarangan. Seringkali menggunakan ijuk yang diselipkan rambut manusia (dari pemangku sebelumnya) atau bahkan helai daun pandan wangi yang dikeringkan, menambah kesan spiritual dan mistis.
**Mahkota (Jamang):** Mahkota dihiasi simbol-simbol flora dan fauna (pola daun dan sulur) yang dicat hijau muda dan emas, menguatkan asosiasi dengan kesuburan dan alam. Pada beberapa tradisi, mahkota ini ditambahkan batu akik berwarna hijau atau benda pusaka kecil.
**Kostum Penutup Tubuh:** Kain penutup Barongan (tubuh Singa) biasanya dibuat dari kain beludru hijau tebal, seringkali dihiasi dengan motif Batik Parang Rusak atau Semen yang melambangkan otoritas dan pengendalian diri, meskipun Barongan itu sendiri adalah manifestasi kekuatan liar.
Ritual Sebelum Pementasan (Nyawiji)
Pementasan Barongan Telon Hijau bukanlah spontanitas, melainkan puncak dari persiapan spiritual yang panjang. Tahapan kuncinya disebut *Nyawiji* (penyatuan), di mana penari dan Barongan disatukan rohnya:
1. **Penyucian Tempat:** Area pertunjukan dibersihkan secara spiritual menggunakan air kembang tujuh rupa dan asap kemenyan. Dinding-dinding atau batas arena diolesi minyak Telon Hijau.
2. **Penyediaan Ubo Rampe:** Sesaji yang diatur sangat ketat, mencakup tumpeng robyong, jajanan pasar lengkap tiga warna, kembang telon (tiga jenis bunga), dan rokok lintingan khusus untuk persembahan danyang.
3. **Mantra dan Janturan:** Sang *Pamong* (pemimpin ritual) mengucapkan *janturan* (mantra) kuno dalam bahasa Kawi atau Jawa halus, memanggil roh *Singa Wisesa* untuk turun dan merasuk ke dalam topeng. Proses ini sangat hening dan penuh konsentrasi.
4. **Penyerahan Jiwa:** Penari (pemangku) yang telah menjalani puasa dan tirakat, menerima topeng dalam keadaan mata terpejam, menyerahkan kesadaran rasionalnya agar dapat dikendalikan oleh energi yang masuk. Inilah titik awal dimulainya *trance*.
Daya Linuwih dan Eksplorasi Trance (Kesurupan)
Inti dari Barongan Telon Hijau terletak pada daya linuwih yang dihasilkan saat roh penjaga merasuk. Kondisi *trance* atau *kesurupan* pada Barongan ini berbeda dari fenomena histeria massa; ia adalah sebuah ritual komunikasi yang terstruktur dan bertujuan.
Fenomena Komunikasi Spiritual
Ketika roh merasuk, Barongan tidak hanya menari. Gerakannya menjadi sangat kuat, seringkali di luar kemampuan fisik manusia normal. Penari, dalam keadaan tidak sadar penuh, mampu melakukan aksi-aksi ekstrem seperti berguling di tanah, memakan pecahan kaca (meski ini tidak selalu dipertontonkan dan bergantung pada jenis roh), atau menunjukkan kekuatan fisik yang besar. Ini adalah tanda bahwa sang *Singa Wisesa* telah hadir.
Fungsi utama dari *trance* ini adalah:
- **Ramalan/Pesan:** Melalui gerak atau kadang melalui suara yang diucapkan oleh penari, roh dapat menyampaikan pesan kepada masyarakat mengenai potensi bencana, kebutuhan ritual, atau nasihat spiritual untuk pemimpin desa.
- **Pembersihan Energi Negatif:** Gerakan yang eksplosif dan suara raungan Barongan diyakini mampu menghancurkan energi negatif (*sengkala*) yang menyelimuti area tersebut, membersihkannya secara total.
- **Penyatuan Sosial:** Proses ritual ini menegaskan kembali ikatan sosial di mana masyarakat tunduk pada otoritas spiritual yang diwakili oleh Barongan, memperkuat kohesi komunitas.
Aspek Pengobatan dan Perlindungan
Barongan Telon Hijau memiliki reputasi sebagai penyembuh dan pelindung yang sangat efektif, terutama karena koneksi hijaunya dengan alam. Di beberapa daerah, Barongan ini diarak mengelilingi ladang yang terkena penyakit atau hama. Sentuhan (atau bahkan sekadar lintasan) Barongan yang sedang *trance* diyakini mampu memulihkan kesuburan tanah dan mengusir hama.
Asap dari dupa yang dibakar di dekat topeng Barongan saat ritual dipercaya dapat menyembuhkan penyakit ringan. Lebih jauh lagi, bagi mereka yang percaya, jika seseorang disentuh oleh cambuk pengiring Barongan saat sang Singa Wisesa beraksi, ia akan mendapatkan *pangayoman* (perlindungan) dari gangguan gaib selama periode tertentu.
Analisis Mendalam Mengenai Konsep Telon dalam Seni Ritual
Penggunaan istilah ‘Telon’ dalam budaya ritual Jawa seringkali disederhanakan, padahal ia adalah konsep filosofis yang mencakup seluruh spektrum keberadaan. Dalam konteks Barongan, ‘Telon’ memperkuat dimensi spiritual entitas tersebut, memposisikannya tidak hanya sebagai tarian, tetapi sebagai poros spiritual.
Telon Sebagai Trilogi Kekuatan
Dalam kepercayaan Jawa kuno, segala sesuatu didasarkan pada tripartit (tiga bagian) yang saling melengkapi. Telon pada Barongan Telon Hijau mewakili:
**1. *Telon Jagad* (Trilogi Dunia):** Dunia Atas (Langit/Dewa), Dunia Tengah (Manusia), Dunia Bawah (Bumi/Roh Tanah). Barongan berdiri di Dunia Tengah, namun mampu mengakses kedua dimensi lainnya. Warna hijau menjadi jembatan antara Dunia Tengah yang fana dengan Dunia Bawah yang subur dan Dunia Atas yang mulia.
**2. *Telon Sedulur Papat Lima Pancer* (Empat Saudara dan Pusat):** Meskipun populer dengan angka lima, Telon seringkali mewakili tiga dari empat saudara gaib yang menjaga manusia (*sedulur papat*), di mana sang Barongan mengambil peran sebagai *Pancer* (pusat) yang menyeimbangkan mereka. *Sedulur papat* ini sering diwakili oleh empat penari pendamping Barongan.
**3. *Telon Waktu* (Trilogi Waktu):** Masa Lalu (Leluhur/Tradisi), Masa Kini (Ritual/Pementasan), dan Masa Depan (Harapan/Keselamatan). Barongan adalah penjelmaan leluhur yang tampil di masa kini untuk menjamin keselamatan masa depan. Topeng Barongan Telon Hijau seringkali mengandung unsur pusaka dari generasi ke generasi, menegaskan ikatan waktu ini.
Maka, Barongan ini bukanlah entitas tunggal, melainkan perwujudan dari seluruh spektrum kekuatan yang ada. Ritual yang mengiringinya harus sempurna karena melibatkan keseimbangan trilogi ini. Jika ada satu bagian Telon yang terabaikan (misalnya, kurangnya sesaji untuk roh tanah/hijau), maka daya *linuwih* Barongan akan berkurang atau bahkan menimbulkan malapetaka.
Konsep *Ruwatan* dan Pemanfaatan Telon Hijau
Salah satu fungsi paling penting dari Barongan Telon Hijau adalah sebagai bagian integral dari upacara *Ruwatan* (pembersihan atau tolak bala). Ruwatan yang dilakukan dengan Barongan ini adalah *Ruwatan Agung* yang dilakukan ketika desa menghadapi ancaman besar, baik wabah penyakit, gagal panen bertahun-tahun, atau sengketa tanah yang membawa energi negatif.
Proses ruwatan ini memerlukan partisipasi seluruh warga desa dan dipimpin oleh seorang *Dhalang* atau *Pamong* yang sangat mumpuni dalam olah spiritual. Barongan Telon Hijau akan menari di pusat desa, diiringi Gamelan Laras Pelog atau Slendro yang khusus. Setiap langkah, setiap raungan, adalah bagian dari mantra yang berfungsi memecah lapisan *sengkala* (energi sial) yang melekat di tanah dan udara.
Kesempurnaan ritual terletak pada penyerahan diri total masyarakat. Mereka tidak boleh hanya menjadi penonton, tetapi harus larut dalam energi Barongan. Setelah Barongan selesai menari dan rohnya keluar, air yang telah diberkahi (dicipratkan oleh Barongan saat *trance*) akan digunakan untuk mencuci wajah dan membasuh rumah-rumah, melambangkan kembalinya kesucian dan kesuburan, yang disimbolkan oleh kekuatan ‘Hijau’.
Barongan Telon Hijau dalam Konteks Kontemporer
Di tengah derasnya arus globalisasi, kesenian tradisional sering menghadapi tantangan berat untuk mempertahankan kemurnian ritualnya. Barongan Telon Hijau, dengan dimensi spiritualnya yang pekat, berada pada persimpangan antara pelestarian budaya dan tuntutan komersialisasi.
Tantangan Pewarisan dan Degradasi Ritual
Pengetahuan tentang Barongan Telon Hijau tidak mudah diwariskan. Ia tidak bisa dipelajari melalui buku atau pelatihan fisik semata, melainkan harus melalui proses *titisan* (pewarisan spiritual) dan pelatihan batin yang ketat. Mencari *pemangku* (penari) yang bersedia menjalani puasa dan *tirakat* selama berbulan-bulan menjadi semakin sulit.
Beberapa kelompok seni terpaksa memodifikasi ritual Barongan ini untuk tujuan pertunjukan semata. Mereka mungkin mempertahankan estetika hijau dan topeng kuno, tetapi menghilangkan sebagian besar ritual *telon* yang dianggap terlalu berat atau sensitif. Ketika dimensi spiritual dihilangkan, yang tersisa hanyalah cangkang seni yang indah, tetapi kehilangan daya *linuwih*nya.
Para penjaga tradisi murni sangat berhati-hati dalam memanggungkan Barongan Telon Hijau. Mereka menyadari bahwa jika pusaka ini disalahgunakan atau diremehkan, hal itu dapat menimbulkan konsekuensi spiritual yang serius, baik bagi penari maupun komunitas. Oleh karena itu, pementasan Barongan ini seringkali bersifat tertutup dan hanya dilakukan pada saat-saat yang benar-benar mendesak secara ritual.
Upaya Konservasi dan Regenerasi
Meskipun demikian, semangat untuk melestarikan Barongan Telon Hijau tetap hidup di beberapa kantong budaya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Upaya konservasi meliputi:
**Dokumentasi Lisan:** Mencatat secara hati-hati semua *janturan*, mantra, dan prosedur ritual dari para *pamong* sepuh, agar tidak hilang ditelan zaman.
**Pembentukan Sanggar Khusus:** Mendirikan sanggar yang berfokus pada Barongan ritual, di mana pelatihan spiritual dan fisik berjalan seimbang. Di sini, calon *pemangku* diajarkan tidak hanya cara menari, tetapi juga etika dan filosofi hidup yang selaras dengan energi ‘Hijau’.
**Sinergi dengan Akademisi:** Mengajak peneliti budaya dan antropolog untuk mendokumentasikan nilai-nilai luhur di balik Barongan Telon Hijau, memberikan pengakuan akademis yang dapat meningkatkan martabat pusaka ini di mata generasi muda.
Barongan Telon Hijau adalah monumen spiritual yang bergerak, mengingatkan kita bahwa seni dan ritual di Nusantara tidak pernah terpisahkan dari kepercayaan terhadap kekuatan alam dan dimensi gaib. Ia adalah simbol kesuburan abadi, keseimbangan kosmik trilogi (Telon), dan energi hidup yang tak pernah padam (Hijau). Melalui pemahaman mendalam ini, warisan *linuwih* Barongan akan terus relevan, membimbing masyarakat kembali pada akar spiritualitasnya yang kaya dan kuat.
Elaborasi Detail Rantai Ritual dan Ubo Rampe
Kedalaman Barongan Telon Hijau tidak hanya terletak pada topengnya, tetapi pada rantai ritual yang mengikatnya. Rantai ini berfungsi sebagai pengaman agar interaksi dengan roh penjaga berjalan harmonis. Setiap elemen *ubo rampe* (perlengkapan ritual) adalah bahasa simbolik yang wajib dipenuhi.
Tujuh Langkah Sakral Penyiapan
Proses penyiapan Barongan Telon Hijau dapat dibagi menjadi tujuh langkah utama yang harus dipatuhi secara berurutan:
1. **Laku Puasa Mutih (Puasa Putih):** Tiga atau tujuh hari sebelum pementasan, *pemangku* dan *pamong* wajib menjalankan puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air tawar), tujuannya adalah membersihkan raga dan batin dari kotoran duniawi, mempersiapkan diri menjadi wadah suci bagi *Singa Wisesa*.
2. **Siraman Pusaka:** Topeng Barongan Telon Hijau dimandikan dengan air yang berasal dari tujuh sumur keramat (*tirta perwita*), dicampur dengan kembang setaman dan daun kelapa muda. Ritual ini berfungsi menyucikan kembali topeng dan menyegarkan energi ‘Hijau’ di dalamnya.
3. **Pemberian Minyak Telon Pusaka:** Setelah dikeringkan di bawah sinar bulan (ritual *dipe*), topeng diolesi Minyak Telon Pusaka. Proses pengolesan dilakukan sambil membacakan mantra *kaweruh* (pengetahuan) khusus, memastikan roh penjaga merasa nyaman dan dihormati.
4. **Penyusunan Sesaji Agung (Sajen Komplit):** Sesaji ini harus mencakup tiga elemen warna (Telon), empat penjuru mata angin, dan lima rasa. Sajen ini meliputi: kepala kerbau, ingkung ayam, jajan pasar 41 macam, tebu wulung, jenang sengkolo, dan terutama, *sega golong* (nasi kepal) yang melambangkan persatuan.
5. **Penjagaan Jaga Baya:** Sebelum pementasan, empat penjuru mata angin di desa harus dijaga oleh *jaga baya* (penjaga ritual) yang bertugas menolak masuknya roh jahat yang mungkin mengganggu jalannya *trance*. Mereka menggunakan benda-benda pusaka atau rajah perlindungan.
6. **Gamelan Tunduk:** Gamelan yang mengiringi Barongan harus dimainkan dengan nada-nada khusus yang bersifat memanggil sekaligus menenangkan. Tidak semua lagu boleh dimainkan. *Gending* yang sering digunakan adalah yang bernuansa mistis seperti *Laras Kuno* atau *Gending Pambuko*.
7. **Sumpah Setia (Prasetya):** Di hadapan topeng, *pemangku* mengucapkan sumpah setia untuk menghormati Barongan dan menggunakan kekuatannya hanya untuk tujuan kebaikan, menegaskan kembali etika penggunaan daya linuwih.
Fungsi Detail Ubo Rampe Hijau
Selain makanan dan minyak, beberapa *ubo rampe* secara spesifik menonjolkan aspek ‘Hijau’ sebagai simbol kesuburan:
- **Daun Sirih dan Pinang Muda:** Melambangkan kesediaan untuk berdialog dengan roh alam dan kerendahan hati.
- **Tebu Wulung (Tebu Hitam):** Meskipun berwarna gelap, tebu melambangkan pertumbuhan dan kemanisan hasil bumi, sebuah janji kemakmuran dari alam.
- **Kain Mori Hijau:** Kain yang digunakan untuk membungkus pusaka Barongan ini sebelum dan sesudah ritual, melambangkan perlindungan dan penyamaran roh dari pandangan mata manusia biasa.
- **Air Kelapa Hijau (Degan Ijo):** Digunakan sebagai penawar atau penetralisir energi berlebih saat *pemangku* mulai keluar dari kondisi *trance*. Air kelapa hijau dipercaya memiliki daya penyejuk yang kuat.
Interpretasi Filologis dan Etimologi 'Telon' dan 'Hijau'
Aspek filologis memberikan dimensi akademis pada kajian Barongan Telon Hijau. Kata ‘Telon’ sendiri, selain bermakna angka tiga, juga berakar dari konsep kuno yang berarti ‘terikat’ atau ‘terpadu’.
Hubungan Telon dengan Tiga Sudut Bumi
Dalam ilmu tata ruang tradisional, ‘Telon’ seringkali merujuk pada pembagian wilayah menjadi tiga zona: Kutha (Kota/Pusat), Pedesan (Desa/Pinggiran), dan Alas (Hutan/Kosong). Barongan Telon Hijau, yang seringkali berasal dari pinggiran atau hutan (area yang secara spiritual lebih kuat dan ‘hijau’), bertugas menjaga batas-batas ini. Ia adalah penyeimbang yang mencegah kekacauan dari ‘Alas’ merasuk ke ‘Kutha’.
Jika Barongan biasa lebih berfokus pada pertunjukan di *Kutha* (seperti Barongsai di Tionghoa), Barongan Telon Hijau secara historis adalah milik *Pedesan* dan *Alas*, tempat di mana energi kesuburan (Hijau) dan spiritualitas primal (Telon) masih sangat kental.
Metafisika Hijau dalam Busana Adat
Warna hijau dalam Barongan ini memiliki paralel dalam busana adat Jawa Kuno. Busana hijau seringkali hanya dikenakan oleh mereka yang memiliki hubungan langsung dengan keraton atau kekuatan gaib (seperti abdi dalem yang bertugas menjaga pusaka). Ini menegaskan bahwa Barongan Telon Hijau memiliki status yang sangat tinggi, mungkin setara dengan pusaka kerajaan yang hanya dikeluarkan pada momen-momen tertentu.
Penggunaan warna hijau tua (hampir hitam) juga melambangkan *kapuranta* atau kerelaan menyerap semua energi negatif. Barongan tersebut seolah-olah menyerap semua penyakit dan kesialan dari lingkungan, lalu mengubahnya kembali menjadi kesuburan—sebuah siklus alkimia spiritual yang mendefinisikan seluruh tujuan ritualnya.
Dampak Psikologis dan Sosiologis Trance
Dari sudut pandang sosiologi, ritual Barongan Telon Hijau berfungsi sebagai katarsis kolektif. *Trance* yang dialami oleh *pemangku* adalah representasi pelepasan ketegangan dan kecemasan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Katarsis Kolektif
Dalam masyarakat agraris, kecemasan terbesar adalah kegagalan panen atau bencana alam. Ketika Barongan Telon Hijau (simbol kesuburan) muncul dan menunjukkan kekuatan *linuwih*nya, masyarakat merasa terjamin secara psikologis. Mereka melihat manifestasi kekuatan yang lebih besar daripada masalah mereka sendiri. Kepercayaan ini menumbuhkan harapan dan menghilangkan rasa takut kolektif.
Ritual Barongan ini juga memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengalami momen spiritualitas ekstrem secara bersama-sama. Ketika *pemangku* Barongan mengalami *trance*, ia menjadi cerminan dari penderitaan dan harapan masyarakat. Setelah Barongan ‘tenang’ kembali, masyarakat merasa bahwa masalah mereka juga telah ‘ditenangkan’ oleh entitas spiritual tersebut.
Peran Penyeimbang Kepemimpinan
Barongan Telon Hijau seringkali menjadi penyeimbang spiritual bagi kepemimpinan formal di desa. Jika pemimpin desa (Kepala Desa) bertindak tidak adil atau lupa pada tanggung jawabnya, roh *Singa Wisesa* yang merasuk pada Barongan dapat menyampaikan kritik atau peringatan melalui gerak atau pesan yang disampaikan *pamong*.
Ini menunjukkan bahwa tradisi Barongan, terutama yang berdimensi ritual tinggi seperti Telon Hijau, bukan sekadar hiburan, tetapi merupakan mekanisme kontrol sosial yang sangat halus, memastikan bahwa kebijakan manusia tetap sejalan dengan kehendak alam (yang diwakili oleh kekuatan ‘Hijau’).
Masa Depan Barongan Telon Hijau: Antara Konservasi dan Adaptasi
Untuk memastikan Barongan Telon Hijau tetap lestari, perlu ada strategi yang menggabungkan konservasi ritual murni dengan adaptasi budaya yang bertanggung jawab.
Konservasi Etika Ritual
Langkah paling krusial adalah konservasi etika. Ini berarti memastikan bahwa pusaka Barongan Telon Hijau tidak pernah digunakan di luar kepentingan ritual yang sakral, melindunginya dari eksploitasi turis atau sekadar pameran yang bersifat dangkal. Para penjaga harus tegas menjaga kerahasiaan *janturan* dan tata cara pemakaian minyak *telon*, memastikan hanya yang diwarisi secara sah yang mengetahuinya.
Konservasi ini juga mencakup perlindungan terhadap bahan-bahan alami. Jika Barongan Telon Hijau menggunakan pewarna dari getah pohon tertentu yang kini langka, maka harus ada upaya menanam dan melestarikan pohon tersebut, menghubungkan kembali seni ritual dengan upaya konservasi lingkungan (sebuah penghormatan terhadap konsep ‘Hijau’).
Adaptasi Pendidikan Budaya
Di sisi lain, untuk menarik generasi muda, aspek filosofis Barongan harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih modern. Daripada menekankan pada keharusan *trance* yang menakutkan, fokus bisa dialihkan pada filosofi ‘Telon’ sebagai harmoni hidup dan ‘Hijau’ sebagai cinta lingkungan dan kesuburan batin.
Pendidikan ini bisa dilakukan di sekolah atau sanggar, di mana anak-anak diajarkan membuat replika Barongan Telon Hijau (tanpa roh) sebagai media pembelajaran tentang sejarah dan kosmologi Jawa, sehingga mereka tetap menghargai kedalaman budaya tersebut tanpa harus terlibat langsung dalam ritual spiritual yang berat.
Kesimpulan Abadi Sang Singa Wisesa
Barongan Telon Hijau adalah harta karun budaya yang menawarkan lebih dari sekadar tontonan visual. Ia adalah cerminan dari keyakinan purba Nusantara yang menghargai keseimbangan antara manusia, alam, dan dimensi spiritual. Kombinasi unik dari ‘Telon’ (trilogi keseimbangan) dan ‘Hijau’ (kesuburan abadi) menegaskan statusnya sebagai pusaka yang berfungsi menjaga kemakmuran dan keselamatan kolektif.
Dalam setiap gerak tari, dalam setiap raungan yang memecah keheningan malam, Barongan Telon Hijau menyampaikan pesan abadi dari leluhur: bahwa hidup harus dijalani dalam harmoni dengan alam, dan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kekuasaan fisik, melainkan pada ketundukan spiritual terhadap kekuatan Yang Maha Agung. Selama masyarakat Nusantara masih mengingat filosofi hijau dan telonnya, pusaka ini akan terus hidup, mengarungi zaman sebagai penjaga batas antara yang tampak dan yang gaib.
Penghargaan terhadap Barongan Telon Hijau adalah pengakuan terhadap kompleksitas spiritual dan kearifan lokal yang telah membentuk peradaban di tanah Jawa. Ia adalah warisan yang wajib dijaga kemurniannya, demi keberlanjutan spiritualitas Indonesia di masa depan.