Revitalisasi dan Warisan Seni Pertunjukan Jawa
Barongan adalah salah satu bentuk seni pertunjukan rakyat Jawa yang kaya akan elemen mistis, tarian dinamis, dan musik gamelan yang menghentak. Di antara berbagai kelompok dan aliran yang ada, muncul istilah Barongan Taruno, sebuah nomenklatur yang secara spesifik merujuk pada kelompok seni Barongan yang didominasi atau dihidupkan oleh para taruno, atau generasi muda. Istilah ini bukan sekadar penanda usia, melainkan simbolisasi dari semangat revitalisasi, adaptasi, dan upaya pelestarian yang diembankan di pundak kaum muda.
Seni Barongan, yang seringkali dianggap sinonim dengan Jaranan atau Jathilan di beberapa daerah, merupakan perpaduan kompleks antara drama teatrikal, ritual kesurupan (trance), dan keterampilan koreografi. Kehadiran Taruno dalam ekosistem Barongan membawa energi baru, memastikan bahwa kesenian ini tidak hanya bertahan sebagai relik masa lalu, tetapi terus berevolusi seiring perubahan zaman. Mereka adalah jembatan yang menghubungkan kearifan leluhur dengan selera estetik kontemporer, sebuah tugas yang menuntut dedikasi tinggi dan pemahaman mendalam terhadap akar budaya.
Artikel ini akan mengupas tuntas segala aspek Barongan Taruno, mulai dari sejarah kunonya, filosofi spiritual yang melandasinya, detail teknis koreografi dan tata musik, hingga peran krusial generasi muda dalam menjamin keberlangsungan hidupnya. Memahami Barongan Taruno berarti memahami denyut nadi kebudayaan Jawa yang selalu mencari keseimbangan antara tradisi yang sakral dan inovasi yang fungsional.
Untuk memahami Barongan, kita harus menilik kembali sejarah panjang seni pertunjukan rakyat di Jawa, terutama yang berkaitan erat dengan konsep ritual kuda dan singa. Meskipun Barongan memiliki identitas lokal yang kuat, seringkali di Jawa Timur, ia memiliki akar genealogi yang beririsan dengan Reog Ponorogo dan Jaranan Kediri atau Malang. Secara umum, Barongan adalah istilah payung yang mencakup tarian berkuda lumping (Jathilan) dan kehadiran sosok raksasa berkepala singa (Singo Barong) atau tokoh-tokoh pahlawan seperti Klono Sewandono.
Secara historis, pertunjukan ini diyakini berasal dari ritual kuno yang bertujuan untuk mengusir bala, memohon kesuburan, atau sebagai media dakwah pada masa penyebaran agama. Beberapa ahli budaya meyakini bahwa elemen Jaranan, yakni tarian kuda lumping, adalah bagian tertua, melambangkan pasukan berkuda Pangeran Klono Sewandono dalam perjalanan atau peperangan. Sementara itu, elemen Barongan, khususnya Singo Barong, menambahkan lapisan mitologis yang kuat, seringkali diasosiasikan dengan kekuatan mistis hutan atau makhluk buas yang harus ditaklukkan atau dihormati.
Perbedaan antara Barongan di satu wilayah dengan wilayah lain, misalnya Barongan Blora (Jawa Tengah) dengan Jaranan Khas Jawa Timur, terletak pada komposisi karakter, irama gamelan yang digunakan, dan intensitas ritual kesurupan. Namun, benang merahnya adalah penggunaan topeng Singo Barong yang masif dan fokus pada dinamika interaksi antara penari manusia dan sosok-sosok mitologis tersebut. Kelompok Taruno biasanya mengambil bentuk yang paling dominan di wilayah mereka, kemudian memodifikasinya dengan sentuhan modern tanpa menghilangkan unsur sakralnya.
Pada awalnya, Barongan bersifat komunal dan sakral. Pertunjukan ini dilaksanakan pada momen-momen penting dalam kalender pertanian atau sebagai bagian dari ritual bersih desa (ruwatan desa). Fungsinya adalah spiritual—menjaga harmoni antara manusia dan alam gaib. Seiring waktu, terutama pasca-kemerdekaan, fungsi Barongan bergeser. Meskipun unsur mistisnya tetap ada, Barongan juga menjadi tontonan hiburan rakyat yang populer, bahkan menjadi aset budaya yang dipromosikan untuk pariwisata.
Pergeseran fungsi ini menuntut adaptasi. Durasi pertunjukan diperpendek, kostum dibuat lebih cerah dan menarik, dan elemen komedi (biasanya melalui karakter Bujang Ganong atau Penthul-Tembem) diperkuat. Kelompok Barongan Taruno sangat ahli dalam melakukan adaptasi ini. Mereka menyadari bahwa di era digital, seni harus kompetitif. Mereka mengintegrasikan unsur-unsur visual yang kuat, bahkan terkadang memasukkan musik kontemporer di antara jeda set gamelan tradisional, memastikan audiens muda tetap terlibat dan terikat dengan warisan budaya mereka.
Pertunjukan Barongan adalah sebuah orkestrasi visual yang melibatkan berbagai karakter dengan peran dan atribut yang berbeda. Setiap karakter memiliki filosofi dan fungsi koreografi yang spesifik, yang harus dikuasai secara sempurna oleh para Taruno.
Singo Barong adalah maskot utama Barongan. Ini adalah topeng raksasa berbentuk kepala singa atau harimau (tergantung daerah) dengan surai yang terbuat dari tali rafia, ijuk, atau rambut kuda yang tebal. Topeng ini seringkali dihiasi dengan taring putih menonjol dan mata melotot yang dramatis. Singo Barong dipanggul oleh dua orang penari—satu di bagian kepala dan satu di bagian ekor—yang bekerja sama untuk menciptakan ilusi gerakan tunggal, lincah, dan kuat.
Dalam Barongan Taruno, penari Singo Barong biasanya dipilih dari anggota yang memiliki kekuatan fisik dan mental prima, sebab beban topeng sangat berat dan pergerakannya menuntut energi yang luar biasa. Singo Barong melambangkan *Adigang, Adigung, Adiguna*, kekuatan, kebesaran, dan kewibawaan yang harus dikendalikan. Gerakannya didominasi oleh lompatan, gulungan, dan gerakan mematuk atau menyerang, yang menggambarkan konflik antara kekuatan alam liar dan kesadaran manusia.
Jathilan adalah para penari yang menunggangi kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu (kuda lumping). Mereka adalah inti dari pertunjukan massal Barongan. Gerakan Jathilan sangat ritmis, menekankan pada formasi barisan, kekompakan, dan ketangkasan kaki. Mereka mewakili prajurit, kekuatan kolektif, dan kedisiplinan. Kelompok Taruno seringkali meningkatkan kompleksitas koreografi Jathilan, memasukkan gerakan-gerakan akrobatik ringan atau formasi yang lebih rumit yang membutuhkan sinkronisasi sempurna.
Aspek penting dari Jathilan adalah bahwa mereka adalah subjek utama dari ritual kesurupan. Transisi dari tarian yang disiplin menuju kondisi ndadi (trance) adalah momen klimaks dalam Barongan. Kuda Lumping yang mereka tunggangi bukanlah sekadar properti, melainkan kendaraan spiritual yang memungkinkan penari memasuki dimensi lain. Para Taruno harus menjalani pelatihan mental yang intensif untuk mempersiapkan diri menghadapi kondisi ini, menjaga agar spiritualitas tidak hilang dalam sensasi panggung.
Bujang Ganong adalah karakter topeng dengan hidung panjang, mata bulat besar, dan rambut palsu gondrong yang berwarna merah atau hitam. Ia adalah patih setia, tetapi karakternya seringkali berfungsi sebagai penyelaras suasana. Ia tampil lincah, penuh humor, dan cerdik. Perannya adalah memecah ketegangan setelah adegan yang terlalu intens atau mistis, serta menjadi penghubung komunikasi antara tokoh-tokoh mitologis dengan penonton. Keterampilan utama penari Bujang Ganong adalah fleksibilitas fisik dan improvisasi yang cepat, termasuk kemampuan berkomunikasi interaktif dengan penonton.
Di beberapa versi Barongan, terutama yang berdekatan dengan tradisi Reog, Klono Sewandono muncul sebagai raja yang bijaksana dan berwibawa. Tarian Klono Sewandono menonjolkan gerakan yang anggun namun penuh kekuatan, biasanya menggunakan senjata berupa cemeti atau cambuk. Kehadiran Klono Sewandono memberikan konteks naratif yang lebih jelas, di mana Singo Barong mungkin digambarkan sebagai lawan yang harus ditaklukkan atau energi alam yang harus diselaraskan oleh kebijaksanaan raja.
Meskipun Barongan Taruno modern memiliki sentuhan hiburan yang kuat, elemen spiritual dan ritual tetap menjadi fondasi yang tak terpisahkan. Hilangnya unsur mistis akan menghilangkan makna Barongan itu sendiri. Para Taruno diwajibkan untuk menghormati dan menjalankan tahapan ritual dengan penuh kesadaran.
Sebelum pertunjukan dimulai, serangkaian ritual wajib dilakukan. Ini meliputi penyiapan sesaji (persembahan), yang biasanya terdiri dari kembang tujuh rupa, nasi tumpeng, jajanan pasar tradisional, kemenyan atau dupa, dan air suci. Sesaji ini berfungsi sebagai media komunikasi dengan roh leluhur dan entitas gaib yang diyakini bersemayam dalam topeng Singo Barong, kuda lumping, atau alat musik gamelan.
Para anggota Taruno, dipimpin oleh seorang Pawang atau sesepuh, melakukan doa bersama. Doa ini bukan hanya permintaan perlindungan, tetapi juga bentuk penghormatan agar para penari diberikan kekuatan spiritual untuk menahan energi yang akan masuk selama pertunjukan. Ritual ini mengajarkan disiplin mental dan kerendahan hati kepada para Taruno, mengingatkan mereka bahwa seni ini lebih besar dari sekadar pertunjukan panggung.
Puncak ritual Barongan adalah ndadi atau trance. Ini adalah momen ketika penari Jathilan, dan kadang-kadang karakter lain, memasuki kondisi tidak sadar setelah dipicu oleh irama gamelan yang cepat dan mantra-mantra yang dilantunkan oleh Pawang. Dalam kondisi ndadi, penari menunjukkan kekuatan fisik yang luar biasa, misalnya memakan kaca (beling), mengupas kelapa dengan gigi, atau berjalan di atas pecahan genteng tanpa terluka.
Dalam konteks Taruno, fenomena ndadi diawasi ketat. Tujuan Taruno adalah menunjukkan kekuatan tradisi dan warisan, bukan sekadar atraksi horor. Oleh karena itu, pelatihan spiritual difokuskan pada pengendalian diri. Penari muda diajarkan untuk menyambut 'roh' yang masuk dengan penuh hormat dan memastikan bahwa mereka dapat dikendalikan oleh Pawang untuk menghindari kecelakaan fatal. Proses ini sangat menantang bagi Taruno karena memerlukan ketahanan fisik dan spiritual yang setara dengan penari senior.
Filosofi di balik ndadi adalah manifestasi dari manunggaling kawula Gusti, penyatuan antara makhluk dengan Tuhannya, atau dalam konteks yang lebih populer, penyatuan antara penari dengan kekuatan spiritual yang diwakili oleh karakter yang dimainkan. Ini adalah momen penegasan identitas kultural yang mendalam.
Mustahil Barongan dapat ditampilkan tanpa iringan gamelan yang khas. Musik bukan sekadar latar belakang, melainkan pemicu utama koreografi dan ritual. Barongan Taruno harus menguasai bukan hanya tarian, tetapi juga Wirama (irama) yang kompleks.
Gamelan yang digunakan dalam Barongan, khususnya di Jawa Timur, seringkali lebih bernuansa keras dan cepat dibandingkan gamelan Keraton Jawa Tengah. Instrumen utamanya meliputi:
Ada wirama spesifik yang digunakan untuk setiap bagian pertunjukan, namun yang paling krusial adalah wirama pemicu trance. Wirama ini dicirikan oleh kecepatan (tempo) yang luar biasa dan volume yang maksimal. Ritme yang digunakan biasanya adalah geyong atau varian ritme *lancaran* yang sangat cepat dan repetitif. Ketika Kendang mulai memukul pola tertentu dengan intensitas tinggi dan Kempul berdentum secara sporadis, kondisi pikiran penari mulai berubah. Penguasaan teknik ini oleh Taruno sangat penting; kesalahan irama bisa mengakibatkan kegagalan ritual atau bahkan bahaya bagi penari yang sedang dalam kondisi trance.
Oleh karena itu, dalam Barongan Taruno, pelatihan musik adalah bagian integral dari pelatihan fisik. Anggota Taruno seringkali harus bergantian peran antara menari dan menabuh gamelan, memastikan pemahaman holistik terhadap seluruh proses pertunjukan. Mereka belajar bagaimana musik harus *berdialog* dengan gerakan, bukan sekadar mengiringi.
Istilah "Taruno" secara harfiah berarti pemuda atau remaja. Dalam konteks Barongan, ini merujuk pada inisiatif kelompok yang dikelola, ditampilkan, dan dilestarikan oleh generasi di bawah usia 30 tahun. Kehadiran mereka adalah angin segar yang membawa Barongan keluar dari ancaman kepunahan budaya.
Kontribusi terbesar Taruno adalah memastikan estafet pengetahuan. Seni Barongan memiliki pengetahuan non-tertulis (tacit knowledge) yang diwariskan melalui praktik langsung dan transmisi lisan dari Pawang ke murid. Para Taruno berupaya mendokumentasikan teknik-teknik ini, dari cara membuat kostum Singo Barong yang autentik, hingga urutan mantra yang digunakan Pawang.
Mereka tidak hanya belajar gerakan dasar (wiraga), tetapi juga filosofi (wirasa) di balik setiap gerak. Proses regenerasi ini seringkali sulit karena generasi muda dihadapkan pada godaan budaya global yang lebih menarik. Namun, kelompok Taruno berhasil menjadikan Barongan terlihat keren dan relevan, menarik teman sebaya mereka untuk terlibat, salah satunya melalui media sosial dan digitalisasi.
Taruno memiliki keberanian untuk bereksperimen. Mereka mempertahankan pakem gerakan inti, tetapi menambahkan variasi koreografi yang lebih dinamis dan cepat. Inovasi yang sering dilakukan meliputi:
Tentu saja, inovasi ini tidak selalu diterima tanpa kritik. Beberapa sesepuh khawatir bahwa modernisasi akan menggerus kesakralan. Namun, Taruno berpegangan pada prinsip bahwa adaptasi adalah kunci kelangsungan hidup. Mereka berargumen bahwa selama ritual inti dan penghormatan terhadap roh leluhur tetap terjaga, bentuk luar pertunjukan dapat berevolusi untuk menarik perhatian penonton baru.
Barongan bukanlah seni yang monolitik. Ia memiliki variasi signifikan tergantung di mana ia dikembangkan. Para Barongan Taruno seringkali harus memahami dan menghormati dialek lokal dari seni mereka, yang mempengaruhi kostum, irama, dan bahkan karakter yang ditampilkan.
Di wilayah Jawa Timur, Barongan seringkali sangat kental dengan unsur Jaranan dan mistis yang intens. Barongan Malangan, misalnya, dikenal dengan topeng-topengnya yang dramatis dan penggunaan musik yang sangat menghentak, menekankan pada aspek keberanian dan konflik. Sementara di Kediri, Barongan (Jaranan Kediri) memiliki fokus yang lebih besar pada ritual kuda lumping dan atraksi kekebalan tubuh selama *ndadi*.
Taruno di Jawa Timur cenderung sangat menekankan kekuatan fisik dan keselarasan spiritual. Mereka adalah pewaris langsung dari tradisi yang sangat terbuka terhadap fenomena kesurupan, yang mengharuskan pelatihan mental yang keras dan pengawasan ketat oleh Pawang. Kehadiran Warok (tokoh pria gagah dengan pakaian hitam) seringkali menjadi penyeimbang antara kekuatan supernatural dan kekuatan fisik manusia.
Barongan di Jawa Tengah, khususnya Barongan Blora, memiliki perbedaan mencolok. Meskipun tetap menggunakan topeng singa, Blora memiliki narasi dan karakteristik yang lebih berakar pada kisah Panji atau cerita rakyat lokal yang spesifik, dengan penekanan yang lebih besar pada komedi dan drama musikal. Meskipun ritual kesurupan ada, intensitasnya mungkin lebih rendah dibandingkan Jawa Timur. Kelompok Taruno di sini lebih berfokus pada pelatihan teater dan kemampuan olah vokal, selain keterampilan tari.
Perbedaan regional ini adalah kekayaan. Kelompok Barongan Taruno yang berjejaring antar wilayah seringkali saling bertukar pengetahuan, memperkaya repertoire mereka dengan gerakan dan wirama dari daerah lain. Ini adalah bentuk kolaborasi yang sehat dalam upaya pelestarian budaya.
Di luar nilai artistik dan spiritualnya, Barongan Taruno juga memainkan peran penting dalam perekonomian lokal dan struktur sosial masyarakat.
Bagi banyak Taruno, terlibat dalam Barongan bukan hanya hobi, tetapi juga sumber penghasilan. Pertunjukan Barongan dipesan untuk berbagai acara, mulai dari pesta pernikahan, khitanan, hingga upacara resmi desa. Keberadaan kelompok Taruno yang terorganisir dengan baik, profesional, dan memiliki daya tarik visual tinggi, memastikan mereka mendapatkan tawaran pentas secara rutin.
Ekonomi Barongan melibatkan banyak pihak: pengrajin topeng dan kuda lumping, penjahit kostum, teknisi suara, dan tentu saja, para musisi dan penari. Kelompok Taruno seringkali menjadi inkubator bagi wirausaha muda yang fokus pada industri kreatif berbasis budaya, menghidupkan kembali pasar untuk kerajinan tradisional seperti pembuatan gamelan kuningan atau ukiran kayu untuk properti panggung.
Secara sosial, Barongan berfungsi sebagai media edukasi. Melalui kisah yang ditampilkan (meskipun seringkali tersirat), Barongan mengajarkan nilai-nilai moral, seperti keberanian (Singo Barong), kesetiaan (Bujang Ganong), dan persatuan (Jathilan). Bagi para Taruno, terlibat dalam kelompok Barongan juga menjadi benteng pertahanan terhadap perilaku negatif remaja. Disiplin yang diajarkan dalam latihan fisik dan mental yang ketat membentuk karakter yang bertanggung jawab dan menghargai warisan.
Latihan Barongan menuntut komitmen waktu yang tinggi dan fokus mental. Hal ini secara efektif mengalihkan energi para pemuda ke kegiatan positif dan produktif. Keberhasilan seorang Taruno di panggung membawa kebanggaan tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi keluarganya dan komunitas desanya, memperkuat kohesi sosial.
Menjadi bagian dari Barongan Taruno membutuhkan dedikasi yang luar biasa, melampaui latihan fisik biasa. Proses pelatihan mereka adalah perpaduan antara seni, olahraga, dan spiritualitas.
Latihan fisik berfokus pada kekuatan inti, fleksibilitas, dan stamina. Penari Singo Barong harus mampu menahan beban topeng sambil melakukan gerakan akrobatik. Penari Jathilan memerlukan ketahanan untuk menari dengan tempo cepat selama durasi yang panjang. Latihan ini mencakup:
Latihan seringkali dilakukan di malam hari, di bawah bimbingan sesepuh, yang juga berfungsi untuk menguji ketahanan mental Taruno terhadap lingkungan yang gelap dan sunyi, sebagai persiapan untuk atmosfer mistis pertunjukan.
Aspek terpenting dari pelatihan Taruno adalah persiapan mental untuk ndadi. Ini bukan hanya tentang pasrah terhadap trance, tetapi tentang kemampuan untuk mengendalikan energi yang masuk agar tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Pelatihan ini sering melibatkan:
Taruno diajarkan bahwa kekuatan Barongan berasal dari alam dan leluhur, dan mereka adalah saluran (medium) semata. Keangkuhan atau ego dapat menyebabkan ketidakseimbangan spiritual, yang pada akhirnya dapat merusak pertunjukan atau bahkan kesehatan penari.
Meskipun Barongan Taruno menunjukkan vitalitas yang luar biasa, mereka menghadapi sejumlah tantangan di era modern yang harus diatasi untuk memastikan kelangsungan seni ini hingga generasi mendatang.
Ancaman terbesar bagi seni tradisional adalah persaingan dengan hiburan digital yang lebih mudah diakses dan instan. Anak muda hari ini lebih cenderung menghabiskan waktu di depan layar daripada di lapangan latihan. Tugas Taruno adalah membuat Barongan lebih menarik daripada *video game* atau serial *streaming*.
Mereka mengatasi ini dengan strategi hibrida: memanfaatkan digital untuk mempromosikan tradisi. Dokumentasi berkualitas tinggi, konten *behind-the-scenes*, dan interaksi langsung dengan penggemar melalui platform online adalah cara Taruno mempertahankan visibilitas dan relevansi di mata publik global.
Ketika Barongan semakin populer dan digunakan dalam konteks komersial, muncul tantangan terkait hak cipta dan kepemilikan. Kelompok Taruno harus berhati-hati dalam menjaga autentisitas gerakan dan ritual agar tidak menjadi sekadar komoditas hiburan yang dangkal. Diskusi mengenai batas-batas inovasi dan inti tradisi menjadi perdebatan yang konstan di antara para Taruno dan sesepuh.
Selain itu, isu logistik juga menjadi tantangan. Pembuatan properti Barongan (topeng, kostum, gamelan) membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan pengrajin yang semakin langka. Kelompok Taruno harus secara aktif mencari pendanaan mandiri atau dukungan pemerintah daerah untuk menjaga kualitas material pertunjukan mereka.
Barongan Taruno adalah bukti nyata bahwa warisan budaya tidak harus statis untuk bertahan. Melalui semangat para pemuda, seni pertunjukan yang kaya akan sejarah, filosofi mistis, dan wirama yang menghentak ini menemukan jalur baru menuju masa depan. Mereka tidak hanya melestarikan gerakan dan lagu, tetapi juga menjaga api spiritual yang telah menyala selama berabad-abad di tanah Jawa.
Peran Taruno sebagai garda depan pelestarian budaya tradisional sangat penting. Mereka adalah duta yang menunjukkan bahwa Barongan mampu beradaptasi, berinovasi, dan tetap sakral, meskipun disajikan di panggung yang semakin global. Dengan disiplin fisik, kekuatan mental, dan penghormatan mendalam terhadap tradisi, Barongan Taruno terus menari, menantang waktu, dan mengukir kisah kebanggaan di setiap gerakan Singo Barong, setiap hentakan kaki Jathilan, dan setiap pukulan Kendang yang membelah malam.
Dedikasi mereka memastikan bahwa ritme tradisional tidak akan pernah pudar, melainkan akan terus diwariskan, diperkaya, dan dicintai oleh generasi-generasi selanjutnya yang menghargai kekuatan seni dan keajaiban spiritual yang terkandung dalam Barongan. Inilah esensi Barongan Taruno: Nafas muda yang menjaga detak jantung budaya Jawa.
Aspek seni pertunjukan ini, dengan segala kompleksitasnya, mencerminkan pandangan hidup masyarakat Jawa yang selalu mencoba menyelaraskan dunia nyata dengan dunia gaib, antara logika dan spiritualitas. Di tengah gemuruh gamelan, dan sorak sorai penonton, Barongan Taruno terus berkisah, menghibur, sekaligus meruwat.
Pelibatan Taruno juga menunjukkan pergeseran paradigma. Jika dahulu seni ini bersifat eksklusif bagi kalangan tertentu atau harus melalui tahapan ritual yang sangat berat, kini pintu dibuka lebih lebar, namun tetap dengan persyaratan moral dan spiritual yang tinggi. Ini adalah cara cerdas untuk memastikan keberlanjutan. Setiap penari muda yang mampu menanggung beban Singo Barong, atau yang berhasil melalui fase ndadi dengan selamat, adalah pahlawan budaya kontemporer yang memastikan bahwa cerita tentang raja, prajurit, dan kekuatan singa mistis tetap hidup dan relevan di hati masyarakat modern.
Penting untuk dicatat bahwa kesuksesan kelompok Barongan Taruno sering bergantung pada hubungan harmonis antara mereka dan sesepuh desa atau Pawang. Para sesepuh menyediakan kearifan tradisional dan memastikan ritual dijalankan dengan benar, sementara Taruno menyediakan energi dan inovasi. Sinergi inilah yang menjadi model ideal bagi pelestarian seni tradisional di seluruh Indonesia.
Dalam pertunjukan, ketika tarian Jathilan mencapai puncaknya dan Singo Barong mulai mengaum, kita tidak hanya melihat tontonan; kita menyaksikan sebuah warisan yang berjuang, beradaptasi, dan menang di tengah hiruk pikuk modernitas. Barongan Taruno adalah manifestasi dari semangat *Ngelmu Iku Kelakone Kanti Laku*—pengetahuan itu diperoleh melalui praktik dan upaya keras—sebuah filosofi yang terus diemban oleh para penerus budaya ini.
Akhirnya, marilah kita hargai dedikasi tak terbatas yang ditunjukkan oleh setiap Taruno, yang memilih untuk memanggul topeng berat, mengayunkan kaki kuda lumping, dan mempelajari wirama yang rumit, demi menjaga denyut nadi budaya bangsanya agar tetap berdetak kencang, penuh mistik, dan tak lekang oleh zaman. Mereka adalah pewaris, sekaligus inovator, dari salah satu mahakarya seni pertunjukan rakyat Indonesia.