Barongan Suro: Manifestasi Spiritual dan Seni Gerak Jawa Timur

Ilustrasi Kepala Barongan Suro yang Fierce Kepala Singa Barong dengan taring panjang dan mata melotot, ciri khas Barongan Suro.

Alt Text: Kepala Barongan Suro, simbol kekuatan spiritual di Jawa Timur.

Barongan Suro adalah sebuah entitas seni dan spiritual yang mengakar kuat di wilayah Jawa Timur, terutama di daerah-daerah yang memiliki tradisi budaya kental seperti Blitar, Kediri, hingga Ponorogo, meskipun seringkali berbeda dari interpretasi Reog yang lebih umum dikenal. Barongan Suro bukan sekadar topeng atau pertunjukan hiburan semata; ia adalah manifestasi dari semangat leluhur, sebuah medium komunikasi dengan alam gaib, serta penjaga tradisi yang telah diwariskan turun-temurun melalui garis darah dan ritual mistis yang ketat. Kekuatan naratif Barongan Suro terletak pada perpaduan antara gerak tari yang energik, irama gamelan yang magis, dan yang paling utama, praktik *janturan* (trance) yang menjadi puncak dari setiap pementasan.

Nama "Suro" sendiri kerap dikaitkan dengan makna kekuatan, keberanian, atau bahkan dimensi spiritual yang keras dan tak tertaklukkan. Dalam beberapa interpretasi lokal, Suro juga merujuk pada bulan Muharram dalam kalender Jawa, sebuah waktu yang dianggap sakral untuk melakukan ritual pembersihan dan penyucian pusaka. Dengan demikian, Barongan Suro menempatkan dirinya sebagai seni yang memiliki dimensi sakral yang jauh melebihi pertunjukan tari biasa, menjadikannya warisan yang harus dijaga dengan penuh penghormatan dan ketaatan pada pakem-pakem spiritual yang ada.

I. Asal-Usul Mitologis dan Garis Sejarah Barongan Suro

Untuk memahami kedalaman Barongan Suro, kita harus menelusuri akar sejarahnya yang kabur, seringkali hanya tersisa dalam bentuk cerita lisan dan babad desa. Berbeda dengan Reog Ponorogo yang memiliki narasi terpusat pada Klana Sewandana dan Dewi Songgolangit, Barongan Suro kerap kali lebih terikat pada mitologi lokal atau penjaga desa (Danyang) di wilayah tertentu.

A. Barongan Suro dan Konteks Jawa Timur Selatan

Barongan Suro menunjukkan afinitas yang kuat dengan tradisi spiritual Jawa Timur bagian selatan. Wilayah ini, yang kaya akan situs-situs purbakala dan peninggalan era Kerajaan Majapahit dan Kediri, melahirkan seni yang bersifat animistik dan Hindu-Buddha. Topeng Barong, dalam konteks ini, sering dilihat sebagai penjaga gerbang, pelindung dari marabahaya, atau simbol hewan mistis yang dihormati. Konsep Singa Barong sebagai wujud visual dari kekuatan alam adalah tema yang universal dalam kebudayaan Nusantara, namun Barongan Suro memberikan sentuhan lokal yang lebih garang dan sakral, jauh dari unsur komedi atau sekadar hiburan rakyat.

Cerita lisan sering menyebutkan bahwa Barongan Suro awalnya muncul dari ritual untuk menolak bala atau mengusir roh jahat yang mengganggu panen atau kesehatan masyarakat. Ini menjadikan Barongan Suro bukan sekadar teater, melainkan alat spiritual kolektif. Kelompok-kelompok Barongan tradisional biasanya menyimpan pusaka (Jimat) yang telah diisi atau dijamasi, yang diyakini sebagai sumber energi utama yang menghidupkan pertunjukan, memastikan bahwa setiap gerakan memiliki bobot spiritual yang nyata. Pusaka ini tidak boleh dilihat oleh sembarang orang dan ritual perawatannya dilakukan secara rahasia oleh sesepuh kelompok.

B. Diferensiasi dari Reog dan Jaranan

Walaupun Barongan Suro sering dipertunjukkan bersama Jaranan (Kuda Lumping) atau memiliki elemen yang mirip dengan Singa Barong pada Reog, ia memiliki karakteristiknya sendiri. Barongan Suro umumnya memiliki fokus yang lebih besar pada kesurupan massal dan kekuatan spiritual yang kasar. Sementara Singa Barong pada Reog cenderung lebih estetik dan dikaitkan dengan narasi historis kerajaan, Barongan Suro lebih fokus pada aspek *kaweruh* (ilmu batin) dan penguasaan energi yang membuat penarinya kebal terhadap cambuk atau mampu memakan pecahan kaca.

Desain topeng Barongan Suro juga membedakannya. Jika topeng Singa Barong Reog Ponorogo memiliki ukuran yang masif dan menggunakan merak sebagai pelengkap, Barongan Suro seringkali lebih kecil (namun tetap besar dan berat), terbuat dari kayu yang khusus, dan dihiasi ijuk hitam yang tebal, memberikan kesan primitif dan sangat kuat secara visual. Bentuk matanya yang melotot, taring yang menonjol keluar, dan warna dasar merah tua atau hitam legam, semuanya bertujuan untuk memproyeksikan aura kegarangan dan kekuatan supra-natural.

II. Filosofi dan Simbolisme dalam Seni Barongan Suro

Di balik tarian dan musiknya yang riuh, Barongan Suro menyimpan filosofi mendalam mengenai keseimbangan alam, relasi antara manusia dan kekuatan kosmis, serta pentingnya penguasaan diri dalam menghadapi godaan duniawi. Simbolisme ini terwujud dalam setiap elemen pertunjukan, mulai dari topeng hingga irama musik pengiring.

A. Simbolisme Topeng dan Sosok Barong

Sosok Barong sendiri melambangkan perpaduan kekuatan positif dan negatif. Ia adalah raja hutan, penjaga tatanan, namun juga entitas yang tak terduga dan liar. Dalam konteks Jawa Timur, Barong sering diinterpretasikan sebagai personifikasi dari roh Bumi (Ibu Pertiwi) yang marah atau roh penguasa wilayah (Dhanyang). Kayu yang digunakan untuk membuat topeng Barong Suro bukanlah kayu sembarangan; ia harus berasal dari pohon yang diyakini memiliki ‘penghuni’ atau energi spesifik, seringkali dipanen melalui ritual khusus yang melibatkan sesajen dan doa.

Warna: Dominasi warna merah tua (darah, keberanian, amarah) dan hitam (misteri, kegelapan, kekuatan gaib) pada Barongan Suro menegaskan aspek kekerasan spiritual yang diwakilinya. Warna-warna ini memanggil energi yang dibutuhkan penari untuk mencapai kondisi *janturan*. Rambut atau ijuk hitam yang lebat melambangkan kekunoan dan keberanian yang tidak tersentuh oleh modernitas.

Taring dan Mata: Taring yang mencuat tajam dan mata yang menantang atau melotot adalah fitur kunci. Ini bukan hanya estetika, tetapi visualisasi dari kekuatan *Cakra* yang terbuka, kesiapan untuk melawan energi negatif, dan kondisi pikiran yang fokus total. Taring melambangkan kemampuan Barong untuk mengoyak kebohongan atau penyakit, sementara mata adalah cerminan dari penglihatan batin yang tajam.

B. Janturan (Trance) sebagai Puncak Komunikasi Spiritual

Aspek yang paling menentukan dan sakral dari Barongan Suro adalah praktik *janturan* atau kesurupan. Janturan adalah kondisi di mana penari atau pemain (yang biasanya sudah dilatih secara spiritual) dirasuki oleh roh yang diundang, entah itu roh Barong itu sendiri, roh leluhur, atau roh pengikut (seperti Leak atau Celeng). Kondisi ini bukanlah pura-pura; dalam budaya lokal, ini adalah momen komunikasi langsung antara dunia manusia dan dunia gaib.

Ketika penari berada dalam kondisi janturan, mereka menunjukkan kekuatan fisik luar biasa: resistensi terhadap rasa sakit, kemampuan memakan benda-benda tajam (beling) atau berinteraksi dengan api tanpa terluka. Filosofi di balik janturan adalah pengorbanan diri fisik untuk menunjukkan otoritas spiritual kepada komunitas, sekaligus berfungsi sebagai ritual pembersihan kolektif. Penari yang kesurupan seringkali bertindak sebagai media untuk menyampaikan pesan dari danyang desa kepada masyarakat, entah itu peringatan atau ramalan.

Proses ini memerlukan musik pengiring yang spesifik, yang disebut *Gending Jantur*. Gending ini memiliki ritme yang repetitif, cepat, dan keras, dirancang untuk memecah batas kesadaran dan memfasilitasi masuknya roh. Para pemain gamelan pun seringkali adalah individu yang memiliki ilmu kebatinan yang tinggi, karena mereka harus menjaga tempo dan energi agar janturan berjalan lancar dan aman, menghindari masuknya roh-roh yang tidak dikehendaki.

III. Anatomi dan Proses Kreasi Barongan Suro

Barongan Suro bukan diproduksi secara massal; setiap topeng adalah mahakarya yang dibuat dengan ritual dan spesifikasi material yang ketat. Proses kreasi ini adalah bagian integral dari kesakralan Barongan itu sendiri.

A. Pemilihan Kayu dan Bahan Dasar

Kayu yang paling sering digunakan adalah kayu beringin tua, kayu nangka, atau kayu cangkring. Kayu haruslah yang sudah tua dan ‘bertuah’ (memiliki aura mistis). Pemilihan bahan dilakukan setelah melalui proses tirakat (meditasi puasa) oleh pembuat topeng (Undagi). Ketika pohon ditebang, biasanya akan dilakukan upacara permohonan maaf kepada roh yang menghuni pohon tersebut, memastikan bahwa energi roh itu dapat pindah dan bersatu dengan topeng yang akan dibentuk.

Setelah kayu diukir membentuk wajah Barong yang mengerikan, proses pewarnaan dilakukan. Warna dasar merah tua atau cokelat seringkali berasal dari pigmen alami atau dicampur dengan bahan-bahan tertentu yang diyakini menambah kekuatan mistis. Perawatan Barongan Suro juga sangat penting; topeng yang sudah jadi harus dijamasi (dimandikan pusaka) pada malam-malam tertentu, seperti Malam 1 Suro, untuk mempertahankan daya magisnya. Jika perawatan ini diabaikan, diyakini kekuatan Barong akan melemah, atau bahkan ‘marah’, yang dapat membawa malapetaka bagi kelompok tersebut.

B. Elemen Pelengkap: Ijuk dan Kain Penutup

Ijuk hitam tebal yang digunakan sebagai rambut Barong berfungsi sebagai simbol kegarangan dan elemen yang menutupi serta menyembunyikan penarinya. Ijuk ini seringkali didapatkan dari serat pohon enau yang sudah tua, yang juga diperlakukan dengan penuh ritual. Ketika Barong bergerak, ijuk ini memberikan kesan visual yang dramatis dan liar.

Kain penutup (kain *blarak* atau kain hitam) yang membentang dari kepala hingga belakang berfungsi sebagai tubuh Barong. Ini memberikan ilusi monster yang besar dan bergerak. Kain ini juga disiapkan dengan mantra-mantra khusus agar penari yang berada di dalamnya terlindungi dari cedera selama aksi *kekebalan* (atraksi ketahanan fisik) terjadi.

IV. Ritme dan Musik Pengiring: Gamelan Barongan Suro

Musik adalah nyawa dari Barongan Suro. Tanpa irama yang tepat, tidak mungkin terjadi *janturan* atau komunikasi dengan alam roh. Gamelan yang digunakan memiliki komposisi yang spesifik, disesuaikan untuk menghasilkan frekuensi suara yang dapat memicu kondisi trance.

A. Instrumen Kunci dan Peranannya

Komposisi gamelan Barongan Suro cenderung lebih sederhana dan lebih fokus pada instrumen perkusi dibandingkan gamelan keraton. Instrumen kuncinya meliputi:

  1. Kendang Lanang dan Kendang Wadon: Dua jenis kendang yang dimainkan secara ritmis dan agresif. Kendang adalah pemimpin irama, yang menentukan kapan tempo harus dipercepat untuk memancing roh masuk, atau diperlambat untuk menenangkan roh.
  2. Gong: Memberikan penanda waktu dan ketenangan di antara sesi-sesi trance. Suara gong yang berat dan dalam dipercaya dapat ‘membumikan’ energi.
  3. Kenong dan Saron: Memberikan melodi dasar yang repetitif. Pola repetitif ini sangat penting dalam menciptakan kondisi hipnotis yang dibutuhkan untuk janturan.
  4. Terompet Reog/Pencak: Terompet yang nyaring dan melengking digunakan untuk memberikan teriakan musikal, memanggil perhatian roh, dan menambahkan unsur teatrikal yang dramatis.

Komposisi musik ini dirancang untuk menciptakan gelombang suara yang naik turun secara emosional, mendorong penari dari keadaan sadar ke alam bawah sadar. Para penabuh gamelan harus memiliki kepekaan spiritual yang tinggi, karena mereka tidak hanya memainkan alat musik, tetapi juga ‘memimpin’ energi spiritual dalam pertunjukan.

B. Gending Kuno dan Panggilan Spiritual

Setiap kelompok Barongan Suro memiliki gending-gending kuno (musik tradisional) yang dianggap sakral. Gending ini tidak boleh dimainkan sembarangan dan hanya dikeluarkan saat pertunjukan resmi atau ritual penting. Gending yang digunakan untuk memulai janturan biasanya disebut *Gending Pangundang* (Gending Pemanggil). Ketika Gending Pangundang mulai dimainkan, suasana berubah total; dari tontonan menjadi ritual yang serius. Suara Terompet Reog yang melengking di atas hentakan kendang yang cepat seolah menjadi jembatan antara dua dimensi.

Kekuatan musik dalam Barongan Suro menegaskan bahwa pertunjukan ini adalah pengalaman multisensori, di mana suara, gerak, dan spiritualitas menyatu menjadi satu entitas. Jika salah satu elemen gagal (misalnya kendang salah ketukan), diyakini proses janturan dapat terganggu, bahkan menyebabkan risiko bagi penari yang sedang kerasukan.

V. Gerak Tari dan Tipologi Pertunjukan

Gerak tari dalam Barongan Suro bersifat primal, ekspresif, dan sangat berbeda dari kehalusan tari keraton. Gerakan ini harus mencerminkan kekuatan dan kegarangan dari roh Barong yang mendiami topeng tersebut.

A. Gerakan Khas Barongan

Penari Barongan Suro harus memiliki stamina dan kekuatan leher yang luar biasa, mengingat berat topeng yang bisa mencapai puluhan kilogram. Gerakan kuncinya meliputi:

Gerakan ini tidak hanya berfungsi sebagai tarian, tetapi juga sebagai bahasa. Ketika Barong Suro berinteraksi dengan Jaranan (Kuda Lumping) atau Leak, gerakan mereka menyampaikan narasi pertempuran, perlindungan, atau dominasi. Barong Suro adalah entitas tertinggi dalam pementasan, dan semua makhluk lain (Jaranan, Leak) tunduk padanya.

B. Interaksi Sosial dan Peran Penonton

Pertunjukan Barongan Suro bersifat interaktif. Penonton bukanlah sekadar pengamat, tetapi juga peserta dalam ritual energi. Kadang kala, roh yang masuk ke tubuh penari Barong akan berinteraksi langsung dengan penonton, memberikan nasihat, atau bahkan menantang mereka secara fisik. Interaksi ini sangat penting karena memperkuat ikatan spiritual antara kelompok Barongan dan komunitas desa yang menjadi pelindungnya.

Dalam pertunjukan Jaranan lengkap yang melibatkan Barongan Suro, fokus utama adalah pada rangkaian adegan kekebalan. Setelah Barong Suro berhasil 'mengunci' energi arena, para penari Jaranan (kuda) mulai mengalami janturan. Barongan Suro, dalam perannya, berfungsi sebagai pengontrol energi, memastikan bahwa janturan tersebut terarah dan tidak menyebabkan kekacauan. Ia adalah maestro spiritual yang memimpin ritual tersebut hingga selesai.

Ilustrasi Alat Musik Gamelan untuk Barongan Suro Garis bentuk kendang, gong, dan saron yang digunakan untuk musik ritual Barongan Suro.

Alt Text: Komponen Gamelan Kunci (Kendang, Gong, Saron) yang mengiringi Barongan Suro.

VI. Pewarisan dan Tantangan di Era Modern

Barongan Suro, sebagai seni tradisi yang kental dengan ritual dan spiritualitas, menghadapi tantangan besar di tengah arus modernisasi dan perubahan sosial. Pewarisan ilmu dan praktik ini memerlukan dedikasi yang luar biasa, tidak hanya dalam penguasaan seni, tetapi juga penguasaan ilmu kebatinan.

A. Transmisi Ilmu Kebatinan

Tidak semua orang dapat menjadi penari Barongan Suro atau penabuh Gending Jantur. Tradisi ini menuntut adanya proses inisiasi yang ketat, seringkali melibatkan puasa, meditasi (tirakat), dan pembelajaran mantra (aji-aji) dari seorang guru spiritual (sesepuh atau dukun). Pengetahuan ini bersifat esoteris (rahasia) dan tidak dicatat, melainkan diwariskan dari mulut ke mulut, dari generasi tua kepada generasi muda yang dianggap paling pantas dan memiliki ‘darah’ spiritual yang kuat.

Tantangan terbesar adalah berkurangnya minat generasi muda untuk menjalani disiplin spiritual yang keras ini. Banyak yang tertarik pada aspek seni dan tariannya, tetapi mundur ketika diminta untuk menjalani tirakat dan menghindari pantangan tertentu yang wajib dilakukan untuk menjaga kekuatan Barong. Oleh karena itu, jumlah kelompok Barongan Suro yang masih memegang teguh pakem spiritual aslinya semakin berkurang, dan banyak yang beralih menjadi sekadar pertunjukan teaterikal tanpa melibatkan janturan yang sesungguhnya.

B. Konflik antara Sakral dan Komersial

Ketika Barongan Suro diundang untuk tampil di acara-acara publik atau festival budaya, sering terjadi konflik antara kebutuhan untuk mempertahankan kesakralan ritual dan tuntutan komersial. Untuk tujuan hiburan, durasi pertunjukan harus dipersingkat, dan aksi janturan terkadang harus dihindari karena dianggap terlalu ekstrem atau mengganggu kenyamanan penonton modern yang tidak siap dengan aspek mistisnya.

Kelompok-kelompok tradisional berusaha keras mencari titik temu, misalnya dengan melakukan ritual pemanggilan roh secara penuh sebelum pertunjukan dimulai (di tempat tersembunyi), kemudian hanya menampilkan puncak-puncak atraksi yang paling aman di depan publik. Namun, para sesepuh tetap menekankan bahwa jika Barongan Suro kehilangan dimensi spiritualnya, ia kehilangan jiwanya dan hanya akan menjadi replika kosong dari kebudayaan yang agung.

VII. Barongan Suro dan Kosmologi Jawa

Untuk memahami Barongan Suro secara utuh, kita harus menempatkannya dalam kerangka kosmologi Jawa, di mana dunia dihuni oleh berbagai entitas spiritual, dan manusia harus hidup selaras dengan mereka. Barongan Suro adalah salah satu instrumen untuk menjaga keharmonisan ini.

A. Konsep Sedulur Papat Lima Pancer

Dalam ilmu kebatinan Jawa, Barongan Suro sering dikaitkan dengan konsep *Sedulur Papat Lima Pancer* (Empat Saudara dan Lima Pusat). Empat saudara ini adalah energi elemental yang lahir bersama manusia (air ketuban, darah, ari-ari, dan plasenta), sementara Pancer adalah diri spiritual sejati. Barong Suro, yang merupakan simbol kekuatan alam dan roh penjaga, diyakini mampu memanggil dan mengendalikan energi-energi fundamental ini, memberikan perlindungan dan kekuatan tak terlihat kepada penari dan komunitas.

Ketika Barong Suro beraksi, ia memanifestasikan sifat liar dan tak terkendali dari energi elemental, yang kemudian diarahkan oleh kekuatan Pancer (penari yang terpusat secara spiritual) untuk tujuan yang positif, seperti pembersihan desa dari penyakit atau energi negatif yang beredar di udara. Proses ritual sebelum pertunjukan selalu melibatkan pemanggilan dan penghormatan kepada empat saudara ini.

B. Fungsi sebagai Tolak Bala

Salah satu fungsi utama Barongan Suro, terutama di pedesaan Jawa Timur, adalah sebagai *tolak bala* (penolak bencana). Pertunjukan Barongan Suro sering diminta saat terjadi musibah tak terjelaskan, seperti gagal panen berulang, wabah penyakit, atau gangguan hantu. Melalui ritual janturan dan atraksi kekebalan, Barongan Suro dipercaya dapat menyerap dan mengusir energi jahat dari wilayah tersebut, mengembalikan keseimbangan spiritual dan fisik. Ini menjadikan Barongan Suro bukan hanya seni, tetapi juga profesi spiritual yang dihormati.

Dalam konteks ritual bersih desa, Barongan Suro memegang peran sentral. Ia berjalan mengelilingi batas desa, menderukan suaranya, dan melakukan gerakan kasar di titik-titik yang dianggap angker. Seluruh proses ini adalah simbolisasi pembersihan kosmik, memastikan bahwa seluruh entitas gaib di wilayah tersebut telah diberi penghormatan, dan mereka tidak akan mengganggu kehidupan manusia selama satu siklus tahun ke depan.

VIII. Ragam dan Varian Barongan di Jawa Timur

Meskipun memiliki akar yang sama dalam tradisi topeng singa, Barongan Suro memiliki variasi regional yang signifikan, mencerminkan akulturasi dengan kepercayaan lokal di masing-masing kabupaten. Pemahaman tentang varian ini sangat penting untuk menghargai kekayaan budaya Barongan Suro.

A. Gaya Blitar dan Kediri

Di wilayah Blitar dan Kediri, Barongan Suro seringkali sangat erat terkait dengan Jaranan. Varian di sini cenderung menekankan pada kekuatan magis dan aksi kekebalan yang ekstrem. Topengnya seringkali lebih berotot dan memiliki ekspresi yang sangat marah, terkadang dilengkapi dengan sisik atau ornamen kulit ular, menunjukkan koneksi dengan mitos naga atau kekuatan air (yang penting dalam tradisi pertanian).

Pertunjukan di daerah ini juga cenderung lebih fokus pada narasi pertempuran spiritual, di mana Barong Suro melawan Leak-leak kecil atau roh jahat yang mencoba mengganggu penari Jaranan. Musik yang digunakan sangat cepat dan keras, mencerminkan kebutuhan akan energi yang besar untuk mempertahankan kondisi janturan massal.

B. Pengaruh Ponorogo dan Batasan Tradisi

Walaupun Barongan Suro berbeda dari Reog Ponorogo, wilayah perbatasan sering mengalami pertukaran budaya. Barongan Suro yang berada di dekat Ponorogo mungkin mengadopsi elemen estetika tertentu, seperti penggunaan warna emas atau perak pada beberapa ornamen, atau sedikit melunakkan aspek kekerasan ritual demi keseragaman penampilan. Namun, esensi spiritual dan fokus pada *janturan* sebagai inti ritual tetap dipertahankan sebagai pembeda utama.

Perbedaan yang paling dijaga adalah mengenai *bobot* (berat) spiritual. Kelompok Barongan Suro tradisional seringkali memandang Barong mereka memiliki energi yang lebih tua dan lebih murni (primitif) dibandingkan Singa Barong Reog yang lebih terstruktur oleh narasi kerajaan. Ini adalah perebutan identitas budaya yang sehat, di mana setiap kelompok berjuang untuk mempertahankan keunikan dan kedalaman tradisi mereka.

IX. Peningkatan Detail dan Eksplorasi Mendalam tentang Janturan

Karena janturan adalah inti sakral dari Barongan Suro, perlu dilakukan eksplorasi yang lebih mendalam mengenai bagaimana proses ini terjadi, dan bagaimana masyarakat memandangnya. Janturan bukan sekadar pingsan; ini adalah fenomena sosial, budaya, dan spiritual yang kompleks.

A. Tahapan Psikologis dan Spiritual Janturan

Proses janturan tidak terjadi seketika. Ada beberapa tahapan yang dialami oleh penari:

  1. Niat (Fokus): Penari memulai dengan niat yang kuat, memusatkan pikirannya pada energi Barong atau roh yang ingin dipanggil. Ini dibantu oleh aroma dupa (kemenyan) dan mantra yang dibisikkan oleh sesepuh.
  2. Pening: Penari mulai merasa pusing atau mual akibat frekuensi suara gamelan yang repetitif dan cepat. Ini adalah tahap awal di mana kesadaran mulai memudar.
  3. Kerasukan: Roh memasuki tubuh, dan gerakan penari berubah total. Mereka tidak lagi menari, tetapi bergerak sesuai kehendak roh, seringkali dengan kekuatan yang sangat besar, menghentak-hentakkan kaki dengan kecepatan tinggi, atau meraung dengan suara non-manusia.
  4. Aksi Kekebalan: Pada tahap ini, penari yang kesurupan melakukan atraksi yang menantang bahaya, seperti mengunyah beling (pecahan kaca) atau kulit gabah (sekam), menusuk diri, atau berjalan di atas bara. Ini adalah bukti visual dari perlindungan spiritual Barong.
  5. Pengembalian Kesadaran (Nguncal): Sesepuh atau pawang akan menggunakan air suci, jampi-jampi, atau sentuhan tertentu untuk mengusir roh dari tubuh penari. Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah roh menolak keluar atau menyebabkan cedera pada penari.

Setelah janturan, penari biasanya sangat kelelahan tetapi mengaku tidak ingat apa pun yang telah terjadi. Pengalaman ini dipercaya membersihkan jiwa mereka dan memberikan energi baru, sekaligus memperkuat ikatan mereka dengan entitas Barong.

B. Peran Pawang atau Sesepuh

Kehadiran Pawang atau Sesepuh (pemimpin ritual) adalah mutlak dalam Barongan Suro. Mereka adalah jembatan antara manusia dan roh. Tugas Pawang sangat berat: mereka harus menjaga agar roh yang masuk adalah roh yang baik, mengendalikan intensitas janturan agar tidak berbahaya, dan memastikan roh kembali ke alamnya tanpa meninggalkan sisa energi negatif. Pawang adalah penjaga aturan dan keamanan spiritual dari seluruh kelompok.

Pawang seringkali membawa pusaka pribadi (seperti cambuk, keris, atau tongkat) yang digunakan sebagai alat pengendali. Cambuk, khususnya, adalah simbol otoritas. Meskipun cambuk digunakan untuk menyabet penari Jaranan yang kesurupan (sebagai upaya membangunkan atau mengarahkan roh), Barongan Suro seringkali tidak boleh dicambuk, karena ia adalah entitas yang lebih tinggi, dan harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat. Pawang akan mengarahkan Barong Suro melalui komunikasi batin atau perintah lisan yang sangat dihormati.

X. Barongan Suro sebagai Warisan Tak Benda

Barongan Suro, dengan segala kompleksitas ritual, seni ukir, dan musiknya, merupakan warisan tak benda yang harus dilestarikan. Upaya pelestarian ini membutuhkan pengakuan tidak hanya sebagai seni pertunjukan, tetapi juga sebagai praktik spiritual yang sah.

A. Dokumentasi dan Studi Akademis

Sayangnya, karena sifatnya yang rahasia dan esoteris, banyak pakem dan ritual Barongan Suro yang belum terdokumentasi secara akademis. Upaya pelestarian harus mencakup pencatatan gending-gending kuno, teknik ukir topeng yang spesifik, serta narasi lisan yang menyertai setiap pertunjukan di desa-desa. Dokumentasi ini penting agar jika generasi tua sudah tiada, ilmu tersebut tidak hilang sepenuhnya.

Studi akademis juga dapat membantu membedakan secara jelas Barongan Suro dari Barong-barong lain di Nusantara, memberikan pengakuan identitas yang unik dan mengaitkannya dengan sejarah lokal Kerajaan Kediri atau Majapahit Timur, yang seringkali terpinggirkan dalam narasi budaya Jawa Tengah.

B. Adaptasi dan Masa Depan

Untuk bertahan, Barongan Suro harus menemukan cara untuk beradaptasi tanpa mengorbankan sakralitasnya. Beberapa kelompok muda mulai menggabungkan unsur Barongan Suro dengan musik modern atau koreografi kontemporer, menciptakan pertunjukan yang lebih menarik bagi audiens yang lebih luas.

Namun, dalam setiap adaptasi, pesan spiritual Barongan Suro sebagai penjaga tatanan dan penolak bala harus tetap menjadi inti. Kekuatan Barong Suro adalah kekuatannya yang tidak terkalahkan, aura mistisnya yang dingin, dan komitmen para penarinya untuk menjadi wadah bagi kekuatan alam. Masa depan Barongan Suro bergantung pada kemampuan generasi penerus untuk menyeimbangkan antara penghormatan pada tradisi kearifan lokal yang mistis dan kebutuhan untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang semakin sekuler.

Barongan Suro adalah cerminan dari jiwa Jawa Timur yang keras, spiritual, dan tidak mudah menyerah. Ia berdiri tegak, menjaga warisan para leluhur, memastikan bahwa gaung suara gong dan hentakan kaki Barong Suro akan terus terdengar, memanggil roh dan menjaga desa dari marabahaya abadi.

Kekuatan Barongan Suro tidak terletak pada keindahan visualnya semata, melainkan pada kemampuan kolektif para pemainnya untuk membuka portal komunikasi dengan dimensi lain, menjadikan setiap pementasan sebagai sebuah upacara suci, sebuah persembahan kepada alam semesta dan roh-roh penjaga yang diyakini masih berdiam dan mengawasi tanah Jawa yang subur ini. Penghormatan terhadap pakem, disiplin spiritual, dan keikhlasan dalam menjalani tradisi inilah yang terus menjaga Barongan Suro tetap hidup dan bersemangat di tengah gempuran modernitas yang tak terhindarkan. Setiap serat ijuk, setiap ukiran taring, dan setiap hentakan kendang adalah janji abadi untuk melestarikan misteri dan kekayaan spiritual yang diwariskan oleh para pendahulu.

Lebih jauh lagi, pemahaman tentang Barongan Suro juga harus meluas hingga ke aspek ekonomi dan sosial. Kelompok Barongan Suro seringkali menjadi pusat kegiatan sosial di desa. Mereka tidak hanya tampil, tetapi juga berfungsi sebagai mediator konflik, penggalang dana untuk kepentingan desa, dan penjaga moralitas lokal melalui pesan-pesan yang disampaikan saat *janturan*. Inilah sebabnya mengapa dukungan komunitas terhadap kelompok Barongan Suro menjadi fundamental dalam menjaga keberlangsungan seni ini. Ketika masyarakat desa aktif berpartisipasi, baik sebagai penonton setia, penyedia logistik ritual, maupun pewaris spiritual, maka rantai tradisi ini akan tetap kokoh dan sulit dipatahkan oleh waktu.

Tradisi Barongan Suro juga melahirkan seniman-seniman berbakat, mulai dari pengukir topeng yang memiliki keahlian khusus dalam memilih dan mengolah kayu bertuah, hingga penabuh gamelan yang mampu mencapai resonansi magis. Keahlian ini adalah ilmu terapan yang tidak bisa dipelajari di sekolah formal, melainkan melalui magang spiritual di bawah bimbingan langsung dari guru (Sesepuh). Kontinuitas kualitas Barongan Suro sangat bergantung pada apakah generasi berikutnya bersedia menjalani proses pembelajaran yang panjang dan penuh pengorbanan ini, yang melibatkan lebih banyak meditasi dan puasa daripada sekadar latihan fisik di panggung.

Pada hakikatnya, Barongan Suro mengajarkan tentang dualitas kehidupan. Kekuatan yang liar dan menakutkan yang diwakilinya adalah simbol dari energi murni alam yang harus dihormati. Ketika energi ini dikuasai melalui disiplin spiritual, ia menjadi pelindung. Jika disalahgunakan, ia dapat menghancurkan. Filosofi ini, yang terkandung dalam setiap gerakan tarian dan raungan Barong, adalah pelajaran abadi tentang pentingnya pengendalian diri di hadapan kekuatan kosmis yang jauh lebih besar daripada manusia. Barongan Suro adalah pengingat bahwa di balik hiruk pikuk kehidupan modern, masih ada dimensi spiritual dan tradisi leluhur yang menuntut penghormatan tertinggi.

🏠 Homepage