Menguak Misteri Barongan Siung Tempel: Seni Adiluhung Jawa Timur

Ilustrasi Konseptual Topeng Barongan Representasi sederhana dari topeng Barongan dengan mata melotot dan Siung Tempel yang menonjol. BARONGAN SIUNG TEMPEL

I. Pendahuluan: Definisi dan Kedudukan Barongan

Di jantung budaya Jawa, seni pertunjukan tradisional senantiasa bergerak dalam poros spiritual dan mitologis. Salah satu manifestasi seni rupa dan tari yang paling kuat, sekaligus paling misterius, adalah Barongan. Meskipun sering disamakan dengan Singa Barong dari Reog Ponorogo atau Barong dari Bali, Barongan Jawa Timur memiliki ciri khas tersendiri, khususnya yang berkaitan dengan struktur rahang dan taringnya, yang dikenal sebagai Barongan Siung Tempel. Konsep ini bukan sekadar detail kosmetik pada topeng, melainkan sebuah penanda filosofis, material, dan ritual yang membedakannya secara signifikan.

Istilah Siung Tempel merujuk pada taring atau gading yang terpasang (ditempelkan) pada rahang Barongan. Pemasangan taring ini sering kali dilakukan melalui ritual khusus, mengubah topeng kayu biasa menjadi media spiritual yang dianggap memiliki ‘isi’ atau roh. Taring tersebut, yang biasanya dibuat dari kayu tertentu atau bahkan gigi binatang, melambangkan kekuatan liar, proteksi, dan energi primal yang harus dijinakkan namun juga dihormati. Studi tentang Barongan Siung Tempel membawa kita jauh melampaui sekadar pertunjukan, masuk ke dalam tradisi kepercayaan yang mengakar pada animisme dan dinamisme kuno, berpadu dengan pengaruh Hindu-Buddha dan Islam.

Dalam konteks Jawa Timur, terutama di wilayah Blora, Kediri, dan sekitarnya, Barongan menjadi simbol kekuasaan dan identitas lokal. Sosoknya yang sangar, matanya yang melotot, dan siung yang mencuat tajam, merupakan perwujudan dari Danyang (roh penjaga tempat) atau bahkan representasi dari kekuatan alam yang tak tertahankan. Memahami esensi Barongan Siung Tempel memerlukan penelusuran mendalam terhadap material, teknik ukir, dan yang paling penting, ritual penyucian dan penempelan yang menjadikannya benda sakral. Artikel ini akan membedah setiap lapisan makna dari Barongan jenis ini, menjelaskan bagaimana sebuah karya seni dapat menjadi jembatan antara dunia manusia dan dunia gaib.

II. Akar Mitologi dan Filosofi Spiritual

II.1. Hubungan dengan Singa Barong dan Babad Tanah Jawa

Secara mitologis, asal-usul Barongan seringkali dihubungkan dengan legenda era Kerajaan Kediri atau Majapahit. Tokoh legendaris seperti Prabu Klono Sewandono atau bahkan Singo Barong yang dikalahkan oleh Patih Gajah Mada dalam beberapa versi cerita, memberikan dasar historis bagi keberadaan Barongan. Meskipun demikian, Barongan yang kita kenal sekarang, khususnya yang menonjolkan fitur siung tempel, berkembang seiring dengan tradisi kerakyatan yang lepas dari keraton. Ia menjadi representasi kekuatan rakyat jelata yang berani melawan atau menghadapi kekuatan alam yang superior.

Filosofi utama di balik Barongan adalah dualitas. Sosoknya yang mengerikan (representasi nafsu, angkara murka) harus dikendalikan oleh Jathilan atau penari lain (representasi kehalusan, disiplin). Siung Tempel menjadi fokus dari dualitas ini. Siung yang tajam adalah simbol agresivitas. Namun, proses ‘penempelan’ yang dilakukan melalui ritual suci (tirakat, puasa, mantra) adalah upaya spiritual untuk menyalurkan kekuatan liar tersebut agar dapat digunakan untuk tujuan baik, seperti melindungi desa atau mendatangkan keberkahan pada hasil panen. Tanpa ritual penempelan ini, siung hanya akan menjadi hiasan tanpa daya pikat spiritual.

II.2. Konsep Kewibawaan dan Daya Prana

Dalam pandangan spiritual Jawa, suatu benda yang diisi dengan daya prana (energi hidup) memiliki kewibawaan. Kewibawaan Barongan Siung Tempel terletak pada kekuatan visual dan energi esoteris yang ditanamkan ke dalam taring. Taring (siung) yang menonjol adalah saluran keluar masuknya energi, membuat Barongan tidak hanya terlihat menyeramkan, tetapi memang terasa ‘berat’ atau ‘bernyawa’. Para seniman dan praktisi percaya bahwa kualitas Barongan diukur dari seberapa intens energi spiritual yang mampu disalurkan melalui siung yang ditempelkan tersebut. Semakin kuat ritual penempelan, semakin tinggi kemungkinan Barongan akan mengalami fenomena ndadi (kesurupan) saat pentas, yang dianggap sebagai puncak spiritual pertunjukan.

Daya mistis ini juga berfungsi sebagai penolak bala. Ketika Barongan dipentaskan, ia bukan hanya menghibur, tetapi juga melakukan pembersihan ritual terhadap area pertunjukan. Keberadaan taring, khususnya pada model Barongan Siung Tempel, menekankan peran Barongan sebagai pelindung garda depan. Ini adalah konsep yang mendalam: melindungi desa atau komunitas dengan wujud yang paling menakutkan, karena hanya kekuatan yang menakutkan pula yang dapat mengusir kejahatan yang lebih besar.

III. Anatomi Detail Barongan Siung Tempel

Untuk memahami sepenuhnya nilai dari Barongan ini, kita harus membedah setiap komponennya. Desain Barongan tidak pernah sembarangan; setiap ukiran, warna, dan material memiliki maksud. Pada Barongan Siung Tempel, perhatian utama tertuju pada empat elemen: Kepala (Kedok), Rambut (Gimbal), Rahang (Bawahan), dan tentu saja, Siung itu sendiri.

III.1. Kedok dan Ekspresi Wajah

Kedok atau topeng kepala Barongan biasanya diukir dari kayu ringan namun kuat, seperti kayu dadap atau nangka. Ekspresi yang dipilih selalu hiperbolis: mata melotot, hidung pesek yang besar, dan kening berkerut dalam. Warna dominan adalah merah tua, hitam, atau emas, melambangkan keberanian, kegelapan, dan keagungan. Khusus untuk Barongan Siung Tempel, area sekitar mulut dan taring seringkali diberi penekanan warna yang kontras, seringkali putih pucat atau gading, untuk memastikan taring menjadi fokus utama pandangan.

Lubang pandangan untuk penari ditempatkan sedemikian rupa sehingga pergerakan kepala Barongan terlihat hidup dan tak terduga. Penekanan pada ukiran detail pada kedok, seperti urat-urat di dahi atau lipatan kulit di sekitar mata, menunjukkan upaya seniman untuk 'menghidupkan' makhluk mitologis ini sebelum taring spiritualnya ditempelkan. Ini adalah persiapan wadah yang sempurna sebelum diisi dengan kekuatan esoteris.

III.2. Fenomena Siung Tempel: Material dan Struktur

Inilah inti dari Barongan jenis ini. Siung Tempel dapat bervariasi dalam material: yang paling tradisional dan sakral sering menggunakan taring babi hutan (celeng), gigi harimau (meskipun sangat langka dan dihindari karena isu konservasi), atau yang paling umum, ukiran dari kayu asem atau kayu doro yang memiliki serat sangat kuat dan dikenal memiliki aura mistis.

Strukturnya tidak hanya asal tempel. Siung harus diposisikan pada sudut yang tepat—seringkali sedikit melengkung ke luar dan ke atas—untuk memberikan kesan Barongan sedang menggeram atau siap menerkam. Teknik penempelan (tempel) ini harus kuat dan permanen, seringkali dibantu dengan perekat alami dan penguatan spiritual. Siung ini biasanya terdiri dari dua pasang taring utama (atas dan bawah), atau bahkan empat taring yang menonjol ke luar bibir. Panjang taring bisa mencapai 5 hingga 10 sentimeter, menjadikannya fitur yang paling mengancam sekaligus paling memukau dari seluruh kostum.

Keberadaan siung yang ditempelkan bukan hanya tentang keindahan ukiran. Ia adalah penanda hierarki spiritual. Barongan dengan siung yang panjang dan ditempelkan melalui ritual yang ketat dianggap memiliki kekuasaan dan ‘roh’ yang lebih tua dan lebih kuat, dibandingkan Barongan kontemporer yang siungnya diukir menyatu dengan rahang. Inilah pembeda mendasar dalam tradisi Barongan.

III.3. Rambut Gimbal dan Kain Pelengkap

Rambut Barongan, atau Gimbal, biasanya dibuat dari serat tumbuhan, ijuk, atau benang kasar yang dicat hitam atau merah. Gimbal ini dibuat panjang dan lebat untuk memberikan ilusi pergerakan masif saat penari Barongan menggerakkan kepalanya dengan cepat. Di beberapa daerah yang kental dengan tradisi Barongan Siung Tempel, rambut ini juga seringkali dipanjangkan hingga menutupi tubuh penari, meningkatkan kesan misterius dan binatang buas yang keluar dari hutan.

IV. Proses Sakral Pembuatan dan Penempelan Siung

Pembuatan Barongan Siung Tempel bukanlah proses kerajinan biasa. Ini adalah ritual panjang yang melibatkan pemilihan material, pembersihan spiritual, dan penanaman energi. Proses ini memastikan bahwa benda mati (kayu) dapat berfungsi sebagai medium komunikasi dengan dunia lain.

IV.1. Pemilihan Kayu dan Waktu Penebangan

Kayu yang paling dicari adalah kayu yang diyakini memiliki ‘penunggu’ atau aura kuat, seperti kayu jati purba, kayu dadap, atau kayu randu alas yang tumbuh di tempat angker. Pemotongan kayu dilakukan pada hari-hari tertentu (biasanya Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon) dan disertai dengan sesajen serta doa permohonan izin kepada Danyang hutan. Kayu harus ‘diambil’ dengan cara yang menghormati roh penjaganya.

Setelah diukir menjadi kedok, perhatian berpindah pada Siung. Jika Siung berasal dari taring hewan, ia harus dibersihkan secara spiritual—dicelupkan ke air tujuh sumur atau diasapi dengan kemenyan khusus selama beberapa malam. Proses ini bertujuan untuk menetralkan energi negatif dan mempersiapkan Siung untuk menerima energi ‘penghidupan’ dari Sang Guru Barongan.

IV.2. Ritual Penempelan (Tempel)

Kata ‘Tempel’ dalam konteks ini jauh lebih dalam dari sekadar menempelkan. Ini adalah proses sakral ‘mengawinkan’ siung dengan kedok. Ritual Penempelan adalah saat sang Guru atau Dukun Barong akan melakukan tirakat (puasa), meditasi, dan pembacaan mantra yang sangat panjang. Penempelan sering dilakukan pada tengah malam, di tempat yang sunyi dan gelap, untuk memaksimalkan penyerapan energi kosmis.

Mantra yang dibacakan bertujuan untuk memasukkan roh pelindung, atau roh singa purba, ke dalam kayu dan taring. Setelah siung dilekatkan dengan perekat alami (seringkali campuran getah pohon tertentu yang juga dianggap magis), Barongan dibiarkan dalam keadaan ‘tertidur’ selama beberapa waktu. Ini adalah fase kritis di mana Barongan diyakini sedang ‘bermimpi’ atau ‘mengumpulkan kekuatan’. Kegagalan dalam ritual penempelan dapat mengakibatkan Barongan tidak memiliki ‘isi’ dan hanya menjadi topeng kosong.

Kualitas sebuah Barongan Siung Tempel sering ditentukan oleh siapa yang melakukan penempelan dan berapa lama proses ritual tersebut berlangsung. Maestro Barongan di Jawa Timur dikenal mampu menghabiskan bulan-bulan puasa hanya untuk satu set Barongan yang sempurna.

Detail Taring Siung Tempel Ilustrasi detail Siung Tempel yang menonjol, menunjukkan ukiran dan penempelan pada struktur kayu. Titik Penempelan Sakral (Tempel)

V. Simbolisme Siung sebagai Manifestasi Kekuatan Primal

Taring, di hampir semua kebudayaan, melambangkan kekuatan non-manusia, kebuasan, dan status predator tertinggi. Dalam konteks Barongan Siung Tempel, siung adalah fokus dari semua energi ini, namun dengan interpretasi yang sangat lokal dan filosofis.

V.1. Representasi Sifat Angkara Murka

Secara lahiriah, siung tajam mewakili Angkara Murka (nafsu dan amarah yang tidak terkendali). Dalam pertunjukan Barongan, taring ini mengingatkan penonton bahwa di dalam diri manusia selalu ada sisi liar yang harus dikenali dan diakui. Ketika Barongan beraksi dengan tarian yang agresif, menggerakkan siungnya ke udara, ia sedang memproyeksikan kekuatan destruktif yang harus diawasi oleh masyarakat.

Namun, karena siung tersebut telah melalui proses ‘Tempel’ yang suci, kekuatan Angkara Murka ini telah ‘dijinakkan’ atau dialihkan. Ia tidak lagi menjadi kekuatan murni destruktif, melainkan energi yang siap digunakan untuk melawan kejahatan eksternal. Ini adalah paradoks spiritual Jawa: kekuatan yang paling menakutkan adalah kekuatan yang paling efektif untuk melindungi.

V.2. Simbol Kekuatan Spiritual dan Perlindungan

Aspek protektif dari Barongan Siung Tempel sangat kuat. Di beberapa desa, Barongan tidak hanya dipentaskan untuk hiburan, tetapi juga dibawa berkeliling saat terjadi wabah atau bencana, berfungsi sebagai jimat berjalan. Taringnya diyakini mampu menusuk dan merobek energi negatif atau makhluk halus jahat yang mengganggu komunitas. Semakin kuat dan besar siung yang ditempelkan, semakin tinggi tingkat proteksi yang diberikan.

Simbolisme ini juga meluas pada penarinya. Penari Barongan (Jathil) yang sukses ‘dikuasai’ oleh roh Barongan (ndadi) seringkali menunjukkan kemampuan fisik yang luar biasa, seperti kebal cambuk atau makan kaca. Kekuatan ini dipercayai berasal dari daya prana yang tersalurkan melalui topeng, berpusat pada siung tempel tersebut, yang bertindak sebagai antena spiritual yang menarik energi dari alam gaib dan melindunginya dari bahaya fisik.

VI. Barongan Siung Tempel dalam Konteks Ritual Pertunjukan

Pementasan Barongan yang memuat unsur siung tempel selalu didahului dan diakhiri dengan ritual yang intens. Pertunjukan ini bukan sekadar tarian, melainkan sebuah upacara pemanggilan dan pelepasan roh.

VI.1. Janturan dan Sesajen

Sebelum Barongan diangkat dari tempat penyimpanannya, sesajen lengkap harus disiapkan. Sesajen ini umumnya terdiri dari kembang tujuh rupa, nasi tumpeng, jajanan pasar, dan kopi pahit/manis. Ritual Janturan (pembukaan) dilakukan oleh seorang sesepuh atau pawang Barongan. Dalam Janturan, sang Pawang akan meminta izin kepada roh Barongan untuk menampakkan diri. Fokusnya selalu pada topeng, terutama bagian siung tempel, yang diasapi dengan kemenyan sambil Pawang membacakan mantera pemanggil. Langkah ini esensial untuk 'mengaktifkan' daya spiritual siung.

Proses ini memastikan bahwa ketika penari mengenakan topeng, ia tidak hanya mengenakan benda mati, tetapi menjadi wadah bagi kekuatan yang sudah disiapkan. Aroma kemenyan dan ketukan gong yang ritmis menciptakan suasana hipnotis yang penting untuk transisi ke fase berikutnya.

VI.2. Fenomena Ndadi (Trans)

Puncak dari pertunjukan Barongan yang spiritual adalah Ndadi atau kerasukan. Dalam tradisi Barongan Siung Tempel yang kuat, Ndadi adalah bukti otentik bahwa ritual penempelan telah berhasil dan Barongan benar-benar ‘berisi’. Saat Ndadi terjadi, penari akan bergerak tidak teratur, meraung-raung, dan menunjukkan kekuatan yang tidak mungkin dilakukan manusia biasa. Penarinya tidak lagi bertindak sebagai dirinya sendiri, melainkan sebagai Singa Barong yang telah hidup kembali.

Peran siung tempel di sini sangat krusial. Siung yang tajam berfungsi sebagai focal point visual dan spiritual. Gerakan kepala Barongan yang keras, yang mengayunkan siung, diyakini mampu ‘mencambuk’ suasana dan membuat penonton merasakan intensitas energi yang memancar. Ndadi tidak dicari-cari, melainkan dianggap sebagai berkat atau restu dari roh Barongan atas pelaksanaan ritual yang benar.

VI.3. Tarian dan Musik Pengiring

Tarian Barongan Siung Tempel ditandai dengan gerakan yang eksplosif, patah-patah, dan seringkali diselingi dengan auman yang meniru suara singa atau harimau. Musik pengiring (gamelan Reog atau gamelan Jawa Timur) dimainkan dengan tempo yang cepat dan keras, menciptakan ritme yang memacu semangat. Instrumen utama seperti kendang, gong, dan terompet sering dimainkan dengan volume tinggi untuk mendukung aura mistis yang dibangun oleh kehadiran Barongan.

VII. Variasi Gaya Barongan Siung Tempel di Berbagai Daerah

Meskipun konsep siung tempel ditemukan di berbagai wilayah, implementasi dan filosofinya sedikit berbeda tergantung pada tradisi lokal. Fokus utama Barongan jenis ini sebagian besar berada di poros Jawa Timur bagian tengah hingga timur.

VII.1. Barongan Kediri: Agresivitas dan Kemegahan

Barongan dari Kediri dikenal memiliki wujud yang sangat agresif. Siung tempel di Barongan Kediri seringkali dibuat sangat panjang dan tebal, menekankan sifat maskulin dan dominan. Kediri, dengan sejarah kerajaan yang kuat, melihat Barongan sebagai perwujudan Raja hutan yang tak terkalahkan. Teknik penempelan di Kediri sering melibatkan ritual yang sangat tertutup dan rahasia, diwariskan hanya kepada murid terpilih. Siung yang ditempelkan menjadi lambang kekuatan politik dan spiritual desa.

VII.2. Barongan Blora: Kesederhanaan dan Kekuatan Esoteris

Berbeda dengan Kediri, Barongan Blora (seringkali berkaitan dengan tradisi Reog Blora) cenderung memiliki penampilan yang lebih ‘primitif’ atau tradisional. Siung tempel di sini mungkin tidak sebesar Barongan Kediri, namun fokus utamanya adalah material taring yang harus berasal dari hewan buruan atau kayu yang sangat tua. Kekuatan Barongan Siung Tempel Blora lebih ditekankan pada daya esoteris yang ditanamkan, bukan hanya tampilan fisik semata. Ritual penempelan di Blora sering diiringi dengan prosesi yang melibatkan berjalan di atas bara api atau mandi di air terjun.

VII.3. Kontras dengan Barong Bali

Penting untuk membedakan. Barong Bali, meskipun juga berwujud makhluk buas, seringkali mewakili kebaikan (Dharma) yang bertarung melawan Rangda (kejahatan). Sementara Barongan Jawa, terutama yang menggunakan siung tempel, mewakili kekuatan yang ambigu: ia liar dan menakutkan, namun dapat dikendalikan dan digunakan untuk kebaikan. Fokusnya adalah pada asimilasi kekuatan liar, bukan polaritas murni baik-jahat seperti di Bali.

Dalam tradisi Jawa Timur, Barongan yang memakai siung tempel adalah pengejawantahan dari Singa Barong yang telah melalui penyucian. Ia adalah kekuatan yang dihormati dan ditakuti, sebuah peringatan akan batas tipis antara peradaban dan kebuasan alam.

VIII. Pewarisan dan Tantangan di Era Modern

Kesenian Barongan, khususnya yang mengandung unsur spiritual yang intens seperti Barongan Siung Tempel, menghadapi tantangan besar dalam upaya pelestariannya di tengah arus modernisasi. Generasi muda mulai menjauh dari ritual yang dianggap kuno, sementara isu material (terutama taring hewan) semakin sulit diatasi karena regulasi konservasi.

VIII.1. Adaptasi Material dan Desain

Saat ini, banyak seniman mulai beradaptasi dengan menggunakan replika siung yang diukir dari tanduk kerbau atau kayu yang sangat keras, sebagai pengganti taring binatang yang dilarang. Tantangannya adalah meyakinkan masyarakat bahwa meskipun materialnya berubah, aura dan kekuatan spiritual yang ditanamkan melalui ritual tempel tetap valid. Para maestro harus bekerja keras untuk memastikan bahwa filosofi penempelan spiritual tidak hilang, meskipun wujud fisik siungnya telah diganti.

Beberapa kelompok bahkan mulai mengurangi intensitas ritual Ndadi demi keamanan penari dan kepraktisan pementasan modern. Namun, bagi penganut tradisi murni, Barongan tanpa ritual penempelan dan tanpa potensi Ndadi dianggap Barongan yang 'kosong', kehilangan esensi dari Barongan Siung Tempel yang sebenarnya.

VIII.2. Peran Seniman Kontemporer

Seniman kontemporer memainkan peran ganda: mereka harus menjaga kemurnian ritual penempelan siung, sementara pada saat yang sama, mereka harus membuat pertunjukan Barongan relevan bagi audiens global. Beberapa upaya dilakukan melalui kolaborasi dengan musik modern atau koreografi yang lebih dinamis, asalkan inti spiritual dari Barongan—yaitu kewibawaan yang terpancar dari siung tempel—tetap terjaga.

Pendidikan dan pewarisan pengetahuan tentang filosofi pembuatan dan penempelan siung juga menjadi fokus utama. Sekolah-sekolah seni tradisional kini berusaha mendokumentasikan secara hati-hati setiap langkah ritual, dari pemilihan kayu hingga pembacaan mantra penempelan, demi memastikan bahwa tradisi adiluhung ini tidak punah dan tetap dapat dipahami oleh generasi penerus yang mungkin hidup jauh dari akar-akar desa.

Dalam konteks pelestarian, Barongan Siung Tempel menjadi sebuah monumen bergerak. Monumen yang menceritakan tentang bagaimana masyarakat Jawa di masa lampau berinteraksi dengan kekuatan yang lebih besar dari diri mereka, dan bagaimana mereka menyalurkan kekuatan tersebut melalui sebuah karya seni rupa yang penuh daya tarik sekaligus rasa takut.

Kisah tentang Barongan Siung Tempel yang agung ini terjalin erat dengan sejarah lisan, mitologi lokal, dan teknik spiritual yang kompleks. Ia adalah catatan hidup tentang bagaimana sebuah komunitas mencari perlindungan, mengekspresikan ketakutan mereka, dan merayakan kekuatan primal alam melalui wujud Singa yang menakutkan namun sakral. Setiap detail ukiran, setiap helai rambut gimbal, dan terutama setiap inci taring yang ditempelkan, adalah penanda dari sebuah dedikasi spiritual yang tak lekang oleh waktu.

Prosesi ritual yang mengiringi pembuatan Siung Tempel ini adalah sebuah perjalanan spiritual yang sangat panjang. Pembuat topeng, yang sering disebut sebagai Pandai Barong, harus menjalani puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air) selama berhari-hari, terkadang mencapai empat puluh hari empat puluh malam, demi mencapai tingkat kesucian yang diperlukan untuk 'menghidupkan' kayu tersebut. Ketika siung siap ditempel, energi yang terkumpul dari tirakat ini disalurkan secara langsung. Inilah yang membuat Barongan jenis ini sangat berbeda; ia membawa beban spiritual dari pembuatnya, menjadikannya bukan sekadar topeng, melainkan pusaka hidup.

Membahas Barongan, khususnya yang berkonsep Siung Tempel, adalah membahas kosmologi Jawa Timur. Barongan sering dilihat sebagai representasi dari makrokosmos—alam semesta yang penuh misteri—yang diperkecil menjadi mikrokosmos—sebuah topeng yang dapat dikenakan manusia. Siung Tempel mewakili unsur-unsur kasar atau keras dari alam (gunung, hutan lebat, kekuatan badai), sementara ukiran wajah yang detail mewakili kebijaksanaan dan kontrol. Keseimbangan antara unsur liar dan unsur terkontrol inilah yang menjadi pelajaran filosofis utama dari seni Barongan. Tanpa siung yang menonjol dan ditempelkan secara ritualistik, keseimbangan ini akan terasa kurang lengkap dan Barongan akan kehilangan sebagian besar daya wibawanya.

Perbedaan antara Barongan Siung Tempel tradisional dan Barongan modern seringkali terletak pada kualitas ‘kesangaran’ yang terpancar. Barongan tradisional yang telah diisi dan ditempeli siung secara benar, seringkali memancarkan aura dingin bahkan saat tidak dipentaskan. Konon, hanya orang-orang dengan hati bersih atau niat baik yang dapat mendekat tanpa merasa tertekan oleh energinya. Ini adalah warisan tak terlihat yang melekat pada proses penempelan, sebuah warisan yang jauh lebih berharga daripada nilai material siung itu sendiri. Kekuatan ini adalah jaminan bahwa Barongan tersebut akan mampu melaksanakan tugas spiritualnya saat dibutuhkan oleh komunitas.

Dalam beberapa tradisi yang lebih rahasia, bahan perekat yang digunakan untuk menempelkan Siung bahkan melibatkan ramuan khusus yang dibuat dari campuran darah ayam cemani, madu hutan, dan abu dari kayu yang disambar petir. Meskipun detail ini terdengar mistis, ia menegaskan betapa tingginya nilai sakral yang dilekatkan pada setiap proses penempelan siung. Ini adalah upaya manusia untuk menciptakan ikatan abadi antara material (kayu/taring) dengan kekuatan Ilahi yang dipanggil untuk bersemayam di dalamnya. Barongan Siung Tempel adalah sebuah kontrak abadi, disegel melalui ritual yang ketat dan penuh pengorbanan.

Fenomena kesurupan atau Ndadi yang terjadi saat Barongan dipentaskan tidak terjadi secara acak. Pawang yang mendampingi Barongan harus memastikan bahwa roh yang masuk adalah roh yang baik dan pelindung, bukan roh jahat yang dapat merusak penari atau penonton. Siung Tempel, dalam hal ini, berfungsi ganda: sebagai penarik energi dan sebagai filter spiritual. Bentuknya yang tajam diyakini mampu 'memecah' energi negatif yang mencoba mendekat, sehingga hanya roh-roh pelindung yang dapat merasuki penari. Ini adalah mekanisme keamanan spiritual yang dibangun di sekitar topeng Barongan yang sakral.

Ancaman terbesar terhadap keberlangsungan Barongan Siung Tempel bukanlah kekurangan penonton, melainkan hilangnya generasi penerus yang bersedia menjalani laku spiritual yang diperlukan untuk membuatnya. Seni membuat Barongan bukan hanya pertukangan kayu; ia adalah seni mengolah batin. Tanpa ketekunan dan kepercayaan pada ritual penempelan, Barongan jenis ini berisiko tereduksi menjadi sekadar kerajinan tangan yang menarik, kehilangan jiwa dan rohnya yang menjadi pusat daya tariknya selama berabad-abad. Oleh karena itu, upaya dokumentasi dan pendidikan spiritual menjadi sangat mendesak.

Pentingnya siung dalam pertunjukan juga terlihat dari perlakuan terhadap topeng Barongan saat tidak digunakan. Barongan dengan Siung Tempel tidak boleh diletakkan sembarangan. Ia harus disimpan di tempat yang tinggi, bersih, dan seringkali diselimuti kain putih atau merah. Setiap hari, atau setidaknya setiap Jumat Kliwon, Barongan harus diberi sesajen atau diasapi. Ritual perawatan ini menjaga energi spiritual siung tetap utuh dan memastikan bahwa Barongan siap kapan pun dipanggil untuk pentas atau tugas proteksi. Mengabaikan perawatan ini dipercaya dapat membuat roh Barongan 'marah' atau pergi, meninggalkan topeng sebagai benda mati.

Kekuatan visual dari Barongan Siung Tempel juga memiliki dampak psikologis yang mendalam pada masyarakat. Bagi anak-anak dan orang dewasa di desa-desa Jawa Timur, Barongan bukan hanya hiburan; ia adalah representasi kekuatan yang mengajarkan rasa hormat dan ketaatan. Melihat taring yang ditempelkan dengan gagah dan liar memancarkan pesan jelas: ada kekuatan besar di luar batas pengalaman manusia, dan kekuatan tersebut harus dihadapi dengan kesiapan mental dan spiritual yang sama kuatnya.

Selain fungsinya dalam pertunjukan ritual, beberapa Barongan pusaka yang memiliki Siung Tempel sangat tua diyakini memiliki kemampuan meramal atau memberikan petunjuk. Para Pawang sering melakukan semedi di dekat topeng pusaka tersebut untuk mencari wangsit atau petunjuk mengenai masalah komunitas. Siung, sebagai antena spiritual, dipercaya menjadi titik komunikasi utama antara Pawang dan roh yang bersemayam di dalam topeng. Ini menunjukkan bahwa peran Barongan Siung Tempel melampaui seni pertunjukan, merambah ke wilayah pranata sosial dan sistem kepercayaan kolektif.

Dalam analisis terakhir, Barongan dengan konsep Siung Tempel adalah mahakarya sinkretisme budaya. Ia menggabungkan tradisi animisme lokal yang menghormati roh alam dan binatang buas (yang direpresentasikan oleh taring), dengan teknik ukir dan filosofi yang dipengaruhi oleh budaya Hindu-Buddha (konsep pengendalian nafsu dan dualitas). Hasilnya adalah sebuah artefak yang rumit, yang meminta penghormatan dari siapa pun yang menyaksikannya. Inilah esensi abadi dari Barongan Siung Tempel: perpaduan sempurna antara material, ritual, dan mitos yang berlanjut hingga hari ini.

IX. Penutup: Warisan Adiluhung yang Hidup

Barongan Siung Tempel adalah lebih dari sekadar warisan budaya; ia adalah manifestasi nyata dari kosmologi Jawa yang kompleks dan tak terpisahkan. Melalui pemilihan material yang sakral, proses penempelan (tempel) yang penuh ritual, dan taring (siung) yang menonjol sebagai fokus spiritual, Barongan ini berhasil menjaga kehidupannya sendiri, melampaui batas waktu dan perubahan sosial.

Kekuatan yang terpancar dari topeng ini, baik secara visual maupun esoteris, menjadikannya ikon budaya yang tak tergantikan di Jawa Timur. Ia berfungsi sebagai pelindung, guru spiritual, dan jembatan menuju pemahaman akan kekuatan alam yang harus dihormati. Selama masih ada seniman yang bersedia melakukan tirakat dan ritual penempelan yang diperlukan, esensi dan wibawa dari Barongan Siung Tempel akan terus hidup, mengaum di tengah hiruk pikuk modernisasi, mengingatkan kita akan kekuatan primal yang bersemayam dalam budaya Nusantara.

🏠 Homepage