Singo Wekasan: Representasi Kekuatan Akhir dan Puncak Spiritual.
Dalam khazanah seni pertunjukan Jawa, khususnya yang berakar kuat pada sinkretisme mistik dan sejarah kerajaan, Barongan Singo Wekasan menempati posisi yang sangat istimewa. Istilah ‘Barongan’ sendiri merujuk pada topeng raksasa berbentuk singa atau harimau yang ditarikan, sebuah simbolisasi makhluk mitologi penjaga atau bahkan penjelmaan kekuatan alam. Namun, ketika frasa ini diperkuat dengan atribut ‘Singo Wekasan’, maknanya melampaui sekadar hiburan rakyat; ia menjelma menjadi sebuah ritual, filosofi hidup, dan warisan spiritual yang mendalam.
Singo Wekasan secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai ‘Singa Terakhir’ atau ‘Singa Puncak’ (dari kata wekasan yang berarti akhir, penghabisan, atau puncak). Penamaan ini bukan tanpa alasan. Ia mengacu pada energi puncak dari semangat kepahlawanan, keberanian tertinggi, dan sering kali dikaitkan dengan penjelmaan kekuatan spiritual yang paling murni dan paling ganas di penghujung sebuah era atau peristiwa. Barongan jenis ini umumnya ditemukan dalam varian yang lebih garang dan sakral di daerah Jawa Tengah bagian timur hingga Jawa Timur bagian barat, seperti Blora, Kudus, hingga Kediri dan Ponorogo, meskipun setiap daerah memiliki interpretasi dan gaya tari yang khas.
Fokus utama dari Singo Wekasan terletak pada intensitas emosi dan potensi transendental dalam pertunjukan. Ini bukan sekadar tari topeng, melainkan medium komunikasi antara dunia nyata dan dimensi gaib. Setiap gerakan, setiap alunan gamelan, dan setiap jumbai rambut pada topengnya dipercaya membawa ‘isi’ atau roh penjaga. Memahami Singo Wekasan berarti menyelami palet budaya yang kaya, mulai dari ukiran kayu, tata rias, laku puasa penari, hingga orkestrasi gamelan yang mampu memicu kondisi ndadi (kesurupan massal).
Asal-usul Barongan memiliki benang merah yang tebal dengan sejarah perebutan kekuasaan dan legenda heroik di tanah Jawa, khususnya pada era Kerajaan Kediri dan Majapahit. Salah satu narasi yang paling populer mengaitkan Barongan dengan kisah epik Prabu Klana Sewandana dari Kerajaan Bantarangin, yang ingin mempersunting Putri Dewi Songgolangit dari Kediri. Dalam konteks Reog Ponorogo, Barongan (yang dalam hal ini adalah Singo Barong) merupakan simbol kekuatan besar yang harus ditaklukkan atau diintegrasikan.
Namun, Barongan Singo Wekasan membawa dimensi yang sedikit berbeda dari Reog. Jika Reog Ponorogo menonjolkan Dadak Merak (ekor merak raksasa) sebagai simbol kemewahan dan strategi, Singo Wekasan murni fokus pada manifestasi Singa sebagai entitas. Ia adalah representasi dari Kekuatan Primal yang tidak dapat disamarkan. Kata ‘Wekasan’ sering diinterpretasikan sebagai refleksi dari keteguhan spiritual di masa-masa sulit atau akhir dari konflik. Barangkali, ia adalah peringatan akan kekuatan terakhir yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau ksatria sejati.
Dalam beberapa tradisi lisan, Singo Wekasan dipercaya sebagai penjaga spiritual yang dipanggil oleh para leluhur untuk melindungi desa atau wilayah dari roh jahat atau malapetaka. Konsep ini menempatkannya di luar konteks pementasan hiburan semata, menjadikannya pusaka bergerak yang sarat dengan aura magis.
Pada awalnya, wujud Barongan mungkin lebih sederhana dan sangat ritualistik, digunakan dalam upacara-upacara pemanggilan hujan, ruwatan desa, atau penolak bala. Seiring waktu, fungsi ritual ini bergeser tanpa menghilangkan kesakralannya, menjadi bagian integral dari seni pertunjukan rakyat yang dinamis.
Transformasi ini melibatkan penyusunan koreografi yang lebih terstruktur dan penggabungan dengan elemen Jathilan (kuda lumping) serta Penari Ganongan. Meskipun terjadi pengayaan artistik, inti dari Singo Wekasan – yaitu kemampuan untuk memicu ndadi atau menyerap energi spiritual – tetap dipertahankan melalui ritual pra-pertunjukan yang ketat dan pemilihan waranggana (penari) yang memiliki garis keturunan atau kesiapan batin yang tinggi. Inilah yang membedakan Singo Wekasan dari Barongan hiburan biasa; ia memegang janji akan hadirnya entitas non-fisik dalam panggung pertunjukan.
Setiap detail pada topeng Barongan Singo Wekasan adalah pesan filosofis yang terukir. Topeng ini umumnya dibuat dari kayu pilihan, sering kali kayu yang dipercaya memiliki energi mistis seperti kayu Nagasari atau Jati yang usianya ratusan tahun. Proses pembuatannya pun melalui tirakat yang mendalam.
Wajah Barongan Singo Wekasan didominasi warna merah darah (abang wani). Warna ini melambangkan keberanian, nafsu, dan kekuatan yang tidak tertandingi (kasekten). Dalam filosofi Jawa, merah juga mewakili elemen api, energi primal yang membakar habis segala kejahatan dan kelemahan. Ini adalah warna yang memanggil spirit keberingasan Singa. Merah darah ini haruslah pekat dan menakutkan, menunjukkan bahwa Singo Wekasan adalah entitas yang tidak boleh diremehkan.
Aksen emas, yang biasanya terdapat pada mahkota, gigi taring, atau hiasan ukiran di dahi, melambangkan keagungan, kekuasaan, dan status kerajaan. Emas menunjukkan bahwa meskipun Barongan ini buas, ia berada dalam tingkatan spiritual yang tinggi. Ini juga melambangkan kawicaksanan (kebijaksanaan) yang tersembunyi di balik kegarangan.
Rambut gimbal atau jenggot (disebut krakap) Barongan Singo Wekasan dibuat dari serat alami, sering kali ijuk hitam atau rambut kuda yang tebal dan liar. Krakap ini bukan hanya hiasan, melainkan representasi dari hutan belantara, alam liar tempat Singa berkuasa. Panjang dan keritingnya krakap menambah kesan misterius dan kuno, menunjukkan bahwa kekuatan yang diwakilinya adalah kekuatan purba.
Tari Barongan Singo Wekasan didominasi oleh gerakan agresif, mendadak, dan ritmis. Penari harus mampu menirukan bukan hanya gerakan fisik singa, tetapi juga getaran energi emosionalnya: mengaum, menggeram, menerkam, dan mengibas-ngibaskan kepala. Gerakan ini memiliki filosofi yang dalam:
Filosofi yang paling sentral adalah Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya), dalam konteks pertunjukan ini, ia diinterpretasikan sebagai bersatunya raga penari (kawula) dengan roh Singo Wekasan (gusti/entitas spiritual). Ketika penari berhasil mencapai keselarasan ini, ia masuk ke kondisi ndadi.
Untuk memahami Singo Wekasan secara utuh, kita harus menilik bagaimana topeng dan kostumnya dibuat. Proses ini bukan hanya kerajinan tangan, melainkan sebuah ritual panjang yang menentukan seberapa besar 'kekuatan' yang akan dimiliki oleh Barongan tersebut.
Barongan yang dianggap paling sakral harus dibuat dari kayu yang berasal dari pohon yang tumbuh di tempat wingit (angker) atau di makam keramat. Jenis kayu yang paling dicari adalah Kayu Jati Tua (khususnya Jati Wulung) atau Pohon Randu alas. Pemilihan kayu melibatkan konsultasi spiritual dengan sesepuh atau pawang.
Sang pengukir (undagi) Barongan harus menjalani laku prihatin atau tirakat. Ini bisa berupa puasa mutih (hanya makan nasi putih dan minum air tawar), puasa ngrowot (hanya makan umbi-umbian), atau puasa bicara (patigeni) selama beberapa hari saat proses mengukir bagian kepala (cangkem) dan mata Barongan. Diyakini, tanpa laku ini, roh Singo Wekasan enggan bersemayam dalam topeng tersebut.
Topeng Singo Wekasan dirancang untuk menonjolkan kekejaman dan kekuatan mistis. Beratnya bisa mencapai 30 hingga 50 kilogram, memaksa penari memiliki kekuatan fisik dan batin yang luar biasa.
Bagian ini adalah inti spiritual. Detailnya meliputi:
Gembong adalah jubah panjang yang menutupi tubuh penari, memberikan ilusi tubuh singa yang besar dan kuat. Krakap (rambut lebat di sekitar kepala) harus dijahit dengan kuat dan tebal, melambangkan surai singa yang megah. Pemilihan serat yang tepat sangat penting; ia harus mampu bergerak liar dan dramatis saat kepala Barongan dikibaskan, menambah efek visual saat kesurupan terjadi.
Untuk Barongan Singo Wekasan yang murni, kerangka tubuhnya lebih ringkas dibandingkan Singo Barong Reog Ponorogo yang menggunakan struktur bambu raksasa untuk menopang ekor merak. Singo Wekasan lebih fokus pada kegarangan wajah dan kelincahan gerakan menyerang.
Setelah Barongan selesai diukir dan dicat, ia tidak langsung dapat digunakan. Diperlukan ritual Panglarian atau pengisian energi. Ritual ini dipimpin oleh seorang pawang (dhukun atau dukun Barongan), di mana sesajen lengkap disajikan, meliputi kembang tujuh rupa, dupa, nasi kuning, ingkung ayam, dan hasil bumi. Dalam upacara ini, mantra-mantra kuno dibacakan untuk mengundang roh leluhur atau spirit penjaga Barongan agar berkenan bersemayam dalam topeng kayu tersebut. Setelah ritual ini, Barongan dianggap 'hidup' dan memiliki daya magis, menjadikannya benda pusaka yang harus dirawat dengan penuh hormat, bahkan harus diberi makan (diasapi kemenyan) pada malam-malam tertentu.
Barongan Singo Wekasan tidak dapat dipisahkan dari musik pengiringnya. Gamelan yang digunakan memiliki komposisi khusus yang disebut Gamelan Dhodhogan atau Gamelan Pengiring Jathilan, yang ritmenya jauh lebih cepat, keras, dan repetitif dibandingkan Gamelan Klenengan untuk Keraton.
Kendang (gendang) adalah instrumen paling vital. Pemain kendang (pengendang) bukan sekadar musisi; ia adalah pengatur ritme jantung spiritual dari seluruh pertunjukan. Tabuhan kendang yang bertalu-talu dan tiba-tiba berhenti adalah kunci untuk mengontrol kondisi batin penari, terutama saat memicu dan mengendalikan ndadi.
Ritme kendang saat Singo Wekasan muncul biasanya adalah Kendang Kempul Wirogo, sebuah irama yang penuh semangat dan mendesak. Kecepatan dan dinamika tabuhan harus sinkron dengan nafas dan energi penari. Jika penari mulai menunjukkan gejala kesurupan (seperti gemetar, nafas berat, atau mata berkaca-kaca), pengendang akan menaikkan tempo ke puncak yang intens, seolah 'memanggil' spirit Singa untuk sepenuhnya menguasai raga penari.
Selain kendang, beberapa instrumen lain memainkan peran krusial:
Seluruh orkestrasi ini menciptakan resonansi akustik yang bukan hanya didengar, tetapi juga dirasakan oleh tubuh, menggetarkan sistem saraf dan memfasilitasi penari untuk melepaskan kesadaran ego dan memasuki alam bawah sadar, tahapan awal menuju ndadi.
Fenomena ndadi (trance atau kesurupan) adalah puncak dari pertunjukan Barongan Singo Wekasan dan merupakan inti sakral yang paling ditunggu. Ndadi membuktikan bahwa pertunjukan ini bukan rekayasa, melainkan sebuah ritual autentik yang melibatkan interaksi trans-dimensi.
Proses ndadi pada penari Barongan dan Jathilan tidak terjadi secara acak. Ada tahapan yang disengaja dan didorong oleh interaksi tiga pihak: Penari, Pawang, dan Gamelan.
Pawang (atau Panglima) memegang peran paling krusial. Pawang adalah orang yang memiliki ilmu spiritual dan kemampuan komunikasi dengan roh penjaga Barongan. Tugasnya sangat kompleks:
Kesalahan sedikit saja dalam penanganan Pawang dapat menyebabkan penari yang ndadi mengalami trauma fisik atau bahkan kesulitan dikembalikan kesadarannya. Oleh karena itu, Singo Wekasan hanya boleh ditarikan oleh kelompok yang memiliki Pawang dengan integritas spiritual tinggi.
Meskipun memiliki inti spiritual yang sama, Barongan Singo Wekasan termanifestasi dalam gaya yang berbeda-beda tergantung daerahnya. Perbedaan ini terletak pada detail ukiran, warna, dan yang paling penting, gaya tari (wirogo) serta irama gamelan (wirama).
Barongan dari Blora, Jawa Tengah, seringkali dianggap sebagai salah satu wujud Singo Wekasan yang paling otentik dan paling garang. Ciri khasnya adalah topeng yang sangat besar, rahang yang lebih panjang, dan fokus pada gerakan yang sangat liar, minim interaksi komedi. Kostumnya cenderung menggunakan warna yang lebih gelap (hitam dan merah pekat). Musik pengiring Blora Barongan sangat dominan kendang dan saron, menciptakan ritme yang agresif dan cepat, memaksa penari langsung masuk ke kondisi puncak energi.
Di wilayah Jawa Timur seperti Kediri dan Nganjuk, Singo Wekasan lebih terintegrasi dengan pertunjukan Jathilan secara keseluruhan. Barongan ini mungkin memiliki ukuran topeng yang sedikit lebih ramping, memungkinkan gerakan yang lebih lincah dan teatrikal. Fokus pertunjukannya adalah kisah perburuan atau pertempuran, di mana Barongan Singo Wekasan menjadi tokoh antagonis yang kuat sebelum akhirnya ditaklukkan (atau menaklukkan) para penari kuda lumping.
Di Kediri, tarian Singo Wekasan sering kali memasukkan unsur Solah (aksi akrobatik yang melibatkan kekuatan fisik ekstrem), menekankan bahwa energi yang masuk bukan hanya spirit, tetapi juga kemampuan fisik yang diluar batas wajar manusia biasa.
Barongan biasa (non-Wekasan) sering kali berfungsi sebagai hiburan semata, dengan porsi komedi yang besar dan risiko ndadi yang rendah. Sebaliknya, Barongan Singo Wekasan selalu membawa aura serius. Setiap pertunjukannya adalah ritual sakral. Jika Barongan biasa bisa ditarikan oleh siapa saja yang terlatih, Singo Wekasan memerlukan penari yang ‘dipilih’ dan memiliki benteng spiritual yang kuat, karena energi yang dimanifestasikan jauh lebih besar dan lebih sulit dikendalikan.
Kekuatan Singo Wekasan tidak hanya terletak pada seni gerak atau ritual, tetapi juga pada dampaknya terhadap psikologi kolektif masyarakat pendukungnya. Pertunjukan ini berfungsi sebagai katarsis sosial dan penguat identitas budaya.
Bagi masyarakat desa, pertunjukan Singo Wekasan adalah momen pelepasan stres dan ketegangan. Energi agresif dari Barongan, kekacauan yang terjadi saat ndadi, dan kemudian pemulihan yang damai oleh Pawang, menyediakan siklus emosional yang memuaskan. Ini adalah cara masyarakat ‘melampiaskan’ keganasan dan kekecewaan mereka dalam wadah seni yang aman dan terstruktur secara spiritual.
Saat terjadi kesurupan massal, di mana puluhan penari Jathilan dan bahkan penonton ikut ndadi, mereka merasa terhubung dengan kekuatan purba dan komunitas mereka. Hal ini memperkuat rasa solidaritas dan keyakinan akan adanya perlindungan spiritual kolektif.
Singo Wekasan adalah sarana efektif untuk mewariskan nilai-nilai luhur Jawa, terutama tentang kasatriyan (kekesatriaan), keberanian, dan pentingnya menaklukkan musuh terbesar: diri sendiri (hawa nafsu). Melalui cerita yang dibawakan dalam tarian, generasi muda diajarkan tentang etika kepemimpinan dan pentingnya menjaga keseimbangan antara kekuatan fisik dan spiritual.
Keterlibatan anak-anak dalam seni Barongan sejak dini, mulai dari belajar menabuh gamelan hingga menjadi penari Jathilan, memastikan transfer pengetahuan tidak terputus. Mereka belajar menghormati benda pusaka (Barongan) dan menghargai laku spiritual yang mengiringi setiap proses kesenian.
Di tengah gempuran budaya global dan modernisasi, Barongan Singo Wekasan menghadapi tantangan besar. Komersialisasi dapat mengikis kesakralannya, sementara perubahan selera publik dapat mengancam kelangsungan hidupnya sebagai seni yang memakan waktu dan biaya besar.
Salah satu dilema utama adalah bagaimana menampilkan Singo Wekasan di panggung modern (misalnya festival atau media sosial) tanpa mengurangi kadar ritualnya. Para seniman dan kelompok Barongan tradisional berupaya keras membedakan antara pertunjukan Ritual (yang hanya dilakukan pada upacara adat atau malam Jumat Kliwon/Selasa Kliwon) dan pertunjukan Pementasan (untuk khalayak umum).
Dalam pementasan umum, aspek ndadi mungkin dikurangi intensitasnya atau dilakukan dalam lingkup yang lebih terkontrol, demi keselamatan dan citra. Namun, ritual pra-pertunjukan, seperti penyajian sesajen dan pembacaan mantra, tetap wajib dilakukan, bahkan jika pementasannya hanya berdurasi singkat. Ini adalah garis pertahanan terakhir untuk menjaga 'isi' dari Singo Wekasan.
Pewarisan ilmu Barongan Singo Wekasan membutuhkan lebih dari sekadar latihan menari; ia membutuhkan penurunan ilmu laku. Para maestro (guru singo) harus mencari penerus yang memiliki bakat fisik dan kematangan spiritual. Pendidikan ini sering kali dilakukan secara personal dan rahasia, di mana calon penari tidak hanya berlatih koreografi, tetapi juga menjalani puasa, meditasi, dan pelatihan pernafasan mistis (olah napas).
Upaya pelestarian juga mencakup pendokumentasian sejarah lisan dan teknik pembuatan topeng. Dengan mendokumentasikan proses spiritual dan teknis, Barongan Singo Wekasan dapat diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), memberikan perlindungan hukum dan dukungan dana bagi para pelakunya.
Beberapa kelompok modern mulai bereksperimen dengan menggabungkan Barongan Singo Wekasan dengan musik kontemporer atau genre tari baru, asalkan esensi spiritualnya tetap terjaga. Eksperimen ini bertujuan menarik penonton muda tanpa mengkhianati akar tradisi, mencari keseimbangan antara adaptasi dan autentisitas.
Barongan Singo Wekasan adalah sebuah entitas kompleks yang merangkum sejarah, seni, dan kepercayaan transenden dalam satu panggung. Ia adalah manifestasi dari keberanian pamungkas, kekuatan alam yang telah dijinakkan dan diikat dalam sebilah kayu berukir.
Melalui pengabdian para penari yang rela menyerahkan raganya untuk dirasuki energi, melalui alunan gamelan yang memicu gelombang spiritual, dan melalui kesabaran seorang Pawang yang menjaga keseimbangan, Singo Wekasan terus hidup. Kehadirannya di tengah masyarakat adalah pengingat bahwa di balik modernitas, masih ada ruang bagi kekuatan purba dan misteri yang tak terpecahkan.
Kisah Singo Wekasan adalah kisah tentang perjuangan abadi Jawa: mencari keselarasan (harmoni) antara raga dan roh, antara hiruk pikuk duniawi dan ketenangan spiritual. Saat mata merah menyala itu menatap penonton, ia bukan hanya melihat, tetapi juga menilai; menuntut penghormatan terhadap tradisi dan keberanian untuk menghadapi Singa di dalam diri masing-masing individu.
Oleh karena itu, Barongan Singo Wekasan akan selalu menjadi simbol eksistensi budaya Jawa yang tak terbatas, menanti di puncak peradaban, sebagai Singa Terakhir yang tak pernah mati dimakan zaman, selamanya mengaum di jantung Nusantara.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, perlu diuraikan secara rinci bagaimana struktur koreografi Singo Wekasan dibangun, khususnya pada fase ndadi. Fase ini bukan sekadar kekacauan, melainkan sebuah urutan ritual yang memiliki logika spiritual dan fisik yang ketat, dikendalikan oleh hierarki kekuatan batin yang tak terlihat.
Pertunjukan dibuka dengan irama gamelan yang pelan dan agung, disebut Gending Pembuka. Pada fase ini, para penari Jathilan (kuda lumping) dan Ganongan (tokoh jenaka) memasuki panggung. Singo Wekasan, yang biasanya diposisikan di tempat yang agak tinggi atau tertutup, baru diperkenalkan setelah suasana batin penonton telah disiapkan. Pawang akan membakar kemenyan dan melakukan dupa (pengasapan) kepada topeng Singo Wekasan, sebuah ritual penghormatan dan pemanggilan awal. Kehadiran Singo Wekasan pada fase ini masih berupa kemunculan yang formal, menunjukkan kekuasaannya tanpa agresi penuh.
Irama musik meningkat drastis. Singo Wekasan mulai menari secara agresif, seringkali ‘menyerang’ para penari Jathilan. Konflik ini adalah drama simbolis tentang pertarungan antara kebaikan (Jathilan) atau manusia biasa melawan kekuatan besar (Singo Wekasan). Gerakan di sini sangat cepat, melibatkan kibasan rambut liar, lompatan tinggi, dan gedruk kaki yang memekakkan telinga. Peningkatan intensitas inilah yang mulai menguras energi fisik penari dan meruntuhkan benteng kesadaran mereka.
Titik di mana penari Jathilan ‘kalah’ dalam pertarungan dan disentuh atau dijilat oleh Barongan sering menjadi pemicu ndadi. Namun, bagi penari utama Singo Wekasan, proses ndadi lebih internal. Mereka menggunakan teknik pernafasan khusus (Napas Satriya) yang cepat dan dalam, dikombinasikan dengan fokus visual pada mata Barongan, menciptakan disosiasi batin. Ketika Pawang melihat tanda-tanda awal – seperti kejang ringan atau teriakan yang berubah – Pawang akan melakukan intervensi spiritual untuk memastikan roh yang masuk adalah roh penjaga yang dikehendaki, bukan roh liar (demit).
Koreografi saat ndadi sepenuhnya improvisatif, tetapi selalu mengikuti pola dasar binatang buas. Penari Barongan akan menunjukkan kekuatan super: mengangkat beban yang tadinya mustahil, atau melakukan putaran kepala yang sangat cepat tanpa kehilangan keseimbangan. Pawang harus selalu berada dekat untuk mengendalikan tingkat bahaya. Misalnya, jika Barongan mulai menyerang penonton, Pawang akan memukul Barongan dengan cambuk atau menyiramnya dengan air suci sambil membisikkan mantra penenang.
Selama fase solah ndadi ini, penonton sering melemparkan tantangan, seperti meminta Barongan mematahkan kayu keras atau memakan benda berbahaya. Kesanggupan Barongan Singo Wekasan untuk melaksanakan tantangan ini diyakini sebagai konfirmasi autentisitas energi spiritual yang merasukinya.
Meskipun Barongan Singo Wekasan memiliki akar yang sama dengan Reog Ponorogo (keduanya menggunakan topeng singa dan melibatkan ndadi), perbedaan strukturalnya sangat fundamental, terutama pada fokus dan implementasi ritualnya.
Reog Ponorogo: Singo Barong dalam Reog dikenal dengan mahkota merak raksasa (Dadak Merak). Fokus visualnya adalah kemewahan, keindahan, dan simbolisasi penyatuan dua kekuatan (Singa dan Merak). Beratnya fokus pada struktur Dadak Merak yang menuntut kekuatan leher luar biasa dari penari. Spirit yang dipanggil lebih bersifat agung dan strategis.
Singo Wekasan: Tidak menggunakan Dadak Merak. Fokusnya murni pada kepala Singa yang buas, taring menonjol, dan rambut gimbal tebal (Krakap). Visualnya brutal, primal, dan intimidatif. Spirit yang dipanggil adalah murni energi Singa penjaga yang ganas dan tidak terkompromi (Kasekten murni).
Gamelan Reog memiliki irama yang lebih melodis dan dramatis, sering diiringi tembang atau vokal yang bercerita. Terdapat irama khusus untuk mengiringi gerakan akrobatik dan mengangkat Dadak Merak yang berat.
Sebaliknya, Gamelan Singo Wekasan (terutama gaya Blora) sangat minimalis, didominasi oleh ketukan keras Kendang, Gong, dan Slompret. Tujuannya bukan untuk keindahan melodi, melainkan untuk menciptakan frekuensi resonansi yang langsung mempengaruhi kesadaran, memicu transe secara cepat dan eksplosif. Iramanya lebih bersifat mantra ritmis daripada musik hiburan.
Reog Ponorogo memiliki narasi baku yang jelas (Kisah Klana Sewandana). Singo Wekasan, meskipun kadang diintegrasikan dalam cerita, seringkali ditampilkan sebagai entitas mandiri yang muncul karena panggilan ritual desa (ruwatan, bersih desa). Fungsinya lebih dekat ke upacara pembersihan spiritual daripada pementasan teatrikal historis. Kekuatan mistisnya dianggap lebih langsung dan berbahaya jika tidak ditangani dengan benar.
Penciptaan topeng Singo Wekasan adalah kunci utama mengapa ia dianggap sakral. Ini melibatkan teknik ukir tradisional yang dipadukan dengan infusi energi spiritual yang intens. Proses ini dapat memakan waktu berbulan-bulan, bahkan setahun penuh, tergantung pada kualitas kayu dan tingkat laku spiritual (tirakat) pengukir.
Pemilihan pohon harus dilakukan pada hari-hari baik (misalnya Malam Satu Suro atau weton tertentu), dan penebangan pun harus didahului oleh doa permohonan izin kepada penjaga pohon (danyang). Kayu yang dipilih harus utuh, tidak bolong, dan memiliki serat yang kuat. Kayu dianggap sebagai wadah (wadag) bagi roh yang akan diundang.
Selama mengukir, terutama saat membentuk bagian mata dan mulut—yang dianggap sebagai gerbang masuknya spirit—pengukir harus menjaga pikiran (cipta) agar tetap suci. Mereka sering merokok kemenyan di ruang ukir, memastikan aura tempat kerja tetap positif. Bahkan, sisa-sisa serbuk kayu dari Barongan yang sakral sering dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan campuran untuk obat atau jimat, karena dipercaya telah menyerap energi laku pengukir.
Pengecatan (renggan) Barongan Singo Wekasan sangat berbeda dari pengecatan biasa. Cat yang digunakan haruslah pigmen alami atau cat khusus yang dipercaya mampu menahan dan memancarkan energi. Warna merah harus diaplikasikan dengan ketebalan berlapis-lapis untuk memberikan kedalaman visual dan simbolis. Proses pelapisan ini juga diikuti dengan ritual pengasapan dan pembacaan mantra. Pewarna Emas yang digunakan pada mahkota dan taring haruslah warna emas murni atau pigmen yang paling menyerupai emas, melambangkan kemuliaan.
Setelah pengecatan selesai, Barongan harus dijemur di bawah sinar matahari dan bulan purnama, proses yang disebut Nyepuh, untuk menyerap energi kosmik alam semesta. Ini adalah tahapan yang penting sebelum Panglarian resmi dilakukan oleh Pawang.
Pada beberapa Barongan Singo Wekasan yang sangat tua dan sakral, terdapat praktik menanamkan benda pusaka kecil, seperti paku emas, batu akik bertuah, atau rajah (mantra tertulis), di dalam rongga topeng sebelum topeng ditutup. Benda-benda ini berfungsi sebagai ‘rumah permanen’ bagi roh Singo Wekasan. Praktik ini membuat Barongan bukan hanya topeng tari, melainkan benar-benar pusaka bergerak yang membutuhkan perlakuan layaknya manusia hidup.
Menjadi penari Barongan Singo Wekasan bukan hanya tentang menguasai koreografi; ini adalah sebuah janji seumur hidup dan pengorbanan batin yang mendalam. Etika dan spiritualitas penari adalah penentu utama keberhasilan ritual.
Penari harus memiliki ketahanan fisik yang ekstrem untuk menopang beban topeng yang berat sambil menari secara brutal. Namun, yang lebih penting adalah penyiapan spiritual (nglakoni). Mereka wajib menjaga kebersihan diri, menjauhi larangan tertentu (seperti mengonsumsi makanan tertentu atau melakukan perbuatan tercela), dan rutin melakukan puasa dan meditasi.
Meditasi dilakukan untuk melatih Pangrasa (perasaan batin) dan Nirokake (menirukan secara sempurna). Penari harus mampu merasakan dan menjadi Singa itu sendiri. Kesiapan batin ini memastikan bahwa ketika roh Barongan dipanggil, roh tersebut bersedia masuk dan bekerja sama dengan raga penari, bukan malah merusak raga tersebut.
Seringkali, penari Singo Wekasan yang terpilih telah terikat oleh janji (sumpah) kepada Barongan tersebut. Ikatan ini diyakini membuat Singo Wekasan menjadi semacam ‘penjaga’ pribadi bagi penari, melindungi mereka dari bahaya asalkan penari tetap menjalankan laku spiritualnya. Namun, ikatan ini juga datang dengan risiko: jika janji dilanggar, roh Barongan bisa murka dan membawa malapetaka bagi penari atau keluarganya. Inilah yang membuat peran sebagai penari Singo Wekasan dianggap sebagai tugas yang suci dan penuh risiko.
Pengorbanan ini diyakini oleh masyarakat sebagai alasan mengapa energi Singo Wekasan begitu kuat dan pertunjukannya begitu meyakinkan, karena ia lahir dari laku spiritual, bukan sekadar latihan fisik atau teknis.
Barongan Singo Wekasan adalah perwujudan sempurna dari seni pertunjukan yang tak pernah lepas dari akar ritualnya. Ia adalah cermin dari jiwa masyarakat Jawa yang kuat, yang percaya bahwa di balik tawa dan pementasan, ada kekuatan purba yang bekerja dan menjaga keseimbangan kosmos mereka.
Lebih dari sekadar seni, Barongan Singo Wekasan adalah pusaka yang hidup, menuntut hormat, dan mengajarkan tentang batasan antara manusia dan alam gaib. Selama ada generasi yang bersedia menjalani laku spiritual, menjaga tradisi ukir yang sakral, dan menguasai irama gamelan yang memanggil transe, maka auman Singo Wekasan akan terus bergema melintasi waktu, menegaskan identitas dan kedaulatan budaya di tanah Jawa.