Di tengah pusaran modernitas yang kian mengikis batas-batas tradisi, kesenian Barongan tetap berdiri tegak sebagai pilar kokoh kebudayaan Nusantara. Lebih dari sekadar pertunjukan topeng dan gerak, Barongan merupakan manifestasi filosofi hidup, spiritualitas, dan narasi historis yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu entitas yang membawa tradisi ini ke tingkat keagungan yang lebih tinggi adalah Barongan Sekar Bawono. Nama ‘Sekar Bawono’ yang secara harfiah berarti ‘Bunga Semesta’ atau ‘Intisari Dunia’ ini bukanlah sekadar label, melainkan penanda bahwa Barongan ini mengusung misi konservasi dan penyelarasan kosmis yang sangat mendalam.
Eksistensi Barongan Sekar Bawono tidak hanya terpaku pada atraksi visual yang memukau, melainkan juga terletak pada kekayaan dimensi simbolik yang terjalin erat dengan kosmologi Jawa, siklus kehidupan, dan hubungan harmonis antara manusia (jagad cilik) dengan alam semesta (jagad gedhe). Untuk memahami kedalaman kesenian ini, kita harus menyelam jauh ke dalam setiap elemennya, mulai dari ukiran kayu, pola rias, ritme gamelan, hingga postur tubuh sang penari yang seolah menyatu dengan arwah leluhur.
Barongan, dalam konteks umum, sering dikaitkan dengan narasi perjuangan kebaikan melawan kejahatan, atau representasi makhluk mitologis yang menjaga keseimbangan. Namun, Sekar Bawono memperluas interpretasi tersebut menjadi sebuah ritual pencarian jati diri dan kesadaran spiritual. Filosofi utama yang diusung oleh Barongan jenis ini berpusat pada konsep Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan penciptaan) dan Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan pencipta).
Topeng Barongan Sekar Bawono, melambangkan kekuatan alam purba dan penjaga keseimbangan kosmik.
Kepala Barongan, yang sering disebut Simbah Barong, adalah pusat spiritual dari keseluruhan pertunjukan. Dalam Sekar Bawono, ukiran topeng harus menggunakan kayu pilihan dari pohon yang dianggap sakral, seperti Jati atau Dadap Srep, yang dipercaya memiliki energi penolak bala. Warna dominan, yaitu merah dan hitam, bukanlah pilihan estetika semata, melainkan representasi dari dualisme alam semesta:
Setiap goresan dan ukiran pada Barong adalah doa. Bagian mahkota Barong (Gelungan Sekar) dirancang menyerupai kuncup bunga yang mekar, menegaskan konsep ‘Sekar Bawono’ – bahwa di dalam kekuatan yang liar (Barong) terkandung keindahan dan inti sari kehidupan yang paling murni.
Pertunjukan Barongan Sekar Bawono tidak lengkap tanpa fenomena janturan atau trance (kesurupan). Gerakan penari, khususnya mereka yang memerankan prajurit berkuda (Jathilan), merupakan media untuk menyalurkan energi spiritual. Gerakan tariannya yang dinamis, patah-patah, namun tetap berirama, melambangkan perjuangan manusia dalam menghadapi godaan duniawi. Pada puncaknya, ketika penari mengalami ndadi (kerasukan), ini dimaknai sebagai titik puncak Manunggaling Kawula Gusti, di mana kesadaran ego lenyap dan digantikan oleh kesadaran yang lebih tinggi atau arwah pelindung (danyang).
Di Sekar Bawono, fase ndadi tidak sekadar tontonan, tetapi merupakan proses ritual pembersihan diri dan lingkungan. Penari yang ndadi sering kali melakukan aksi-aksi ekstrem, seperti memakan pecahan kaca atau bara api, yang semuanya diinterpretasikan sebagai demonstrasi kekebalan yang didapat dari penyatuan spiritual, bukan trik panggung. Ritual ini harus dipimpin oleh seorang sesepuh atau dhukun Barong yang bertanggung jawab menjaga batas antara dunia nyata dan dunia gaib.
Durasi pertunjukan Barongan Sekar Bawono bisa sangat panjang, bahkan mencapai enam hingga delapan jam, tergantung pada intensitas ritual dan kebutuhan masyarakat setempat. Struktur pertunjukan ini sangat baku dan tidak boleh diubah, karena setiap babak memiliki fungsi ritual dan naratifnya sendiri.
Ritme Gamelan Sekar Bawono, menciptakan suasana magis dan memanggil roh leluhur.
Musik (Gamelan) adalah ruh dari Barongan Sekar Bawono. Komposisinya harus mampu menginduksi suasana spiritual, bukan hanya menghasilkan melodi. Set gamelan yang digunakan biasanya lebih sederhana (mode *pelog* atau *slendro*), namun memiliki instrumen kunci yang vital:
Lagu-lagu yang dimainkan harus sesuai dengan fase pertunjukan. Pada fase perkenalan, iramanya lembut dan mendayu (seperti *Gendhing Sekar Sari*), lalu berubah menjadi agresif dan cepat saat Jathilan mulai beraksi dan Barong muncul (seperti *Gendhing Barong Sewu*). Musiknya adalah jembatan yang menghubungkan penonton dengan dimensi spiritual kesenian ini.
Setiap penari dalam Barongan Sekar Bawono mengenakan kostum yang tidak hanya indah tetapi juga sarat makna magis. Kostum Jathilan (prajurit berkuda) umumnya berwarna cerah, melambangkan semangat muda dan keberanian. Mereka menggunakan cemeti (cambuk) yang bunyinya dipercaya dapat mengusir roh jahat (tolak bala).
Kostum Barong (seluruh tubuh) dibuat dari ijuk atau serat alami yang dianyam. Panjangnya yang menjuntai melambangkan keberadaan Barong yang mengisi ruang semesta, dari bumi hingga langit. Bagian mata Barong dihiasi dengan kaca atau cermin khusus, yang dipercaya dapat memantulkan aura buruk dan sekaligus menjadi portal bagi roh penjaga untuk melihat dunia manusia. Sebelum dipakai, kepala Barong harus melalui ritual pemberian sesajen (sajen) dan didoakan secara khusus oleh sesepuh.
Nama Sekar Bawono menempatkan sanggar atau kelompok ini pada posisi yang unik. Mereka tidak hanya melestarikan gerakan tari, tetapi juga menjaga kemurnian filosofi dan ritual pra-pertunjukan yang sering diabaikan oleh kelompok Barongan komersial. Konservasi yang mereka lakukan mencakup tiga aspek utama:
Sekar Bawono sangat ketat dalam pemilihan bahan baku. Ukiran topeng harus diukir oleh ahli yang memiliki garis keturunan spiritual, bukan sekadar tukang ukir. Proses pengeringan kayu bisa memakan waktu berbulan-bulan, disertai ritual puasa (mutih) oleh sang pemahat. Setelah jadi, kepala Barong harus melalui proses 'pengisian' (ngisi), yaitu ritual memasukkan roh penjaga atau khodam, memastikan bahwa Barong tersebut memiliki kekuatan aktual, bukan sekadar benda mati.
Selain itu, mereka menjaga agar tarian Jathilan tetap otentik. Banyak kelompok Barongan modern yang memasukkan unsur koreografi kontemporer, namun Sekar Bawono bersikeras mempertahankan gerakan-gerakan kuno yang diyakini sebagai kunci untuk mencapai kondisi ndadi yang sah.
Dalam masyarakat pedesaan Jawa, pertunjukan Barongan Sekar Bawono memiliki fungsi sosial yang lebih besar daripada sekadar hiburan. Pertunjukan ini sering dipentaskan sebagai bagian dari ritual bersih desa (ruwatan) atau upacara tolak bala. Dipercaya bahwa energi yang dihasilkan dari Barongan yang telah diisi dapat menetralkan energi negatif, mengusir hama pertanian, dan mencegah penyakit menular. Kedatangan Barongan Sekar Bawono di sebuah desa adalah tanda bahwa wilayah tersebut sedang "dibersihkan" secara spiritual.
Anggota Sekar Bawono tidak hanya belajar menari; mereka juga wajib mempelajari unggah-ungguh (etika) Jawa, sejarah lisan yang melatarbelakangi tokoh-tokoh dalam Barongan, dan prinsip-prinsip spiritualitas. Proses menjadi penari Barongan membutuhkan kesabaran, pengendalian diri, dan yang paling penting, kejujuran spiritual. Jika seorang penari memiliki niat buruk atau ego yang terlalu besar, diyakini bahwa roh penjaga tidak akan mau menyatu, dan proses ndadi yang terjadi akan menjadi palsu atau bahkan berbahaya.
"Barongan Sekar Bawono adalah cermin keutuhan. Ia mengajarkan bahwa kekuatan terbesar bukanlah pada wujud kasar Barong, melainkan pada kemampuan penari untuk menundukkan egonya dan bersatu dengan kekuatan semesta. Inilah inti sari (Sekar) dari alam semesta (Bawono) yang diwujudkan dalam gerak."
Meskipun Barongan adalah tokoh sentral, narasi Sekar Bawono dibangun oleh interaksi kompleks berbagai karakter yang semuanya memiliki makna filosofis yang dalam. Karakter-karakter ini mencerminkan spektrum sifat manusia dan entitas kosmik.
Barongan adalah representasi dari kekuatan alam yang tak terkendali sekaligus pelindung yang bijaksana. Karakter ini sering muncul belakangan, menandakan bahwa masalah hanya dapat diselesaikan oleh kekuatan tertinggi. Gerakannya kasar, menghentak, dan penuh energi, melambangkan gejolak emosi dan perjuangan yang terus-menerus terjadi di dunia.
Penari Jathilan, representasi prajurit yang tunduk pada nilai spiritual, menjadi media utama trance.
Jathilan melambangkan manusia biasa (kawula) yang mencoba meraih kesempurnaan. Mereka adalah prajurit yang setia, namun rentan terhadap serangan gaib. Kuda lumping yang mereka tunggangi melambangkan hasrat, yang harus dikendalikan oleh penunggangnya. Ketika Jathilan mengalami ndadi, itu adalah simbol bahwa manusia, melalui pengorbanan dan disiplin spiritual, dapat mencapai level kekuatan adikodrati.
Bujang Ganong adalah tokoh yang paling humanis. Digambarkan dengan topeng berhidung panjang, mata melotot, dan sifat lincah, ia berperan sebagai komedi relief, namun sekaligus sebagai penasihat spiritual yang menyampaikan pesan-pesan filosofis melalui humor satir. Bujang Ganong mewakili kecerdasan (cipta) dan kelincahan berpikir yang diperlukan manusia untuk bertahan hidup.
Beberapa versi Sekar Bawono menyertakan tokoh Singo Barong yang lebih besar dan lebih megah, sering dikaitkan dengan Raja Klana Sewandana. Singo Barong mewakili otoritas spiritual dan politik. Kehadirannya mengukuhkan hierarki kosmik; ia adalah pemimpin yang memegang kendali atas semua energi, termasuk energi liar Barongan yang harus tunduk pada kekuasaannya.
Aspek seni rupa dalam Barongan Sekar Bawono sangat penting dan memiliki spesifikasi yang ketat, terutama mengenai bahan, warna, dan dimensi. Kesenian ini menuntut kesempurnaan detail yang tak terhitung jumlahnya untuk memastikan bahwa benda-benda ritual tersebut tidak hanya indah, tetapi juga berdaya magis.
Kayu yang digunakan untuk topeng Barong Sekar Bawono harus memenuhi kriteria Panca Gatra (lima kriteria) dari tradisi ukir Jawa kuno:
Ukiran pada bagian hidung Barong, yang disebut Grana Murti, sering dibuat sangat besar dan menonjol. Ini melambangkan napas kehidupan, bahwa Barong adalah entitas yang hidup dan bernapas, bukan sekadar hiasan. Hidung yang besar juga diartikan sebagai kemampuan untuk mencium niat baik dan buruk.
Rambut Barong yang panjang dan lebat, yang menutupi seluruh tubuh penari, biasanya terbuat dari ijuk kelapa atau, pada Barong yang sangat otentik, menggunakan ekor kuda asli. Ijuk dan rambut kuda dianggap sebagai konduktor energi spiritual. Gerakan rambut Barong saat menari, yang bergoyang-goyang cepat, melambangkan angin (Bayu) yang membawa pesan-pesan dari dunia atas ke dunia bawah. Perawatan rambut ini sangat rumit; harus dicuci dengan air kembang tujuh rupa dan diberi dupa sebelum dan sesudah pertunjukan.
Meskipun Barongan Sekar Bawono mempertahankan kemurnian tradisi, mereka tidak terlepas dari tantangan di era modernisasi. Tantangan ini berkaitan dengan pewarisan, komersialisasi, dan pemahaman publik.
Proses pendidikan untuk menjadi anggota Sekar Bawono sangatlah berat, memerlukan disiplin spiritual yang tinggi dan puasa ritual yang panjang. Generasi muda saat ini cenderung lebih tertarik pada kesenian yang instan dan kurang menuntut pengorbanan batin. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam mencari pewaris yang mampu memegang teguh pakem (aturan baku) ritual. Banyak sanggar Barongan yang terpaksa melonggarkan aturan ritual demi menarik anggota baru, tetapi Sekar Bawono berjuang untuk tetap mempertahankan standar spiritual yang ketat.
Aspek ndadi (trance) adalah daya tarik terbesar sekaligus kontroversi paling besar. Di satu sisi, ndadi adalah bukti otentisitas spiritual. Di sisi lain, pertunjukan yang terlalu sering menampilkan adegan ekstrem (seperti memakan beling) sering kali dituduh sebagai komersialisasi atau bahkan penipuan. Sekar Bawono harus berhati-hati dalam menampilkan aspek ini, memastikan bahwa setiap trance adalah murni ritual, bukan sekadar pameran. Mereka cenderung memilih panggung yang bersifat ritualistik daripada panggung hiburan massa.
Untuk tetap relevan, beberapa elemen narasi Barongan Sekar Bawono telah beradaptasi untuk memasukkan isu-isu sosial kontemporer tanpa menghilangkan inti cerita tradisional. Misalnya, cerita tentang Barong yang melindungi desa kini diinterpretasikan sebagai perjuangan melawan korupsi atau perusakan lingkungan. Adaptasi ini dilakukan melalui dialog Bujang Ganong atau dalam interpretasi gerak Jathilan, memberikan pesan moral yang kontekstual bagi penonton saat ini.
Pertunjukan Barongan Sekar Bawono didahului oleh serangkaian ritual yang sangat detail, yang bertujuan untuk memohon izin dan perlindungan dari alam gaib. Ritual ini dikenal sebagai Tirakat Barong.
Sebelum topeng Barong dikeluarkan dari penyimpanan sakralnya (Pusaka Dalem), harus disiapkan sesajen lengkap:
Pertunjukan dibuka bukan dengan tarian, melainkan dengan pembacaan doa (donga) oleh sesepuh atau dhukun. Doa ini adalah permohonan agar pertunjukan berjalan lancar, agar tidak ada penonton yang celaka, dan agar roh-roh yang dipanggil hanya yang bersifat baik dan melindungi. Prosesi ini bisa memakan waktu satu jam sendiri, diiringi tabuhan gamelan yang sangat lambat dan khidmat.
Puncak spiritual terjadi ketika Jathilan dan Barongan berada dalam satu arena. Ritme kendhang dan terompet mencapai titik tertinggi, disebut irama Sekar Pamungkas. Pada saat inilah energi spiritual dari topeng Barong mulai menyebar, memicu kondisi ndadi pada para penari yang telah dipersiapkan mental dan spiritualnya. Interaksi antara penari Jathilan yang ndadi dengan Barongan adalah klimaks dari filosofi perjuangan: manusia yang mencapai kesadaran tertinggi dan berinteraksi langsung dengan kekuatan kosmik, di bawah pengawasan Barongan Sekar Bawono, sang inti sari semesta.
Penonton yang hadir dalam pertunjukan Sekar Bawono sering kali merasakan getaran energi yang kuat, bahkan tanpa mengalami trance. Hal ini menunjukkan bahwa kesenian ini berhasil memenuhi misinya, yaitu menyentuh dimensi batin audiens dan mengingatkan mereka akan keberadaan kekuatan yang lebih besar di luar realitas sehari-hari.
Gerak tari Barongan Sekar Bawono adalah perpaduan yang kontradiktif namun harmonis: antara gerakan yang liar dan kekuatan kasar yang diwakili oleh Barong, dengan keindahan dan ketertiban yang diwakili oleh Jathilan dan penari lainnya. Estetika ini mencerminkan pandangan hidup Jawa yang memandang dunia sebagai tempat dualitas yang harus diselaraskan (Rwa Bhineda).
Barongan sering menggunakan gerakan yang statis dan berat pada awalnya, melambangkan bobot spiritual dan usia tua. Langkahnya lambat, diiringi bunyi raungan kendang yang mendalam. Namun, ketika berinteraksi dengan Bujang Ganong atau Jathilan, gerakan Barongan bisa berubah tiba-tiba menjadi sangat cepat dan eksplosif (disebut Gerak Muring atau gerakan marah), yang menunjukkan kekuatan tersembunyi. Kontras ini adalah inti dari daya tarik visual Sekar Bawono.
Tari Jathilan menuntut fleksibilitas ekstrem. Gerakan mereka menekankan pada langkah kaki (gejlug) yang seragam dan dentuman irama yang keras, melambangkan disiplin prajurit. Ketika mencapai kondisi ndadi, gerakan menjadi improvisasi total, dipandu oleh entitas yang merasukinya. Namun, bahkan dalam kekacauan trance, penari tetap menunjukkan keahlian bela diri dan koordinasi tubuh yang tinggi, sebuah bukti bahwa pelatihan fisik dan spiritual mereka telah menyatu.
Barongan Sekar Bawono kini berdiri sebagai salah satu warisan budaya tak benda yang paling berharga. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak hanya relevan bagi masyarakat Jawa, tetapi juga bagi siapa pun yang mencari pemahaman tentang spiritualitas melalui seni pertunjukan. Barongan ini bukan sekadar peninggalan sejarah, tetapi sebuah entitas yang hidup dan terus berevolusi, membawa pesan penting tentang identitas, alam semesta, dan keseimbangan abadi.
Pelestarian Barongan Sekar Bawono memerlukan dukungan holistik, mulai dari pelindungan hutan sebagai sumber material sakral (kayu), pendidikan formal dan non-formal bagi calon seniman, hingga pengakuan resmi dari lembaga kebudayaan. Hanya dengan menjaga kemurnian ritual dan filosofi di balik nama ‘Sekar Bawono’ – intisari alam semesta – maka kesenian agung ini akan terus abadi melintasi zaman, menjadi cermin keutuhan budaya Nusantara.
Kekuatan naratif Barongan ini terletak pada kemampuannya untuk mengambil bentuk energi kosmis yang abstrak dan mewujudkannya dalam bentuk yang dapat dilihat, didengar, dan dirasakan. Setiap tarian, setiap tabuhan gamelan, dan setiap janturan adalah pengulangan kembali kisah penciptaan, perjuangan manusia, dan janji akan penyatuan spiritual. Barongan Sekar Bawono adalah sebuah persembahan agung yang menyelaraskan batin manusia dengan irama alam semesta.
Dalam setiap penampilan, ada doa yang tersembunyi, sebuah harapan agar penonton, para penari, dan seluruh alam raya dapat menemukan kembali poros keseimbangan yang sering hilang dalam hiruk pikuk kehidupan. Kesenian ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati berasal dari keselarasan, dan bahwa bahkan makhluk yang paling liar sekalipun (Barong) dapat menjadi pelindung keindahan yang paling murni (Sekar Bawono).
Seiring waktu berjalan, teknik pembuatan dan penabuhan gamelan pun terus disempurnakan. Dalam tradisi Sekar Bawono, penabuh gamelan (Nayaga) harus memiliki kepekaan rasa yang tinggi. Mereka tidak hanya memainkan nada, tetapi memainkan emosi. Ritme yang mereka hasilkan harus mampu berinteraksi secara sinkron dengan kondisi spiritual penari. Keseimbangan antara suara yang keras dari gong dan suara yang lembut dari suling adalah metafora kehidupan: perlu kekuatan dan kelembutan untuk mencapai harmoni. Pelatihan Nayaga ini sama intensnya dengan pelatihan penari, melibatkan meditasi sebelum menyentuh instrumen. Mereka percaya bahwa alat musik, seperti Barong, juga memiliki roh.
Aspek seni tari yang paling memerlukan perhatian khusus dalam Barongan Sekar Bawono adalah Improvisasi Filosofis. Gerak tidak dihafal mati, melainkan diimprovisasi berdasarkan respons penari terhadap irama gamelan dan energi yang dirasakan di lingkungan. Misalnya, jika Barong merasakan ada energi negatif yang kuat dari penonton, geraknya akan menjadi lebih agresif dan memukul-mukul lantai, sebuah tindakan simbolis untuk membersihkan area pertunjukan. Improvisasi ini menjamin bahwa setiap pertunjukan adalah unik dan relevan secara spiritual terhadap waktu dan tempat pelaksanaannya.
Faktor lain yang menegaskan keistimewaan Sekar Bawono adalah pemeliharaan warisan melalui kisah lisan. Sebelum pertunjukan dimulai, seringkali sesepuh akan membacakan silsilah Barong (Wiwitan Barong), menceritakan asal-usul topeng tersebut, siapa pembuatnya, dan roh penjaga mana yang bersemayam di dalamnya. Dokumentasi lisan ini memastikan bahwa Barong tidak kehilangan konteks historis dan sakralnya, membedakannya dari replika atau pertunjukan yang hanya mengandalkan aspek hiburan semata.
Kehadiran Sekar Bawono di kancah budaya kontemporer menjadi pengingat yang penting: bahwa dalam menghadapi kecepatan dunia modern, akar spiritual dan budaya tidak boleh dilupakan. Ia adalah jembatan antara masa lalu yang mistis dan masa kini yang pragmatis, sebuah mahakarya abadi yang terus menari di atas batas-batas realitas.
Keseimbangan antara unsur-unsur magis dan estetika fisik merupakan inti dari keunikan Sekar Bawono. Seluruh anggota kelompok, dari penari Jathilan yang muda hingga Simbah Barong yang agung, harus menjunjung tinggi kode etik spiritual. Mereka dilarang keras menggunakan kekuatan yang mereka dapatkan dari ritual untuk kepentingan pribadi. Filosofi ini, yang disebut Laku Utama, menjamin bahwa pertunjukan selalu murni sebagai bentuk pengabdian kepada tradisi dan semesta.
Dalam konteks Jawa secara luas, Barongan Sekar Bawono juga sering dikaitkan dengan narasi historis kerajaan-kerajaan kuno, khususnya Majapahit dan Kediri. Beberapa interpretasi menyebut Barongan sebagai simbol kekuatan militer yang tidak terkalahkan, sementara yang lain melihatnya sebagai perwujudan Dewa Siwa dalam manifestasi yang menakutkan namun penyayang. Apapun interpretasinya, fokus Sekar Bawono adalah pada transformasi batin—bagaimana energi yang menakutkan dapat disalurkan menjadi pelindung.
Pemilihan warna pada kostum penari juga mengikuti pakem yang ketat sesuai dengan arah mata angin dalam kosmologi Jawa (Mancapat). Penari yang menempati posisi timur mungkin menggunakan warna merah, barat putih, utara hitam, dan selatan kuning, melambangkan kesatuan alam semesta dan perlindungan dari segala arah. Setiap detail, mulai dari ikat pinggang (sabuk) hingga hiasan kepala (udeng), adalah simbol yang mengikat penari pada peran kosmik mereka.
Proses pemulihan penari dari kondisi ndadi juga merupakan ritual yang sangat sakral. Sesepuh akan menggunakan mantra khusus, air suci (tirta wening), dan usapan tertentu pada kepala Barong untuk 'mengembalikan' roh penjaga ke tempat asalnya dan memulihkan kesadaran penari. Keberhasilan proses pemulihan ini adalah penanda penting keberhasilan seluruh rangkaian ritual, menunjukkan bahwa energi telah digunakan secara bertanggung jawab dan terkendali. Inilah bukti nyata dari kedalaman spiritual Barongan Sekar Bawono, sebuah tarian yang sesungguhnya adalah doa yang terwujud.