Nusantara, khususnya pulau Jawa, menyimpan lapisan-lapisan kekayaan spiritual dan budaya yang tak terhitung. Di antara manifestasi seni dan filosofi yang paling mencolok, terdapat perpaduan energi mistis yang kerap kali menjadi perbincangan, bahkan hingga melintasi batas dimensi akal sehat. Tiga pilar utama—Barongan sebagai seni performatif yang kerasukan, Santer sebagai intensitas kekuatan gaib yang membahana, dan Semar sebagai representasi kebijaksanaan kosmis—bertemu dalam sebuah narasi budaya yang kompleks dan sarat makna.
Fenomena yang disebut sebagai "Barongan Santer Semar" bukanlah sekadar tarian biasa, melainkan sebuah ritual inkarnasi energi yang menghubungkan manusia dengan alam leluhur. Barongan, dalam konteks ini, tidak hanya merujuk pada topeng singa raksasa Reog Ponorogo, tetapi juga segala bentuk seni pertunjukan yang melibatkan kesurupan atau *jathilan* yang memiliki intensitas spiritual tinggi. Ketika fenomena ini menjadi *santer*—menarik perhatian, kuat auranya, dan intens manifestasinya—ia selalu dikaitkan dengan sumber kekuatan atau legitimasi spiritual yang lebih besar.
Dalam pencarian akan sumber legitimasi itulah, figur Semar Badranaya muncul sebagai jangkar filosofis. Semar, sebagai Punokawan sekaligus Dewa yang turun ke bumi, adalah penyeimbang jagat raya, simbol kerakyatan, dan wadah bagi ajaran keutamaan yang paling murni. Memahami Barongan, Santer, dan Semar secara terintegrasi adalah upaya untuk membaca peta spiritual Jawa, memahami bagaimana seni dapat menjadi portal menuju dimensi gaib, dan bagaimana kebijaksanaan kuno tetap relevan dalam menafsirkan gejolak batin dan kosmos.
Barongan, dalam spektrum seni pertunjukan Jawa, adalah entitas yang lebih dari sekadar topeng kayu atau kulit. Ia adalah wadah bagi kekuatan supranatural. Meskipun istilah Barongan sering disamakan dengan Reog Ponorogo, ia juga merujuk pada segala jenis topeng raksasa singa atau macan yang digunakan dalam ritual kesenian rakyat yang mengundang roh leluhur atau entitas penjaga wilayah.
Pertunjukan Barongan dicirikan oleh elemen-elemen yang memicu intensitas dan kekaguman. Elemen terpenting adalah janturan atau musik gamelan yang berirama cepat, repetitif, dan hipnotis. Irama ini, yang dikenal sebagai *gending sampak* atau *gending suwuk*, berfungsi sebagai kunci pembuka gerbang spiritual, mengantarkan para penari menuju kondisi *trance* (kesurupan).
Dalam kondisi *trance* inilah, sang penari (yang sering disebut *pembarong* atau *jathil*) dikuasai oleh energi Barongan itu sendiri. Energi ini diyakini merupakan perwujudan dari roh penjaga, harimau mistis, atau bahkan inkarnasi dari Bima dalam wujud yang lebih purba. Kekuatan Barongan yang *santer* terwujud dalam:
Barongan berakar kuat pada sinkretisme Jawa-Hindu-Buddha dan animisme kuno. Ia melambangkan pertarungan abadi antara kebaikan dan keburukan, antara nafsu liar (*raja*) dan kesadaran (*kawicaksanan*). Topeng Singa Barong (atau *Caplokan* di beberapa daerah) adalah simbol kekuasaan dan kemakmuran, tetapi juga merupakan perwujudan dari energi primordial yang belum diolah.
Penyelenggaraan Barongan, terutama yang berkarakter *santer*, tidak bisa dilakukan sembarangan. Dibutuhkan serangkaian ritual ketat, mulai dari puasa, pemberian sesajen (*sajen*), hingga pemanggilan khusus yang disebut *mantra pamungkas*. Tanpa persiapan spiritual yang memadai, energi yang bangkit diyakini bisa menjadi destruktif atau bahkan mencelakai para penari dan penonton. Oleh karena itu, Barongan yang *santer* selalu didampingi oleh *kasepuhan* (tetua adat) yang memiliki otoritas spiritual.
Ritual Barongan adalah puncak dari pelatihan spiritual dan fisik yang panjang. Para penari Barongan yang memiliki reputasi *santer* tidak hanya belajar koreografi, tetapi juga ilmu *kanuragan* (kekebalan) dan *panggih* (ilmu kontak dengan alam gaib). Setiap gerakan, hentakan kaki, dan kibasan ekor Barongan adalah simbolisasi dari perjalanan batin. Momen *suwuk* (pengembalian roh) adalah saat krusial, menunjukkan keahlian spiritual pawang dalam mengendalikan dan melepaskan energi yang terlanjur merasuk.
Fenomena kesurupan yang terjadi dalam Barongan menunjukkan bahwa seni ini berfungsi sebagai media katarsis kolektif. Ia memungkinkan masyarakat untuk menghadapi energi-energi liar, baik dari alam maupun dari dalam diri mereka sendiri, dan kemudian menyalurkannya kembali ke dalam tatanan yang harmonis. Intensitas emosional dan spiritual yang muncul inilah yang membuat Barongan menjadi sangat *santer* dan memikat bagi banyak orang, melampaui sekadar hiburan semata.
Untuk memahami mengapa Barongan memiliki korelasi kuat dengan kekuatan yang santer, kita harus melihatnya melalui lensa kosmologi Jawa. Barongan sering kali dipandang sebagai representasi dari Macan Putih atau Singa Lodra, simbol yang berhubungan erat dengan kekuatan Majapahit dan Mataram Kuno. Makhluk ini adalah penjaga gerbang, yang menguji kesucian niat manusia.
Tiga Warna Kunci pada Barongan:
Kata "santer" dalam konteks Jawa mengandung makna lebih dari sekadar 'terkenal' atau 'kuat'. Ia merujuk pada intensitas dan daya pengaruh yang sangat terasa, terutama dalam ranah supranatural. Sesuatu yang *santer* berarti energinya cepat menyebar, sulit dibendung, dan memiliki resonansi spiritual yang tinggi. Ketika Barongan menjadi *santer*, ia berarti pertunjukan itu memiliki otoritas magis yang luar biasa, menarik perhatian khalayak sekaligus makhluk halus.
Kekuatan *santer* dapat dipilah menjadi dua dimensi yang saling terkait dalam tradisi Jawa:
Secara sosial, sesuatu yang *santer* adalah isu, kabar, atau fenomena yang cepat menyebar dan dipercaya kebenarannya oleh masyarakat luas. Barongan yang *santer* adalah Barongan yang dianggap memiliki ‘isi’ atau ‘roh’ asli, bukan sekadar penari biasa. Kelompok Barongan yang *santer* biasanya memiliki garis keturunan spiritual yang jelas atau memiliki *piandel* (pusaka) yang sangat kuat, memberikan mereka reputasi yang tak tertandingi di mata publik. Reputasi ini memberikan mereka legitimasi untuk tampil dalam upacara-upacara penting, seperti ruwatan atau bersih desa.
Secara spiritual, *santer* adalah kondisi energi murni yang memancar tanpa filter. Dalam Barongan, kondisi *santer* terjadi saat *janturan* mencapai puncaknya, dan para penari mengalami *jatilan* (kesurupan) massal dengan manifestasi yang ekstrem dan berbahaya. Kondisi ini dicapai melalui laku batin yang ekstrem dan konsentrasi total. *Santer* adalah manifestasi dari daya linuwih (kekuatan berlebih) yang dimiliki oleh pawang atau sanggar tersebut, yang mampu menarik energi dari lapisan bumi (Marcapada) dan lapisan langit (Jangraga) secara bersamaan.
Dalam sejarah Jawa, kekuatan yang *santer* selalu dikaitkan dengan konsep Wahyu—anugerah ilahi atau legitimasi kekuasaan. Barongan yang *santer* dipercaya membawa pesan *Wahyu* yang harus disampaikan kepada komunitas. Ketika penari kesurupan berbicara, kata-kata mereka sering dianggap sebagai titah dari leluhur atau dewa. Oleh karena itu, *santer* tidak hanya tentang kekebalan fisik, tetapi lebih jauh tentang kebenaran yang diungkapkan melalui medium seni yang kerasukan.
Fenomena *santer* juga berperan sebagai alat kontrol sosial dan spiritual. Jika sebuah desa mengalami kesulitan atau bencana, Barongan yang *santer* akan dipanggil untuk menanyakan penyebabnya kepada roh yang merasuki, mencari solusi, dan mengembalikan keseimbangan kosmos. Kepercayaan terhadap intensitas energi ini merupakan fondasi vital bagi keberlangsungan tradisi Jawa yang masih memegang teguh hubungan antara manusia, alam, dan alam gaib.
Konsep *santer* ini bukanlah eksklusif bagi Barongan. Dalam tradisi keraton, gelar dan pusaka juga bisa menjadi *santer*, berarti mereka memiliki daya magis dan pengaruh politik yang besar. Namun, ketika konsep ini turun ke tingkat pedesaan, ia termanifestasi dalam seni rakyat seperti Barongan, menjadi semacam "Keraton Kecil" di mana kekuatan spiritual diakui secara instan dan visual melalui atraksi kesurupan yang memukau. Kesenian yang *santer* ini menjadi tandingan bagi otoritas formal, menawarkan jalan alternatif bagi masyarakat untuk terhubung dengan sumber kekuatan yang transenden.
Tidak mungkin membahas kekuatan *santer* di Jawa tanpa menyertakan Semar Badranaya. Semar, figur Punokawan utama dalam Wayang Purwa, adalah kunci spiritual dan filosofis yang memberikan kerangka etika bagi seluruh seni dan ritual Jawa. Semar bukan hanya pelayan ksatria Pandawa; ia adalah inkarnasi dari Batara Ismaya (kakak dari Batara Guru, Sang Hyang Tunggal) yang turun ke bumi untuk mendampingi dan memandu para pemimpin yang benar (*satria pinandhita*).
Filosofi Semar adalah intisari dari ajaran Jawa Kejawen. Penampilannya yang kontradiktif—wajah tua namun sikap kekanak-kanakan, tubuh gemuk namun lincah, tertawa sekaligus menangis—melambangkan dualitas alam semesta. Semar adalah simbol dari *manunggaling kawula gusti* (bersatunya hamba dengan Tuhan). Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati (*santer*) tidak terletak pada kesaktian atau wujud fisik yang gagah, melainkan pada kemurnian hati dan pengabdian.
Semar adalah Sang Hyang Jagad Pramana (Kesadaran Semesta). Kehadirannya dalam konteks Barongan *santer* memberikan legitimasi bahwa energi liar Barongan telah ditarik ke dalam koridor spiritual yang benar. Ketika energi Barongan membahayakan, pemanggilan nama Semar, atau kehadiran visualnya melalui sesajen, diyakini mampu menenangkan roh yang merasuk, mengembalikannya ke jalan yang lurus.
Kekuatan Semar bersumber dari tiga prinsip utama yang ia ajarkan kepada para ksatria yang didampinginya, yang semuanya terkait dengan bagaimana mengelola kekuatan yang *santer*:
Dalam pertunjukan Barongan yang berbau mistis, Semar berfungsi sebagai penjamin spiritual. Ia adalah simbol netralitas kosmis. Kehadirannya memastikan bahwa ritual Barongan yang *santer* tidak menyimpang menjadi pemujaan setan atau kekerasan murni, melainkan tetap berada dalam bingkai pencarian jati diri dan hubungan dengan leluhur.
Tidak jarang Semar dikaitkan dengan figur profetik Sabda Palon, yang konon bersumpah akan kembali ketika Jawa berada dalam kondisi yang paling terpuruk, membawa kembali kejayaan spiritual Nusantara. Keterkaitan ini memperkuat peran Semar sebagai penjaga keaslian tradisi Jawa. Kekuatan *santer* Barongan, ketika dikaitkan dengan Semar, menjadi simbol harapan, bahwa meskipun zaman berubah dan modernisasi menyerang, esensi spiritual Jawa (yang diwakili oleh Semar) akan selalu menjaga dan memberikan kekuatan (Barongan) melalui medium yang intens (*santer*).
Legenda Semar yang tertulis dalam naskah-naskah kuno seperti *Serat Centhini* menegaskan posisinya sebagai *Dewa Nglenggana*—Dewa yang menanggung beban dunia. Ia membawa *dhawuh* (perintah) dari Sang Hyang Widi untuk mendidik manusia. Oleh karena itu, *santer*nya Barongan yang dikaitkan dengan Semar adalah sinyal bahwa pesan ilahi sedang disampaikan melalui getaran seni yang paling purba.
Integrasi Barongan, Santer, dan Semar menciptakan sebuah narasi spiritual yang koheren. Barongan adalah energi, Santer adalah intensitas energi tersebut, dan Semar adalah kendali serta filosofi di balik energi itu. Tanpa salah satunya, ritual spiritual ini tidak akan utuh.
Dalam banyak ritual Jawa, kekuatan liar yang dipanggil (seperti roh Barongan) seringkali bersifat ambigu; bisa baik atau buruk, membangun atau merusak. Tugas Semar adalah memurnikan intensitas *santer* ini. Ketika Barongan kesurupan mencapai titik ekstrem (makan beling, api, atau melakukan tindakan berbahaya), nama Semar diucapkan oleh pawang atau sesajen Semar diletakkan di dekat arena. Hal ini berfungsi sebagai pengingat dan penarik energi kembali ke poros keseimbangan.
Semar mewakili dimensi Kasampurnan (Kesempurnaan), sementara Barongan mewakili dimensi Kekebasan (Kebebasan, tapi juga Kekacauan). Ritual Barongan *santer* yang berhasil adalah ketika kedua dimensi ini bertemu dan Barongan tunduk pada filosofi Semar, menunjukkan bahwa kekuatan purba pun harus menghormati etika ketuhanan yang disimbolkan oleh sang pamong.
Pertunjukan Barongan yang paling *santer* biasanya melibatkan pusaka-pusaka yang secara khusus diasosiasikan dengan Semar atau keturunannya (Gareng, Petruk, Bagong). Pusaka tersebut bisa berupa keris luk 13 yang disebut *Naga Kencana* atau *Sumping* yang digunakan oleh pawang. Pusaka ini berfungsi sebagai medium untuk menarik energi positif Semar dan menjadikannya tameng spiritual saat berinteraksi dengan energi Barongan yang kerasukan.
Ritual pendukung untuk mencapai kondisi *santer* yang paripurna meliputi:
Singkatnya, Barongan adalah medium komunikasi, Santer adalah volumenya, dan Semar adalah pesannya: bahwa kesaktian harus selalu diimbangi oleh kebajikan. Inilah inti dari tradisi Jawa yang selalu mencari harmoni di tengah gejolak kosmos.
Kekuatan yang *santer* dalam Barongan Semar tidak muncul dari ruang hampa. Ia adalah hasil dari laku batin yang dilakukan secara turun-temurun, sebuah proses pewarisan spiritual yang melibatkan pemahaman mendalam tentang tatanan kosmos Jawa, yang dikenal sebagai *Jagat Cilik* (mikrokosmos) dan *Jagat Gedhe* (makrokosmos).
Tradisi *kasepuhan* (spiritualis tua) yang mendukung Barongan *santer* percaya bahwa energi yang merasuki Barongan berasal dari lapisan-lapisan kosmos tertentu. Lapisan terluar, *Suralaya* (kediaman dewa), seringkali dihubungkan dengan Batara Ismaya (Semar). Lapisan tengah, *Gandarwa Loka* (alam jin), seringkali menjadi sumber energi Barongan yang liar dan mudah merasuk.
Pawang Barongan yang handal harus mampu membedakan jenis roh yang merasuk:
Tidak ada Barongan *santer* tanpa Gamelan yang *nyeksa* (menyiksa/menusuk batin). Gamelan, terutama kendang dan kempul, memainkan peran vital sebagai jembatan getaran. Ritme yang berulang menciptakan gelombang alfa di otak penari, membuka portal *cipta* (pikiran) agar roh dapat masuk.
Mantra yang digunakan oleh pawang seringkali merupakan gabungan dari bahasa Sansekerta kuno, Arab (doa Islam Jawa), dan bahasa Jawa murni. Mantra-mantra ini tidak hanya memanggil, tetapi juga memproteksi. Pawang akan mengucapkan *aji* (ilmu) yang melindungi dirinya dari efek samping energi *santer* yang ia bangkitkan. Ini menegaskan bahwa seni ini bukan sekadar spontanitas, tetapi ilmu yang dipelajari dan diwariskan dengan penuh kehati-hatian.
Dalam pandangan Jawa kuno, Barongan Santer Semar juga melambangkan kesatuan tiga waktu:
Di era digital, tantangan terbesar bagi Barongan yang *santer* adalah menjaga kemurnian spiritualnya. Banyak pertunjukan Barongan modern yang lebih mengutamakan aspek hiburan dan atraksi fisik semata, meninggalkan esensi ritual dan filosofi Semar. Namun, di kantong-kantong kebudayaan yang kuat, korelasi antara Barongan, Santer, dan Semar justru diperkuat sebagai benteng identitas kultural.
Kesenian Barongan yang tetap *santer* bergantung pada regenerasi pawang dan penari yang melakukan *laku* (disiplin spiritual) yang ketat. Para pewaris ini tidak hanya diajarkan cara menari, tetapi juga ajaran *Suluk* (jalan spiritual) yang mengutamakan filosofi Semar—yakni rendah hati, mengabdi, dan menguasai diri sebelum menguasai energi Barongan.
Pewarisan ilmu ini seringkali bersifat rahasia (*winarah*), hanya diturunkan kepada murid yang dinilai memiliki kemurnian hati (*suci ing ati*) dan kesiapan fisik. Ini mencegah kekuatan *santer* disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau komersial yang merusak tatanan etika. Semar adalah filter moral yang memastikan kekuatan Barongan tetap sakral.
Di masa kini, Barongan yang *santer* juga berfungsi sebagai kritik terhadap kondisi sosial dan politik. Karena Semar adalah representasi suara rakyat, pesan yang disampaikan melalui penari yang kesurupan seringkali menyentuh isu-isu keadilan dan moralitas pemimpin. Keberanian Barongan yang *santer* untuk berbicara melalui suara gaib memberikan perlindungan (imunitas) terhadap kritik yang dilontarkan, menjadikannya media yang efektif untuk menyampaikan aspirasi dan ketidakpuasan rakyat tanpa takut dihukum.
Dengan demikian, Barongan Santer Semar bukan sekadar relik masa lalu, tetapi sebuah sistem spiritual yang terus hidup dan beradaptasi. Ia adalah pengingat bahwa kekuatan sejati tidaklah arogan, tetapi selalu bersumber dari kebijaksanaan (Semar) dan memiliki dampak yang nyata (*santer*) dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Kekuatan *santer* yang dimiliki Barongan harus terikat pada ajaran *Hasta Brata* (Delapan Perilaku Utama) yang sering dihubungkan dengan Semar dan ajaran kepemimpinan sejati. Seorang penari Barongan yang memiliki *laku* spiritual yang kuat diyakini mampu meniru kesempurnaan perilaku alam:
Barongan Santer Semar adalah sintesis agung dari seni, spiritualitas, dan filosofi Jawa. Ia menunjukkan bagaimana sebuah pertunjukan rakyat dapat menjadi media komunikasi transendental yang sangat kuat. Barongan mewakili energi kosmis yang liar dan purba; Santer mewakili intensitas tak terelakkan dari energi tersebut; dan Semar menjadi jangkar kebijaksanaan yang memastikan energi itu digunakan untuk keutamaan.
Tradisi ini mengajarkan bahwa kekuatan (Barongan) harus selalu disertai dengan etika (Semar). Tanpa etika, kekuatan akan menjadi destruktif. Melalui getaran Barongan yang *santer*, masyarakat Jawa terus memelihara koneksi mereka dengan alam leluhur, menegaskan bahwa nilai-nilai keutamaan kuno masih relevan dan memiliki daya magis yang mampu menyeimbangkan kehidupan di tengah hiruk pikuk perubahan zaman.
Kehadiran Barongan yang *santer* di arena pertunjukan adalah sebuah panggilan. Ia adalah undangan bagi setiap individu untuk merenungkan sumber kekuatan di dalam diri, dan memastikan bahwa energi liar mereka pun tunduk pada panduan Semar Badranaya, Sang Pamong Sejati di Tanah Jawa.