I. Heningnya Awal dan Kebangkitan Sang Raja Hutan
Dalam khazanah budaya Nusantara, terutama di Jawa Timur, Barongan—atau yang lebih dikenal sebagai Singa Barong dalam konteks pertunjukan Reog—bukan sekadar topeng atau properti pentas. Ia adalah entitas spiritual, manifestasi dari kekuatan alam yang liar namun berwibawa, simbol dari keberanian tak tertandingi dan otoritas mutlak. Namun, di balik setiap tarian gemuruh dan setiap kibasan bulu merak, tersembunyi sebuah kisah purba: kisah mengenai Barongan Pertama. Inilah catatan mengenai bagaimana kebutuhan spiritual yang mendesak melahirkan sebuah karya seni sakral yang mampu menjembatani dunia manusia dan alam gaib.
Legenda Barongan Pertama bukanlah cerita tentang Raja Airlangga atau Brawijaya; ini adalah narasi tentang Mpu Gana, seorang pertapa dan pengukir bijak yang hidup di perbatasan Kadipaten Wengker dan wilayah Kediri kuno. Pada masanya, masyarakat dilanda kekacauan besar. Bukan kekacauan fisik berupa perang, melainkan kekacauan batin yang lebih dalam. Kekuatan jahat yang tidak kasat mata—disebut "Wong Srenggi"—dipercaya merusak panen, menyebabkan penyakit yang tidak tersembuhkan, dan yang paling parah, merenggut semangat hidup penduduk.
Mpu Gana menyadari, kekuatan spiritual lokal yang ada—mantra pelindung, sesajen sederhana, dan tarian persembahan—tidak lagi memadai untuk melawan energi gelap yang terus tumbuh. Masyarakat membutuhkan simbol baru, sebuah perwujudan fisik yang mampu menandingi aura Wong Srenggi, sekaligus menjadi wadah bagi keberanian dan kepemimpinan yang hilang. Mpu Gana memandang ke hutan belantara, mencari sosok yang paling ditakuti, paling dihormati, namun juga paling soliter: sang Singa. Namun, Singa yang dimaksud bukanlah fauna lokal; ini adalah Singa mitologis, Singa Barong, penguasa dimensi spiritual, raja dari segala raja hutan yang pernah ada dalam imajinasi kolektif.
II. Tirakat Mpu Gana: Pencarian Jiwa Kayu
Mpu Gana memulai tirakatnya. Ia meninggalkan gubuknya yang damai di tepi Bengawan, menuju ke empat arah mata angin untuk mengumpulkan energi, pengetahuan, dan izin dari para penjaga alam. Tirakat ini memakan waktu tiga musim, setiap langkah diukur bukan oleh jarak fisik, melainkan oleh kedalaman meditasi. Tujuannya adalah menemukan "Jiwa Kayu"—potongan kayu yang bukan sekadar material, melainkan telah menyimpan memori dan kekuatan alam selama ratusan tahun.
Perjalanan ke Utara: Menemukan Ketahanan
Di Utara, Mpu Gana mendaki Puncak Wilis yang diselimuti kabut abadi. Ia mencari Kayu Walikukun, yang terkenal karena kekerasan dan ketahanannya terhadap segala cuaca. Di sana, ia berpuasa selama empat puluh hari, hanya meminum embun dari daun bambu dan memeditasikan konsep kekukuhan, daya tahan, dan ketidakgoyahan. Setiap urat kayu yang ia sentuh harus mengajarkannya tentang ketabahan menghadapi hawa dingin dan keheningan yang mematikan. Ia belajar bahwa kekuatan sejati Barongan haruslah tenang, seperti gunung es, mampu menahan badai tanpa pernah berteriak.
Saat fajar terakhir, ia menemukan sebatang Kayu Walikukun yang tumbang secara alami, akarnya telah membusuk namun batangnya tetap utuh, seolah menentang hukum waktu. Mpu Gana merasakan getaran energi murni dari batang tersebut. Ia tidak mengambil seluruh batang, melainkan hanya sepotong kecil yang telah mengeras menjadi fosil, yang akan menjadi inti spiritual dari topeng Barongan Pertama. Proses pencarian ini adalah ujian kesabaran yang tak terhingga. Ia harus menunggu hingga kayu itu sendiri "mengizinkan" dirinya untuk diambil, bukan dengan paksaan tangan manusia, melainkan dengan penerimaan hati yang tulus. Setiap hari, ia membersihkan area sekitar kayu tersebut, memanjatkan doa-doa kuno yang hanya diketahui oleh garis keturunan Mpu, memohon agar roh penjaga hutan merelakan bagian dari dirinya untuk tujuan yang lebih besar.
Pelajaran terberat di Utara adalah mengenai transformasi. Kayu yang keras adalah metafora bagi penderitaan yang telah ditempa. Mpu Gana harus memahami bahwa Barongan tidak hanya mewakili kekuatan; ia mewakili trauma yang telah diatasi, kekalahan yang telah diubah menjadi kebijaksanaan. Ia memahat sedikit bentuk kasar pada potongan kecil kayu ini, menanamkan doa agar Barongan memiliki ketahanan baja yang tidak dapat dipatahkan oleh keraguan maupun serangan spiritual. Potongan kecil ini, meskipun tersembunyi, akan menjadi poros yang menahan seluruh struktur Barongan di kemudian hari.
Perjalanan ke Timur: Menangkap Kegarangan
Di Timur, tempat matahari terbit, Mpu Gana mencari energi agresif dan kegarangan yang diperlukan untuk menakut-nakuti Wong Srenggi. Ia menuju ke kawasan hutan jati yang jarang dijamah. Bukan jati biasa yang ia cari, melainkan Jati Londo yang konon tumbuh di tanah yang dialiri darah pertempuran kuno. Di sini, ia harus menghadapi ketakutan terbesarnya sendiri: rasa ingin balas dendam dan amarah murni. Ia bermeditasi di antara akar-akar yang besar dan berkelok, mengamati pola predator dan mangsa.
Kayu Jati yang ia temukan memiliki serat merah, seolah-olah masih menyimpan panas matahari dan gejolak emosi. Kayu ini akan digunakan untuk membuat struktur utama wajah, bagian yang menampakkan ekspresi keagungan dan amarah. Mpu Gana mengambil kayu itu hanya setelah melakukan ritual persembahan darah ayam hitam dan minyak cendana wangi, memohon agar kegarangan yang diwakilinya adalah kegarangan yang adil, bukan kegarangan yang menghancurkan tanpa pandang bulu. Ia ingin Barongan memiliki mata yang tajam, tetapi hati yang berpegang teguh pada dharma.
Proses pengambilan Jati Londo sangat berisiko. Hutan Timur dijaga oleh makhluk-makhluk tak terlihat yang menentang intervensi manusia. Mpu Gana harus berjalan tanpa alas kaki selama tujuh hari tujuh malam, berbicara hanya dalam bahasa mantra, agar kehadirannya dianggap sebagai bagian dari alam, bukan perusak. Ketika kapaknya menyentuh kulit kayu, ia merasakan perlawanan kuat, seperti benturan energi. Namun, niat sucinya—menyelamatkan manusia dari kehancuran spiritual—akhirnya diterima. Ia membawa pulang bongkahan Jati yang berat dan padat, simbol dari kemarahan yang terkendali, sebuah energi yang menunggu waktu untuk dilepaskan dengan tujuan yang benar.
Mpu Gana menyelaraskan jiwa dan raga dalam tirakat panjang, mempersiapkan diri untuk penciptaan Barongan Pertama.
III. Mengumpulkan Elemen Semesta: Bulu dan Taring
Topeng hanyalah setengah dari Barongan. Setengah lainnya adalah "Gimbal"—surai besar yang menutupi kepala dan tubuh, serta hiasan-hiasan pendukung yang memegang peranan vital dalam ritual. Mpu Gana tahu bahwa Singa Barong harus memiliki keindahan yang memesona sekaligus aura yang menakutkan. Barongan Pertama tidak boleh dibuat dari bahan yang sembarangan; setiap helai, setiap potongan, harus memiliki riwayat mistis.
Pencarian Bulu Merak: Simbol Keindahan dan Pengawasan
Bulu merak adalah elemen yang paling mencolok dan secara filosofis paling penting. Merak melambangkan keindahan yang melampaui dunia, tetapi lebih dari itu, mata pada ekor merak (Ocellus) melambangkan seribu mata yang mengawasi segala tipu daya dan kebohongan. Barongan harus bisa melihat segala kejahatan, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi dalam hati manusia.
Mpu Gana melakukan perjalanan ke Selatan, menuju hutan paling sunyi, di mana konon hanya burung merak suci yang tinggal. Merak-merak ini tidak bisa diburu; bulunya harus didapatkan melalui persembahan dan kesabaran. Ia menunggu di bawah pohon beringin tua, memainkan seruling dari tulang. Selama menunggu, ia belajar tentang kesombongan dan kerendahan hati. Merak adalah makhluk yang sangat bangga, dan untuk mendapatkan bulunya, Mpu Gana harus menunjukkan bahwa kebanggaan yang akan disematkan pada Barongan adalah kebanggaan spiritual, bukan kebanggaan egois.
Setelah sekian lama, sekawanan merak mendekat. Mereka menjatuhkan bulu-bulu mereka secara alami, sebagai hadiah atas musik dan kesucian hati Mpu Gana. Setiap helai bulu yang jatuh diambil dengan hati-hati, dicuci dalam air tujuh mata air, dan dikeringkan di bawah sinar bulan purnama. Jumlah bulu yang dikumpulkan harus ganjil—melambangkan kesempurnaan yang belum sepenuhnya tercapai, sebuah perjalanan spiritual yang terus berlangsung.
Taring dan Kulit: Kekuatan Tak Tergoyahkan
Untuk taring Barongan, Mpu Gana menolak menggunakan gading gajah atau taring babi hutan, yang terlalu duniawi. Ia membutuhkan taring yang melambangkan pertarungan abadi. Setelah tirakat yang panjang, ia diberkahi dengan taring harimau kuno yang telah menjadi fosil, ditemukan di gua di bawah tanah. Taring ini tidak memiliki pemilik, telah kembali menjadi bagian dari bumi, dan kini siap untuk menjadi suara raungan Barongan Pertama.
Mpu Gana menghabiskan waktu berhari-hari hanya untuk membersihkan taring itu, menyingkirkan debu ribuan tahun, dan menggantinya dengan energi doa. Ia mengukir mantra perlindungan di setiap sisi taring, memastikan bahwa setiap kali Barongan membuka mulutnya, yang keluar bukanlah ancaman kosong, melainkan kutukan bagi kejahatan. Taring ini melambangkan kemampuan Barongan untuk "menggigit" hingga ke akar masalah spiritual, memisahkan kebaikan dari keburukan dengan presisi yang brutal namun adil.
Penyelesaian Gimbal dan Janggut
Rambut gimbal yang panjang—yang memberikan nama Barongan—dibuat dari ijuk pohon aren yang dicampur dengan rambut kuda hitam yang mati secara alami. Ijuk melambangkan kekasaran dan ketahanan, sedangkan rambut kuda melambangkan kecepatan dan mobilitas. Ketika Barongan bergerak, gimbalnya harus bergoyang seolah-olah seluruh hutan sedang bergemuruh. Proses penjahitan gimbal ini dilakukan pada malam-malam Kliwon, di bawah langit terbuka, agar setiap simpul dapat menyerap energi kosmik dan bukan hanya sekadar estetika belaka.
Detail ini sangat penting: Barongan bukan hanya bergerak, ia "bergetar" dengan kekuatan primordial. Setiap helai ijuk harus diikat dengan simpul yang sempurna, sebuah meditasi tentang keterhubungan. Jika satu simpul saja longgar, energi Barongan akan bocor. Oleh karena itu, Mpu Gana melakukannya dengan kesempurnaan seorang pertapa, memastikan bahwa struktur gimbal menjadi benteng energi yang padat dan tak tertembus. Ia menggunakan benang dari serat pohon Waru yang sangat kuat, dicelup dalam larutan kunyit dan kapur sirih, memberikan warna kekuningan yang melambangkan keemasan dan keagungan. Barongan Pertama harus terlihat seperti singa yang baru saja keluar dari lahar gunung berapi, dilumuri debu emas dan kekuatan api.
Mpu Gana menyadari bahwa gimbal adalah perpanjangan aura Barongan. Semakin panjang dan tebal gimbalnya, semakin luas pula wilayah spiritual yang dapat dilindunginya. Ia menambahkan sedikit sentuhan rahasia: beberapa helai rambut Mpu Gana sendiri di bagian paling dalam, sebagai persembahan diri, agar jiwanya menyatu dan menjadi salah satu penjaga Barongan tersebut. Ini adalah pengorbanan personal tertinggi, menjadikan artefak tersebut hidup dengan napas sang pencipta.
IV. Ritual Agung: Penitisan Roh Singa Barong
Penciptaan Barongan Pertama tidak diakhiri dengan pemahatan terakhir atau penempelan bulu. Puncak dari proses ini adalah upacara "Penitisan Roh"—ritual untuk memasukkan roh Singa Barong mitologis ke dalam media kayu dan serat. Ritual ini membutuhkan keselarasan waktu, tempat, dan niat yang absolut.
Pilihan Lokasi dan Waktu
Lokasi yang dipilih adalah pertemuan tiga aliran sungai (Tempuran), tempat energi air, tanah, dan udara bertemu secara harmonis. Waktunya adalah tengah malam di malam Suro, saat tabir antara dunia nyata dan gaib menipis. Mpu Gana mendirikan sebuah altar sederhana, dihiasi dengan tujuh jenis bunga dan lima warna sesajen, masing-masing melambangkan arah dan elemen kosmis yang berbeda.
Penyatuan Energi
Mpu Gana memulai dengan membersihkan topeng kayu menggunakan air bunga setaman dan asap dupa dari ratusan jenis kemenyan yang berbeda. Proses pembersihan ini memakan waktu enam jam, menghilangkan semua jejak kelelahan dan keraguan manusia dari topeng tersebut. Ia melukis mata Barongan dengan darah merpati putih—simbol dari kemurnian niat dan kemampuan untuk melihat keadilan tanpa bias.
Ia kemudian memanggil nama-nama leluhur yang telah menjaga hutan dan gunung. Ia berbicara kepada kayu, ijuk, dan bulu merak seolah-olah mereka adalah makhluk hidup, meminta mereka untuk menerima kehormatan menjadi tubuh bagi Singa Barong. Inti dari ritual ini terletak pada "Penghidupan Jantung" Barongan—sebuah kantung kecil berisi batu permata dari perut bumi dan beberapa butir beras yang telah dimantrai, diselipkan ke bagian belakang topeng yang tersembunyi, dekat dengan dahi pemakainya kelak. Batu permata melambangkan keabadian dan beras melambangkan kemakmuran yang akan dibawa oleh Barongan.
Saat fajar menyingsing, Mpu Gana mengucapkan mantra puncak. Mantra tersebut sangat panjang, sebuah gabungan dari bahasa Kawi kuno dan dialek lokal, menceritakan kembali sejarah kosmis dari awal penciptaan hingga saat itu. Suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena ia menjadi saluran bagi kekuatan yang jauh melampaui dirinya. Ketika mantra selesai, udara di sekitar Tempuran menjadi sangat berat. Penduduk desa yang mengamati dari kejauhan bersaksi bahwa mereka melihat bayangan singa raksasa melayang di atas Mpu Gana, sebelum akhirnya bayangan itu menukik, menghilang ke dalam topeng kayu.
Pada saat itu, topeng tersebut tidak lagi terasa dingin seperti kayu mati. Ia memancarkan panas yang lembut, sebuah tanda bahwa roh Singa Barong telah "menitis." Ini adalah kelahiran Barongan Pertama: perpaduan sempurna antara material bumi, niat suci manusia, dan energi kosmis ilahi. Topeng itu kini memiliki kehendaknya sendiri.
Proses Penitisan Roh juga melibatkan ritual penajaman inderawi. Mpu Gana mengambil minyak dari lima jenis tanaman obat yang tumbuh di tempat yang gelap dan tersembunyi. Minyak ini digunakan untuk meminyaki bagian dalam topeng, di tempat mata dan telinga pemakainya akan berada. Tujuannya adalah memastikan bahwa Barongan tidak hanya terlihat kuat, tetapi juga dapat mendengar keluh kesah rakyat yang paling lirih sekalipun. Ia harus menjadi pelindung yang peka, bukan sekadar monster yang menakutkan.
Detail terakhir dalam ritual adalah pemasangan lidah. Lidah Barongan Pertama dibuat dari serat pohon pisang Raja yang belum pernah berbuah, dicelup dalam tinta dari delapan jenis tumbuhan. Lidah ini dirancang agar Barongan memiliki suara yang berat, gemuruh yang bisa memecah keheningan spiritual. Ketika Barongan Meraung, raungan itu harus memiliki resonansi yang mampu mengusir roh jahat kembali ke tempat asalnya, sebuah "mantra" akustik yang sangat kuat. Mpu Gana menyadari, kekuatan Barongan adalah perpaduan antara keheningan (meditasi) dan gemuruh (ekspresi).
Wujud kasar Barongan Pertama, perwujudan kegarangan yang dibalut dengan keagungan spiritual.
V. Ujian Ketahanan dan Penaklukan Wong Srenggi
Topeng telah selesai, roh telah menitis. Langkah selanjutnya adalah membuktikan kekuatan Barongan Pertama. Mpu Gana tidak berniat memakainya sendiri. Ia mencari seorang pemuda yang memiliki hati paling murni, tetapi juga memiliki kekuatan fisik dan spiritual yang luar biasa: Ki Jaga Raga. Ki Jaga Raga telah berlatih tapa brata di bawah bimbingan Mpu Gana selama bertahun-tahun, mempersiapkan dirinya untuk tugas yang tidak ia ketahui.
Ritual Penyerahan
Penyerahan Barongan Pertama kepada Ki Jaga Raga adalah ritual sakral yang disebut "Angesti Jati". Ki Jaga Raga harus menjalani ujian puasa tujuh hari, tanpa tidur, dan terus-menerus membaca "Kidung Kebo Kenanga"—syair purba yang menceritakan perlawanan terhadap kezaliman. Setelah ujian selesai, Mpu Gana meletakkan Barongan di kepala Ki Jaga Raga.
Saat topeng itu menyentuh wajahnya, Ki Jaga Raga tidak merasakan berat fisik topeng, melainkan beban dari ribuan roh penjaga yang kini menumpang di pundaknya. Ia merasakan gelombang panas membakar dirinya, diikuti oleh kejelasan pandangan yang luar biasa. Ia tidak lagi melihat dunia seperti manusia; ia melihat medan energi, melihat ke mana arah Wong Srenggi bergerak.
Perlawanan di Tanah Pusaka
Perlawanan pertama Barongan Pertama terjadi di tengah desa yang paling parah dilanda musibah spiritual, sebuah kawasan yang dikenal sebagai Lembah Kekeringan. Wong Srenggi telah lama menjadikan tempat itu sarang mereka, menyebabkan sumur mengering dan anak-anak jatuh sakit. Ki Jaga Raga, di bawah wujud Barongan, memasuki lembah tersebut. Ia tidak berjalan; ia bergerak dalam tarian trance, langkahnya ringan namun penuh daya magis.
Ketika Wong Srenggi menyadari kedatangan Barongan, mereka menyerang dengan ilusi dan suara-suara menakutkan. Pohon-pohon tampak bergerak, bayangan berubah menjadi monster. Namun, Barongan Pertama tidak gentar. Bulu merak pada gimbalnya bergerak seperti seribu mata yang memantulkan setiap tipu daya. Taringnya mulai bersuara, mengeluarkan raungan pertama yang membelah malam. Raungan itu bukan hanya suara, melainkan gelombang kejut spiritual yang menghancurkan ilusi dan membuat energi Wong Srenggi menjadi padat dan terlihat.
Pertarungan berlangsung sengit, namun Barongan Pertama tak terkalahkan. Ia menggunakan bobot gimbalnya sebagai senjata, memutar dan membanting badannya, menghancurkan formasi energi jahat. Ki Jaga Raga, yang telah menyerahkan dirinya sepenuhnya pada roh Singa Barong, merasakan kekuatan yang luar biasa. Ia adalah Singa yang menari di atas kehancuran, melindungi yang lemah.
Akhirnya, Wong Srenggi yang paling kuat—Prajurit Setan Kaki Seribu—dipaksa untuk mundur, terkejut oleh kekuatan murni yang belum pernah mereka temui. Ketika Barongan Pertama berhenti menari, ia berdiri diam di tengah Lembah Kekeringan. Seketika, sumur-sumur yang kering mulai memancarkan air kembali. Pertanda itu jelas: Barongan Pertama telah berhasil. Ia tidak hanya mengusir kejahatan, ia juga mengembalikan keseimbangan alam.
Kisah ini menyebar dengan cepat. Topeng Barongan Pertama menjadi simbol pembebasan. Namun, Mpu Gana memastikan bahwa Barongan ini tidak pernah digunakan untuk tujuan pribadi atau politik. Ia harus tetap menjadi artefak ritual, hanya keluar ketika kekacauan spiritual mengancam harmoni desa. Ki Jaga Raga menjadi penari pertama, namun ia lebih dari sekadar penari; ia adalah Penjaga Jiwa Barongan, Suro Ageng, yang menjaga tradisi dan ritualnya tetap murni.
VI. Filosofi Mendalam Barongan: Makna di Balik Penari
Barongan Pertama adalah masterpice yang sarat makna. Filosofi di balik setiap komponennya adalah panduan bagi kehidupan spiritual masyarakat Jawa saat itu, dan masih relevan hingga kini. Keindahan Barongan terletak pada kontradiksi yang ia representasikan: kegarangan yang melindungi, keindahan yang menipu, dan bobot yang harus diangkat dengan ringan.
1. Kayu Walikukun dan Jati Londo: Keseimbangan Kekuatan
Perkawinan antara Kayu Walikukun (ketahanan) dan Jati Londo (kegarangan) mengajarkan bahwa otoritas sejati harus dibentuk oleh daya tahan terhadap penderitaan dan kemampuan untuk bertindak tegas bila diperlukan. Seorang pemimpin tidak boleh hanya lembut; ia harus keras seperti batu ketika menghadapi ancaman, namun bijaksana seperti air ketika mendidik rakyatnya. Topeng itu sendiri, meskipun menakutkan, memiliki struktur yang sangat halus di dalamnya, tempat wajah manusia bersembunyi. Ini melambangkan bahwa kekuatan terbesar datang dari keheningan batin, dari kemampuan untuk mengendalikan emosi yang meluap-luap.
2. Bulu Merak: Penglihatan Kosmik
Bulu merak tidak hanya menambah estetika; ia adalah simbol dari "Tricona Netra" (Mata Tiga). Barongan harus bisa melihat masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ia harus mampu mendeteksi niat jahat sebelum niat itu menjelma menjadi tindakan. Saat penari menggerakkan Barongan, gemerlap bulu merak yang tak terhitung jumlahnya menciptakan ilusi optik bahwa Barongan memiliki seribu mata yang selalu terjaga. Ini adalah pengingat bahwa kebenaran pada akhirnya akan selalu terlihat, sekecil apapun usaha manusia untuk menyembunyikannya.
3. Tarian dan Beban Fisik: Pengorbanan Sang Penjaga
Beban Barongan—beratnya topeng, panjangnya gimbal, dan penari yang harus membawa beban tersebut—adalah metafora sempurna tentang pengorbanan yang diperlukan untuk menjaga ketertiban. Penari Barongan menanggung beban komunitas, beban sejarah, dan beban spiritual. Tarian Barongan yang penuh hentakan keras dan gerakan memutar cepat melambangkan perjuangan tiada akhir melawan entropi dan kekacauan. Setiap hentakan kaki adalah penegasan kembali kedaulatan moral dan spiritual di atas tanah yang dipijak.
Filosofi ini ditekankan dalam pelatihan penari Barongan Pertama. Mereka tidak hanya melatih otot; mereka melatih tulang sumsum untuk menerima "panas" dari roh Barongan. Mereka harus memiliki fisik yang mampu menahan tekanan eksternal dan internal, sebuah persiapan untuk menjadi wadah kekuatan yang jauh lebih besar dari diri mereka sendiri. Mereka belajar bagaimana bernapas dalam irama Barongan, bukan dalam irama manusiawi mereka sendiri.
4. Kuda Lumping dan Jaranan: Kekuatan Rakyat Kecil
Meskipun Barongan adalah raja, ia tidak pernah tampil sendirian. Barongan Pertama selalu didampingi oleh penari kuda lumping atau jaranan. Kuda lumping melambangkan kekuatan rakyat kecil yang setia dan tulus, yang berjuang bersama rajanya. Mereka adalah simbol kegotongroyongan dan kerelaan berkorban. Tanpa dukungan kuda lumping, Barongan hanya akan menjadi kekuatan tanpa basis. Barongan Pertama mengajarkan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin diukur dari kesetiaan dan keberanian rakyat jelata yang ia lindungi.
VII. Jejak Barongan Pertama dalam Tradisi Kesenian
Barongan Pertama yang diciptakan Mpu Gana menjadi prototipe suci yang menginspirasi semua Barongan dan Singa Barong di masa depan. Meskipun replika dibuat di seluruh wilayah, Barongan Pertama tetap dipandang sebagai pusaka dengan kekuatan spiritual yang unik, disimpan di tempat rahasia dan hanya dikeluarkan untuk ritual pembersihan desa (Ruwatan Desa) atau saat krisis besar terjadi.
Evolusi dan Perubahan
Seiring berjalannya waktu, seni Barongan berevolusi. Di beberapa wilayah, ia menjadi lebih teaterikal, memasukkan unsur-unsur humor dan kritik sosial. Di wilayah lain, seperti Ponorogo, ia berkembang menjadi Reog dengan ukuran topeng yang jauh lebih besar dan kompleks. Namun, esensi kegarangan yang melindungi, yang ditanamkan oleh Mpu Gana pada Barongan Pertama, tidak pernah hilang.
Setiap penari Barongan modern, meskipun tidak secara sadar mengetahui ritual Mpu Gana, secara naluriah melakukan apa yang telah diajarkan oleh Barongan Pertama: Penyerahan diri total kepada roh topeng, penggunaan tubuh sebagai jembatan antara dunia nyata dan dunia spiritual, dan pengakuan bahwa tarian tersebut adalah bentuk doa yang paling keras dan paling berani.
Penjaga Tradisi
Kunci keberlangsungan Barongan Pertama terletak pada tradisi lisan dan ritual yang ketat. Keturunan Mpu Gana dan Ki Jaga Raga diwarisi tugas untuk menjaga keaslian ritual Penitisan dan Angesti Jati. Mereka memastikan bahwa setiap bahan yang digunakan, meskipun sudah modern, tetap memiliki padanan spiritual yang setara dengan Kayu Walikukun atau Bulu Merak suci.
Maka, ketika kita menyaksikan pertunjukan Barongan hari ini, kita tidak hanya melihat sebuah tontonan seni yang meriah. Kita melihat refleksi dari sebuah kebutuhan purba akan perlindungan dan otoritas moral. Kita melihat warisan dari Mpu Gana, yang pada masa kekacauan, memilih untuk tidak mengangkat senjata besi, tetapi mengangkat topeng kayu, membuktikan bahwa keberanian dan kekuatan sejati terletak pada simbol yang dipercayai oleh hati kolektif.
Barongan Pertama adalah legenda yang hidup—sebuah pengingat abadi bahwa di tengah segala perubahan zaman, kebutuhan manusia akan simbol kekuatan dan pelindung spiritual akan selalu membutuhkan seorang Singa Barong untuk meraung di tengah kegelapan.
Kisah tentang Barongan Pertama ini tidak hanya berfokus pada penciptaan artefak, tetapi juga pada pembentukan identitas spiritual sebuah komunitas. Mpu Gana menciptakan lebih dari sekadar topeng; ia menciptakan kerangka berpikir bagi generasi mendatang tentang bagaimana menghadapi ketakutan dan kejahatan. Ia menetapkan standar bahwa seni sejati harus memiliki tujuan moral yang tinggi.
Setiap goresan pada Barongan Pertama adalah sebuah mantra. Bagian dahi yang lebar melambangkan kebijaksanaan yang luas. Lubang hidung yang besar melambangkan kemampuan untuk "menghirup" dan mendeteksi bahaya. Bahkan warna merah yang dominan—yang didapat dari campuran getah dan pewarna alami—melambangkan keberanian yang membara, energi api yang memurnikan segala yang disentuhnya.
Warisan Mpu Gana berlanjut melalui ketelitian dalam detail. Ia mengajarkan bahwa dalam seni sakral, tidak ada yang namanya "detail kecil". Setiap simpul, setiap helai, setiap pewarnaan memegang beban kosmik. Inilah mengapa Barongan Pertama begitu berharga, bukan karena emas atau perak, tetapi karena kepadatan spiritual yang terakumulasi dari tirakat panjang sang pencipta.
Ketika topeng itu dipanggul, ia menjadi perwujudan Dewa Penjaga yang hadir di dunia manusia. Beban itu adalah kehormatan, dan gerakan tarian adalah bahasa purba yang memungkinkan Dewa berbicara tanpa kata-kata. Penari adalah "duta", dan Barongan adalah "pesan" yang disampaikan. Pesan itu selalu sama: Hadapi ketakutanmu, lindungi yang lemah, dan hiduplah dengan keberanian layaknya Singa Agung.
VIII. Kontemplasi Mpu Gana: Tujuh Lapisan Makna
Setelah Barongan Pertama berhasil menaklukkan Wong Srenggi, Mpu Gana menyepi kembali. Ia mencatat dalam lontar-lontar daun tal, yang kini hilang namun kisahnya diwariskan secara lisan, tujuh lapisan makna yang harus dipahami oleh setiap generasi penerus Barongan. Ketujuh lapisan ini merupakan inti filosofis yang menahan kekuatan topeng agar tidak disalahgunakan.
Lapisan Pertama: Sifat Kedirian (Hakikat Wajah)
Wajah Barongan, meskipun ganas, adalah cerminan dari "Kedirian" yang paling murni. Ia tidak berbohong. Ia tidak tersenyum palsu. Keganasannya adalah kejujuran. Mpu Gana menekankan bahwa manusia sering menyembunyikan kelemahan di balik senyum, tetapi Barongan menunjukkan kekuatan sejati melalui raut wajah yang tidak berkompromi dengan kejahatan. Lapisan ini mengajarkan transparansi dan integritas moral yang absolut.
Tekstur Kayu Jati pada wajah Barongan diukir dengan detail yang menunjukkan urat-urat otot tegang. Ini melambangkan usaha terus-menerus yang diperlukan untuk menjaga moralitas. Kebaikan bukanlah hal yang pasif; kebaikan adalah perjuangan aktif, sebuah pertarungan internal yang diukir pada wajah sang pelindung. Ukiran yang rumit di sekitar mata dan alis Barongan Pertama adalah representasi visual dari "Tapa Raga"—meditasi menggunakan tubuh yang lelah dan tegang, bukan hanya pikiran yang tenang.
Lapisan Kedua: Simpul Ikatan (Kekuatan Gimbal)
Setiap simpul yang mengikat ijuk dan rambut kuda pada gimbal Barongan Pertama melambangkan ikatan komunitas. Mpu Gana menekankan bahwa kekuatan Singa Barong bukan hanya milik topeng, tetapi milik semua orang yang diikat oleh ritual. Jika satu orang dalam komunitas melanggar ikatan moral, kekuatan Barongan akan melemah. Gimbal yang panjang dan berat adalah beban kolektif. Penari harus membawa beban ini, mengingatkan bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab bersama. Goyangan gimbal saat menari adalah perwujudan visual dari "Tali Persaudaraan" yang harus dijaga dari keretakan.
Lapisan Ketiga: Deru Nafas (Suara dan Raungan)
Barongan Pertama diajarkan untuk bersuara hanya saat dibutuhkan, tetapi ketika ia bersuara, suaranya harus menembus dimensi. Deru nafasnya, yang dihasilkan oleh penari, harus selaras dengan nafas bumi. Mpu Gana mengajarkan Ki Jaga Raga teknik pernapasan khusus (Prana Barong) yang memungkinkan udara yang dihembuskan Barongan terasa hangat dan memurnikan. Raungan Barongan adalah pengusiran, sebuah pernyataan bahwa kejahatan tidak memiliki tempat. Ini adalah suara otoritas spiritual yang tidak dapat dibantah.
Lapisan Keempat: Gerak Roda (Tarian Kontinyu)
Tarian Barongan Pertama adalah siklus tanpa akhir, melambangkan Roda Dharma yang terus berputar. Gerakan memutar dan menghentak cepat melambangkan perubahan yang konstan di dunia. Barongan harus selalu bergerak, karena kejahatan tidak pernah tidur. Ketenangan hanya dicapai di tengah gerakan, sebuah paradoks yang mengajarkan bahwa kedamaian batin harus dipertahankan meskipun dunia luar sedang bergejolak. Barongan adalah energi kinetik murni, kekuatan yang terus memompa kehidupan ke dalam komunitas yang lesu.
Mpu Gana menambahkan detail yang sangat spesifik pada bagian bawah Barongan: dua tiang penyangga yang terbuat dari bambu Petung, yang melambangkan "Dua Kaki Kebijaksanaan"—Stabilitas dan Fleksibilitas. Barongan harus berdiri tegak (stabilitas) tetapi mampu bergerak cepat dan tak terduga (fleksibilitas) untuk mengalahkan musuh yang licik. Bambu, meskipun ringan, memiliki kekuatan untuk melengkung tanpa patah, mengajarkan adaptasi yang tangguh.
Lapisan Kelima: Panji Merak (Kewaspadaan)
Setiap bulu merak adalah mata yang mencatat. Lapisan ini mengajarkan kewaspadaan yang tiada henti. Barongan tidak hanya berjuang; ia mengawasi. Ia mengajarkan masyarakat untuk selalu sadar akan potensi kejahatan, baik dari luar maupun dari dalam diri mereka sendiri. Bulu merak yang berwarna-warni juga melambangkan kompleksitas dunia dan manusia: tidak ada yang hitam atau putih murni, dan keindahan seringkali menjadi jebakan. Barongan harus mampu membedakan ilusi dari realitas.
Lapisan Keenam: Penjaga Portal (Hubungan dengan Alam Gaib)
Barongan Pertama adalah portal. Ia adalah jembatan yang menghubungkan alam manusia dengan alam leluhur dan dewa penjaga. Ketika tarian dimulai, Barongan membuka gerbang, memungkinkan energi suci mengalir masuk untuk melindungi desa. Mpu Gana memastikan bahwa topeng itu selalu dipelihara dengan minyak dan bunga pada hari-hari tertentu, agar portal itu tetap terbuka dan murni. Topeng tersebut menjadi titik fokus bagi semua doa dan permohonan spiritual komunitas.
Lapisan Ketujuh: Kehampaan di Balik Topeng (Ego Nol)
Lapisan paling mendalam. Mpu Gana menekankan bahwa di balik topeng yang begitu kuat dan megah, tidak ada apa-apa. Topeng itu sendiri hanyalah kayu. Kekuatan sejati berasal dari roh yang menitis dan niat suci sang penari. Lapisan ini mengajarkan "Ego Nol"—bahwa ketika Barongan menari, Ki Jaga Raga harus melupakan dirinya sendiri, melupakan nama, status, dan keinginannya. Ia hanya menjadi wadah, saluran energi. Jika penari Barongan menari dengan ego, topeng itu akan kehilangan kekuatannya, menjadi kayu mati yang berat dan hampa. Kekuatan Barongan Pertama adalah hasil dari kerendahan hati yang total dari sang pencipta dan sang pemakai.
Warisan Barongan Pertama adalah cetak biru untuk ritual dan kesenian di seluruh Jawa. Ia mengajarkan bahwa seni tidak terpisah dari spiritualitas, dan bahwa keindahan sejati hanya dapat lahir dari tirakat, pengorbanan, dan niat yang tulus untuk melayani kebaikan bersama. Sampai hari ini, setiap Barongan yang menari di jalanan atau panggung adalah bayangan, sebuah penghormatan kepada keagungan Barongan Pertama ciptaan Mpu Gana.