Di balik gemuruh tabuhan kendang dan riuhnya sorak penonton, terdapat satu sosok sentral yang menjadi poros seluruh pertunjukan: orang satu, penari yang mengendalikan dan menghidupkan Singa Barong. Kesenian Barongan, yang akarnya menghujam jauh dalam tradisi spiritual dan mitologi Jawa, bukanlah sekadar tontonan visual biasa. Ia adalah ritual perpindahan, sebuah wadah di mana batas antara manusia dan makhluk gaib menjadi kabur. Beban topeng raksasa, yang seringkali memiliki berat puluhan kilogram, hanyalah metafora kecil dari beban tanggung jawab spiritual dan fisik yang dipikul oleh penari tunggal tersebut.
Penari Barongan bukanlah sekadar aktor; ia adalah medium, penjaga tradisi, dan personifikasi roh leluhur yang dihormati. Proses yang dilalui untuk mencapai titik penjiwaan ini melampaui latihan koreografi biasa. Ini melibatkan puasa, meditasi, dan penanaman kesadaran bahwa saat topeng dadak merak dipasang, identitas pribadi harus dilebur, digantikan oleh entitas mitologis yang ganas, kuat, dan penuh misteri. Artikel ini menelusuri kedalaman peran vital sang penari tunggal Barongan, mengupas persiapan fisik yang ekstrem, kesiapan mental yang sakral, dan momen transformasi yang mendefinisikan seluruh pertunjukan.
I. Beban Fisik dan Teknikal: Anatomi Sang Penahan Jati Diri
Kekuatan seorang penari Barongan seringkali disalahpahami sebagai sekadar ketahanan otot leher. Padahal, peran tersebut menuntut kondisi atletis menyeluruh yang setara dengan atlet profesional, namun dengan dimensi ketahanan yang berbeda. Topeng Barongan, atau lebih spesifiknya dadak merak, adalah struktur kompleks yang terdiri dari kepala Singa Barong dan hiasan merak yang masif. Topeng ini dapat memiliki lebar hingga dua meter dan bobot bervariasi antara 30 hingga 50 kilogram, tergantung bahan dan umur topeng.
Persiapan Otot Leher dan Punggung Bawah
Titik fokus tekanan utama jatuh pada leher dan punggung bagian atas. Untuk menopang bobot seberat itu sambil terus bergerak secara dinamis—menggoyangkan kepala, membungkuk tiba-tiba, dan melompat—penari harus menjalani rezim latihan spesifik. Latihan ini sering diwariskan secara lisan dan praktis, mencakup sesi panjang menahan beban tanpa topeng, diikuti dengan latihan menggunakan topeng yang bobotnya ditingkatkan secara bertahap. Penari harus mampu mempertahankan pusat gravitasi yang stabil meskipun beban berada jauh di depan tubuh. Kekuatan otot trapezius dan tulang belakang servikal menjadi penentu utama antara pertunjukan yang sukses dan cedera yang serius.
Selain kekuatan statis, penari harus menguasai teknik keseimbangan dinamis. Setiap gerakan kepala harus diperhitungkan untuk memanfaatkan momentum, bukan melawannya. Ketika Singa Barong menggelengkan kepala dalam gerak ‘nggajak’ atau menghentakkan kaki, penari harus mampu meredam inersia bobot besar tersebut agar tidak limbung. Ini adalah tarian kekuatan murni yang disamarkan sebagai manifestasi spiritual. Hanya satu orang yang mampu mengkoordinasikan keseluruhan struktur ini, menjadikannya titik paling rentan dan paling kuat dalam seluruh kelompok kesenian.
Napasan dan Stamina Jangka Panjang
Pertunjukan Barongan tradisional dapat berlangsung selama berjam-jam, seringkali tanpa jeda yang signifikan bagi penari inti. Menahan bobot berat sambil menari di bawah terik matahari atau dalam suasana malam yang pengap menuntut kapasitas paru-paru yang luar biasa. Penari harus menguasai teknik pernapasan perut (diafragma) untuk memastikan suplai oksigen maksimal ke otot-otot yang tegang. Mereka tidak hanya bergerak, tetapi juga menahan beban yang secara konstan menekan dada dan membatasi ruang gerak. Stamina yang dibutuhkan melampaui maraton; ini adalah stamina yang dikombinasikan dengan tekanan fisik yang berkelanjutan. Setiap tarikan napas di dalam topeng yang terbatas udaranya adalah perjuangan, namun harus tampak mudah di mata penonton.
Topeng Singa Barong (Dadak Merak), representasi visual dari beban fisik yang dipikul oleh penari tunggal.
II. Ritual Penyucian Diri: Menyiapkan Raga Sebagai Pintu Gerbang
Sebelum kekuatan fisik dieksekusi, kekuatan spiritual haruslah dipersiapkan. Dalam tradisi Barongan, penari tunggal tidak hanya berlatih teknik, tetapi juga mengikat janji batin dengan entitas yang akan mereka undang. Kesiapan spiritual ini adalah pembeda utama antara sekadar pertunjukan teater dan sebuah ritual sakral yang mampu memunculkan fenomena kesurupan (trance) atau jathilan.
Puasa dan Pantangan
Banyak penari Barongan menjalani serangkaian puasa, seringkali puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air) atau puasa ngebleng (tidak makan, minum, atau tidur di waktu tertentu) menjelang pertunjukan penting. Tujuan puasa ini bukan hanya menahan lapar, tetapi membersihkan raga dari unsur duniawi, menjadikannya 'kosong' dan lebih peka terhadap energi spiritual. Pantangan-pantangan, seperti menghindari makanan tertentu atau menjaga tutur kata, merupakan bagian dari upaya mempertahankan kesucian batin. Energi yang disimpan dari puasa ini dianggap sebagai modal spiritual yang akan digunakan untuk menahan gempuran energi Barong yang datang dari dunia lain.
Penari harus mencapai kondisi manunggal—penyatuan. Penyatuan ini bukan sekadar peran, melainkan penyerahan total. Jika penyerahan ini tidak sempurna, risiko terburuknya adalah roh yang masuk tidak terkendali, atau, sebaliknya, roh menolak masuk, membuat pertunjukan terlihat hambar dan lemah. Sang penari menjadi perbatasan tipis antara dua alam.
Pewarisan dan Penarik Bantuan Spiritual
Hampir semua penari Barongan yang memegang peran utama adalah hasil pewarisan, baik dari garis keluarga atau melalui bimbingan guru spiritual (sesepuh). Pewarisan ini membawa serta jimat, pusaka, dan mantra khusus yang berfungsi sebagai pelindung dan penarik kekuatan. Sebelum memulai tarian, penari sering melakukan ziarah ke makam leluhur atau tempat keramat untuk memohon izin dan restu. Minyak wangi khusus, kemenyan, dan sesajen (persembahan) diletakkan di dekat topeng. Ritual ini menegaskan bahwa penari hanyalah wadah; kekuatan yang bergerak di dalam topeng adalah milik entitas yang lebih besar.
Penari harus melupakan dirinya sendiri. Ketika topeng itu terpasang, yang ada di sana bukan lagi nama pribadinya, tetapi Singa Barong yang hidup. Kegagalan mencapai kondisi ketiadaan diri ini dapat membahayakan, baik secara fisik maupun spiritual.
Intensitas persiapan batin ini mencerminkan betapa seriusnya masyarakat memandang peran Barongan. Ini adalah pekerjaan berat yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang; ia menuntut komitmen seumur hidup dan pengakuan terhadap dimensi gaib yang mengelilingi kehidupan sehari-hari. Penari tunggal adalah pahlawan yang secara sukarela menyerahkan kesadarannya demi kepentingan komunitas dan pelestarian tradisi.
III. Momen Transformasi: Getaran Pertama di Balik Topeng
Saat Gamelan mulai memecah kesunyian dengan irama yang semakin cepat, penari tunggal memasuki arena. Momen pemasangan topeng adalah titik krusial. Begitu tali pengikat dieratkan di belakang kepala, pandangan dunia penari seketika berubah. Penglihatan terbatas melalui celah kecil di mata topeng, suara menjadi teredam dan fokus, dan bau anyir kulit dan rambut kuda/merak yang menempel di dalam topeng memenuhi indra penciuman.
Sensasi Isolasi dan Suara
Di dalam topeng yang masif, penari mengalami isolasi sensorik yang aneh. Meskipun dikelilingi ribuan penonton, ia hanya mendengar gemuruh Gamelan secara langsung melalui struktur kayu dan kulit yang memantulkan suara. Gamelan—khususnya hentakan Jidor dan Kenong—berfungsi sebagai tali penghubung ke dunia luar, sekaligus menjadi panduan ritme spiritual. Irama yang berulang-ulang menciptakan gelombang getaran yang menembus ke dalam tubuh, memudahkan transisi ke kondisi trance.
Penari mulai membiarkan tubuhnya bereaksi secara naluriah terhadap musik. Awalnya, gerakan mungkin terkoordinasi dan koreografis. Namun, seiring intensitas irama meningkat dan energi dari sesajen mulai bekerja, penari memasuki fase pelepasan. Bobot topeng yang sebelumnya terasa membebani kini mulai terasa menyatu, seolah-olah topeng itu sendiri memiliki kemauan untuk bergerak. Ini adalah sinyal bahwa proses penjiwaan telah dimulai.
Energi yang memancar dari Singa Barong bukanlah energi yang lembut; ia liar, kuat, dan terkadang agresif. Penari harus mampu menyalurkan energi ini ke dalam setiap ayunan kepala dan hentakan kaki, menciptakan ilusi bahwa makhluk mitologis itu benar-benar hadir. Keringat membanjiri bagian dalam kostum, namun rasa lelah fisik tertunda oleh adrenalin dan pengaruh spiritual yang mendominasi kesadaran.
IV. Kesurupan dan Kontrol Diri: Jeda Tipis Antara Manusia dan Roh
Fenomena kesurupan (trance) adalah inti dari banyak pertunjukan Barongan, dan ini merupakan manifestasi paling ekstrem dari penyerahan diri sang penari tunggal. Meskipun terlihat liar dan tidak terkontrol, ada tingkat kontrol dan kesadaran yang sangat halus yang harus dijaga oleh penari.
Batas Kesadaran (Setengah Sadar)
Dalam kondisi kesurupan penuh, penari sering kali melakukan aksi di luar kemampuan manusia normal, seperti makan pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau menusuk diri dengan senjata tumpul (kemungkinan besar merujuk pada adegan Jathilan atau pertunjukan Kuda Lumping yang sering menyertai Barongan, dengan Singa Barong sebagai pemimpin spiritual). Meskipun tubuh dikuasai oleh entitas lain, sesepuh dan guru selalu mengingatkan bahwa sebagian kecil kesadaran harus tetap terjaga—ini adalah kunci keselamatan.
Kesadaran yang tersisa berfungsi sebagai jangkar, memastikan bahwa roh yang merasuki tidak membawa tubuh ke dalam bahaya fatal dan memastikan bahwa pertunjukan tetap berada dalam batas-batas ritual yang ditetapkan. Penari tunggal harus merasakan irama Gamelan bahkan ketika mata mereka terpejam atau pikiran mereka berada di alam lain. Gamelan adalah isyarat untuk memulai aksi tertentu dan juga isyarat untuk kembali ke kesadaran normal ketika ritual selesai. Penari adalah konduktor sekaligus baterai hidup bagi seluruh ritual.
Bayangkan berdiri tegak, memikul 40 kilogram di atas leher, berteriak tanpa suara (karena mulut tertutup topeng), dan dalam waktu bersamaan, mencoba memproses dua realitas: realitas panggung yang riuh dan realitas spiritual yang menuntut penyerahan total. Penari tunggal tidak hanya memerankan Singa Barong, tetapi ia menjadi gerbang bagi entitas tersebut untuk sejenak berjalan di bumi.
Dampak Psikologis Pasca-Pertunjukan
Ketika topeng dilepas dan roh diyakini telah ditarik kembali oleh sesepuh melalui mantra penenang, penari seringkali mengalami kelelahan yang luar biasa, baik fisik maupun mental. Ada periode disorientasi singkat. Ingatan tentang apa yang dilakukan selama kesurupan seringkali kabur atau hilang sama sekali. Proses pemulihan ini sama pentingnya dengan persiapan. Ritual penyucian kembali (ruwatan) dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada energi negatif atau roh asing yang tertinggal dalam tubuh penari.
Pekerjaan sebagai penari Barongan tunggal bukan hanya peran panggung, tetapi sebuah identitas spiritual yang melekat. Mereka membawa warisan yang berat, dan setiap penampilan adalah validasi dari kekuatan dan ketaatan mereka pada tradisi yang telah berusia ratusan tahun. Dedikasi terhadap peran ini menuntut pengorbanan personal yang mendalam, seringkali diabaikan oleh penonton yang hanya melihat keganasan dan keindahan visual di permukaan.
Siluet penari Barongan tunggal dalam pose dinamis yang memerlukan keseimbangan dan kekuatan ekstrem.
V. Filosofi Gerak: Bahasa Tubuh Singa Barong
Gerakan Singa Barong, yang dihidupkan oleh penari tunggal, bukanlah tarian improvisasi semata. Setiap hentakan, setiap goyangan kepala, dan setiap langkah memiliki makna filosofis dan naratif yang mendalam, berakar pada cerita Panji dan konflik abadi antara kebaikan dan kejahatan. Penari harus menguasai serangkaian jurus dasar yang di dalamnya terkandung simbolisme tertentu.
Jurus dan Ekspresi Keganasan
Salah satu gerakan paling ikonik adalah Jurus Ngamuk atau Nggereng. Dalam jurus ini, penari harus menghentakkan kakinya ke tanah berulang kali (simbol pelepasan energi bumi) sambil menggoyangkan topeng dengan gerakan cepat dan keras (simbol kemarahan Singa Barong). Meskipun gerakan ini terlihat seperti pelepasan total, penari harus memastikan topeng tidak lepas dan pusat keseimbangan tidak hilang, sebuah tugas yang menuntut konsentrasi ganda. Gerakan ini sering diiringi dengan teriakan teredam dari penari di dalam topeng, menambah intensitas emosi yang disampaikan kepada penonton.
Kemudian ada Gerak Kipas Merak, di mana hiasan bulu merak dibuka dan digoyang-goyangkan dengan lembut atau cepat, melambangkan keindahan sekaligus ancaman. Penari harus menggunakan gerakan leher dan bahu yang sangat presisi untuk mengendalikan getaran bulu merak tersebut, memastikan bahwa keanggunan tetap terjaga di tengah keganasan Singa Barong.
Kecepatan transisi antara gerakan lambat (representasi kebijaksanaan atau meditasi) dan gerakan cepat (representasi serangan atau amarah) sangat menentukan kualitas pertunjukan. Penari tunggal harus memiliki memori otot yang luar biasa untuk beralih antara kedua ekstrem ini dalam hitungan detik, mengikuti perubahan drastis dalam irama Gamelan. Keahlian ini adalah hasil dari puluhan tahun dedikasi dan latihan fisik yang tak terhitung jumlahnya. Mereka belajar bagaimana topeng bereaksi terhadap kecepatan angin, bagaimana gravitasi menariknya, dan bagaimana melawan kelelahan dengan tekad spiritual.
VI. Pewaris dan Tantangan Modern: Menjaga Api di Era Digital
Di masa kini, peran penari Barongan tunggal menghadapi tantangan yang berbeda. Tidak hanya mereka harus berjuang melawan beban fisik dan spiritual, tetapi juga melawan arus modernisasi yang mengancam pelestarian seni tradisional. Generasi muda semakin enggan untuk memikul beban fisik dan ritual yang ekstrem ini.
Regenerasi dan Seleksi Ketat
Proses mencari pengganti untuk posisi penari Barongan tunggal sangat ketat. Seorang calon tidak hanya dinilai dari kemampuan fisiknya tetapi juga dari kedalaman spiritual, kesabaran, dan kemampuan untuk menghormati ritual. Sekolah-sekolah Barongan (padepokan) menerapkan disiplin yang keras. Murid seringkali harus memulai dari peran yang lebih ringan (seperti Jathilan atau celeng) sebelum diizinkan menyentuh topeng utama. Masa magang untuk menjadi penari Barongan tunggal sejati bisa memakan waktu sepuluh hingga dua puluh tahun.
Tantangan terbesar adalah menemukan individu yang bersedia mengorbankan kenyamanan pribadi mereka. Penari Barongan tunggal seringkali adalah sosok yang hidup sederhana, menjaga kebersihan diri dan batin, serta tunduk pada aturan adat yang ketat, bahkan di luar panggung. Mereka adalah mercusuar tradisi dalam masyarakat yang bergerak cepat. Tanggung jawab mereka adalah memastikan bahwa ‘roh’ Singa Barong tidak pernah mati, meskipun tubuh penarinya berganti.
Adaptasi Tanpa Kehilangan Esensi
Meskipun Barongan beradaptasi dengan panggung modern dan pencahayaan, esensi peran penari tunggal tidak boleh berubah. Bobot topeng tetap, ritual penyucian tetap wajib, dan risiko kesurupan tetap nyata. Penari modern harus pandai menyeimbangkan tuntutan komersial (misalnya, durasi pertunjukan yang lebih pendek) dengan kebutuhan spiritual (ritual pembukaan dan penutup yang lengkap). Mereka menggunakan teknologi untuk mempromosikan seni mereka, namun mereka tidak pernah mengizinkan teknologi menggantikan sakralitas gerak.
Kisah tentang penari Barongan tunggal adalah kisah tentang ketahanan manusia yang luar biasa. Ia adalah individu yang memilih untuk mengikatkan nasibnya pada sebuah legenda yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ia memilih penderitaan fisik yang ekstrem dan tuntutan spiritual yang tak henti-hentinya demi satu tujuan: memastikan bahwa auman Singa Barong terus terdengar, mengingatkan komunitas akan akar mistis dan budaya mereka.
Setiap urat yang menegang di lehernya, setiap tetes keringat yang jatuh di dalam topeng, dan setiap napas yang terengah-engah adalah bagian dari persembahan suci. Ini bukan sekadar penampilan. Ini adalah tugas seumur hidup, di mana seorang manusia, melalui disiplin besi dan ketaatan spiritual, bertransformasi menjadi representasi fisik dari kekuatan alam dan mitologi Jawa. Mereka adalah jantung yang berdetak di balik topeng yang ganas, motor penggerak tradisi yang tak pernah padam. Mereka adalah 'orang 1' yang memikul beban tradisi, jiwa dan raga, di pundak mereka.
VII. Lebih Dalam Tentang Pengalaman Sensorik Penari
Untuk benar-benar memahami peran sentral penari Barongan tunggal, kita perlu memperluas pemahaman kita tentang apa yang dirasakan di balik topeng besar tersebut. Ini bukan hanya tentang rasa berat, tetapi tentang bagaimana sensorik diubah total, memaksa tubuh dan pikiran beroperasi dalam mode yang berbeda dari biasanya.
Keterbatasan Pandangan dan Auditori
Pandangan penari sangat terbatas, seringkali hanya berupa celah kecil di antara mata Singa Barong. Pandangan periferal hampir tidak ada. Hal ini memaksa penari untuk mengandalkan intuisi, memori spasial, dan suara Gamelan untuk mengetahui posisi mereka relatif terhadap penari lain (Jathilan) dan penonton. Hilangnya sebagian besar informasi visual ini justru meningkatkan sensitivitas terhadap getaran dan suara. Ritme Gamelan tidak hanya didengar, tetapi dirasakan melalui tulang dan otot, menjadi sinyal tak terucapkan yang memandu setiap langkah, setiap loncatan, dan setiap kibasan dadak merak. Penari Barongan belajar untuk 'melihat' dengan telinga dan 'merasakan' dengan seluruh tubuhnya.
Ketika topeng bergerak, udara di dalamnya bergerak. Penari harus mengatur napasnya agar tidak menghirup debu bulu merak atau serat ijuk yang mungkin terlepas dari rambut dadak. Ini adalah lingkungan yang keras dan menantang bagi paru-paru dan mata, menambah lapisan kesulitan pada tugas fisik yang sudah menuntut. Rasa sakit pada leher dan bahu akan muncul, tetapi dalam kondisi trance, rasa sakit itu didorong ke latar belakang, digantikan oleh fokus yang dingin dan intens pada penyelesaian ritual. Inilah yang membedakan penari sejati; kemampuan mereka untuk menekan alarm fisik yang berbunyi terus-menerus.
Rambut Dadak dan Hubungan Mistik
Komponen rambut pada dadak merak, seringkali terbuat dari ijuk, tali, atau rambut kuda yang panjang, memiliki bobot tersendiri dan menambah dimensi visual pada gerakan. Ketika penari menggerakkan topengnya, rambut ini harus mengikuti secara elegan. Mengendalikan goyangan rambut ini saat berlari atau berputar adalah teknik yang membutuhkan latihan bertahun-tahun. Rambut ini juga dianggap memiliki energi mistik tersendiri. Bagi penari, rambut dadak bukan sekadar hiasan; ia adalah perpanjangan dari roh Singa Barong, sebuah jembatan yang menghubungkan alam spiritual dengan panggung pertunjukan.
Setiap penari tunggal harus membangun hubungan yang unik dengan topengnya. Mereka akan merawatnya, membersihkannya dengan ritual khusus, dan berbicara dengannya sebelum dan sesudah pertunjukan. Topeng itu bukan alat peraga; ia adalah mitra hidup yang berbagi beban ritual dan menahan manifestasi spiritual. Ikatan emosional dan spiritual inilah yang memungkinkan seorang manusia biasa melakukan hal-hal yang tidak biasa selama berjam-jam tanpa henti.
Penyatuan antara penari, topeng, dan roh adalah trilogi yang tak terpisahkan dalam seni Barongan. Penari tunggal berdiri sebagai simpul vital yang menyatukan ketiga elemen tersebut. Tanpa dedikasi dan pengorbanan ekstrem dari individu ini—orang yang memilih untuk memikul beban fisik, spiritual, dan budaya—warisan Barongan akan kehilangan intinya. Mereka adalah penjaga rahasia gerakan, pewaris mantra kuno, dan sekaligus atlet yang menantang batas kemampuan tubuh manusia.
Melalui keringat, darah, dan semangat yang menyala, penari Barongan tunggal menegaskan kembali posisi seni rakyat sebagai benteng terakhir dari spiritualitas yang mendalam di tengah hiruk pikuk modernitas. Mereka adalah kesaksian hidup bahwa seni sejati menuntut pengorbanan total, dan bahwa kekuatan terbesar sering kali ditemukan di dalam penyerahan diri yang paling total. Warisan mereka berlanjut, satu topeng berat dan satu jiwa yang berani pada satu waktu.
Keberlanjutan tradisi ini sangat bergantung pada kemampuan setiap generasi penari untuk menjiwai perannya secara utuh. Mereka bukan hanya tampil di hadapan masyarakat, tetapi mereka juga menjaga keseimbangan kosmik dengan memberikan ruang bagi roh leluhur untuk berinteraksi. Ketika Barongan beraksi, yang dilihat penonton adalah ledakan energi purba yang dikendalikan dengan disiplin spiritual dan fisik yang tak terbayangkan. Dan di pusat pusaran energi itu, berdiri satu orang, orang yang rela melampaui batas dirinya demi meneruskan auman Singa Barong.
Setiap otot, dari jari kaki hingga pangkal leher, dilatih untuk merespons bukan hanya musik, tetapi juga panggilan spiritual. Mereka adalah perwujudan ketahanan budaya. Dalam dunia yang terus berubah, penari Barongan tunggal adalah pengingat konstan akan kekuatan tradisi, keindahan pengorbanan, dan misteri yang tetap hidup di tengah-tengah kita. Mereka adalah jantung berdenyut dari sebuah legenda yang abadi. Proses latihan yang dijalani seringkali sangat rahasia, diwariskan hanya kepada murid yang benar-benar terpilih. Latihan ini termasuk mandi kembang tujuh rupa di malam hari tertentu, berjalan jauh tanpa alas kaki untuk meningkatkan daya tahan, serta mengolah rasa sakit menjadi energi positif. Semua ini adalah bagian dari janji suci mereka untuk menjadi wadah yang layak bagi Singa Barong.
Terkadang, penari Barongan tunggal juga dituntut memiliki kemampuan penyembuhan (supranatural), karena setelah pertunjukan yang intens, mereka sering dimintai bantuan oleh penonton untuk mengatasi masalah non-medis. Ini semakin memperkuat status mereka bukan hanya sebagai seniman, tetapi juga sebagai figur spiritual dalam komunitas. Mereka harus menjaga integritas moral dan spiritual mereka 24 jam sehari, 7 hari seminggu, karena dianggap bahwa kesalahan kecil dalam perilaku sehari-hari dapat mengganggu hubungan mereka dengan roh yang mereka hormati, dan pada akhirnya, merusak kualitas pertunjukan.
Pekerjaan mereka adalah perwujudan totalitas. Totalitas dalam seni, totalitas dalam ritual, dan totalitas dalam pengorbanan. Dengan setiap pementasan, mereka tidak hanya menghibur, tetapi mereka melakukan tugas spiritual yang penting bagi kesejahteraan budaya dan batin komunitas mereka. Mereka adalah pahlawan yang topengnya menyembunyikan wajah mereka, tetapi gerakannya menceritakan kisah yang tak terucapkan dari keberanian dan kesetiaan abadi terhadap warisan nenek moyang.