BARONGAN MUNDU BUDOYO: MENELUSURI SAMUDRA FILOSOFI, SENI, DAN SPIRITUALITAS JAWA

PENDAHULUAN: MEMAHAMI BARONGAN SEBAGAI SIMPUL TRADISI

Barongan, sebagai salah satu manifestasi seni pertunjukan rakyat Jawa, bukan sekadar tarian atau drama visual. Ia adalah sebuah kompleksitas kultural yang menyimpan rapat-rapat sejarah, keyakinan spiritual, dan etika hidup masyarakat pendukungnya. Dalam konteks yang lebih spesifik, Barongan Mundu Budoyo mewakili sebuah aliran atau interpretasi yang menekankan pada kemurnian filosofis dan kesinambungan ritualistik, memposisikan seni ini tidak hanya sebagai hiburan, melainkan sebagai media komunikasi transendental antara dunia nyata dan dunia gaib, antara manusia dan para leluhur.

Untuk menyelami kedalaman Mundu Budoyo, kita harus terlebih dahulu mengurai akar kata dari ‘Barongan’ itu sendiri. Kata ‘Barong’ memiliki kaitan erat dengan kata ‘Bahru’ atau ‘Baru’ yang dalam beberapa interpretasi kuno merujuk pada kekuatan besar, atau manifestasi dewa pelindung. Berbeda dengan Barong di Bali yang umumnya diasosiasikan dengan kebaikan murni, Barongan Jawa (khususnya yang terpengaruh oleh Reog Ponorogo) seringkali menampilkan dualitas. Sosok singa raksasa atau Raja Hutan ini adalah representasi dari kekuatan alam yang liar, sekaligus simbol dari nafsu duniawi yang harus dikendalikan, sebuah dualisme yang menjadi jantung dari filosofi Jawa.

Mundu Budoyo secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai ‘Tumbuhnya Kebudayaan’ atau ‘Kebudayaan yang Mengakar’. Kelompok atau komunitas yang mengusung nama ini biasanya berkomitmen untuk melestarikan pakem (aturan baku) yang dianggap paling otentik, memprioritaskan aspek spiritual dan ritualistik di atas pertimbangan komersial. Dalam pertunjukan Mundu Budoyo, durasi, komposisi gamelan, dan urutan adegan (lakon) seringkali lebih panjang dan sakralistik dibandingkan pertunjukan Barongan kontemporer lainnya. Pemahaman ini membuka pintu bagi analisis yang lebih mendalam mengenai bagaimana kesenian ini menjadi penjaga gawang moralitas dan spiritualitas di tengah arus modernisasi yang kerap mengikis nilai-nilai luhur.

Barongan, dalam bingkai Mundu Budoyo, dilihat sebagai perwujudan Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya) yang diwujudkan melalui kesurupan atau Ndadi. Ndadi bukanlah sekadar trance akrobatik, melainkan sebuah puncak dari penyatuan energi, di mana penari melepaskan kesadaran pribadi untuk sementara waktu, membiarkan energi kosmik atau roh leluhur memasuki raga. Pengalaman ini bukan hanya dramatis bagi penonton, tetapi juga menjadi sarana penempaan spiritual yang intens bagi sang penari, sebuah proses Tapa Brata yang diwujudkan melalui gerak dan irama.

Ikonografi Kepala Barongan Representasi stilistik kepala Barongan dengan mata melotot dan hiasan mahkota bulu, menonjolkan aspek kekuatan dan mitologi.
Ikonografi Kepala Barongan: Manifestasi Raja Hutan dan Kekuatan Leluhur.

FILOSOFI INTI MUNDU BUDOYO: MEMBINGKAI KEKUATAN MITOLOGI

Filosofi Mundu Budoyo berakar kuat pada sinkretisme Jawa, yang memadukan ajaran Hindu-Buddha, animisme lokal, dan interpretasi Islam sufistik. Inti dari ajaran ini adalah pengakuan terhadap Jagad Gede lan Jagad Cilik (Makrokosmos dan Mikrokosmos). Barongan itu sendiri adalah perwujudan Jagad Gede, energi kosmik yang tak terbatas dan seringkali kacau (chaos), sedangkan penari yang mengendalikan Barongan adalah Jagad Cilik, entitas manusia yang berjuang mencapai keseimbangan dan pengendalian diri.

Dalam narasi Barongan, dualitas ini selalu tampak. Kepala Barong yang mengerikan (dengan mata melotot, taring, dan hiasan rambut yang menyerupai singa atau harimau Jawa purba) mewakili sifat angkara murka atau nafsu buas yang dimiliki setiap manusia. Tugas penari, melalui gerak, irama, dan ritual, adalah menaklukkan nafsu tersebut, atau setidaknya menyalurkannya menjadi energi kreatif. Inilah yang membedakan pertunjukan Barongan yang sekadar hiburan dengan pertunjukan Mundu Budoyo yang memiliki dimensi ritual yang mendalam. Penguasaan Barongan bukan sekadar kekuatan fisik untuk mengangkat topeng berat, tetapi penguasaan spiritual terhadap ‘roh’ yang diyakini bersemayam dalam pusaka topeng tersebut.

Anatomi dan Simbolisme Ikonografi

Setiap detail pada Barongan Mundu Budoyo memiliki makna yang tak terpisahkan. Bagian Kedok (topeng utama) biasanya dibuat dari kayu Jati atau Trembesi yang dipilih dengan ritual khusus, seringkali mengambil kayu dari pohon yang dianggap memiliki aura mistis atau penunggu. Ukiran pada kedok harus mematuhi pakem yang ketat, termasuk bentuk hidung (yang menyerupai burung Garuda atau Kucingan), mata (yang harus tajam dan menakutkan), dan hiasan mahkota dari rambut kuda atau ijuk.

Rambut Kuda (Gimbal): Simbolisasi dari kekuasaan alam yang tak terkendali. Dalam banyak kepercayaan Jawa, rambut yang tidak diatur atau gimbal diasosiasikan dengan kesaktian atau kemampuan spiritual yang tinggi. Proses memasang rambut kuda ini seringkali disertai sesaji dan doa-doa khusus. Panjang dan kualitas rambut kuda Barongan Mundu Budoyo seringkali menjadi penanda kemapanan spiritual kelompok tersebut.

Warna Merah dan Emas: Warna merah yang dominan pada wajah dan jubah Barongan melambangkan Bhavana (kekuatan, keberanian, dan darah kehidupan), sementara warna emas atau kuning pada hiasan mahkota dan gigi melambangkan kemuliaan dan kebijaksanaan (kuning sebagai simbol dewa Wisnu dalam beberapa interpretasi). Kesatuan dua warna ini melambangkan Raja yang memiliki kekuatan (merah) dan kearifan (emas) dalam memerintah.

Kain Penutup (Gembong): Kain yang menutupi tubuh penari yang menyatu dengan topeng, melambangkan kulit dan tubuh dari makhluk raksasa tersebut. Kain ini harus kuat dan lentur, memungkinkan penari melakukan gerakan ekstrem. Pemilihan motif pada Gembong seringkali menggunakan pola Batik Parang Rusak atau Semen, yang melambangkan perjuangan melawan keburukan dan kesuburan abadi.

Penghayatan terhadap ikonografi ini memastikan bahwa setiap pertunjukan Mundu Budoyo adalah sebuah ritual visual yang penuh makna. Bahkan gerakan kecil Barongan, seperti mengibas-ngibaskan kepala atau menggeram, adalah upaya komunikasi non-verbal mengenai energi yang sedang dihadirkan, bukan sekadar akting.

MUNDU BUDOYO SEBAGAI PAKEM DAN DISIPLIN SPIRITUAL

Apa yang membedakan Mundu Budoyo dari pertunjukan Barongan lainnya adalah penekanan pada disiplin spiritual yang mengikat para pelakunya, mulai dari penari Barongan (Penggigit), penari Jathilan, hingga penabuh Gamelan. Ini bukan sekadar latihan fisik, tetapi proses Laku Prihatin yang harus dijalankan.

Laku dan Pusaka

Di Mundu Budoyo, topeng Barongan sering diperlakukan sebagai Pusaka yang memiliki energi atau khodam (pendamping spiritual). Perawatan terhadap pusaka ini melibatkan ritual puasa, sesaji (sajen), dan pembersihan (jamasan) pada malam-malam tertentu (misalnya, Malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon). Penari yang akan membawakan Barongan harus menjalani puasa mutih atau puasa ngrowot (hanya makan tumbuh-tumbuhan) beberapa hari sebelum pertunjukan untuk membersihkan raga dan jiwa, sehingga mereka layak menjadi wadah bagi energi pusaka tersebut.

Prinsip Suluk (perjalanan spiritual) menjadi panduan bagi penari. Gerakan yang mereka lakukan di atas panggung adalah visualisasi dari perjuangan spiritual dalam mencari jati diri. Ketika Barongan mulai bergerak dengan liar dan agresif, itu adalah representasi dari Nafsu Amarah yang sedang meronta. Ketika Barongan tunduk dan patuh pada Warok atau Pimpinan kelompok, itu adalah simbol kemenangan atas diri sendiri.

Peran Warok dan Jathilan

Meskipun Barongan adalah tokoh sentral, peran pendukung sangat vital. Warok (seringkali pemimpin spiritual kelompok) bertindak sebagai pengendali utama dan penyeimbang energi. Warok tidak hanya memastikan Barongan tampil prima, tetapi juga bertindak sebagai ‘dukuh’ (penjaga desa) spiritual yang menjaga batas antara yang terlihat dan yang tidak terlihat. Kata-kata dan gestur Warok mengandung mantra dan isyarat yang menenangkan atau memprovokasi, tergantung pada kebutuhan ritual.

Sementara itu, Jathilan (penari kuda lumping), dalam konteks Mundu Budoyo, melambangkan prajurit berkuda yang gagah berani, tetapi juga rentan terhadap pengaruh magis. Gerakan Jathilan yang monoton dan ritmis berfungsi sebagai jembatan bagi penonton dan penari untuk masuk ke dalam suasana trans. Jathilan seringkali menjadi yang pertama mengalami Ndadi massal, yang kemudian memicu puncak energi pada Barongan.

Skema Gerak Tari Barongan Representasi visual dari pola gerak dinamis dan lingkaran spiritual dalam tarian Barongan, dengan fokus pada energi Gamelan dan interaksi antar penari. Warok Pola Gerak Dinamis dan Interaksi Barongan
Skema Gerak Tari Barongan: Pola gerak melingkar melambangkan siklus kehidupan dan interaksi spiritual di arena.

WIRAGA, WIRAMA, WIRASA: TRILOGI GERAK DALAM BARONGAN

Dalam pertunjukan Mundu Budoyo, kualitas pertunjukan dinilai berdasarkan trilogi Jawa: Wiraga (raga/gerak), Wirama (irama/musik), dan Wirasa (rasa/penghayatan). Ketiganya harus menyatu sempurna untuk menghasilkan pengalaman pertunjukan yang memuaskan secara estetika dan spiritual.

Wiraga: Detail Gerak dan Postur

Gerak Barongan Mundu Budoyo dikenal sangat dinamis namun terkontrol. Meskipun tampak buas, setiap gerakan memiliki pakem gerak yang dijaga. Gerak utama meliputi: Gajah-Gajahan (gerakan menirukan gajah yang berjalan lambat namun berat), Olah Jenggot (menggerak-gerakkan jenggot atau rambut dengan cepat sebagai tanda kemarahan), dan Ngelambak (gerakan melambai-lambai yang menunjukkan transisi antara kesadaran dan ketidaksadaran). Penekanan diberikan pada kekuatan leher dan bahu, karena topeng Barongan yang terbuat dari kayu tebal bisa memiliki bobot antara 30 hingga 50 kilogram, bahkan lebih, menuntut stamina luar biasa dan penghayatan yang total.

Penguasaan Wiraga juga mencakup kemampuan Kepruk, yaitu membenturkan topeng dengan keras ke lantai atau tanah. Aksi ini, yang tampak kasar, sebenarnya adalah teknik komunikasi spiritual, berfungsi untuk memanggil atau melepaskan energi tertentu. Dalam Mundu Budoyo, kepruk dilakukan dengan penuh kesadaran dan perhitungan, bukan sekadar akrobatik murah. Kegagalan dalam melakukan kepruk dengan benar bisa diartikan sebagai kurangnya penghayatan dan ketidakpatuhan terhadap roh pusaka.

Wirama: Harmoni Gamelan dan Puncak Ndadi

Wirama adalah jiwa dari Barongan. Gamelan yang mengiringi Barongan Mundu Budoyo biasanya menggunakan laras Pelog atau Slendro, yang disajikan dengan komposisi yang kuat dan menghentak. Instrumen yang sangat vital adalah Kendang Gedhe (kendang besar) dan Bende (gong kecil yang berbunyi nyaring). Kendang berfungsi sebagai jantung ritmis, menentukan tempo dan emosi, sedangkan Bende memberikan aksentuasi agresif yang memicu semangat dan, yang lebih penting, memicu Ndadi (kesurupan).

Pola irama Gamelan Barongan berbeda dari Gamelan Keraton yang cenderung halus. Irama Barongan sangat repetitif, keras, dan semakin lama semakin cepat, menciptakan gelombang energi hipnotik. Beberapa komposisi Gendhing (musik gamelan) wajib dalam Mundu Budoyo antara lain Gendhing Kebo Giro atau Gendhing Gajah-Gajahan, yang dimainkan pada awal pertunjukan untuk membuka dimensi spiritual.

Wirasa: Penghayatan Spiritual (Ndadi)

Wirasa adalah puncak dari segala upaya. Dalam Mundu Budoyo, Ndadi (kesurupan) dianggap sebagai manifestasi Wirasa yang paling murni. Ndadi bukanlah hal yang bisa dipaksakan; ia adalah anugerah spiritual yang datang sebagai hasil dari persiapan fisik dan batin yang sempurna. Ketika penari Ndadi, mereka bisa melakukan tindakan yang melampaui kemampuan manusia biasa, seperti memakan pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau kebal terhadap senjata tajam. Tindakan-tindakan ini bukan ditujukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai bukti visual bahwa raga manusia telah dipinjam oleh entitas yang lebih besar.

Proses Ngrasuk (memasuki) roh ini melibatkan mantra-mantra yang diucapkan Warok dan getaran ritmis Kendang. Setelah roh memasuki raga, tugas Warok adalah mengendalikan energi tersebut agar tidak merusak diri penari atau mengganggu penonton. Kualitas Wirasa dalam Mundu Budoyo diukur dari seberapa dalam dan intens penyatuan yang terjadi, serta seberapa murni energi spiritual yang dipertunjukkan.

KONTEKS SOSIAL DAN KEKINIAN BARONGAN MUNDU BUDOYO

Meskipun berakar kuat pada tradisi dan ritual, Barongan Mundu Budoyo juga merupakan entitas sosial yang dinamis. Peran Barongan di desa-desa Jawa tidak hanya sebatas seni, tetapi juga berfungsi sebagai perekat sosial, penjaga moralitas, dan bahkan sarana penyelesaian masalah komunal.

Barongan sebagai Media Komunikasi Spiritual

Dalam komunitas yang masih kental dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, Barongan sering diundang untuk melakukan ritual Bersih Desa atau Tolakan Bala (penolak bala). Pertunjukan Barongan pada ritual ini diyakini mampu membersihkan desa dari roh jahat atau energi negatif. Peran Barongan bukan lagi sebagai tokoh drama, melainkan sebagai media ritual. Gamelan dimainkan sepanjang malam, dan Janturan (pembacaan mantra atau narasi awal) diucapkan dengan intonasi yang khidmat, memohon izin kepada Dhanyang (penunggu) desa.

Komitmen Mundu Budoyo terhadap aspek ritual ini seringkali membuat mereka kurang populer di panggung komersial yang menuntut kecepatan dan modernisasi. Namun, justru komitmen inilah yang membuat Mundu Budoyo dianggap sebagai ‘bank data’ budaya oleh para peneliti dan budayawan, karena mereka mempertahankan lakon, musik, dan pakem yang telah ditinggalkan oleh grup-grup lain demi efisiensi pertunjukan.

Tantangan Pelestarian di Era Global

Pelestarian Barongan Mundu Budoyo menghadapi tantangan signifikan. Tantangan utama adalah regenerasi. Disiplin spiritual yang ketat, termasuk puasa dan laku, membuat banyak generasi muda enggan terlibat secara mendalam. Selain itu, biaya perawatan pusaka dan Gamelan yang mahal, serta ketergantungan pada Warok yang memiliki ilmu spiritual tinggi, juga menjadi kendala. Ketika seorang Warok wafat, seringkali dibutuhkan waktu bertahun-tahun bagi penerusnya untuk mencapai tingkat spiritual yang sama.

Kelompok Mundu Budoyo berusaha mengatasi tantangan ini dengan melakukan pendekatan edukatif. Mereka mulai mendokumentasikan pakem gerak dan irama, serta mengajarkan filosofi di balik Ndadi, bukan hanya atraksinya. Mereka berusaha menjelaskan bahwa Ndadi adalah puncak dari pengendalian diri, bukan tanda kekacauan, sehingga relevan dengan pencarian spiritual kontemporer.

Simbolisasi Keseimbangan dalam Pertunjukan Representasi Yin dan Yang versi Jawa, yang menunjukkan dualitas (Baik dan Buruk) yang harus diseimbangkan dalam seni Barongan. Dualitas Kekuatan dan Kearifan
Dualitas Kekuatan dan Kearifan: Representasi filosofi keseimbangan dalam Barongan Mundu Budoyo.

ANALISIS MENDALAM TERHADAP KOMPOSISI MUSIK DAN STRUKTUR RITUAL

Tidak mungkin membahas Mundu Budoyo tanpa menyelami struktur musik pengiringnya yang menjadi nyawa spiritual dari keseluruhan pertunjukan. Musik bukan sekadar latar belakang; ia adalah katalis yang membuka portal Ndadi dan mengarahkan narasi spiritual. Struktur musikal dalam Mundu Budoyo harus dipahami dalam konteks Gendhing Pambuka (lagu pembuka) dan Gendhing Ngrasuk (lagu pemanggil).

Peran Ritmis Kendang dan Kempul

Dalam Gamelan Barongan, Kendang (terutama Kendang Ageng) berfungsi ganda: sebagai komandan ritmis dan sebagai alat komunikasi gaib. Pola tabuhan Kendang dalam Mundu Budoyo seringkali mengikuti pola Kanjeng Bima, yang sangat cepat, keras, dan penuh jeda tak terduga (sinkopasi). Pola ini dirancang untuk mengganggu kesadaran rasional penari dan penonton, memaksa mereka masuk ke mode hipnotik. Kendang tidak hanya dimainkan, tetapi ‘dipercakapkan’ oleh penabuh, yang seringkali juga harus memiliki laku spiritual yang mumpuni.

Selain Kendang, Kempul (gong ukuran sedang) memainkan peran krusial. Kempul berfungsi untuk memberikan aksentuasi pada setiap siklus Gendhing, tetapi dalam konteks Ndadi, tabuhan Kempul yang keras dan berulang-ulang sering diyakini sebagai ‘panggilan’ bagi roh-roh pelindung Barongan untuk hadir. Dalam beberapa daerah, Kempul yang digunakan haruslah Kempul pusaka yang telah diturunkan antar generasi.

Struktur Pertunjukan Ritualistik

Pertunjukan Mundu Budoyo selalu diawali dengan serangkaian ritual yang tidak boleh dilewati:

  1. Sembah Saji (Sesaji): Menghadirkan sesaji di hadapan pusaka Barongan, berisi bunga tujuh rupa, kopi pahit, rokok klembak menyan, dan kadang-kadang kepala ayam atau kambing. Ritual ini adalah wujud penghormatan kepada roh penjaga pusaka.
  2. Janturan dan Mantra Pembuka: Warok membacakan narasi asal-usul Barongan, seringkali dalam bahasa Jawa Kuno, diiringi Gamelan Pambuka yang lembut. Janturan ini memohon keselamatan dan izin kepada alam semesta.
  3. Tari Pembuka (Jathilan atau Bujang Ganong): Penari kuda lumping dan Bujang Ganong (kera merah lincah, simbol kecerdikan dan kelicikan) memasuki arena, berfungsi sebagai pemanas dan pemancing energi awal.
  4. Ndadi Awal (Klimaks Minor): Beberapa penari Jathilan mulai Ndadi, menciptakan kekacauan terkendali.
  5. Puncak: Kedatangan Barongan: Barongan muncul saat Kendang mencapai puncak tempo. Ndadi masif terjadi, dan fokus beralih pada upaya Warok menundukkan kekuatan liar Barongan, yang melambangkan pengendalian diri tertinggi.

Setiap fase ini tidak hanya dramatis, tetapi juga berfungsi sebagai Katarsis Komunal. Energi yang dilepaskan melalui Ndadi diyakini mampu menyerap dan membersihkan energi negatif yang dibawa oleh masyarakat.

DETAIL PROSES PEMBUATAN PUSAKA BARONGAN: SAKRALISASI MATERIAL

Proses pembuatan Barongan dalam tradisi Mundu Budoyo adalah sebuah ritual panjang, bukan sekadar kerajinan tangan. Kesakralan dimulai dari pemilihan material hingga proses akhir penyempurnaan.

Pemilihan Kayu dan Waktu Pengerjaan

Kayu yang digunakan harus memenuhi kriteria tertentu: Kayu Jati Tua, Kayu Trembesi, atau Kayu Asem yang tumbuh di tempat wingit (angker) atau di dekat mata air. Pemilihan pohon seringkali melibatkan konsultasi spiritual untuk memastikan pohon tersebut ‘merelakan’ dirinya. Ketika pohon ditebang, ritual Nuwun Sewu (meminta izin) harus dilakukan, disertai sesaji dan doa agar roh penunggu pohon tidak marah.

Pengerjaan ukiran Kedok hanya boleh dilakukan pada waktu-waktu tertentu, seringkali dimulai pada Malam Suro (Tahun Baru Jawa) atau hari lahir (weton) sang Warok atau sesepuh kelompok. Pengukir (undagi) harus dalam keadaan bersih (suci) dan seringkali berpuasa selama proses mengukir, memastikan bahwa setiap guratan pahat bukan hanya seni, tetapi juga penyaluran energi batin.

Pewarnaan dan Pemasangan Rambut

Pewarnaan tradisional Mundu Budoyo menggunakan bahan alami, seperti getah pohon atau bubuk mineral, meskipun kini pewarna kimia juga digunakan. Namun, ritual pengolesan warna merah dan kuning emas tetap dilakukan dengan penuh hati-hati. Setelah Kedok selesai diukir dan diwarnai, proses kritis selanjutnya adalah pemasangan Gimbal (rambut Barongan).

Rambut yang digunakan idealnya adalah rambut dari ekor kuda jantan hitam (Jawa: Kuda Sembrani) yang kuat, melambangkan kegagahan. Pemasangan rambut ini adalah puncak ritual, di mana Gamelan dibunyikan perlahan, dan Warok mendoakan agar roh penjaga (khodam) yang diturunkan oleh leluhur masuk dan bersemayam di dalam topeng. Setelah proses ini, topeng secara resmi diakui sebagai Pusaka dan tidak boleh lagi disentuh sembarangan, kecuali oleh orang yang memiliki otoritas spiritual tertentu.

KETERKAITAN MUNDU BUDOYO DENGAN MITOS LOKAL JAWA TIMUR

Barongan Mundu Budoyo, meskipun memiliki akar yang mirip dengan Reog Ponorogo atau Jaranan Kediri, memiliki interpretasi mitologis yang khas yang terkait erat dengan cerita-cerita lokal di wilayah Jawa Timur, khususnya area tapal kuda.

Legenda Singo Barong dan Perang Kediri

Salah satu narasi utama yang dipertahankan Mundu Budoyo adalah kisah Singo Barong, makhluk buas yang dipaksa tunduk oleh seorang pahlawan atau raja. Dalam beberapa interpretasi, Singo Barong diasosiasikan dengan kekuatan pemberontakan yang menentang kekuasaan kerajaan Majapahit atau Kediri. Ia adalah simbol dari kekuatan rakyat jelata yang liar dan sulit diatur, namun juga memiliki potensi heroik jika diarahkan dengan benar.

Dalam lakon yang dibawakan Mundu Budoyo, seringkali terdapat adegan di mana Barongan menyerang secara brutal, menciptakan kekacauan total di arena. Kekacauan ini adalah dramatisasi dari peperangan batin atau konflik sosial yang terjadi di masa lalu. Penundukan Barongan oleh Bujang Ganong (yang mewakili kecerdikan) atau oleh Warok (yang mewakili kearifan spiritual) adalah metafora kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (kejahatan), tetapi kemenangan ini tidak menghancurkan kejahatan; ia hanya mengendalikannya.

Filsafat Sang Hyang Widhi dan Dualitas Alam

Mundu Budoyo sangat kental dengan konsep Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa dalam konteks Jawa-Hindu) yang manifestasinya dapat ditemukan dalam dualitas Barongan. Barongan yang besar dan menakutkan mencerminkan aspek Rudra (penghancur) dari Dewata, sedangkan Warok dan Jathilan mencerminkan aspek Shiwa (pemelihara) dan Vishnu (pencipta/pelindung). Seluruh pertunjukan adalah sebuah narasi kosmik yang mengajarkan bahwa penciptaan dan kehancuran adalah dua sisi mata uang yang harus hadir dalam harmoni.

Dualitas ini juga terlihat dalam penggunaan instrumen Gamelan. Kendang yang keras dan memprovokasi (Rudra) diseimbangkan oleh suara Saron dan Gong yang tenang dan berwibawa (Vishnu). Pertunjukan yang berhasil, menurut pakem Mundu Budoyo, adalah pertunjukan yang mampu menyeimbangkan kekerasan fisik Barongan dengan keindahan spiritualitas Ndadi.

PENDALAMAN TENTANG NDADI DAN FENOMENA KERASUKAN

Fenomena Ndadi dalam Barongan Mundu Budoyo adalah fokus utama, yang membedakannya dari seni pertunjukan murni. Ndadi bukan sekadar efek panggung, melainkan sebuah kondisi psikologis dan spiritual yang dikaji secara mendalam dalam tradisi ini.

Tahapan Kerasukan (Ngrasuk)

Ndadi terjadi melalui tahapan yang sistematis. Tahap pertama adalah Pralina Kesadaran, di mana penari fokus sepenuhnya pada irama Gamelan, mengosongkan pikiran (seperti dalam meditasi). Tahap kedua adalah Penyaluran Energi, di mana getaran ritmis Kendang dan mantra Warok mulai ‘menarik’ energi ke dalam raga penari. Tahap ketiga, Puncak Ndadi, adalah saat roh atau energi pusaka mengambil alih. Dalam keadaan ini, penari tidak merasakan sakit, panas, atau kelelahan. Mereka bergerak dengan kekuatan yang tidak proporsional dengan fisik mereka.

Mundu Budoyo menekankan bahwa roh yang merasuk biasanya adalah roh leluhur penjaga pusaka atau roh hewan yang diwakili oleh Barongan (Singa atau Harimau). Ini adalah komunikasi timbal balik: leluhur mendapatkan kesempatan untuk bermanifestasi dan berinteraksi dengan keturunannya, sementara keturunan mendapatkan kekuatan dan perlindungan spiritual.

Pengendalian Ndadi: Peran Warok dan Dukun

Meskipun Ndadi adalah puncak ritual, ia harus dikontrol. Jika Ndadi dibiarkan liar, penari bisa cedera atau roh yang merasuk bisa menjadi destruktif. Di sinilah peran Warok sebagai Pamong (pengasuh atau penjaga) sangat vital. Warok memiliki Aji Panglimunan atau ilmu pengendalian roh. Mereka menggunakan cambuk (pecut) atau air suci untuk mengarahkan roh. Cambuk Warok bukanlah alat pukul; ia adalah simbol otoritas spiritual yang menghasilkan suara keras (seperti petir) yang diyakini mampu menyadarkan atau menenangkan roh yang terlalu agresif.

Penyadaran (pemulihan) dari Ndadi juga dilakukan dengan ritual. Penari disiram air kembang tujuh rupa, dibacakan doa penutup, dan dipegangi oleh beberapa rekan penari. Proses ini disebut Pamulihan. Setelah sadar, penari biasanya tidak ingat apa pun yang mereka lakukan selama Ndadi, menunjukkan pemisahan total antara kesadaran pribadi dan manifestasi roh.

MUNDU BUDOYO SEBAGAI KHAZANAH BAHASA JAWA KUNO DAN SASTRA LISAN

Barongan Mundu Budoyo tidak hanya melestarikan seni gerak dan musik, tetapi juga menjadi wadah pelestarian bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan sastra lisan (tembang dan janturan).

Janturan dan Tembang Macapat

Bagian awal pertunjukan, Janturan, sering menggunakan bahasa Jawa Kuno yang sangat formal dan puitis, menceritakan genealogi Barongan hingga hubungannya dengan Brawijaya atau Raja Airlangga. Penggunaan bahasa Kawi ini bukan sekadar gaya-gayaan, melainkan upaya untuk menciptakan suasana sakral yang menghubungkan masa kini dengan masa lampau yang agung.

Selain Janturan, Mundu Budoyo sering mengintegrasikan Tembang Macapat, seperti Kinanthi atau Sinom, yang dinyanyikan oleh sinden dengan iringan Gamelan. Tembang-tembang ini berisi petuah moral (piwulang) atau narasi epik. Misalnya, tembang yang berisi nasehat tentang pengendalian Sedulur Papat Lima Pancer (empat nafsu utama manusia dan pusat kesadaran) sering dinyanyikan saat Barongan sedang Ndadi, mengingatkan penonton dan penari akan inti filosofis dari kekacauan yang terlihat.

Oleh karena itu, Mundu Budoyo berfungsi sebagai perpustakaan berjalan. Warok, yang harus menguasai semua mantra dan Janturan, adalah penjaga lisan dari ribuan kata dan nasehat yang mungkin sudah punah di kalangan masyarakat umum.

KESIMPULAN DAN HARAPAN PELESTARIAN JATI DIRI

Barongan Mundu Budoyo adalah sebuah mahakarya budaya yang jauh melampaui definisinya sebagai pertunjukan rakyat. Ia adalah sistem keyakinan, disiplin spiritual, dan repositori sejarah lisan Jawa. Komitmen Mundu Budoyo untuk mempertahankan pakem, ritualisasi, dan disiplin laku prihatin memastikan bahwa seni ini tetap relevan sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara manusia dan spiritualitas.

Melalui Wiraga yang berat, Wirama yang memprovokasi, dan Wirasa yang mendalam melalui Ndadi, Mundu Budoyo terus menyuarakan pesan universal tentang pengendalian diri, dualitas, dan upaya manusia untuk mencapai penyatuan dengan kekuatan kosmik. Pelestarian Barongan jenis ini memerlukan dukungan komunal dan akademik, bukan hanya untuk menjaga bentuk fisiknya, tetapi yang lebih penting, untuk melestarikan kedalaman filosofi yang tersemat dalam setiap gerakan, setiap tabuhan, dan setiap helai rambut dari pusaka Barongan itu sendiri. Seni ini adalah warisan abadi yang mengajarkan bahwa di balik kebuasan rupa, terdapat kebijaksanaan yang tak terhingga.

Kekuatan Barongan Mundu Budoyo terletak pada kemampuannya untuk terus hidup, beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan intinya yang sakral. Selama masih ada Warok yang menjalankan laku, dan Kendang yang terus menabuh irama pemanggil Ndadi, maka jiwa dan semangat Barongan sebagai penjaga budaya dan spiritualitas Jawa akan tetap abadi.

Kelompok-kelompok seperti Mundu Budoyo adalah pilar terakhir yang menjaga keaslian ritual, memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya melihat replika Barongan, tetapi mengalami dan merasakan getaran energi dari Singo Barong yang sesungguhnya. Mereka mengajarkan bahwa seni sejati adalah manifestasi dari keyakinan terdalam, dan pertunjukan terbaik adalah ketika batas antara penampil dan yang dipertunjukkan telah menghilang, menyisakan hanya komunikasi murni antara raga dan roh.

Melalui pemahaman yang menyeluruh terhadap Barongan Mundu Budoyo, kita belajar bahwa kebudayaan Jawa adalah samudra yang tak pernah kering dari makna dan simbol. Setiap elemen dari pertunjukan ini, mulai dari ukiran taring hingga pola tabuhan gamelan yang paling rumit, merupakan sebuah bab dalam kitab filsafat hidup Jawa yang diajarkan tanpa kata, melainkan melalui getaran dan gerak yang menyentuh jiwa.

Demikianlah, Mundu Budoyo berdiri tegak, bukan hanya sebagai warisan, tetapi sebagai mercusuar spiritual yang menerangi jalan bagi mereka yang mencari kebenaran di tengah hiruk pikuk dunia modern. Kekuatan mereka adalah kejujuran mereka terhadap tradisi, dan keindahan mereka adalah manifestasi sempurna dari perpaduan mistik dan estetika.

🏠 Homepage