Barongan Mata Dua: Simbolisme, Sejarah, dan Mistik Tarian Agung Nusantara
Ilustrasi Simbolik Kepala Barongan Mata Dua, mewakili kekuatan dualistik dan penjagaan.
I. Pengantar: Definisi dan Kedudukan Barongan Mata Dua
Kesenian Barongan, sebagai salah satu manifestasi budaya Jawa yang paling energik dan penuh daya magis, telah lama menjadi pilar penting dalam struktur sosial spiritual masyarakat. Di antara berbagai varian topeng dan wujud Barongan yang tersebar dari Jawa Timur hingga Jawa Tengah, munculah entitas spesifik yang dikenal dengan sebutan Barongan Mata Dua. Istilah ini merujuk pada Barongan yang penekanannya diletakkan pada sepasang mata yang tajam, besar, dan sering kali memiliki makna filosofis yang sangat dalam, berbeda dengan beberapa Barongan yang memiliki mata berlipat ganda atau bentuk mata yang lebih abstrak.
Barongan Mata Dua bukan sekadar topeng pertunjukan, melainkan representasi konkret dari roh pelindung, simbol keberanian, dan manifestasi kekuasaan yang bersifat dualistik. Dalam banyak tradisi, Barongan jenis ini dikaitkan erat dengan tokoh mitologis yang memiliki kemampuan melihat ke masa lalu dan masa depan, atau yang mampu menyeimbangkan energi positif (kebaikan) dan energi negatif (penolak bala). Kesenian ini tidak pernah berdiri sendiri; ia terjalin rapat dengan ritual adat, musik Gamelan khusus, dan sistem kepercayaan lokal yang mengakar kuat pada konsep animisme dan dinamisme pra-Islam, yang kemudian berasimilasi dengan ajaran Hindu-Buddha dan Islam sinkretis.
Menganalisis Barongan Mata Dua memerlukan pendekatan multidisipliner—mulai dari sejarah seni rupa ukir topeng, etnomusikologi Gamelan pengiring, hingga antropologi ritual. Fokus pada "Mata Dua" adalah kunci. Sepasang mata ini adalah jendela menuju jiwa Barongan, yang dipercayai dihuni oleh roh atau danyang penjaga wilayah. Energi yang dipancarkan oleh dua mata ini menjadi pusat interaksi antara alam manusia (profan) dan alam spiritual (sakral) selama pertunjukan berlangsung.
1.1. Terminologi dan Varian Regional
Di wilayah tertentu, Barongan Mata Dua dikenal dengan nama yang berbeda, tergantung pada dialek dan mitos lokal. Di daerah Blora, misalnya, Barongan adalah figur sentral Reog. Di Jawa Timur, Barongan memiliki kemiripan kuat dengan Singo Barong. Meskipun wujud fisiknya bervariasi (ukuran, warna surai, jumlah taring), esensi dari "Mata Dua" ini sering kali merujuk pada Barongan yang memiliki karakteristik: **Keberanian (Wani)** dan **Kewaspadaan (Waspada)**. Dualitas mata menunjukkan kemampuan Barongan untuk melihat dunia fisik dan dunia gaib secara bersamaan.
"Barongan Mata Dua adalah perwujudan visual dari konsep loro-loroning atunggal, dua hal yang pada dasarnya satu. Kedua mata tersebut melihat realitas yang berbeda, namun esensinya bersatu dalam tugas menjaga keseimbangan kosmik masyarakat."
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam bagaimana Barongan Mata Dua diukir, dihidupkan melalui ritual sajen dan mantra, dan bagaimana fungsinya berevolusi dari penjaga hutan atau raja spiritual menjadi ikon seni pertunjukan yang menghadapi tantangan modernisasi.
II. Genealogi Mitologi: Akar Sejarah dan Hubungan Kosmik
Untuk memahami kedudukan Barongan Mata Dua, kita harus kembali ke akar mitologis yang jauh sebelum era kerajaan-kerajaan besar Islam. Asal-usul Barongan sering dihubungkan dengan figur mitos prasejarah yang melambangkan kekuatan alam liar, khususnya singa, harimau, atau makhluk hibrida yang menakutkan namun dihormati. Barongan adalah simbol kekuatan buas yang telah dijinakkan atau diikat oleh ritual, menjadikannya pelindung alih-alih pemangsa.
2.1. Jejak Prasejarah dan Pengaruh Animisme
Dalam kepercayaan animisme kuno, roh-roh leluhur dan roh penjaga alam diyakini bersemayam di benda-benda tertentu, termasuk topeng. Barongan Mata Dua diperkirakan berasal dari kebutuhan masyarakat agraris untuk memohon perlindungan dari roh-roh jahat yang dapat merusak panen atau membawa penyakit. Prosesi Barongan adalah ritual ruwatan skala besar, di mana kehadiran sosok monster bermata dua ini berfungsi sebagai penangkal yang lebih kuat daripada roh jahat mana pun.
Konsep Mata Dua ini mungkin juga merupakan peninggalan dari pemujaan terhadap figur dwi-rupa atau dewa-dewa berkepala dua (dalam konteks mitologi Asia Timur) yang melambangkan awal dan akhir, terang dan gelap. Dalam konteks Jawa, Mata Dua menyiratkan bahwa Barongan tersebut memiliki wawasan yang utuh, tidak terdistorsi oleh bias tunggal.
2.1.1. Hubungan dengan Singo Barong dan Reog Ponorogo
Meskipun Barongan Mata Dua memiliki kekhasan, ia sering kali berbagi DNA mitologis dengan Singo Barong yang lebih terkenal (seperti pada Reog Ponorogo). Singo Barong merepresentasikan Prabu Klana Sewandana atau Raja Singa dari Wengker. Barongan Mata Dua, dalam beberapa interpretasi, adalah manifestasi yang lebih purba atau lebih fokus pada aspek spiritual murni, ketimbang aspek naratif sejarah kerajaan.
- Singo Barong: Lebih fokus pada narasi historis (perebutan Putri Kediri).
- Barongan Mata Dua: Lebih fokus pada fungsi ritualistik (penolak bala, penjaga batas, danyang desa).
Dalam pertunjukan Mata Dua, fokus utama adalah pada kerasukan (trance) dan dialog spiritual non-verbal antara Barongan dan penonton, yang menunjukkan kedekatan Barongan tersebut dengan alam gaib.
2.2. Simbolisme Kosmologi: Keseimbangan Jagat
Dua mata pada Barongan ini adalah representasi dari dualitas kosmik yang fundamental dalam filosofi Jawa: Rwa Bhineda atau Manunggaling Kawula Gusti (persatuan antara hamba dan Tuhan, atau yang lebih relevan di sini: persatuan antara dua kekuatan yang berlawanan). Mata Kanan melihat kebaikan, siang, matahari, dan kehangatan (maskulin/positif). Mata Kiri melihat kejahatan, malam, bulan, dan kesejukan (feminin/negatif).
Ketika Barongan bergerak, pergerakan dua mata ini mengendalikan energi pertunjukan. Jika penari (Jathil atau Pembarong) berhasil menguasai roh Barongan, maka ia mampu menyatukan dua pandangan ini menjadi satu kebijaksanaan. Kegagalan mengontrol roh seringkali ditandai dengan gerakan mata yang kacau atau kerasukan yang destruktif, yang memerlukan intervensi Pawongan (dukun atau pemimpin spiritual). Ini menunjukkan betapa kritikalnya fungsi pandangan ganda tersebut.
III. Anatomi Sakral: Konstruksi dan Simbolisme Mata Dua
Proses pembuatan topeng Barongan Mata Dua adalah ritual tersendiri yang sarat makna. Bahan baku, cara pemotongan, hingga pewarnaan, semuanya tunduk pada aturan adat yang ketat. Topeng ini tidak dibuat sembarangan, melainkan harus melalui proses pembersihan spiritual dan pemberkatan.
3.1. Material dan Pemberkatan Topeng
Topeng Barongan Mata Dua harus terbuat dari kayu pilihan yang dianggap memiliki energi spiritual tinggi, seringkali kayu dari pohon besar seperti Jati atau Dadap yang tumbuh di tempat keramat (Hutan Larangan). Kayu ini harus diambil pada hari tertentu (misalnya, Selasa Kliwon atau Jumat Legi) setelah melakukan sesaji (persembahan) kepada roh penjaga pohon.
Setelah diukir, topeng akan melalui proses penyucian dengan air dari tujuh sumber atau kembang tujuh rupa. Proses ini memisahkan material fisik (kayu) dari roh yang akan diundang untuk bersemayam di dalamnya. Tanpa ritual ini, topeng hanyalah benda mati.
3.1.1. Detail Ukiran Dua Mata
Ukiran dua mata adalah bagian paling krusial. Mata harus berukuran besar, menonjol, dan biasanya dicat dengan warna kontras (putih untuk bola mata, hitam untuk pupil, dan merah menyala untuk garis tepi). Dalam beberapa tradisi, pupil mata terbuat dari cermin kecil atau batu kristal yang diyakini dapat memantulkan energi jahat (tolak bala).
- Posisi Mata: Harus sedikit miring ke atas, memberikan kesan waspada dan siap menerkam.
- Warna Mata Merah: Melambangkan keberanian, kemarahan ilahi, dan kekuatan yang tidak terkendali.
- Pupil Cermin: Melambangkan bahwa Barongan adalah cermin bagi roh-roh lain, yang mampu mengidentifikasi musuh sejati.
3.2. Mahkota, Surai, dan Taring
Selain mata, elemen lain dari Barongan Mata Dua memperkuat simbolisme kekuasaan dualistiknya:
A. Surai (Rambut): Surai Barongan sering terbuat dari ijuk, tali raffia, atau bulu binatang (dahulu kala, bulu harimau atau kuda). Surai yang tebal dan liar melambangkan hutan belantara yang belum tersentuh, sumber kekuatan alami yang brutal dan murni. Dalam Mata Dua, surai sering dibelah menjadi dua bagian simetris, sekali lagi menekankan keseimbangan.
B. Taring: Taring yang menonjol dan tajam (biasanya empat taring besar) melambangkan kemampuan Barongan untuk menghancurkan, memakan, dan membasmi kejahatan. Taring adalah senjata fisik, sementara Mata Dua adalah senjata spiritual.
C. Mahkota (Ukel): Mahkota kecil di atas kepala Barongan Mata Dua (jika ada) melambangkan otoritas kerajaan atau pimpinan spiritual. Ini menunjukkan bahwa meskipun buas, Barongan ini berada di bawah kendali spiritual yang lebih tinggi, seringkali dikaitkan dengan roh leluhur yang dihormati.
IV. Ritualitas dan Pertunjukan: Menghidupkan Sang Penjaga
Pertunjukan Barongan Mata Dua adalah sebuah ritual liminal—sebuah momen di mana batas antara dunia manusia dan dunia roh menjadi kabur. Proses ini diatur oleh serangkaian persembahan, gerakan tari yang spesifik, dan musik pengiring yang menciptakan suasana hipnotis.
4.1. Persiapan dan Sajen Barongan
Sebelum pertunjukan dimulai, wajib dilakukan ritual nyekar (ziarah) ke makam leluhur atau tempat keramat yang diyakini menjadi asal roh Barongan. Kemudian dilanjutkan dengan persiapan sajen (persembahan) di lokasi pertunjukan. Sajen untuk Barongan Mata Dua sangat spesifik, karena ia adalah entitas yang haus energi spiritual dan material:
- Nasi Tumpeng Hitam: Melambangkan kekuatan bumi dan kegelapan (aspek malam dari Mata Dua).
- Ayam Ingkung Hitam/Putih: Simbol kurban, yang harus disajikan utuh (utuh dalam arti spiritual, tidak terpisah).
- Kembang Tujuh Rupa: Untuk membersihkan area dari energi negatif.
- Kopi Pahit dan Manis: Representasi dualitas rasa dan pengalaman hidup.
- Dupa dan Kemenyan: Asapnya berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara roh dan Pawongan.
Tanpa sajen yang lengkap dan ikhlas, dipercaya bahwa Barongan tidak akan mau ndadi (kerasukan) atau, jika kerasukan terjadi, roh yang masuk adalah roh yang tidak dikenal dan berpotensi merusak.
4.2. Musik Pengiring: Gamelan Barongan
Musik Gamelan yang mengiringi Barongan Mata Dua memiliki irama yang lebih cepat, keras, dan repetitif dibandingkan dengan Gamelan klasik Keraton. Instrumentasi didominasi oleh kendang, saron, dan gong besar. Ritme gebyogan yang intens ini berfungsi untuk menginduksi kondisi trans pada penari dan penonton.
4.2.1. Peran Kendang dan Gong
Kendang: Adalah jantung dari irama, memberikan aba-aba spiritual. Perubahan tempo kendang menandakan perubahan suasana hati Barongan (dari tenang menjadi marah, atau dari penolak bala menjadi pelindung). **Gong:** Gong besar adalah penanda batas waktu dan ruang ritual. Suara gong yang berat dan bergaung diyakini mampu membuka portal spiritual, memungkinkan roh Mata Dua memasuki tubuh Pembarong (penari Barongan).
4.3. Gerakan Tari dan Kerasukan (Ndadi)
Tarian Barongan Mata Dua dicirikan oleh gerakan yang masif, energik, dan seringkali imitasi dari perilaku singa yang buas—menggaruk tanah, menggerakkan kepala secara sporadis, dan mengaum. Ketika Barongan ndadi, Penari kehilangan kesadaran dan digantikan oleh roh yang bersemayam di topeng.
Gerakan spesifik yang menunjukkan fungsi Mata Dua:
- Gerakan Memutar Kepala: Melambangkan Barongan sedang memindai dua alam, memastikan tidak ada roh jahat yang mendekat.
- Menghentak Kaki (Jejak): Energi kinetik ini diyakini menyalurkan kekuatan spiritual ke tanah, membersihkan area dari energi negatif.
- Tatapan Tajam: Selama trans, pandangan Barongan seringkali sangat fokus dan diarahkan ke titik tertentu di kejauhan, seolah-olah berkomunikasi dengan entitas tak terlihat.
V. Filosofi dan Etika: Kedalaman Spiritual Mata Dua
Barongan Mata Dua, di luar aspek pertunjukan, adalah pelajaran etika dan filosofi yang mendalam mengenai bagaimana manusia harus berinteraksi dengan kekuatan yang lebih besar dan bagaimana mengelola dualitas dalam kehidupan.
5.1. Konsep Jagad Cilik dan Jagad Gedhe
Dua mata Barongan mencerminkan konsep Jawa tentang **Jagad Cilik** (dunia mikro, yaitu diri manusia) dan **Jagad Gedhe** (dunia makro, yaitu alam semesta dan kosmos). Barongan berfungsi sebagai media yang menyatukan kedua jagad ini. Melalui kerasukan, manusia (Jagad Cilik) berinteraksi langsung dengan kekuatan alam raya (Jagad Gedhe).
Filosofi Mata Dua mengajarkan bahwa untuk mencapai kesempurnaan hidup (kasampurnan), manusia harus memiliki pandangan ganda: melihat realitas fisik (mata duniawi) dan realitas spiritual (mata batin). Barongan adalah model ideal dari kebijaksanaan ini, karena ia memiliki kemampuan melihat keduanya secara simultan.
5.1.1. Etika Pembarong
Menjadi Pembarong (penari) Barongan Mata Dua membutuhkan tingkat etika dan spiritualitas yang tinggi. Seorang Pembarong harus menjalani puasa, meditasi, dan laku prihatin (tirakat) untuk membersihkan dirinya. Tujuannya adalah memastikan bahwa saat roh Barongan masuk, tubuh penari cukup suci untuk menampung energi murni, bukan roh liar yang merusak. Kegagalan etika Pembarong dapat menyebabkan kekacauan spiritual di masyarakat.
Oleh karena itu, dua mata ini juga menjadi pengingat bagi penari dan masyarakat: setiap tindakan dilihat oleh dunia fisik dan dinilai oleh alam spiritual.
5.2. Barongan Sebagai Penjaga Tapal Batas
Secara tradisional, Barongan Mata Dua dipanggil untuk menjaga tapal batas desa atau kerajaan. Kehadirannya berfungsi sebagai peringatan visual dan spiritual bahwa wilayah tersebut dijaga oleh entitas yang kuat. Fungsi Mata Dua sangat penting dalam peran ini: Mata pertama melihat ancaman fisik (penyerang, pencuri); Mata kedua melihat ancaman gaib (guna-guna, santet, roh jahat yang dikirim).
Upacara penyambutan Barongan Mata Dua saat ia pertama kali dibawa masuk ke desa baru seringkali sangat khidmat, melibatkan ritual permohonan izin kepada danyang lokal agar Barongan diterima sebagai sekutu, bukan sebagai pesaing spiritual.
VI. Dinamika Kontemporer: Adaptasi dan Tantangan Pelestarian
Dalam era modern, kesenian Barongan Mata Dua menghadapi tantangan besar. Meskipun daya tariknya sebagai seni pertunjukan semakin populer, kedalaman ritualistiknya terancam terkikis oleh tuntutan komersialisasi dan hiburan massal.
6.1. Komersialisasi dan Hilangnya Sajen
Banyak kelompok seni Barongan kontemporer yang tampil di panggung wisata atau acara perkotaan cenderung menghilangkan atau meminimalkan ritual sajen dan prosesi penyucian yang panjang. Mereka fokus pada aspek visual yang spektakuler (api, akrobatik, musik keras) dan mengurangi durasi trans spiritual.
Konsekuensi dari hilangnya ritual ini adalah pergeseran fungsi Barongan: dari penjaga spiritual (sakral) menjadi murni hiburan (profan). Para sesepuh adat khawatir bahwa jika Barongan Mata Dua kehilangan rohnya, ia akan kehilangan kekuatannya sebagai penolak bala dan hanya menjadi topeng kosong.
"Ketika Barongan Mata Dua menari hanya untuk tepuk tangan, ia melupakan mengapa ia diciptakan. Dua matanya tidak lagi melihat roh jahat, tetapi hanya mencari uang dari penonton." — Kutipan dari seorang sesepuh Barongan di Jawa Tengah.
6.2. Adaptasi Gaya dan Media Baru
Di sisi lain, kaum muda pelestari Barongan berupaya keras mengadaptasi kesenian ini agar relevan. Mereka menggabungkan gerakan Barongan tradisional dengan koreografi modern, menggunakan kostum yang lebih ringan, dan bahkan memadukan musik Gamelan dengan instrumen modern.
Adaptasi ini penting untuk menarik generasi baru, namun kelompok purist (pemurni) menekankan bahwa esensi Mata Dua—yakni koneksi spiritual yang mendalam—tidak boleh dikompromikan. Solusi yang banyak diterapkan adalah membagi pertunjukan menjadi dua jenis:
- Pertunjukan Ritual (Khusus Adat): Dilakukan di tempat keramat, dengan sajen lengkap, dan fokus pada trans.
- Pertunjukan Hiburan (Komersil): Dilakukan di panggung umum, dengan fokus pada koreografi dan musik.
6.3. Tantangan Regenerasi Pembarong
Proses maguru (belajar dari guru) untuk menjadi Pembarong sejati sangat berat dan membutuhkan komitmen spiritual. Dalam masyarakat yang semakin cepat, sulit menemukan generasi muda yang mau menjalani puasa dan tirakat yang diperlukan. Pelestarian Barongan Mata Dua kini sangat bergantung pada guru-guru tua yang bersedia mewariskan pengetahuan spiritual, bukan hanya teknik menarinya.
VII. Kedalaman Etnografi: Warna, Gerakan, dan Simbolisme yang Lebih Rinci
Untuk memahami sepenuhnya kompleksitas Barongan Mata Dua, kita harus membedah setiap elemen terkecil, dari warna hingga pola gerakan, yang semuanya mengandung kode-kode budaya yang kaya.
7.1. Palet Warna Sakral Barongan Mata Dua
Warna pada topeng Barongan Mata Dua jarang dipilih secara acak. Setiap warna memiliki resonansi spiritual dan fungsi magis:
- Merah Menyala (Abang): Warna dasar topeng. Simbol keberanian (wani), kemarahan suci (murka), dan energi hidup (roh). Merah adalah warna yang paling mudah menarik perhatian roh.
- Emas/Kuning (Jingga): Digunakan pada surai, mahkota, atau alis. Simbol kekuasaan, keagungan, dan cahaya dewa. Warna ini menunjukkan bahwa kekuatan Barongan berasal dari entitas yang mulia.
- Putih (Pethak): Digunakan untuk bola mata dan taring. Simbol kesucian, kejujuran, dan kesediaan untuk membersihkan energi kotor.
- Hitam (Ireng): Digunakan pada pupil dan garis tepi. Simbol kegelapan, dunia gaib, dan kekuatan yang tersembunyi. Hitam adalah warna penolak bala yang paling kuat.
Kombinasi intens antara Merah dan Hitam, yang diimbangi dengan Emas, menciptakan visual yang kuat, yang menurut kepercayaan lokal, mampu membuat roh jahat menjauh hanya karena melihatnya.
7.2. Tiga Jenis Gerakan Utama Barongan
Gerakan Barongan Mata Dua dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama, yang masing-masing berhubungan dengan fungsi Mata Dua:
1. Sabetan (Gerakan Menerjang): Gerakan cepat, sporadis, dan agresif yang meniru serangan Singa. Ini adalah perwujudan dari mata yang melihat ancaman dan bergerak cepat untuk membasminya. Gerakan ini paling sering terjadi saat terjadi trans penuh.
2. Lincakan (Gerakan Waspada): Gerakan melompat kecil, mengendus, dan memutar kepala dengan hati-hati. Ini mencerminkan fungsi pengintaian Mata Dua, memastikan lingkungan aman dan mendeteksi keberadaan roh lain sebelum bereaksi.
3. Mlaku Alus (Gerakan Halus/Menenangkan): Gerakan lambat, berirama, yang terjadi di awal atau akhir pertunjukan. Gerakan ini menunjukkan Barongan sedang dalam kondisi tenang, berfungsi sebagai penjaga yang damai, mengingatkan bahwa kekuatan sebesar apa pun harus diimbangi dengan ketenangan batin. Ini adalah saat Mata Dua berfungsi sebagai pemandu, bukan sebagai petarung.
VIII. Integrasi Sosial dan Ekonomis Barongan Mata Dua
Jauh melampaui fungsinya sebagai tontonan ritual, Barongan Mata Dua memiliki peran penting dalam perekonomian dan integrasi sosial masyarakat desa yang masih memegang teguh adat istiadat.
8.1. Barongan Sebagai Pusat Ekonomi Kreatif
Kelompok seni Barongan, terutama yang memiliki reputasi spiritual kuat, sering kali menjadi mesin penggerak ekonomi mikro. Industri terkait meliputi:
- Pengukir Topeng (Pande Barong): Para ahli ukir yang memahami detail spiritual Mata Dua dan jenis kayu yang dibutuhkan.
- Pembuat Kostum dan Aksesori: Penjahit dan pengrajin yang membuat kostum Jathil, warok, dan hiasan surai.
- Grup Gamelan dan Instruktur: Musisi profesional yang mempertahankan irama Barongan yang kompleks.
Ketika Barongan Mata Dua dipanggil untuk sebuah acara besar (pernikahan, khitanan, bersih desa), seluruh ekosistem lokal terlibat, memperkuat kohesi sosial dan menciptakan lapangan kerja temporer.
8.2. Barongan dan Gugur Gunung (Gotong Royong)
Kesenian ini sering dipentaskan dalam acara Bersih Desa (pembersihan desa tahunan), sebuah ritual gotong royong di mana seluruh warga berpartisipasi. Barongan Mata Dua dalam konteks ini berfungsi sebagai pemersatu, menghilangkan perselisihan internal dengan mengarahkan perhatian kolektif pada pertarungan melawan musuh bersama (roh jahat atau energi negatif) yang direpresentasikan dalam tarian.
Dua mata Barongan di sini dilihat sebagai mata kolektif masyarakat, yang bersama-sama mengawasi dan menjaga keharmonisan desa. Pemilihan pemimpin Barongan (Pawongan) sering kali dilakukan secara musyawarah, memastikan bahwa pemimpin tersebut memiliki integritas spiritual yang dihormati oleh seluruh komunitas.
IX. Mendalami Fenomena Trans dan Ilmu Spiritual Barongan
Aspek yang paling mistis dari Barongan Mata Dua adalah fenomena trans atau kerasukan. Ini adalah momen pembuktian spiritual, di mana kekuatan yang dilihat oleh dua mata Barongan menjadi nyata.
9.1. Mengapa Trans Terjadi?
Trans dalam Barongan Mata Dua bukanlah sekadar akting. Menurut keyakinan, ini adalah undangan yang berhasil kepada roh penjaga (danyang) untuk sementara waktu menempati raga penari. Trans ini dipicu oleh:
- Induksi Musik: Irama Gamelan yang repetitif dan cepat.
- Kondisi Fisik dan Mental Penari: Kelaparan spiritual yang disengaja (puasa) yang membuat tubuh lebih reseptif terhadap energi luar.
- Aroma Kemenyan: Asap yang dihirup membantu membebaskan pikiran dari kesadaran normal.
Selama trans, Penari Barongan Mata Dua seringkali menunjukkan kekuatan fisik yang luar biasa—kebal terhadap benda tajam, memakan beling, atau memanjat pohon dengan kecepatan tak wajar. Kekuatan ini dipercaya berasal dari energi yang dipancarkan oleh dua mata yang kini melihat dimensi lain.
9.2. Pawongan dan Pengendalian Roh
Sosok Pawongan (Dukun atau Penasihat Spiritual) memegang peranan vital. Pawongan adalah satu-satunya individu yang mampu menenangkan dan mengendalikan Barongan saat sedang trans. Ia harus memiliki ilmu spiritual yang lebih tinggi daripada roh Barongan itu sendiri.
Pawongan menggunakan mantra (japa mantra) dan cemet (cambuk) yang telah diberi daya magis. Jika Barongan Mata Dua menjadi terlalu liar (karena rohnya terlalu kuat), Pawongan akan melakukan kontak mata langsung. Dalam konteks Mata Dua, ini adalah pertarungan spiritual pandangan—apakah pandangan Barongan mampu menembus pertahanan Pawongan, atau sebaliknya.
Keberhasilan Pawongan mengembalikan kesadaran penari menunjukkan bahwa, meskipun Barongan Mata Dua adalah representasi kekuatan liar, ia tetap harus tunduk pada hierarki spiritual manusia yang beradab dan beretika.
X. Warisan Abadi Barongan Mata Dua
Barongan Mata Dua adalah lebih dari sekadar warisan budaya; ia adalah arsip hidup dari filosofi Jawa kuno mengenai keseimbangan, perlindungan, dan interaksi yang kompleks antara manusia dan alam gaib. Dua matanya terus menatap, tidak hanya ke hadapan penonton, tetapi juga ke dalam hati masyarakat yang melestarikannya.
Melalui kajian yang mendalam terhadap setiap ukiran, gerakan, dan ritualnya, kita dapat memahami bahwa Barongan Mata Dua adalah pelajaran tentang bagaimana menghadapi dualitas hidup—mengakui keberadaan kejahatan tanpa membiarkannya menguasai, dan memanfaatkan kekuatan alam liar untuk tujuan yang suci.
Warisan ini harus terus dijaga, bukan hanya sebagai artefak museum, melainkan sebagai praktik spiritual yang berkelanjutan, memastikan bahwa pandangan tajam dari Barongan Mata Dua akan terus menjaga batas-batas spiritual dan etika masyarakat Nusantara untuk generasi yang akan datang.
Keagungan dan mistik yang terkandung dalam setiap jengkal ukiran topengnya, setiap dentuman kendang pengiringnya, dan setiap tetes keringat penarinya, adalah pengingat abadi bahwa di balik tirai realitas fisik, selalu ada sepasang mata spiritual yang mengawasi, sepasang mata yang menjaga keseimbangan antara yang terlihat dan yang tak terlihat.
Barongan Mata Dua, simbol keberanian, dualitas, dan kewaspadaan, tetap menjadi salah satu permata paling berharga dan paling kuat dalam khazanah seni pertunjukan Indonesia.
Hak Cipta Konten © Dilindungi Undang-Undang