I. Pendahuluan: Menguak Jejak Barongan Manggolo
Kesenian Barongan, khususnya Barongan Manggolo, adalah manifestasi kebudayaan yang sangat kental dan dinamis, berakar kuat di wilayah tengah dan timur Pulau Jawa. Berbeda dengan Barong yang lebih dikenal di Bali atau Reog Ponorogo yang ikonik dengan ‘dhadhak merak’ besar, Barongan Manggolo menawarkan dimensi interpretasi yang unik. Istilah ‘Manggolo’ sendiri dapat diartikan sebagai ‘pemimpin’, ‘panglima’, atau ‘komandan’, mengindikasikan bahwa barongan ini tidak hanya sekadar pertunjukan topeng binatang buas, melainkan sebuah representasi kepemimpinan spiritual dan kekuatan yang terorganisir.
Barongan Manggolo mewakili fusi antara narasi mitologis Jawa kuno dengan ekspresi seni rakyat yang lugas. Kesenian ini tidak hanya melibatkan topeng singa atau harimau, tetapi juga rangkaian tarian pendukung seperti Jathilan (kuda lumping), Bujang Ganong (patih yang enerjik), dan kehadiran sosok penyeimbang seperti Warok atau tokoh-tokoh pewayangan lain yang diadopsi ke dalam konteks lokal. Kesenian ini berfungsi sebagai media komunikasi sosial, ritual tolak bala, dan pelestarian nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi di wilayah-wilayah seperti Kediri, Nganjuk, Jombang, dan Tulungagung.
Dalam esensi pertunjukannya, Barongan Manggolo adalah sebuah drama ritual yang sarat makna. Ia menggambarkan perjuangan, loyalitas, dan dinamika kekuasaan—elemen-elemen fundamental yang membentuk kosmologi masyarakat Jawa. Setiap gerakan, setiap irama gamelan yang mengiringi, dan setiap detail kostum yang dikenakan, bukan hanya ornamen visual semata, melainkan kode-kode budaya yang menceritakan kisah abadi tentang hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan adi kodrati.
Kekuatan naratif Barongan Manggolo terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi sambil tetap menjaga inti tradisinya. Meskipun kerap dianggap sebagai varian dari Reog, Barongan Manggolo memiliki karakteristik musikal dan ritmik yang spesifik, serta interpretasi visual kepala barong yang lebih menonjolkan karakter agresif dan wibawa seorang panglima, seringkali dengan taring yang menakutkan dan mata yang memancarkan energi mistis yang sangat pekat dan terasa oleh para penonton yang menyaksikannya secara langsung.
II. Akar Historis dan Narasi Mitologis Barongan Manggolo
A. Jejak Barongan dalam Lintasan Sejarah Jawa
Sejarah Barongan Manggolo sulit dilepaskan dari perkembangan kesenian Barongan secara umum di Jawa Timur, yang diduga telah ada sejak zaman pra-Islam. Para peneliti percaya bahwa topeng-topeng berbentuk binatang buas seperti singa, harimau, atau babi hutan, pada awalnya digunakan dalam ritual animisme dan dinamisme untuk memanggil arwah leluhur atau menolak roh jahat. Bentuk-bentuk awal ini kemudian berasimilasi dengan pengaruh Hindu-Buddha, di mana figur singa menjadi simbol kekuasaan dan keagungan (seperti Singha di berbagai relief candi).
Pada masa kerajaan-kerajaan Jawa, kesenian Barongan mulai digunakan sebagai media propaganda atau penanda status sosial. Singo Barong yang gagah melambangkan kekuatan raja atau adipati. Ketika Islam mulai menyebar, para wali menggunakan kesenian rakyat seperti ini sebagai media dakwah. Mereka memasukkan nilai-nilai etika dan moral ke dalam narasi pertunjukan, memastikan bahwa tradisi yang dicintai masyarakat tetap hidup, tetapi dengan sentuhan filosofi yang baru.
Khusus Barongan Manggolo, popularitasnya meningkat seiring dengan perkembangan cerita rakyat lokal di sekitar Mataram dan Majapahit yang jatuh. Kesenian ini sering dikaitkan dengan kisah kepahlawanan lokal, terutama di daerah yang dikenal sebagai pusat perlawanan terhadap penjajah atau pusat spiritual. Kata ‘Manggolo’ menunjukkan bahwa kesenian ini mungkin diciptakan atau dikembangkan oleh sekelompok prajurit atau pendekar yang ingin mengenang pemimpin mereka yang karismatik dan berani, menjadikannya simbol heroisme yang abadi.
B. Mitologi Singa Manggolo dan Warok
Salah satu mitos paling dominan yang menyertai Barongan Manggolo adalah kisah tentang perseteruan atau aliansi antara kekuatan alam dan kekuatan manusia. Singa Manggolo sering digambarkan sebagai perwujudan energi alam yang ganas namun bijaksana, yang berada di bawah kendali seorang pemimpin spiritual atau Warok. Warok dalam konteks ini adalah figur sentral—seorang tokoh yang memiliki kesaktian luar biasa, disiplin diri yang tinggi, dan memegang teguh ajaran moral.
Narasi inti sering berpusat pada upaya Warok atau panglima lokal untuk menaklukkan atau bersekutu dengan Singa Manggolo agar kekuatan binatang buas itu dapat digunakan untuk melindungi desa atau kerajaan dari ancaman eksternal maupun internal. Proses penaklukan ini digambarkan melalui adegan trans (kesurupan) di mana penari Barong harus benar-benar menyatu dengan roh Singa Manggolo, menunjukkan bahwa kekuatan sejati berasal dari harmoni antara fisik, mental, dan spiritual.
Manggolo juga diposisikan sebagai cermin sifat-sifat manusia yang paling mendasar: keberanian yang tak terbatas (dilambangkan oleh auman singa), kemarahan yang membakar (lidah yang menjulur dan taring tajam), namun juga kebijaksanaan yang menyertai kekuasaan (posisi kepala yang tegak dan wibawa). Keseimbangan dualitas ini—antara agresivitas dan kontrol—adalah esensi filosofi yang berusaha disampaikan kepada penonton, terutama generasi muda.
Visualisasi Topeng Kepala Barongan Manggolo yang Mencerminkan Wibawa dan Kegagahan.
III. Filosofi dan Spiritualisme dalam Barongan Manggolo
A. Makna Kosmologi Ganas dan Rapi
Filosofi utama Barongan Manggolo berputar pada konsep *Ratu Agung* (Raja Besar) dan *Panglima Perang*. Dalam kacamata spiritual Jawa, topeng Barong adalah medium tempat bersemayamnya roh atau energi pelindung. Ketika topeng itu diangkat, ia membawa serta kekuatan alam semesta yang liar dan tak terduga. Namun, kekuatan liar ini harus dibingkai dan diatur—inilah peran ‘Manggolo’ atau pemimpin.
Kesenian ini mengajarkan bahwa kekuasaan sejati tidak berasal dari penindasan, melainkan dari kemampuan untuk mengelola energi yang besar dengan kearifan. Gerakan Barong yang kadang-kadang brutal, menghentak-hentak, dan menakutkan, secara kontras diimbangi oleh tarian Jathilan yang anggun dan ritmis, serta kelincahan Bujang Ganong yang cerdik. Kontras ini adalah representasi dari tata kosmos Jawa: adanya *Rwa Bhineda* (dua hal yang berbeda namun saling melengkapi) — kebaikan dan keburukan, tertib dan liar, halus dan kasar.
Ketika penonton melihat adegan *ndadi* (trans atau kesurupan), mereka menyaksikan sebuah interaksi langsung antara dimensi manusia dan dimensi spiritual. Penari tidak lagi hanya berperan; mereka menjadi wadah bagi kekuatan Manggolo. Ritual ini bertujuan untuk mencapai purifikasi, membuang sengkala (kesialan), dan mendapatkan berkah dari kekuatan yang lebih tinggi. Bagi masyarakat lokal, menyaksikan Barongan Manggolo adalah bentuk partisipasi aktif dalam pemeliharaan keseimbangan spiritual komunitas mereka.
B. Simbolisme Kostum dan Properti
Setiap elemen dalam Barongan Manggolo sarat dengan simbolisme metafisik yang mendalam:
- Kepala Barong (Singa Manggolo): Melambangkan kekuasaan tak tertandingi, keberanian, dan status sebagai pelindung wilayah. Taringnya menunjukkan kemampuan untuk menghadapi dan mengalahkan ancaman.
- Gong dan Gamelan: Bukan sekadar musik pengiring, melainkan instrumen pemanggil roh. Suara Gong yang berat dan dalam (Gong Ageng) melambangkan suara kosmos, permulaan dan akhir dari segala siklus kehidupan.
- Jathilan (Kuda Kepang): Figur penunggang kuda yang cantik dan rapi, melambangkan keprajuritan yang setia dan disiplin. Kuda yang mereka tunggangi (terbuat dari bambu) adalah simbol kendaraan spiritual yang membawa mereka ke dunia lain (dunia trans).
- Pecut (Cambuk): Digunakan oleh Warok atau pawang. Pecut bukan alat kekerasan, melainkan alat kendali spiritual. Suara letusan pecut (pecut samandiman) dipercaya mampu membersihkan atmosfer dari energi negatif dan menstabilkan roh-roh yang sedang beraksi dalam pertunjukan.
- Bujang Ganong (Patih/Abdi Raja): Dengan topeng berwajah lucu, hidung besar, dan rambut gimbal, Ganong melambangkan kecerdikan, kelincahan, dan sifat manusia yang riang, berfungsi sebagai mediator antara Singa Manggolo yang agung dan rakyat biasa.
Interaksi antara elemen-elemen ini menciptakan sebuah narasi visual yang kompleks, sebuah peta jalan menuju pemahaman tentang moralitas, kepemimpinan, dan kewajiban kolektif. Filosofi Barongan Manggolo adalah filosofi tentang cara hidup yang berani, tetapi tetap santun dalam menghadapi kerasnya realitas kehidupan.
IV. Anatomi Pertunjukan: Elemen Inti Barongan Manggolo
A. Tata Urutan dan Ritual Awal
Sebuah pertunjukan Barongan Manggolo, terutama yang bersifat ritual atau pementasan adat, selalu diawali dengan serangkaian ritual yang ketat. Ritual ini bertujuan untuk memohon izin kepada leluhur dan penguasa gaib setempat (dikenal sebagai *danyang* atau *dhanyangan*) agar pementasan berjalan lancar dan terhindar dari bahaya. Proses ini sering disebut *Sesaji* atau *Mantra Pembuka*.
Urutan baku pertunjukan Barongan Manggolo biasanya mengikuti alur dramatis yang intens. Dimulai dengan penampilan pembuka yang ringan, diikuti oleh porsi humor yang dibawakan oleh Bujang Ganong, kemudian meningkat intensitasnya melalui tarian Jathilan, dan memuncak pada penampilan Singa Manggolo yang disertai adegan *ndadi* atau *kesurupan*. Transisi dari satu babak ke babak lain diiringi oleh perubahan ritme gamelan yang sangat mencolok.
B. Musik Pengiring (Gamelan Manggolo)
Musik adalah jantung dari Barongan Manggolo. Berbeda dengan gamelan standar, Gamelan yang digunakan dalam konteks Barongan Manggolo seringkali lebih sederhana namun memiliki ritme yang cepat, tegas, dan memiliki unsur ‘greget’ (semangat) yang sangat tinggi. Fokus utama adalah pada kendang dan gong, yang berfungsi sebagai pengendali emosi dan energi para penari.
Instrumentasi inti Gamelan Manggolo meliputi:
- Kendang Ciblek: Kendang utama yang menghasilkan bunyi cepat dan variatif, bertugas memimpin tempo dan memberikan isyarat kepada penari. Kecepatan kendang adalah penentu apakah penari akan mencapai kondisi trans atau tidak.
- Gong Kemodong: Gong kecil yang seringkali digunakan sebagai pengganti Gong Ageng karena alasan mobilitas. Meskipun ukurannya lebih kecil, bunyinya harus mampu menciptakan resonansi yang dalam.
- Saron dan Kenong: Instrumen pukul yang memberikan melodi dan harmoni. Melodi yang dimainkan biasanya adalah *Gending Wirogoni* atau *Gending Srepegan*, yang dikenal memiliki energi membangkitkan semangat keprajuritan.
- Slenthem dan Demung: Memberikan alur nada yang lebih tenang, berfungsi sebagai jangkar agar musik tidak lepas kendali sepenuhnya saat adegan keras dimainkan.
- Terompet Reog (Punggung): Suara terompet yang khas, bernada tinggi dan melengking, memberikan nuansa dramatis yang kental, seringkali meniru auman singa atau suara panggilan dari alam liar.
Seluruh orkestrasi ini dirancang untuk menciptakan suasana sakral sekaligus meriah, yang secara psikologis mempersiapkan penari dan penonton untuk menghadapi klimaks pertunjukan, yaitu saat Barongan Manggolo menunjukkan kekuatannya yang sejati.
Dinamika Tarian Jathilan, Representasi Prajurit Berkuda yang Setia.
V. Peran Sentral Tokoh-Tokoh dalam Barongan Manggolo
A. Jathilan: Kesetiaan dan Kerapian
Jathilan, atau penari kuda lumping, adalah elemen estetika yang penting. Mereka menampilkan tarian kelompok yang sangat terkoordinasi, melambangkan barisan prajurit yang setia di bawah komando Singa Manggolo. Dalam Barongan Manggolo, penari Jathilan (yang secara tradisional adalah laki-laki muda, meskipun kini juga melibatkan perempuan) harus menunjukkan keanggunan, kecepatan, dan sinkronisasi gerakan yang sempurna.
Kostum Jathilan biasanya berwarna cerah—merah, hijau, atau emas—dengan hiasan manik-manik dan selempang *wastra cindai*. Tarian mereka adalah transisi yang mulus dari ketertiban menuju kekacauan. Pada saat musik mencapai intensitas tertinggi, beberapa penari Jathilan dapat mengalami *ndadi*, di mana mereka mulai menunjukkan perilaku di luar kendali, seperti memakan benda keras atau meniru perilaku kuda yang sedang mengamuk. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam barisan prajurit yang paling teratur pun, terdapat energi spiritual yang siap meletup.
B. Bujang Ganong: Humor dan Komedi
Bujang Ganong adalah antitesis dari Barong yang agung. Ia adalah tokoh yang paling humanis dan dekat dengan penonton. Fungsi utamanya adalah sebagai selingan humor (*dhagelan*), memecah ketegangan, dan memberikan komentar sosial yang ringan namun tajam. Namun, di balik topengnya yang jenaka, Ganong juga dikenal sebagai patih yang cerdik dan sangat lincah.
Tarian Ganong didominasi oleh gerakan akrobatik, lompatan tinggi, dan interaksi yang provokatif dengan penonton. Filosofi Ganong adalah bahwa kecerdasan dan kelincahan (kecerdasan) adalah senjata yang sama ampuhnya dengan kekuatan fisik. Kehadirannya memastikan bahwa pertunjukan Barongan Manggolo tidak menjadi terlalu serius atau sakral, menjadikannya tontonan yang inklusif dan merakyat.
C. Warok dan Pawang: Pengendali Energi
Sosok Warok atau pawang adalah tokoh paling vital dalam dimensi spiritual Barongan Manggolo. Mereka bukan penari, tetapi penjaga keseimbangan. Warok bertanggung jawab atas persiapan ritual, pengamanan topeng Barong, dan yang terpenting, mengendalikan penari yang mengalami trans. Tanpa Warok, energi liar yang dilepaskan oleh Singa Manggolo dan Jathilan dapat menjadi bencana.
Warok digambarkan sebagai pria tua yang berwibawa, berpakaian serba hitam atau gelap, sering membawa pecut yang panjang. Mereka adalah ahli spiritual lokal (*dukun* atau *paranormal*) yang memiliki pengetahuan mendalam tentang mantra, herbal, dan cara-cara komunikasi dengan roh. Kehadiran Warok mengukuhkan Barongan Manggolo sebagai seni yang tidak hanya bersifat profan (hiburan) tetapi juga sakral (ritual).
VI. Barongan Manggolo dalam Konteks Regional Jawa Timur
A. Perbedaan dengan Reog Ponorogo
Meskipun Barongan Manggolo sering dikelompokkan dalam kategori yang sama dengan Reog Ponorogo karena kesamaan unsur binatang buas dan kuda lumping, terdapat perbedaan mendasar yang membedakan identitas kesenian ini. Perbedaan terbesar terletak pada fokus visual dan struktur pertunjukan:
- Fokus Topeng Utama: Reog Ponorogo ikonik dengan *Dhadhak Merak* (topeng Singo Barong yang dihiasi bulu merak raksasa), yang mana fokusnya adalah pada dimensi fisik topeng yang masif dan berat. Barongan Manggolo, sebaliknya, lebih menonjolkan kepala singa atau harimau yang lebih sederhana ukurannya namun lebih garang dan fokus pada ekspresi wajah (taring, mata melotot). Kekuatan Manggolo terletak pada energi spiritual topeng itu sendiri, bukan pada keindahan hiasan merak.
- Peran Warok: Dalam Reog Ponorogo, Warok adalah figur pahlawan yang kuat dan gagah secara fisik, penjaga kesatriaan. Dalam Barongan Manggolo, peran Warok lebih terfokus pada sisi spiritual dan pengendalian trans.
- Musik dan Ritmik: Musik Reog cenderung lebih ramai dan kompleks dengan penekanan pada *Angklung Reog* dan Gong Kemanak. Musik Manggolo lebih fokus pada ketukan Kendang yang cepat, agresif, dan dominasi Terompet Punggung, menciptakan suasana yang lebih 'menggila' dan keras.
Perbedaan ini mencerminkan karakter budaya daerah asalnya. Ponorogo dikenal dengan tradisi kesatriaan yang kuat (Warok), sementara wilayah-wilayah Manggolo (seperti Kediri dan Nganjuk) dikenal dengan tradisi spiritual dan mistis yang lebih mendalam, memengaruhi tampilan dan narasi kesenian mereka.
B. Barongan Manggolo di Eks-Karesidenan Kediri
Di daerah Kediri, Barongan Manggolo seringkali dihubungkan erat dengan legenda Gunung Kelud dan Kerajaan Kediri kuno. Di sini, Barongan tidak hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai ritual pertanian. Masyarakat percaya bahwa pementasan Barongan Manggolo dapat memanggil hujan dan menolak hama. Versi Kediri cenderung menampilkan adegan yang lebih panjang tentang perjuangan melawan roh jahat air dan tanah. Topeng Barong di Kediri sering memiliki hiasan yang lebih minimalis, menekankan pada tekstur kayu yang kasar dan warna-warna dasar seperti merah, hitam, dan putih, yang melambangkan keberanian, kematian, dan kesucian.
C. Barongan Manggolo di Nganjuk dan Jombang
Di Nganjuk, Barongan Manggolo memiliki sentuhan yang lebih heroik. Kesenian ini sering dipentaskan untuk memperingati hari jadi daerah atau peristiwa bersejarah. Interpretasi ‘Manggolo’ di sini sangat erat kaitannya dengan figur pahlawan lokal atau panglima perang yang melindungi daerah tersebut di masa lampau. Tarian Jathilan di Nganjuk cenderung lebih bersemangat dan agresif, mencerminkan semangat juang para prajurit.
Di Jombang, Barongan Manggolo berinteraksi lebih dekat dengan tradisi pesantren dan kearifan lokal Islam. Meskipun inti ritual tetap dipertahankan, narasi yang disajikan seringkali disesuaikan agar selaras dengan nilai-nilai agama, menekankan pada etika kepemimpinan yang adil dan menjauhi praktik syirik, menjadikannya seni yang sangat fleksibel secara kultural.
VII. Seni Kerajinan Barongan: Proses Kreatif dan Mistis
A. Pembuatan Topeng Manggolo yang Sakral
Pembuatan topeng kepala Barongan Manggolo adalah ritual tersendiri, bukan sekadar pekerjaan tangan biasa. Pengrajin, yang disebut *undagi*, harus memenuhi serangkaian syarat spiritual sebelum memulai. Kayu yang digunakan seringkali adalah kayu yang dianggap memiliki energi atau kekuatan magis, seperti kayu randu alas, kayu nangka, atau kayu yang ditemukan di tempat-tempat keramat (petilasan).
Proses memahat dimulai dengan puasa dan tirakat (menahan diri). Undagi harus fokus penuh, karena mereka percaya bahwa karakter dan roh Barongan akan ‘masuk’ ke dalam kayu seiring dengan pahatan. Bagian paling krusial adalah saat memahat mata dan mulut. Mata adalah jendela spiritual, di mana roh Singa Manggolo dikatakan pertama kali masuk. Mulut, dengan taringnya yang tajam, adalah simbol kekuatan dan auman. Pewarnaan (biasanya dominasi merah marun, emas, dan hitam) juga menggunakan pigmen alami yang dipercaya memiliki kekuatan tertentu.
B. Hiasan dan Mahkota (Jamang)
Hiasan kepala Barongan Manggolo, atau *jamang*, adalah bagian yang paling rumit. Jamang melambangkan mahkota raja atau panglima. Biasanya terbuat dari kulit yang diukir (kulit kerbau) atau logam tipis, dihiasi dengan ukiran motif flora fauna khas Jawa. Motif ular naga seringkali muncul di bagian atas mahkota, melambangkan kekuatan bumi dan air yang menyokong kekuasaan Barongan.
Rambut Barongan Manggolo tradisional menggunakan ijuk atau serat pohon palem yang dicelup hitam pekat, atau kadang menggunakan ekor kuda liar. Penggunaan bahan-bahan alami ini bertujuan untuk menghubungkan Barongan secara langsung dengan alam liar, menegaskan bahwa ia adalah perwujudan dari kekuatan alam yang belum terjamah oleh peradaban modern.
Setiap goresan pahat dan sapuan kuas pada topeng bukan hanya upaya artistik, melainkan upaya memanggil wibawa. Topeng yang dianggap berhasil adalah topeng yang memancarkan aura *sekti* (sakti) dan membuat penonton, terutama anak-anak, merasa takut sekaligus hormat. Ini menunjukkan keberhasilan undagi dalam menyalurkan esensi kepanglimaan yang diwakili oleh Manggolo.
VIII. Analisis Mendalam Dinamika Gerakan dan Ritual Trans
A. Bahasa Gerak Singa Manggolo
Gerakan utama Barongan Manggolo (yang diperankan oleh dua orang penari, satu di kepala dan satu di bagian belakang tubuh) bukanlah tarian yang koreografis dalam artian modern, melainkan interpretasi dari perilaku binatang buas yang dijiwai oleh kekuatan spiritual. Gerakan ini harus menunjukkan kontradiksi: sangat kuat namun sangat berwibawa.
Gerakan Khas:
- Mendem Barong: Gerakan awal ketika Barong mulai merasa tidak nyaman, menghentakkan kaki, dan menggelengkan kepala secara cepat dan ritmis. Ini adalah indikasi bahwa roh sedang mulai memasuki tubuh penari.
- Ngleyang: Gerakan lambat dan mengintimidasi, di mana Barong berjalan perlahan, mengangkat kepala tinggi-tinggi, mengamati sekeliling. Ini melambangkan keagungan dan posisi dominan Barong sebagai panglima.
- Nggrodak: Gerakan agresif, di mana Barong menghentak-hentakkan tubuhnya, berguling, atau bahkan menyerang properti di sekitarnya. Ini terjadi saat trans mencapai puncaknya, menunjukkan pelepasan energi yang terpendam.
Para penari Barong harus memiliki stamina luar biasa karena beban topeng dan kostum serta intensitas gerakan. Mereka dilatih tidak hanya secara fisik, tetapi juga spiritual (puasa dan meditasi) untuk mempersiapkan tubuh mereka agar mampu menahan intensitas energi Manggolo.
B. Teknik dan Filosofi Ndadi (Trans)
Trans atau *ndadi* dalam Barongan Manggolo adalah puncak ritual. Fenomena ini dipercaya terjadi karena adanya sinkronisasi sempurna antara irama gamelan yang cepat (khususnya kendang), mantra yang dibacakan oleh Warok, dan kondisi mental penari yang kosong (kosong dalam artian fokus total dan melepaskan ego pribadi).
Tujuan *ndadi* adalah demonstrasi kekuatan spiritual yang nyata. Penari yang *ndadi* sering kali menunjukkan kemampuan supranatural, seperti kebal terhadap rasa sakit, atau memakan benda-benda yang secara normal tidak dapat dicerna (beling, bara api, atau bunga mawar berduri). Ini bukan sekadar trik sulap, melainkan sebuah pernyataan metafisik bahwa roh Manggolo melindungi tubuh wadahnya.
Ketika penari mencapai kondisi trans, peran Warok sangat penting. Warok menggunakan pecut dan mantra penenang untuk memastikan roh Manggolo tetap berada di jalur yang benar dan tidak menyebabkan bahaya. Setelah pertunjukan selesai, Warok akan melakukan ritual pengembalian roh (*sungsang*) untuk memastikan penari kembali ke kesadaran normal tanpa membawa dampak buruk dari energi yang dilepaskan.
C. Detail Kostum Jathilan dan Simbolisme Warna
Kostum Jathilan merupakan representasi visual dari ketaatan militer Jawa kuno. Warna yang dominan memiliki arti:
- Merah (Abang): Melambangkan keberanian, gairah, dan hawa nafsu yang harus dikendalikan.
- Hijau (Ijo): Melambangkan kemakmuran, kesuburan, dan hubungan dengan alam.
- Emas/Kuning (Jingga): Melambangkan keagungan, kekayaan, dan status kemuliaan.
- Putih (Pethak): Melambangkan kesucian, kejujuran, dan kesetiaan.
Penggunaan selendang *sampur* yang panjang dan berwarna cerah adalah elemen visual yang memperkuat gerakan. Sampur digunakan untuk memperpanjang jangkauan gerak penari, melambangkan ikatan spiritual antara penari dan kekuatan yang mereka wakili. Dalam tarian Jathilan, setiap jentikan sampur adalah sebuah isyarat komunikasi non-verbal yang menyampaikan semangat keprajuritan yang membara.
Instrumen Utama Gamelan Manggolo, Penentu Ritme Spiritual.
IX. Tantangan Modern dan Upaya Pelestarian Barongan Manggolo
A. Transisi dari Ritual Menjadi Seni Pertunjukan
Di era modern, Barongan Manggolo menghadapi tantangan signifikan dalam menjaga relevansinya. Kesenian ini perlahan bertransisi dari fungsi utama sebagai ritual adat atau tolak bala menjadi seni pertunjukan komersial. Transisi ini memiliki dua sisi: di satu sisi, ia membantu Barongan Manggolo bertahan dan dikenal lebih luas; di sisi lain, risiko hilangnya kedalaman ritualistik dan spiritualnya menjadi sangat tinggi.
Banyak kelompok seni kini memodifikasi tarian, kostum, dan bahkan musiknya agar lebih menarik bagi penonton perkotaan atau wisatawan. Misalnya, adegan trans yang dulunya merupakan klimaks sakral, kini kadang disajikan sebagai hiburan semata, atau bahkan dihilangkan sama sekali demi alasan keamanan dan kepraktisan panggung. Pengurangan durasi pementasan dan penekanan pada humor visual (Bujang Ganong) ketimbang filosofi spiritual (Singa Manggolo) adalah adaptasi yang tak terhindarkan dalam pasar seni kontemporer.
B. Pewarisan dan Regenerasi Seniman
Ancaman terbesar bagi kelangsungan Barongan Manggolo adalah regenerasi. Menjadi penari Barong, Warok, atau bahkan undagi topeng, memerlukan disiplin yang sangat tinggi dan keyakinan spiritual yang mendalam. Generasi muda yang terpapar budaya global seringkali kurang tertarik pada tirakat, puasa, dan disiplin keras yang dibutuhkan untuk menguasai seni ini.
Maka dari itu, komunitas seni dan pemerintah daerah mulai mengambil langkah proaktif. Banyak sanggar Barongan Manggolo kini membuka pelatihan formal yang tidak hanya mengajarkan teknik menari dan bermain musik, tetapi juga mengenalkan filosofi dan sejarah di balik setiap gerakan. Upaya ini bertujuan untuk menanamkan rasa hormat yang mendalam terhadap tradisi sebelum para penari muda menghadapi panggung modern.
Pelestarian juga melibatkan dokumentasi. Berbagai pihak kini gencar mendokumentasikan gending-gending kuno, mantra-mantra Warok, dan teknik pembuatan topeng secara mendetail. Dokumentasi ini penting sebagai ‘kitab suci’ digital yang dapat diakses oleh generasi mendatang, memastikan bahwa esensi Manggolo tidak hilang meskipun bentuk pertunjukannya terus berevolusi seiring dengan perubahan zaman yang begitu cepat dan dinamis.
C. Peran Digitalisasi dan Media Sosial
Digitalisasi telah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial mempercepat penyebaran popularitas Barongan Manggolo ke tingkat nasional bahkan internasional. Video-video tarian Jathilan yang energik dan adegan Barongan yang dramatis menarik perhatian audiens baru.
Namun, digitalisasi juga berisiko menyederhanakan kesenian ini menjadi konten hiburan yang cepat dan dangkal. Tugas pelestari di era digital adalah memanfaatkan platform tersebut untuk menyertakan narasi kontekstual yang kuat—menjelaskan filosofi di balik topeng, makna ritual dalam Gamelan, dan peran Warok sebagai penjaga spiritual—sehingga penonton tidak hanya terhibur, tetapi juga teredukasi mengenai kekayaan warisan budaya yang terkandung di dalam setiap detail pertunjukan Barongan Manggolo.
Dengan demikian, Barongan Manggolo harus terus bergerak dalam spektrum antara tradisi dan modernitas. Ia harus menjadi pertunjukan yang relevan bagi penonton saat ini, namun tidak pernah melupakan akar spiritualnya sebagai representasi dari Panglima Agung (Manggolo) yang menjaga keseimbangan antara kekuatan manusia dan kekuatan alam semesta di tanah Jawa Timur yang kaya akan mistis dan filosofi mendalam. Upaya ini memerlukan kerja keras kolektif yang berkelanjutan, melibatkan seniman, budayawan, akademisi, dan seluruh lapisan masyarakat yang peduli terhadap kelangsungan tradisi leluhur yang begitu berharga ini.
X. Penutup: Wibawa Barongan yang Abadi
Barongan Manggolo adalah cerminan kompleks dari jiwa masyarakat Jawa Timur. Ia bukan sekadar tarian topeng; ia adalah warisan spiritual yang mengemas sejarah kepahlawanan, filsafat kosmik, dan keteguhan iman dalam bentuk pertunjukan yang memukau. Dari auman Singa Manggolo yang menggelegar hingga hentakan kaki Jathilan yang ritmis, kesenian ini menghadirkan kembali kisah-kisah lama tentang perjuangan, ketaatan, dan pencarian jati diri.
Kesenian ini berdiri kokoh sebagai simbol wibawa dan keberanian, mengingatkan kita bahwa kepemimpinan (Manggolo) sejati berasal dari kemampuan untuk mengelola kekuatan diri dan kekuatan alam dengan bijaksana. Selama irama Kendang Ciblek masih terdengar nyaring dan Gending Srepegan masih dimainkan, selama Warok masih memegang pecut Samandiman, maka roh Barongan Manggolo akan terus hidup, melindungi, dan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi mendatang di Bumi Nusantara yang tercinta. Kekuatan dan misteri Barongan Manggolo akan tetap menjadi gerbang eksotis yang membuka pandangan kita terhadap kekayaan spiritualitas Jawa yang tak pernah habis dieksplorasi dan dikagumi.