Barongan Lele: Eksplorasi Seni Hybrid Nusantara yang Misterius
Visualisasi Topeng Hybrid: Kegarangan Barongan berpadu dengan ketenangan Lele.
I. Genealogi Konsep: Persilangan Dua Alam yang Kontradiktif
Seni pertunjukan tradisional Nusantara selalu menawarkan ruang yang luas bagi reinterpretasi dan asimilasi. Di tengah pusaran modernitas yang mengancam pelestarian murni, muncul gerakan-gerakan hibrida yang berupaya menyuntikkan narasi kontemporer ke dalam tubuh ritual lama. Salah satu konsep paling menarik dan spekulatif yang muncul dari kancah ini adalah ide tentang Barongan Lele. Konsep ini, meskipun mungkin belum diakui secara luas sebagai tradisi baku, mewakili sebuah eksperimen filosofis yang mendalam: menggabungkan kegarangan dan kegaiban Barongan—sebuah representasi makhluk mitologi, simbol kekuasaan gaib, dan penolak bala—dengan simbolisme yang dibawa oleh ikan lele, seekor makhluk air tawar yang dikenal karena ketangguhan, sifatnya yang bersahaja, dan kemampuannya bertahan di lingkungan paling keruh sekalih pun.
Barongan, dalam konteks Jawa, Bali, atau Reog Ponorogo, selalu hadir sebagai entitas yang megah, didominasi oleh rumbai-rumbai singa, macan, atau bahkan naga. Ia adalah manifestasi kekuatan puncak, seringkali identik dengan sosok Dhadhak Merak atau Singo Barong yang menguasai panggung dengan gemuruh dan gerakan yang eksplosif. Barongan adalah puncak dari visualisasi kemewahan mistis dan hierarki spiritual. Sebaliknya, lele (Catfish), dengan kumisnya yang menjuntai, kulitnya yang licin tanpa sisik, dan habitatnya di dasar lumpur, melambangkan antitesis dari kemewahan tersebut. Lele adalah simbol kerakyatan, kesederhanaan, dan daya tahan yang diam. Ia adalah representasi dari lapisan masyarakat paling bawah yang secara gigih mampu beradaptasi dan menemukan kehidupan di tengah keterbatasan. Persilangan dua entitas ini—Barongan yang angkuh dan Lele yang merunduk—menciptakan tegangan filosofis yang kaya, menantang persepsi kita tentang apa yang seharusnya diwakili oleh sebuah topeng ritual.
Mengapa seniman memilih lele? Lele membawa serta narasi perjuangan ekonomi mikro, kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya, dan citra yang sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat agraris dan pedesaan di Indonesia. Ketika Barongan Lele diperankan, ia tidak lagi sekadar menakut-nakuti roh jahat dengan auman gaib. Ia mulai berbicara tentang isu-isu yang lebih membumi: ketahanan pangan, polusi air, dan hak-hak kaum marjinal yang sering kali terabaikan, namun memiliki fondasi ketangguhan yang tak tertandingi. Hybriditas ini memaksa audiens untuk merenungkan kembali definisi "kekuatan"—apakah kekuatan hanya milik yang besar dan gemerlap, ataukah ia juga melekat pada kemampuan untuk bertahan hidup dalam kondisi yang paling tidak ideal sekalipun?
1.1 Barongan sebagai Manifestasi Chaos dan Ketertiban
Secara tradisional, Barongan sering digambarkan sebagai wujud yang ambigu. Ia adalah monster yang mengancam, namun pada saat yang sama, kehadirannya adalah prasyarat untuk kembalinya ketertiban. Kekuatan destruktifnya diarahkan untuk membersihkan energi negatif. Ritme musik pengiringnya, yang didominasi oleh kendang dan gong, menciptakan suasana hiruk pikuk yang disengaja, sebuah kekacauan ritualistik yang bertujuan untuk mencapai klimaks penyucian. Di sinilah letak peran esensialnya dalam ritual: Barongan adalah media transisi. Penambahan elemen lele tidak mengurangi aspek transisional ini, melainkan mengubah fokusnya. Alih-alih transisi dari kekacauan spiritual ke ketertiban spiritual, Barongan Lele memediasi transisi dari kemiskinan dan keterpurukan material ke harapan dan ketahanan sosial. Kumis lele yang menempel pada topeng buas Barongan adalah penanda bahwa kegarangan tersebut kini telah diarahkan, tidak hanya pada kekuatan gaib, tetapi juga pada ketidakadilan struktural yang mengikat kehidupan masyarakat jelata.
1.2 Lele sebagai Simbol Kepatuhan Eksistensial
Lele, atau Clarias sp., adalah ikan air tawar yang luar biasa adaptif. Kemampuannya untuk bernapas langsung dari udara (menggunakan organ labirin) memungkinkannya bertahan di perairan yang kadar oksigennya sangat rendah—bahkan di lumpur kering atau parit kotor. Simbolisme ini sangat kuat. Lele tidak pernah menyerah pada lingkungan. Ia mencerminkan etos kerja keras yang tak kenal pamrih, yang bersedia mencari rezeki di tempat yang paling tersembunyi. Dalam narasi Barongan Lele, sifat lele ini diangkat ke permukaan sebagai sebuah kebajikan tertinggi. Ketika sang penari Barongan Lele bergerak, ia tidak meniru auman singa yang sombong, melainkan menirukan gerakan menyelam, menggeliat, dan mencari di kedalaman. Gerakan ini adalah penghormatan terhadap kepatuhan eksistensial, sebuah afirmasi bahwa kehormatan terletak pada ketahanan, bukan pada kekayaan atau kekuasaan yang fana.
II. Mitologi Barongan Lele: Kisah Padepokan Banyu Aji
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman narasi Barongan Lele, kita perlu merumuskan sebuah kerangka mitologi fiktif yang membenarkan eksistensi entitas hybrid ini. Mitologi ini berpusat pada kisah Padepokan Banyu Aji, sebuah komunitas spiritual yang konon terletak di tepi sungai yang sangat tercemar, tempat Barongan tradisional tidak mampu lagi melindungi penduduk karena polusi telah menghalangi akses para dewa dan roh leluhur.
2.1 Asal-Usul Raga Lele dan Jiwa Barongan
Kisah bermula saat desa Banyu Aji dilanda paceklik. Sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka telah berubah menjadi keruh, dipenuhi limbah industri. Para penari Barongan melakukan ritual pemanggilan roh, namun auman Singo Barong yang seharusnya menggetarkan langit, kini terdengar sumbang dan lemah. Kekuatan purba Barongan terputus dari sumber energi kosmisnya karena perusakan lingkungan yang dilakukan manusia. Di malam terburuk, ketika semua harapan hampir hilang, Mpu Jala, pemimpin padepokan, bermimpi. Dalam mimpinya, Barongan agung muncul, tetapi ia merangkak di dasar lumpur, tubuhnya ditumbuhi sirip, dan taringnya digantikan oleh kumis yang lembut namun kokoh.
Barongan dalam mimpi itu berujar, "Kekuatan sejati tidak lagi berada di udara yang bersih atau di puncak gunung yang disucikan. Kekuatan kini bersemayam di tempat yang paling kalian abaikan, di kedalaman lumpur yang kotor. Aku harus merubah rupa. Aku harus meminjam ketangguhan Raga Lele agar Jiwa Barongan tetap hidup dan melindungi kalian dari polusi dan kelaparan." Ketika Mpu Jala terbangun, ia menemukan sebuah topeng kayu yang hanyut di tepi sungai. Topeng itu bukanlah Barongan yang ia kenal. Ia memiliki mata yang merah menyala seperti Singo Barong, namun dari dagunya menjulur kumis tebal, dan kulit kayu yang diukir menyerupai kulit lele yang licin, bukan bulu singa yang megah. Inilah kelahiran Barongan Lele—sebuah entitas pelindung yang bertransformasi dari penjaga kosmik menjadi penjaga ekologis.
2.2 Filosofi Kesurupan Lele (Trance of the Catfish)
Dalam pertunjukan Barongan konvensional, momen klimaks terjadi saat penari mengalami trance (kesurupan), di mana roh leluhur atau roh Barongan masuk ke dalam tubuh penari, memberikan kekuatan supranatural yang seringkali diwujudkan melalui atraksi kekebalan fisik. Dalam Barongan Lele, fenomena ini diinterpretasikan secara berbeda. Momen kesurupan atau Kesurupan Lele bukanlah tentang kekuatan untuk melawan api atau memakan beling, melainkan tentang kekuatan mental untuk bertahan dan menemukan sumber daya di tengah kemiskinan atau bencana ekologis.
Saat penari Barongan Lele mengalami trance, gerakan mereka menjadi sangat cair, menggeliat, meniru cara lele mencari makanan di lumpur. Mereka mungkin mencari koin tersembunyi, atau "menemukan" benih padi yang tersembunyi di tanah yang gersang. Ini adalah trance yang berfokus pada daya tahan dan kearifan lokal. Filosofi Kesurupan Lele mengajarkan bahwa keberanian sejati adalah kemampuan untuk tetap bekerja dan berjuang ketika lingkungan sekitar telah runtuh. Ini adalah bentuk ritual permohonan yang berorientasi pada ketangguhan ekonomi dan spiritualitas yang membumi, jauh dari kemewahan ritual kerajaan.
Transformasi naratif ini sangat krusial. Jika Barongan klasik mengajarkan ketakutan terhadap kekuatan gaib yang tak terlihat, Barongan Lele mengajarkan penghormatan terhadap ketahanan hidup yang sederhana dan terlihat. Ia mengubah fokus dari langit ke bumi, dari kasta tinggi ke kasta paling rendah dalam rantai makanan dan sosial. Inilah inti dari revolusi budaya yang diusung oleh konsep Barongan Lele; ia adalah cerminan dari masyarakat yang mulai menyadari bahwa musuh terbesar mereka bukanlah setan dari masa lalu, melainkan ancaman nyata di masa kini, seperti polusi dan ketidakadilan yang merusak pondasi hidup sehari-hari.
Melalui narasi ini, seniman menciptakan sebuah jembatan naratif yang kuat. Mereka tidak sekadar menempelkan kumis lele pada topeng singa; mereka menyematkan seluruh sejarah perjuangan rakyat kecil ke dalam ikon kegarangan aristokratis. Dampak psikologisnya sangat besar: audiens yang mayoritas adalah petani dan nelayan kini melihat refleksi perjuangan mereka di dalam sosok mitologi yang biasanya terasa jauh dan hanya milik bangsawan atau kelompok tertentu. Barongan Lele membawa mitos turun ke parit, menjadikannya relevan dan personal, sebuah kritik pedas terhadap budaya konsumsi yang melupakan ekologi dan ketahanan komunitas.
III. Estetika dan Koreografi: Gerak Geliat di Tengah Auman
Aspek visual dan performatif Barongan Lele menuntut kombinasi yang unik antara agresivitas visual Barongan dan keluwesan motorik Lele. Desain topeng harus mencerminkan kontradiksi ini secara harmonis, sementara koreografi harus mampu menceritakan kisah adaptasi dan ketidaksempurnaan.
3.1 Desain Topeng dan Kostum
Topeng Barongan Lele (dikenal sebagai Topeng Jala Wisa—Racun Jala) umumnya dibuat dari kayu Jati atau Pule yang diukir dengan detail kulit lele yang tidak rata, bukannya bulu atau sisik naga. Warna dominan adalah cokelat gelap, keabu-abuan, atau warna lumpur, dengan aksen merah menyala pada bagian mata, yang mempertahankan kegarangan Barongan. Bagian yang paling khas adalah kumis lele, yang dibuat dari serat ijuk atau bahkan kawat fleksibel yang dilapisi kain hitam. Kumis ini bergerak bebas, menambahkan dimensi visual gerakan yang tidak dimiliki oleh Barongan tradisional.
Tidak seperti Barongan yang memiliki mahkota rambut ijuk yang lebat, Barongan Lele sering kali hanya memiliki sirip punggung (dorsal fin) kecil yang tegak, terbuat dari kulit atau kayu tipis, yang diletakkan di atas kepala. Kostum penari juga berbeda. Rumbai-rumbai yang berat dan mewah dikurangi. Penari mengenakan pakaian yang lebih ringan, dominan warna biru tua dan abu-abu, menyerupai air keruh. Jika Barongan tradisional menari dengan perhiasan emas dan cermin, Barongan Lele menggunakan ornamen dari benda-benda temuan: cangkang kerang, pecahan keramik, atau bahkan jaring ikan yang robek. Ini memperkuat narasi kemiskinan dan keterbatasan sumber daya.
3.2 Teknik Tari: Gerak Bawah dan Geliatan Lumpur
Koreografi Barongan Lele dikembangkan dari dua tradisi gerak: Gerak Atas (yang agresif dan mengaum, khas Barongan) dan Gerak Bawah (yang lentur dan mencari, khas Lele). Gerakan tarian dimulai dengan Gerak Atas, di mana Barongan Lele menampilkan auman dan lompatan khas predator. Namun, secara tiba-tiba, energi tersebut meredup. Tubuh penari merosot ke lantai, memulai serangkaian gerakan yang meniru lele: menggeliat, berenang di air dangkal, dan menyelam ke lumpur. Ini adalah Gerak Bawah, yang membutuhkan kelenturan otot perut dan punggung yang ekstrem.
Gerakan ini bukan sekadar estetika, tetapi metafora. Gerak Bawah melambangkan bagaimana masyarakat harus "merangkak" dan beradaptasi untuk mencari nafkah di bawah sistem yang menindas atau lingkungan yang rusak. Penari menghabiskan waktu yang signifikan di permukaan tanah, kadang-kadang dengan kepala terbalik, meniru lele yang menggunakan kumisnya untuk merasakan makanan di dasar yang gelap. Transisi yang cepat antara auman agresi Barongan dan ketenangan pencarian Lele menciptakan ketegangan dramatis yang sangat kuat, menyiratkan bahwa kemarahan yang besar (Barongan) harus diimbangi dengan ketenangan dan ketekunan (Lele) untuk menghasilkan solusi nyata.
Salah satu gerakan paling ikonis adalah Tarian Mencari Oksigen, di mana Barongan Lele bergerak gelisah di lantai, lalu tiba-tiba melompat ke posisi vertikal (seperti lele yang muncul ke permukaan air untuk bernapas). Lompatan ini melambangkan momen pencerahan atau pemecahan masalah—penemuan solusi yang menyelamatkan jiwa dalam krisis.
3.3 Iringan Musik: Gamelan Banyu dan Ritme Kendang Keroncong
Musik pengiring (Gamelan Banyu) meninggalkan penggunaan dominan Bonang dan Saron yang keras, menggantinya dengan instrumen yang memiliki resonansi air: Gong Kempul yang diredam, Gender Air (alat musik logam yang diletakkan sebagian di baskom air), dan Kendang yang dimainkan dengan ritme lebih cepat dan lebih bergetar, menyerupai denyut nadi kehidupan di bawah air. Ditambahkan pula efek suara alami seperti gemericik air, dan kadang-kadang, penggunaan seruling bambu yang menghasilkan suara melankolis, kontras dengan terompet Reog yang riuh.
Penggunaan iringan ini menciptakan atmosfer yang lembap, tenang, namun di bawahnya terdapat ketegangan yang konstan, mencerminkan perjuangan lele untuk bertahan hidup. Ketika Barongan Lele mencapai momen trance, ritme Kendang akan mencapai kecepatan yang histeris, seolah-olah penari sedang berjuang melawan arus atau terjebak dalam jaring, sebelum akhirnya kembali ke ritme yang lambat dan mantap, melambangkan ketenangan setelah melewati badai.
IV. Barongan Lele sebagai Kritik Sosial dan Ekologis Kontemporer
Di luar nilai artistik semata, Barongan Lele berfungsi sebagai lensa kritis untuk menganalisis masalah-masalah struktural di Indonesia. Konsep ini bukan hanya hiburan, tetapi sebuah manifesto performatif yang menyoroti ketimpangan dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat laju pembangunan yang abai terhadap kearifan lokal.
4.1 Representasi Kelas Bawah yang Terabaikan
Dalam konteks Jawa dan Bali, topeng Barongan sering dikaitkan dengan narasi kekuasaan, sejarah kerajaan, dan mitologi yang agung. Ketika Barongan berwujud Lele, ia secara radikal mendemokratisasi ikonografi tersebut. Lele adalah makanan rakyat, mudah ditemukan, dan relatif murah. Ia adalah simbol ketersediaan dan ketahanan pangan. Dengan mengadopsi rupa Lele, seni pertunjukan ini menarik perhatian audiens kepada mereka yang hidupnya bergantung pada sumber daya alam yang semakin menipis. Barongan Lele adalah jeritan bisu dari komunitas petani dan nelayan kecil yang berjuang di tengah kenaikan harga dan polusi yang tak terkendali.
Gerakan-gerakan yang berfokus pada "mengorek" dan "mencari" di lantai pertunjukan secara puitis menggambarkan kesulitan mencari nafkah yang semakin hari semakin brutal. Hal ini berbeda dengan Barongan tradisional yang gerakannya penuh dominasi. Barongan Lele, meskipun kuat, adalah sosok yang rentan, mengajukan pertanyaan tajam kepada penonton: "Bagaimana sebuah entitas purba yang begitu kuat harus merendahkan dirinya menjadi ikan air tawar agar tetap relevan dalam lingkungan yang rusak ini?" Jawabannya adalah sebuah kritik terhadap sistem yang memaksa bahkan simbol-simbol kekuatan budaya untuk beradaptasi demi bertahan hidup.
4.2 Manifesto Konservasi Air Tawar
Ikan lele adalah barometer kesehatan air. Kemampuannya bertahan di air kotor adalah ironi tragis; ia bertahan, tetapi kelangsungan ekosistem terancam. Barongan Lele mengangkat isu krisis air dan polusi sungai ke panggung ritual. Setiap kumis yang bergetar, setiap gerakan tubuh yang meniru kesulitan bernapas di lumpur, adalah pengingat visual tentang bagaimana manusia telah memperlakukan sungai mereka. Pertunjukan ini menjadi semacam ritual penyesalan ekologis.
Dalam beberapa pementasan fiktif Padepokan Banyu Aji, para penari Barongan Lele akan membawa wadah kecil berisi air sungai yang keruh selama pertunjukan, dan pada klimaks trance, air tersebut akan dipercikkan kepada penonton. Aksi ini bukan untuk memberkati, melainkan untuk menyadarkan: "Inilah air yang kita minum. Inilah lumpur tempat kita mencari rezeki." Ini adalah intervensi artistik yang memaksa refleksi audiens mengenai tanggung jawab mereka terhadap kelestarian lingkungan air tawar, yang merupakan fondasi peradaban agraris di Nusantara.
Peran Barongan Lele di sini bertransformasi menjadi Avatar Ekologis—ia bukan lagi hanya penjaga spiritual desa, melainkan penjaga sumur, sungai, dan parit. Ia mewakili keterikatan tak terhindarkan antara spiritualitas tradisional dan kesehatan lingkungan. Seniman yang menciptakan konsep ini menegaskan bahwa tidak ada spiritualitas yang dapat bertahan jika bumi tempat ritual dilakukan telah diracuni. Untuk menghormati leluhur, pertama-tama kita harus menghormati tempat tinggal leluhur dan roh air.
V. Barongan Lele dalam Konteks Seni Pertunjukan Hybrid Nusantara
Barongan Lele bukanlah satu-satunya seni pertunjukan yang mencoba mengawinkan tradisi purba dengan narasi modern. Indonesia kaya akan seni hibrida yang terus berevolusi. Namun, Barongan Lele memiliki kekhasan yang membedakannya dari bentuk-bentuk kontemporer lain seperti Reog Modern atau Jathilan kontemporer.
5.1 Kontras dengan Reog dan Jathilan
Reog Ponorogo, dengan Dhadhak Merak yang megah, seringkali berfokus pada narasi kekuasaan politik dan sejarah heroik kerajaan. Reog mengagungkan ukuran, kekuatan fisik, dan dominasi visual. Jathilan (Kuda Lumping) berfokus pada narasi kesatuan prajurit dan keberanian dalam kelompok. Barongan Lele, sebaliknya, berfokus pada individu yang terisolasi dalam perjuangan ekonomi, menempatkan nilai pada ketekunan diam-diam, bukan pada parade heroik. Jika Reog adalah epik tentang raja dan perang, Barongan Lele adalah balada tentang petani dan sungai yang tercemar.
Perbedaan paling mencolok terletak pada motif spiritualitas. Reog dan Jathilan sering menggunakan trance untuk menunjukkan kekebalan tubuh, sebuah demonstrasi kekuatan gaib yang eksplosif. Barongan Lele menggunakan trance (Kesurupan Lele) untuk menunjukkan adaptasi dan pencarian, sebuah demonstrasi kekuatan mental dan ketahanan emosional. Ini adalah perubahan paradigma dari spiritualitas yang bersifat demonstratif menjadi spiritualitas yang bersifat introspektif dan fungsional.
5.2 Barongan Lele sebagai Medium Aktivisme Budaya
Di tangan seniman kontemporer yang sadar isu sosial, Barongan Lele menjadi alat aktivisme yang efektif. Pertunjukan tidak lagi diadakan di alun-alun desa yang steril, melainkan di lokasi-lokasi yang sarat makna: di samping pabrik yang membuang limbah, di pasar ikan yang ramai, atau di tengah sawah yang gagal panen. Lokasi pertunjukan (setting) menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi. Dengan membawa topeng mitologis ke ruang publik yang problematis, seniman memaksa audiens untuk menghadapi kontradiksi antara kekayaan budaya yang diwariskan dan kenyataan degradasi lingkungan yang dihadapi.
Gerakan aktivisme budaya ini berupaya membangun kesadaran kritis melalui medium yang diakui secara tradisional. Ketika penari Barongan Lele berputar dan menggeliat di depan cerobong asap pabrik, mereka menyajikan sebuah kritik visual yang jauh lebih kuat daripada poster atau demonstrasi biasa. Mereka menggunakan otoritas spiritual dari topeng Barongan untuk memberikan legitimasi moral pada protes ekologis mereka.
Masa depan Barongan Lele, jika konsep ini terus berkembang, terletak pada kemampuannya untuk menjadi narator bagi isu-isu yang terpinggirkan. Selama sungai-sungai Indonesia terus tercemar dan ketimpangan sosial terus melebar, Barongan Lele akan terus menjadi suara yang relevan, mendesak, dan mungkin, satu-satunya Barongan yang benar-benar jujur pada kondisi eksistensial masyarakat modern.
VI. Eksplorasi Mendalam Teknik Ukir dan Material: Antara Kayu Agung dan Kulit Lumpur
Proses penciptaan fisik Topeng Jala Wisa, topeng Barongan Lele, adalah perwujudan dari konflik filosofis yang mendasar. Pemilihan material dan teknik ukir bukan sekadar keputusan estetika, melainkan simbolisasi dari narasi yang lebih besar tentang kemunduran dan ketahanan. Dalam tradisi Barongan, pemilihan kayu sangat sakral; ia haruslah kayu yang berjiwa, seperti Jati atau Pule yang besar, yang telah melalui ritual tertentu. Dalam Barongan Lele, kesakralan ini direkonstruksi untuk mencerminkan nilai-nilai baru.
6.1 Ritual Pemilihan Kayu dan Penghormatan kepada Lele
Mpu Topeng (pengukir topeng) yang menciptakan Barongan Lele harus melakukan ritual yang berbeda. Alih-alih mencari kayu di hutan suci, Mpu Jala (dalam mitologi fiktif) harus mencari kayu yang ditemukan hanyut, terendam dalam air keruh, atau kayu bekas yang telah digunakan. Ini melambangkan bahwa seni Barongan Lele lahir dari sisa-sisa, dari puing-puing, sebuah penolakan terhadap kesempurnaan dan kemewahan Barongan lama. Kayu tersebut haruslah memiliki serat yang kuat namun bertekstur kasar, meniru kulit lele yang tidak bersisik. Proses pengukiran topeng ini seringkali dilakukan di dekat tepi sungai yang tercemar, sebagai bentuk pengakuan akan lingkungan baru di mana entitas ini harus beroperasi.
Yang paling unik adalah penambahan material organik yang biasanya dihindari dalam topeng suci. Kumis lele, meskipun terlihat sederhana, membutuhkan material yang fleksibel tetapi memiliki kesan hidup, seringkali dibuat dari akar pandan atau serat ijuk yang dicelup dalam lumpur sebelum dikeringkan. Pewarnaan tidak menggunakan cat emas atau perak yang cerah, melainkan pigmen alami yang diekstrak dari tanah liat (ochre) atau arang, memberikan hasil akhir yang gelap, kusam, dan membumi. Ini adalah seni yang merangkul ketidaksempurnaan, sebuah estetika yang disebut Estetika Lumpur, yang mengakui bahwa keindahan dapat ditemukan bahkan dalam degradasi.
Setiap goresan pada topeng Barongan Lele adalah interpretasi visual dari adaptasi. Gigi taring Barongan masih ada, namun ukurannya diperkecil dan lebih tumpul, seolah-olah kekuatan buasnya telah dijinakkan oleh kebutuhan untuk bertahan. Mata yang dicat merah menyala—satu-satunya elemen yang mempertahankan kegarangan mutlak—menandakan bahwa meskipun tubuhnya telah merunduk, jiwa perlawanan Barongan tetap utuh dan waspada. Hal ini mengirimkan pesan mendasar: ketahanan adalah bentuk perlawanan yang paling keras.
6.2 Keseimbangan Psikis Penari
Memerankan Barongan Lele memerlukan disiplin psikis yang luar biasa, berbeda dari sekadar membawa beban fisik topeng Barongan biasa. Penari harus mampu menyeimbangkan emosi dari dua kutub yang berlawanan: Rage (kemarahan Barongan) dan Resilience (ketenangan Lele). Latihan fisik berfokus pada teknik pernapasan dan fleksibilitas untuk menirukan gerakan menggeliat, yang secara fisik jauh lebih sulit daripada gerakan melompat yang kaku. Penari harus menahan rasa mual dan pusing saat melakukan gerakan "berenang" di lantai, sebuah tindakan yang secara metaforis mewakili kerelaan untuk menanggung kesulitan dalam lumpur kehidupan.
Persiapan spiritual melibatkan meditasi di dekat air, bukan di pura atau candi. Penari harus menginternalisasi filosofi Nrimo Ing Pandum (menerima bagiannya) namun dipadukan dengan semangat Barongan untuk menolak ketidakadilan. Ini adalah penerimaan yang aktif, bukan pasif. Mereka menerima kondisi lingkungan yang buruk (nrimo), tetapi mereka juga menggunakan kekuatan spiritual mereka (Barongan) untuk menggerakkan perubahan dan menunjukkan kekurangadilan tersebut kepada publik.
Topeng Barongan Lele, dengan berat dan bentuknya yang unik, berfungsi sebagai beban fisik dan spiritual. Beban ini harus diangkat, digeliatkan, dan dipertunjukkan sebagai bukti bahwa kesulitan tidak menghancurkan, tetapi menempa ketahanan. Jika seorang penari Barongan biasa merasa "terangkat" oleh roh, penari Barongan Lele harus merasa "tertekan" ke bawah oleh realitas, namun mampu bangkit kembali dengan kekuatan baru.
6.3 Dampak Sinestesia: Bau dan Tekstur dalam Pertunjukan
Aspek yang sering diabaikan dalam analisis seni pertunjukan adalah sinestesia—penggabungan sensori. Pertunjukan Barongan Lele seringkali menambahkan elemen sensorik yang kuat. Musik Gamelan Banyu tidak hanya didengar, tetapi juga dirasakan kelembapannya. Namun, elemen paling kontroversial adalah penggunaan bau. Kadang-kadang, lumpur atau air sungai yang benar-benar keruh digunakan sebagai bagian dari panggung, menciptakan aroma tanah, air busuk, dan lingkungan yang keras.
Tujuan dari penggunaan bau dan tekstur ini adalah untuk menghilangkan jarak estetika antara seni dan realitas. Penonton tidak hanya melihat pertunjukan tentang polusi; mereka mencium dan merasakan realitas polusi itu sendiri. Ini adalah pengalaman yang mengganggu dan memaksa partisipasi emosional, menegaskan bahwa Barongan Lele adalah seni yang lahir dari kotoran dan perjuangan, bukan dari kemewahan panggung berpendingin udara. Ini adalah spiritualitas yang autentik karena ia berani berdiam di tengah kejelekan, dan menemukan martabat di sana.
VII. Barongan Lele: Sebuah Simbol Keabadian Budaya dalam Kepunahan Ekologis
Di akhir eksplorasi yang mendalam ini, Barongan Lele hadir bukan sekadar sebagai subgenre seni pertunjukan, melainkan sebagai sebuah ramalan budaya. Ia meramalkan masa depan di mana tradisi harus melucuti kemewahannya dan merangkul kerendahan hati agar tetap relevan. Keabadian budaya, dalam pandangan Barongan Lele, tidak terletak pada pelestarian bentuk aslinya yang kaku, tetapi pada kemampuan intinya untuk bertransformasi dan mencerminkan penderitaan dan harapan zaman.
7.1 Kontemplasi atas Keseimbangan (Harmoni Jala Wisa)
Topeng Jala Wisa mengajarkan kita tentang keseimbangan yang kontradiktif. Barongan adalah api, Lele adalah air. Barongan adalah kemarahan, Lele adalah kesabaran. Gabungan keduanya menciptakan sebuah energi yang menstabilkan. Masyarakat yang didorong oleh kemajuan industri seringkali hanya fokus pada "api" Barongan—keinginan untuk dominasi, pembangunan yang cepat, dan ekspansi tanpa batas. Konsekuensinya adalah kehancuran lingkungan (air). Barongan Lele adalah panggilan untuk menyuntikkan energi "air" ke dalam sistem yang terlalu didominasi "api." Ia mengingatkan bahwa keberlanjutan datang dari kemampuan untuk mundur, bertahan, dan mencari di kedalaman yang sunyi.
Harmoni Jala Wisa adalah filosofi yang mengajarkan bahwa kekuatan sejati berada di persimpangan antara agresi dan kerendahan hati. Kita harus memiliki kemarahan untuk melawan ketidakadilan, tetapi kita juga harus memiliki kesabaran dan ketekunan lele untuk bertahan hidup setelah pertempuran usai. Ini adalah narasi ketahanan yang berkelanjutan, sebuah siklus adaptasi yang tak pernah berhenti.
7.2 Warisan Topeng yang Bergerak
Warisan Barongan Lele, jika ia berhasil menancapkan akarnya dalam sejarah seni Nusantara, akan menjadi pengingat abadi bahwa seni tradisional harus berani kotor, berani merangkul lumpur, dan berani berbicara atas nama yang terpinggirkan. Topeng ini bukan artefak museum yang statis, melainkan sebuah pernyataan politik dan ekologis yang bergerak. Ia adalah topeng yang berenang, yang menggeliat, yang menolak untuk diam dan indah di tengah realitas yang buruk.
Melalui kumisnya yang lembut namun kokoh, Barongan Lele berbisik kepada generasi mendatang: "Jangan hanya meniru kemegahan masa lalu; carilah kehidupan di tengah puing-puing masa kini." Inilah evolusi seni yang dibutuhkan oleh masyarakat yang terancam krisis iklim dan ketidakadilan sosial: seni yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memanggil kita untuk bertanggung jawab atas air yang kita minum dan tanah yang kita pijak.
Transformasi Barongan menjadi Barongan Lele adalah cerminan dari kesadaran kolektif yang matang, sebuah kesadaran bahwa pahlawan sejati saat ini mungkin bukan mereka yang bertarung di medan perang kosmik, melainkan mereka yang diam-diam berjuang untuk bertahan hidup, hari demi hari, di kedalaman lumpur kehidupan yang keruh.
Penghormatan terhadap lele, makhluk yang begitu diremehkan, adalah inti dari narasi ini. Lele adalah guru spiritual bagi Barongan. Ia mengajarkan Barongan untuk tidak membutuhkan kemewahan, tidak membutuhkan tepuk tangan yang meriah, melainkan hanya membutuhkan ruang kecil di dasar sungai untuk bernapas dan bertahan. Barongan Lele, pada akhirnya, adalah meditasi tentang martabat manusia dalam menghadapi kehancuran, sebuah ode untuk ketahanan yang tidak pernah habis, sekuat dan sebersahaja ikan lele itu sendiri. Eksplorasi ini, yang menggali setiap sudut dari mitologi fiktif hingga implikasi sosialnya, menunjukkan bahwa Barongan Lele adalah fenomena budaya yang kaya, kompleks, dan secara mendalam mengganggu norma estetika yang ada, menjadikannya salah satu manifestasi seni hybrid Nusantara yang paling penting untuk direfleksikan.
Setiap putaran dan putaran badan penari, setiap auman yang kini terdengar sedikit lebih bergetar dan berisi kesedihan, adalah sebuah narasi panjang tentang keharusan adaptasi. Ia adalah tarian yang abadi, karena selama ada perjuangan di lapisan bawah masyarakat, dan selama ada ancaman terhadap ekosistem air tawar, kisah tentang monster yang memilih menjadi ikan rendahan demi melindungi umatnya akan terus bergema. Barongan Lele adalah suara perlawanan yang berlumur lumpur, topeng kemarahan yang berbisik tentang harapan di dasar sungai kehidupan.
Kehadirannya di panggung adalah sebuah pernyataan tegas bahwa spiritualitas sejati tidak dapat dipisahkan dari kondisi material kehidupan sehari-hari. Ia adalah kritik terhadap spiritualitas yang melayang di awan dan lupa bagaimana rasanya mencari makan di air keruh. Barongan Lele adalah simbol utuh dari sinkretisme yang sehat: menggabungkan kekuatan tertinggi (Barongan) dengan kerendahan hati terendah (Lele) untuk menciptakan kekuatan baru—kekuatan untuk bertahan, kekuatan untuk memprotes, dan kekuatan untuk menyembuhkan bumi yang telah terluka parah. Seni ini, dalam segala kompleksitasnya, adalah cermin yang menangkap wajah masyarakat Indonesia kontemporer secara utuh: garang dalam semangat, tetapi harus bertahan dalam lumpur realitas.
Tingkat detail dalam ukiran, termasuk tekstur kulit yang kasar dan penempatan kumis yang strategis, menunjukkan bahwa pengrajin Barongan Lele tidak hanya membuat topeng, tetapi juga membuat sebuah pernyataan filosofis yang dalam. Kayu yang dipilih harus mampu menahan kelembapan dan kondisi lingkungan yang keras, sejalan dengan daya tahan ikan lele itu sendiri. Inilah mengapa kayu-kayu yang memiliki sejarah panjang, yang telah teruji oleh waktu dan cuaca, menjadi pilihan utama, menjauhi material baru yang terlihat mulus namun rapuh. Kesederhanaan material ini adalah bentuk perlawanan terhadap konsumerisme dalam seni. Mereka menunjukkan bahwa nilai sebuah topeng tidak diukur dari kilau emasnya, melainkan dari kedalaman cerita yang dibawanya, cerita tentang kelangsungan hidup yang tak terucapkan.
Setiap elemen pada Barongan Lele adalah hasil dari negosiasi estetika yang intens. Sirip punggung yang kecil dan runcing, misalnya, berfungsi sebagai pengingat bahwa meskipun ia telah "turun kasta" menjadi ikan, ia tetap memiliki kemampuan pertahanan yang tajam. Kontras antara mata yang tajam dan kumis yang sensitif menciptakan dualitas yang menawan. Mata yang merah menyala menunjukkan visi yang jelas akan bahaya, sementara kumis Lele menunjukkan sensitivitas terhadap lingkungan yang beracun. Penari harus menafsirkan dualitas ini dalam setiap gerakan, dari auman yang menggelegar hingga gerakan "mengendus" lumpur yang sunyi dan hati-hati. Ini adalah tarian yang memerlukan totalitas fisik dan emosional, sebuah pengorbanan yang mewakili pengorbanan masyarakat terhadap lingkungan demi kelangsungan hidup jangka pendek.
Pengaruh Gamelan Banyu dalam menciptakan lanskap sonik juga tidak bisa diabaikan. Penggunaan instrumen berbasis air menciptakan efek akustik yang unik, sebuah resonansi yang terasa berat dan lembap. Ritme yang cepat namun teredam sering kali terdengar seperti detak jantung di bawah air, menciptakan ketegangan yang mendalam bagi audiens. Ketika Barongan Lele memasuki fase Kesurupan, musik tidak hanya cepat; ia menjadi tidak terstruktur, meniru kekacauan mental dan fisik yang dialami oleh makhluk air yang berjuang untuk bertahan hidup di perairan yang mematikan. Hanya dengan kembalinya ritme kendang yang lambat dan mantap, yang melambangkan gerakan lele yang tenang setelah berhasil melewati kekacauan, ketertiban emosional dipulihkan, meninggalkan audiens dalam keadaan refleksi yang dalam dan damai, namun tetap gelisah oleh pesan ekologis yang disampaikan.
Barongan Lele mengajarkan bahwa tradisi hidup hanya jika ia berani merespons tantangan kontemporer dengan integritas. Ia menolak menjadi fosil sejarah; ia memilih menjadi spesies yang beradaptasi. Inilah esensi dari seni pertunjukan hibrida yang berhasil—kemampuan untuk menghormati masa lalu sambil secara radikal mengkritik masa kini. Transformasi Barongan, dari singa gunung yang sombong menjadi lele lumpur yang rendah hati, adalah sebuah pelajaran moral bagi seluruh bangsa: kekuatan sejati adalah kemampuan untuk bertahan dan menemukan rezeki di tengah segala keterbatasan.
Kisah Barongan Lele akan terus diukir dan ditarikan selama Indonesia masih bergumul dengan isu-isu marginalisasi dan kerusakan lingkungan. Setiap kali seorang penari Barongan Lele mengangkat topengnya, mereka tidak hanya mengangkat sebuah artefak kayu; mereka mengangkat narasi kolektif tentang perjuangan, ketahanan, dan harapan yang lahir dari lumpur. Mereka adalah penjaga sungai yang tersisa, simbol keabadian budaya yang memilih untuk berenang di bawah arus, jauh dari sorotan lampu panggung yang terang, namun tetap vital dan esensial bagi kehidupan.
Keseluruhan filosofi ini, dari pemilihan kayu yang bersahaja hingga gerakan tarian yang menggeliat, membentuk sebuah kesatuan naratif yang tak terpisahkan. Barongan Lele adalah puncak dari kritik budaya yang menggunakan bahasa mitologi untuk berbicara tentang krisis modernitas. Ia adalah perwujudan dari pemahaman bahwa budaya dan alam adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika alam mati, spiritualitas juga akan meredup. Oleh karena itu, topeng Barongan Lele adalah panggilan untuk menyelamatkan air, bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai rumah bagi roh dan fondasi bagi ketahanan manusia. Dan di tengah semua kegarangan dan kesunyiannya, Barongan Lele berdiri sebagai monumen bergerak bagi ketidakmungkinan yang berhasil dicapai—sebuah kegarangan yang menemukan kedamaian dalam lumpur.
Penghayatan mendalam terhadap peran lele sebagai makhluk yang gigih ini membentuk fondasi dari setiap pementasan. Bukanlah kemudahan yang menjadi fokus, melainkan kesulitan yang teratasi. Penari seringkali menampilkan adegan di mana mereka berjuang melawan jaring tak terlihat atau berdesak-desakan dengan lele lainnya, simbol dari persaingan ekonomi yang ketat di kalangan masyarakat bawah. Kelelahan yang nyata pada penari Barongan Lele setelah pertunjukan adalah bagian dari ritual; itu melambangkan kelelahan yang dialami oleh mereka yang hidupnya adalah perjuangan harian yang tak pernah usai. Namun, pada akhirnya, ia selalu bangkit, menggeliat keluar dari batas-batas panggung, kembali ke air, menegaskan bahwa siklus perjuangan dan ketahanan akan terus berlanjut tanpa batas waktu.
Dalam konteks seni rupa, Topeng Jala Wisa telah menginspirasi banyak seniman visual untuk menjauhi ikonografi tradisi yang mapan dan merangkul representasi yang lebih jujur terhadap kondisi sosial. Mereka mulai menggunakan material-material daur ulang atau material yang dianggap "kotor" untuk menciptakan karya seni, sebagai bentuk penghormatan terhadap etos Barongan Lele. Ini adalah peleburan yang tak terelakkan antara seni panggung, seni rupa, dan aktivisme, yang semuanya berpusat pada sosok hibrida yang berani merendahkan diri demi tujuan yang lebih besar. Pengaruh ini menunjukkan bahwa Barongan Lele bukan hanya sekadar pertunjukan; ia adalah gerakan kebudayaan yang menolak untuk berpuas diri dengan kemewahan topeng-topeng kuno. Ia memilih realitas yang keras, dan dalam pilihan itu, ia menemukan keindahan yang jauh lebih abadi.
Lele: Simbol Kehidupan yang Diam di Dasar Realitas.