Barongan Hijau: Simbolisme, Sejarah, dan Mistisme Jawa

Ilustrasi Topeng Barongan Hijau

Representasi Visual Topeng Barongan Hijau, Melambangkan Kekuatan Alam dan Kesuburan.

Pendahuluan: Misteri Warna Hijau dalam Tradisi Barongan

Barongan, sebagai salah satu warisan seni pertunjukan tradisional di Nusantara, terutama di Jawa dan Bali, selalu memukau dengan intensitas gerak dan kekuatan mitologis yang diwakilinya. Secara umum, Barongan dikenal dengan topeng raksasa yang didominasi warna merah, hitam, dan emas, melambangkan keberanian, kekuasaan, atau sifat buta (raksasa). Namun, di beberapa kantong budaya tertentu, terutama yang sangat kental dengan spiritualitas agraria dan hutan, muncul varian yang jauh lebih langka dan menyimpan misteri mendalam: Barongan Hijau.

Barongan Hijau bukan sekadar variasi estetika; ia adalah manifestasi simbolis yang berbeda dari Barongan konvensional. Jika Barongan Merah sering dikaitkan dengan Bathara Kala atau kekuatan bumi yang eksplosif, Barongan Hijau cenderung terhubung erat dengan Nyi Roro Kidul, Dewi Sri, atau entitas penjaga hutan (Danyang). Warna hijau adalah kunci. Ia mewakili elemen alam, kesuburan, kehidupan, dan dimensi spiritual yang tersembunyi di balik semak belukar dan lebatnya pepohonan.

Eksplorasi terhadap Barongan Hijau menuntun kita pada pemahaman filosofis Jawa yang kompleks tentang harmoni antara manusia dan kosmos. Pertunjukan Barongan Hijau seringkali memiliki tujuan ritualistik yang spesifik, seperti memohon hujan, menolak bala (tolak balak) yang berkaitan dengan tanaman, atau menyucikan wilayah pertanian. Perbedaan ini menjadikan Barongan Hijau sebuah topik kajian yang kaya, melampaui sekadar seni tari menjadi sebuah manuskrip visual tentang keyakinan lokal yang masih bertahan.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami setiap lapisan makna yang menyelimuti Barongan Hijau. Mulai dari asal-usul historisnya yang kabur, interpretasi mendalam terhadap simbolisme warna hijau dalam konteks Jawa, ritual yang mengiringi pementasannya, hingga teknik kerajinan yang memastikan bahwa aura magis topeng tersebut tetap terjaga dari generasi ke generasi. Pemahaman atas Barongan Hijau adalah langkah penting untuk menghargai kekayaan pluralitas budaya Indonesia yang seringkali tersembunyi di balik popularitas ikon-ikon utamanya.

Sejarah dan Konteks Kultural Varian Hijau

Meskipun akar Barongan (atau Barong di Bali) dapat dilacak kembali ke masa prasejarah sebagai representasi binatang mitologis penjaga, munculnya varian Barongan Hijau diperkirakan berkembang seiring dengan sinkretisme agama dan kepercayaan animisme-dinamisme yang kuat di pedalaman Jawa. Barongan Hijau sering dikaitkan dengan daerah-daerah yang secara geografis masih dominan hutan atau memiliki sejarah panjang sebagai pusat pertanian yang bergantung pada irigasi alami.

Hubungan dengan Mitologi Agraria

Di Jawa, Dewi Sri adalah dewi padi dan kesuburan yang sangat dihormati. Warna hijau adalah representasi visual yang paling jelas dari kekuasaan Dewi Sri—padi yang menghijau, sawah yang subur, dan hutan yang memberikan kehidupan. Barongan Hijau, dalam konteks ini, berfungsi sebagai manifestasi atau kendaraan roh penjaga yang memastikan kelancaran panen. Ketika kekeringan melanda atau hasil panen buruk, pertunjukan Barongan Hijau dapat dilakukan sebagai ritual pengurbanan artistik untuk menenangkan roh alam.

Berbeda dengan Barongan Ponorogo (Reog) yang dominan singa merah-putih sebagai simbol Raja Singo Barong, Barongan Hijau lebih cenderung mengambil bentuk makhluk hutan atau naga sungai. Bentuk ini menegaskan perannya sebagai penjaga ekosistem air dan tanah. Di beberapa wilayah Blitar dan Kediri, narasi Barongan Hijau bahkan terjalin dengan kisah Ki Ageng Mangir, yang sering digambarkan memiliki kekuatan spiritual yang berhubungan langsung dengan energi bumi dan hutan, yang secara tradisional diidentikkan dengan warna hijau lumut atau hijau daun jati muda.

Raritas dan Lokalisasi

Barongan Hijau jauh lebih jarang ditemukan dibandingkan Barongan Merah atau Hitam. Ini bukan karena kurang populer, melainkan karena fungsinya yang sangat spesifik dan ritualistik. Ia umumnya tidak dipentaskan untuk hiburan umum, melainkan hanya pada momen-momen sakral atau peristiwa penting komunal. Para seniman dan pengrajin yang mampu membuat topeng Barongan Hijau sering kali adalah keturunan spiritual yang menjaga pakem dan pantangan tertentu, menambah aura eksklusif dan keramat pada kesenian tersebut.

Wilayah-wilayah seperti Jawa Tengah bagian selatan (yang dekat dengan pegunungan) dan beberapa desa konservatif di Jawa Timur (yang masih mempertahankan tradisi Dukuh) menjadi pusat konservasi Barongan Hijau. Ini menunjukkan bahwa tradisi ini bertahan kuat di tempat-tempat di mana ketergantungan masyarakat terhadap siklus alam masih sangat tinggi, dan kekuatan spiritual alam dianggap sebagai kekuatan yang paling menentukan nasib hidup.

Pemahaman sejarah ini memungkinkan kita menyimpulkan bahwa Barongan Hijau adalah jembatan antara dunia manusia dan alam gaib (dunia Leluhur atau Danyang), diperkuat oleh kepercayaan pra-Islam yang melekat pada kekuatan elemental. Kontinuitas tradisi ini menunjukkan ketahanan filosofi Jawa dalam menghadapi perubahan zaman, di mana simbol-simbol kuno terus diinterpretasikan ulang tanpa kehilangan esensi spiritualnya.

Perbandingan Varian Warna dan Filosofi Kosmik

Dalam kosmologi Jawa, warna memainkan peran krusial dalam menentukan sifat dan kekuatan entitas spiritual. Filosofi Barongan secara keseluruhan dapat dilihat sebagai representasi Papat Kiblat Lima Pancer (Empat Arah Mata Angin dan Pusat). Setiap warna Barongan menguasai arah tertentu dan elemen tertentu:

  1. Merah (Timur/Api): Melambangkan nafsu, keberanian, dan kekuatan fisik (Kamajaya). Dominan dalam Reog Ponorogo, mewakili keberanian singa dan Raja.
  2. Hitam/Biru Tua (Utara/Air): Melambangkan mistisisme, perlindungan gaib, dan kegelapan awal (Wisnu). Sering digunakan untuk karakter pendamping atau roh jahat yang dikendalikan.
  3. Putih (Barat/Angin): Melambangkan kesucian, kebijaksanaan, dan pencerahan (Sangkala). Digunakan pada topeng-topeng dewa atau pendeta.
  4. Kuning/Emas (Selatan/Bumi): Melambangkan kekayaan, kemuliaan, dan kekuasaan duniawi.
  5. Hijau (Pancer/Tengah/Kesuburan): Inilah posisi Barongan Hijau. Hijau seringkali melambangkan titik temu antara bumi (kuning) dan air (biru), menghasilkan kehidupan. Ia adalah warna yang menaungi kesatuan dan keseimbangan, mewakili Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan kehidupan) dalam konteks alam.

Kehadiran Barongan Hijau sebagai 'Pancer' menunjukkan bahwa ia tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap, tetapi sebagai mediator utama yang memastikan siklus kehidupan—dari lahir hingga panen—berjalan harmonis. Kesuburan yang disimbolkan oleh warna hijau adalah esensi dari kelangsungan hidup masyarakat agraris. Oleh karena itu, topeng ini diyakini memiliki energi yang menetralkan konflik antara elemen-elemen kosmis lainnya, menjadikannya artefak yang sangat dihormati dan dijaga kerahasiaannya.

Transisi Kultural dan Adaptasi Spiritual

Seiring masuknya pengaruh Hindu-Buddha dan kemudian Islam di Jawa, banyak tradisi Barongan yang mengalami penyesuaian narasi. Barongan Hijau, khususnya, berhasil diserap ke dalam narasi Islam-Jawa melalui identifikasi dengan para wali atau tokoh spiritual yang memiliki kedekatan dengan alam, seperti Sunan Kalijaga yang dikenal dekat dengan pepohonan dan sungai. Meskipun demikian, esensi animistik aslinya tidak hilang; ia bertransformasi menjadi penghormatan terhadap Kyai atau Nyai penjaga yang konon bersemayam di hutan keramat (alas gong) atau mata air suci (Umbul).

Kepercayaan lokal menegaskan bahwa Barongan Hijau yang otentik harus dibuat dari kayu yang diambil dari tempat yang dianggap wingit (angker) dan melalui serangkaian ritual puasa dan meditasi oleh sang perajin. Proses ini menjamin bahwa Barongan tersebut bukan sekadar topeng, melainkan wadah bagi roh penjaga yang telah disucikan. Kekuatan magis inilah yang membedakannya dari topeng Barongan komersial pada umumnya.

Di Jawa Barat, meskipun tradisinya berbeda, konsep topeng hijau sebagai penjaga kesuburan juga dapat dilihat pada varian topeng Cirebon atau Betawi yang kadang menggunakan warna hijau toska atau hijau zaitun untuk menggambarkan karakter yang berhubungan dengan kebijaksanaan dan kedalaman spiritual. Namun, di Jawa Timur dan Tengah, intensitas warna hijau Barongan seringkali lebih gelap, melambangkan kedalaman hutan yang tak tersentuh.

Simbolisme Warna Hijau: Kekuatan Spiritualitas Alam

Warna hijau dalam Barongan bukan sekadar pigmen, melainkan bahasa visual yang menyampaikan filosofi mendalam. Di Nusantara, hijau adalah warna yang kaya makna, seringkali berlawanan dengan merah yang melambangkan duniawi atau agresivitas. Hijau melambangkan:

1. Kesuburan dan Siklus Kehidupan

Secara harfiah, hijau adalah warna tanaman yang tumbuh. Dalam masyarakat agraris, hijau adalah janji kehidupan, makanan, dan keberlanjutan. Barongan Hijau muncul sebagai simbol kesuburan tak terbatas. Ketika Barongan ini menari, ia seolah-olah menyalurkan energi vital dari bumi, mendorong pertumbuhan dan menjauhkan penyakit yang menyerang panen. Kehadirannya diharapkan dapat ‘menghijaukan’ kembali kehidupan yang layu atau gersang.

2. Mistisisme dan Kesakralan

Dalam tradisi Jawa, tempat-tempat yang sangat wingit (keramat) seringkali digambarkan memiliki aura kehijauan. Hutan yang lebat, kuburan kuno yang ditumbuhi lumut, atau gua pertapaan adalah tempat-tempat di mana dimensi spiritualitas bertemu dengan fisik. Barongan Hijau, dengan dominasi warna ini, diasosiasikan dengan kekuatan yang berdiam di tempat-tempat tersebut. Ia adalah representasi roh yang tidak dapat dilihat, tetapi kekuatannya dirasakan—seorang penjaga gaib yang bertindak sebagai perantara.

3. Ketentraman dan Keseimbangan (Ijo Royo-Royo)

Istilah Jawa ijo royo-royo menggambarkan kondisi alam yang sangat subur, damai, dan makmur. Barongan Hijau mencerminkan harapan akan kondisi tersebut. Ia mewakili keseimbangan emosional dan spiritual. Ketika masyarakat merasa terpecah atau berada dalam ketidakpastian, kehadiran Barongan Hijau berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya kembali ke akar dan mencari kedamaian dalam harmoni alam.

4. Transformasi dan Penyembuhan

Banyak pengobatan tradisional Jawa menggunakan ramuan dari tanaman herbal (hijau). Oleh karena itu, warna hijau juga terkait dengan penyembuhan. Barongan Hijau sering dipanggil untuk ritual penyembuhan kolektif, di mana energinya dipercaya mampu menyerap penyakit atau energi negatif yang berasal dari lingkungan. Gerakan Barongan Hijau, yang biasanya lebih lambat dan lebih meditasi daripada Barongan Merah yang agresif, mencerminkan proses transformasi dan pemulihan ini.

Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa variasi intensitas hijau pada Barongan juga memiliki makna tersendiri. Hijau Lumut (gelap dan kusam) sering melambangkan kebijaksanaan kuno dan usia yang sangat tua, menghubungkannya dengan leluhur purba. Hijau Daun Jati (lebih terang dan segar) melambangkan kekuatan pertumbuhan dan vitalitas muda. Sedangkan Hijau Toska atau Biru Kehijauan, yang kadang muncul di bagian hiasan atau kumis, mungkin mengacu pada hubungan langsung dengan air atau lautan, mengarah pada mitos Nyi Roro Kidul yang sering dikaitkan dengan kerajaan hijau di Samudera Selatan.

Dalam konteks teater, ketika Barongan Hijau muncul bersama karakter berkulit putih (seperti tokoh Pangeran atau Punakawan yang suci), ia berfungsi sebagai kontras yang menegaskan bahwa spiritualitas tidak hanya ada di ranah manusia, tetapi juga meresap dalam setiap unsur alam. Ia menjadi pengingat bahwa di balik tawa dan keriuhan pertunjukan, ada kekuatan kosmis yang jauh lebih besar yang sedang dihormati dan dipanggil.

Kekuatan simbolik ini bukan hanya diakui oleh para penari atau dalang, tetapi juga oleh masyarakat penonton. Setiap kali Barongan Hijau menampakkan diri, ada jeda dalam kegembiraan; sebuah momen penghormatan dan keheningan yang mengakui kehadiran entitas suci yang diwakilinya. Ini adalah manifestasi nyata dari roso (rasa) spiritual yang dijunjung tinggi dalam kebudayaan Jawa.

Penting untuk dicatat bahwa Barongan Hijau seringkali tidak dilengkapi dengan asesoris yang mencolok atau berlebihan. Keindahan utamanya terletak pada kesederhanaan dan kedalaman warnanya, yang memungkinkannya memancarkan energi yang tenang namun mendominasi. Bulu-bulu atau rambut pada Barongan Hijau seringkali berwarna hitam alami atau hijau gelap, menirukan dedaunan rimbun atau rambut gimbal Danyang yang bertapa di hutan belantara. Detail ini semakin mengukuhkan identitasnya sebagai roh pelindung yang lahir dari kedalaman bumi.

Dalam interpretasi modern, Barongan Hijau dapat dilihat sebagai seruan untuk konservasi lingkungan. Karena ia mewakili keseimbangan alam, kerusakannya sering diartikan sebagai kemarahan roh yang bersemayam di dalamnya. Oleh karena itu, pementasannya di era modern juga membawa pesan ekologis yang kuat, mengingatkan manusia akan tanggung jawab mereka terhadap kelestarian alam, yang di masa lalu menjadi sumber utama kehidupan dan spiritualitas mereka.

Analisis semiotika terhadap motif-motif ukiran pada topeng Barongan Hijau juga mengungkap lapisan makna. Motif tumbuhan paku, daun-daunan, atau ular (Naga) yang berhubungan dengan air dan bumi, sering diukir secara samar di pipi atau dahi topeng, mengintegrasikan identitas maskulin dan feminin dari kekuatan alam. Ini menunjukkan kompleksitas pandangan dunia yang tidak memisahkan antara yang lembut (kesuburan) dan yang keras (kekuatan penjaga).

Aspek Ritual dan Pertunjukan Magis

Pertunjukan Barongan Hijau jauh berbeda dari pertunjukan Barongan hiburan murni. Ia terikat pada pakem ritual yang ketat dan seringkali diiringi oleh Gamelan dengan komposisi yang lebih mistis atau tempo yang lebih pelan, fokus pada Wirama (tempo) yang menenangkan, bukan memacu adrenalin.

Persiapan Sakral

Sebelum pertunjukan dimulai, topeng Barongan Hijau harus menjalani proses ritual pembersihan atau jamasan. Ini melibatkan pencucian topeng dengan air bunga tujuh rupa dan pembacaan mantra-mantra (Japa Mantra) yang bertujuan untuk 'menghidupkan' roh penjaga di dalamnya. Sang penari (Jathil atau Warok yang menguasai Barongan) juga harus menjalani puasa atau pantangan tertentu untuk memastikan kemurnian spiritualnya saat menyatu dengan Barongan.

Di beberapa desa, topeng Barongan Hijau hanya boleh disentuh oleh penjaga (Kuncen) dan dalang utama. Topeng tersebut disimpan di tempat keramat, jauh dari pandangan umum. Ini memperkuat keyakinan bahwa Barongan Hijau adalah pusaka suci, bukan properti panggung biasa.

Gamelan dan Musik Pengiring

Gamelan yang mengiringi Barongan Hijau sering menggunakan laras (tangga nada) Slendro yang lebih lembut dan menenangkan, berbeda dengan Pelog yang lebih bersemangat. Instrumentasi difokuskan pada Gong dan Kempul yang menghasilkan bunyi berat dan mendalam, menciptakan resonansi yang dipercaya dapat membuka portal spiritual. Lagu-lagu yang dibawakan biasanya adalah kidung-kidung kuno yang memuji keagungan alam, dewi kesuburan, atau leluhur yang melindungi sawah dan sungai.

Puncak Trans atau Janturan

Momen paling krusial dalam pertunjukan Barongan Hijau adalah ketika sang penari mencapai kondisi trans (kerasukan atau ndadi). Karena Barongan Hijau mewakili roh alam yang tenang namun kuat, transnya seringkali lebih terkontrol dibandingkan Barongan Merah yang cenderung brutal. Gerakannya mungkin menyerupai gerakan ular yang merayap, angin yang bertiup lembut di pepohonan, atau gerakan mencari makan seekor binatang di hutan. Saat ini, Barongan dipercaya menjadi medium di mana roh penjaga menyampaikan pesan, nubuat, atau berkah kepada komunitas.

Dalam kondisi trans ini, Barongan Hijau mungkin berinteraksi dengan elemen alam yang dibawa ke arena, seperti air suci atau hasil bumi pertama. Interaksi ini adalah puncak ritual, di mana janji kesuburan atau penyembuhan diwujudkan di hadapan masyarakat.

Struktur pementasan ritual Barongan Hijau mengikuti pola yang sangat teratur. Dimulai dengan Tarian Pembukaan yang dilakukan oleh para penari pendamping, yang bertugas membersihkan arena secara spiritual. Lalu, dilanjutkan dengan Gending-gending (musik) pemanggil, yang intensitasnya perlahan meningkat hingga Barongan Hijau masuk. Kehadiran Barongan Hijau biasanya diumumkan dengan bunyi Gong yang tunggal dan berat, menciptakan suasana hening yang mencekam.

Fase Tarian Inti Barongan Hijau memakan waktu yang cukup lama, bisa mencapai satu hingga dua jam, tergantung kompleksitas ritual yang dibutuhkan. Dalam fase ini, ada gerakan-gerakan spesifik yang disebut Solah Ijo (Gerakan Hijau), yang meniru perilaku vegetasi—mengayun, membungkuk, dan berputar lambat, meniru siklus tumbuh dan layu. Gerakan ini bertujuan untuk menyerap energi negatif dari tanah dan menggantinya dengan energi positif dari langit.

Di akhir ritual, Barongan Hijau akan melakukan Sabetan (pukulan) ringan menggunakan ekor atau hiasan rambutnya kepada beberapa perwakilan masyarakat. Pukulan ini dipercaya sebagai penyaluran berkat, perlindungan, dan kekuatan penyembuhan. Setelah trans selesai, penari akan ‘dibangunkan’ dengan irama Gamelan penutup dan air suci yang disiramkan. Seluruh proses ini adalah pertunjukan teaterikal yang berfungsi sebagai katarsis kolektif dan pengukuhan kembali identitas spiritual komunal.

Keterlibatan penonton dalam ritual ini juga sangat tinggi. Mereka tidak hanya menonton, tetapi berpartisipasi dalam pembacaan donga (doa) dan sesekali memberikan persembahan berupa bunga atau dupa di sekitar arena pertunjukan. Ini menekankan bahwa Barongan Hijau adalah milik komunitas, dan kekuatan magisnya berasal dari kolektivitas keyakinan yang dipertahankan bersama.

Masyarakat setempat percaya bahwa jika ritual Barongan Hijau tidak dilakukan dengan benar, atau jika topengnya diperlakukan tidak hormat, maka bencana alam (seperti banjir bandang atau gagal panen besar) akan menimpa desa. Kekuatan Wisa (racun atau kutukan) yang terkandung dalam Barongan tersebut jika murka dianggap jauh lebih dahsyat daripada kemarahan Barongan biasa, karena ia melibatkan murka seluruh alam semesta.

Studi Kasus: Barongan Hijau di Wilayah Pegunungan Kidul

Di daerah pegunungan kapur yang membentang dari Wonogiri hingga Gunung Kidul, di mana air adalah komoditas yang sangat berharga, Barongan Hijau memiliki interpretasi yang sedikit berbeda. Di sini, ia dikenal sebagai Macan Alas Segara (Macan Hutan Laut), menekankan hubungannya dengan sumber air bawah tanah. Topeng di wilayah ini sering memiliki aksen biru-hijau yang lebih menonjol, mencerminkan warna air purba yang tersimpan di dalam gua-gua kapur.

Pertunjukan di wilayah ini sering diadakan menjelang musim kemarau panjang. Ritualnya mencakup prosesi membawa topeng Barongan Hijau ke sumber mata air utama, di mana doa-doa dipanjatkan agar sumber air tersebut tidak mengering. Seluruh desa akan mengikuti prosesi ini dalam keheningan, membawa obor dan sesajen. Tarian Barongan di sini diwarnai oleh gerakan mengais dan menggali, mensimulasikan upaya mencari air yang tersembunyi jauh di dalam bumi. Keberhasilan ritual ini dianggap menentukan kelangsungan hidup komunitas selama musim kering.

Penjaga Barongan (sering dipanggil Ki Topeng) di wilayah ini harus berasal dari garis keturunan yang memiliki keahlian dalam ilmu Titik Dalan Banyu (menemukan jalur air). Keterkaitan antara seni pertunjukan, spiritualitas, dan pengetahuan ekologis praktis ini menjadikan Barongan Hijau sebagai warisan yang multidemensi.

Tradisi Ider Bumi (mengelilingi batas desa) dengan Barongan Hijau juga sangat umum dilakukan. Ini bukan sekadar tarian, melainkan patroli spiritual. Barongan tersebut akan berhenti di empat titik utama penjuru desa, di mana mantra perlindungan dipasang untuk memastikan bahwa energi negatif atau roh-roh jahat tidak dapat memasuki wilayah yang dilindungi. Tarian di setiap titik memiliki variasi gerakan yang melambangkan tantangan yang berbeda, seperti tarian pertahanan melawan hama, atau tarian kesyukuran saat panen melimpah.

Filosofi yang mendasari semua ritual ini adalah Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan/Alam). Barongan Hijau berfungsi sebagai representasi fisik dari persatuan tersebut, menunjukkan bahwa harmoni sosial mustahil tercapai tanpa harmoni dengan lingkungan alami. Kegagalan dalam menghormati alam, yang diwakili oleh Barongan Hijau, akan berakibat pada kekacauan baik di dunia fisik maupun spiritual.

Seni Kerajinan dan Pembuatan Topeng

Pembuatan topeng Barongan Hijau adalah proses yang sarat dengan mistisisme, jauh melampaui teknik ukir biasa. Kerajinan ini melibatkan pemilihan bahan yang sakral dan serangkaian ritual penyucian yang panjang.

Pemilihan Kayu dan Bahan

Kayu yang paling sering digunakan adalah kayu beringin (Wringin), kayu randu alas, atau kayu kemuning, yang semuanya dipercaya memiliki daya magis dan ketahanan alami. Yang terpenting, kayu tersebut harus diambil dari pohon yang dianggap keramat atau yang tumbang secara alami (bukan ditebang), sebagai tanda bahwa roh pohon telah merelakan dirinya menjadi wadah Barongan.

Sebelum mengukir, perajin (Undagi) akan meminta izin kepada roh penjaga hutan melalui sesajen dan doa. Ukiran topeng dilakukan di hari-hari tertentu dalam kalender Jawa (misalnya, Jumat Kliwon), dan selama proses mengukir, perajin seringkali harus berpuasa mutih (hanya makan nasi putih dan air) atau ngebleng (berpuasa total) untuk menjaga fokus spiritual.

Pewarnaan dan Penguatan Aura

Untuk mencapai warna hijau yang keramat, pewarnaan tradisional sering menggunakan pigmen alami. Kombinasi yang lazim adalah perpaduan abu arang dengan pigmen mineral hijau yang dicampur dengan getah pohon atau kapur sirih, menghasilkan warna hijau tua yang dalam dan tahan lama. Pewarnaan ini tidak dilakukan secara tergesa-gesa; setiap lapisan warna diyakini ‘menanamkan’ doa dan energi spiritual tertentu.

Setelah topeng diukir dan diwarnai, prosesi Mewedar (memperkenalkan) dilakukan. Ini adalah ritual inisiasi di mana Barongan secara resmi 'diisi' dengan roh penjaga melalui upacara yang melibatkan sesajen lengkap, pembacaan silsilah, dan permohonan agar Barongan tersebut berfungsi sebagai pelindung yang setia.

Asesoris Barongan Hijau juga unik. Rambutnya sering menggunakan ijuk hitam atau serat daun aren yang dicat hijau gelap, menyerupai semak belukar. Hiasan mata sering dibuat dari batu akik hijau atau kelereng kuno, yang dipercaya dapat melihat dunia gaib. Seluruh elemen ini memastikan bahwa topeng Barongan Hijau adalah sebuah masterpiece seni sekaligus artefak spiritual yang hidup.

Dalam teknik ukir Barongan Hijau, detail pada ekspresi wajah sangat diperhatikan. Barongan ini tidak menampilkan raut kemarahan yang eksplosif seperti Barongan Merah. Sebaliknya, rautnya seringkali tenang namun intimidatif, dengan alis yang tebal dan mata yang memandang lurus, mencerminkan kebijaksanaan abadi. Ukiran taringnya tidak menonjol agresif, melainkan menyatu harmonis dengan struktur wajah, menunjukkan kekuatan yang tersimpan, bukan kekuatan yang dipamerkan.

Salah satu tantangan terbesar dalam membuat Barongan Hijau adalah mendapatkan tekstur yang tepat pada permukaan kulitnya. Perajin ulung sering menggunakan teknik pahatan yang menciptakan ilusi kulit yang ditutupi lumut atau sisik naga air. Tekstur ini membutuhkan kesabaran dan keahlian yang luar biasa, memastikan bahwa setiap lekukan mampu menangkap cahaya dengan cara yang meningkatkan aura mistis topeng.

Untuk Barongan Hijau, perajin juga harus memastikan bahwa berat topeng seimbang sempurna. Karena tarian ritualnya membutuhkan ketahanan fisik dan gerakan yang presisi, topeng tidak boleh terlalu berat, namun harus cukup kokoh untuk menahan kekuatan trans. Penyesuaian berat dilakukan dengan mengosongkan bagian dalam topeng secara strategis, menjadikannya kerangka yang ringan namun menyimpan kepadatan spiritual yang tinggi.

Konservasi topeng ini juga merupakan ritual tersendiri. Setiap topeng harus diolesi minyak cendana atau minyak kelapa yang telah dimantrai secara periodik, biasanya pada malam 1 Suro. Perawatan ini bukan hanya untuk mencegah kerusakan kayu, tetapi juga untuk ‘memberi makan’ roh penjaga di dalamnya, memastikan bahwa energi Barongan tidak pernah pudar.

Generasi muda perajin saat ini menghadapi tantangan dalam mempertahankan pakem ini. Kelangkaan kayu keramat dan godaan untuk menggunakan cat sintetis modern dapat mengurangi otentisitas spiritual topeng. Oleh karena itu, para sesepuh Barongan seringkali sangat ketat dalam memilih pewaris tradisi ukir Barongan Hijau, menekankan bahwa keahlian teknis harus didahului oleh kemurnian spiritual.

Kisah-kisah yang beredar di kalangan perajin sering menceritakan pengalaman spiritual yang terjadi selama proses pembuatan. Beberapa mengaku mendengar suara gemuruh hutan, mencium aroma tanah basah meskipun berada di dalam ruangan, atau bahkan melihat penampakan sekelebat Macan Hijau yang dipercaya adalah wujud roh penjaga yang sedang mengawasi proses ukir. Pengalaman-pengalaman mistis ini menjadi bagian integral dari kredibilitas dan keabsahan spiritual topeng Barongan Hijau.

Barongan Hijau dalam Arus Modern dan Konservasi

Meskipun Barongan Hijau berakar kuat pada tradisi ritualistik, kesenian ini tidak imun terhadap perubahan zaman. Dalam era modern, ia menghadapi dua tantangan utama: pelestarian otentisitas spiritual dan adaptasi agar tetap relevan bagi generasi muda.

Tantangan Konservasi Spiritual

Globalisasi dan modernitas telah menyebabkan banyak ritual yang mengiringi Barongan Hijau mulai luntur. Generasi muda sering melihat ritual puasa dan jamasan sebagai hal yang tidak praktis. Akibatnya, banyak Barongan Hijau yang dibuat hari ini kehilangan esensi mistisnya dan berubah menjadi topeng pertunjukan semata. Kelompok-kelompok konservatif berjuang keras untuk mendokumentasikan dan meneruskan pakem-pakem kuno ini, seringkali dalam bentuk perguruan tertutup yang menekankan aspek ngelmu (ilmu spiritual) di samping aspek seni.

Upaya pelestarian juga mencakup penanaman kembali jenis-jenis pohon keramat yang kayunya digunakan untuk topeng, memastikan bahwa sumber daya material dan spiritual tetap tersedia. Inisiatif komunitas ini bertujuan untuk menjaga ekosistem yang melahirkan keyakinan Barongan Hijau itu sendiri.

Adaptasi dan Wisata Budaya

Di sisi lain, Barongan Hijau mulai diakui sebagai warisan budaya yang menarik bagi wisatawan. Beberapa kelompok Barongan telah mulai menampilkan versi 'bersih' (tanpa trans yang ekstrem) dari Barongan Hijau, fokus pada keindahan gerak dan kostumnya yang unik. Adaptasi ini membantu mendanai kelompok seniman dan perajin, namun harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengomersialkan terlalu jauh aspek kesakralannya.

Dalam seni kontemporer, Barongan Hijau menginspirasi seniman visual dan penari modern yang ingin menyajikan tema ekologi dan spiritualitas Jawa. Ia muncul dalam lukisan, patung, dan bahkan film pendek sebagai simbol protes terhadap perusakan lingkungan atau sebagai representasi dari kekuatan feminin pelindung.

Masa Depan Barongan Hijau

Masa depan Barongan Hijau bergantung pada keseimbangan antara mempertahankan kerahasiaan ritual dan keterbukaan dalam pendidikan budaya. Sekolah-sekolah seni tradisional harus memasukkan pelajaran tentang filosofi warna hijau dan ritual yang menyertainya, bukan hanya mengajarkan teknik menari. Dengan demikian, Barongan Hijau akan terus menjadi artefak hidup yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengingatkan kita pada ikatan mendalam antara spiritualitas Jawa dan keagungan alam.

Untuk memahami sepenuhnya peran Barongan Hijau dalam masyarakat modern, kita harus melihatnya melalui lensa Antropologi Budaya. Ia berfungsi sebagai ‘memori’ kolektif yang mengingatkan desa pada kontrak sosial mereka dengan lingkungan. Ketika urbanisasi menarik generasi muda keluar dari desa, Barongan Hijau bertindak sebagai jangkar, mempertahankan identitas agraris dan spiritual mereka.

Dalam konteks global, Barongan Hijau menawarkan narasi tandingan terhadap pandangan dunia yang berpusat pada manusia (antroposentrisme). Ia menyajikan pandangan yang biosentris, di mana entitas manusia tidak lebih penting daripada pepohonan, air, atau roh penjaga. Nilai-nilai ini menjadi semakin relevan di tengah krisis iklim global, menjadikan Barongan Hijau bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga petunjuk moral untuk masa depan.

Salah satu organisasi konservasi di Jawa Timur bahkan telah memprakarsai proyek Barongan Ijo Lestari, sebuah program yang menyandingkan pelatihan tari ritual dengan praktik agroforestri (penghijauan hutan). Para penari Barongan dilatih untuk menjadi penjaga lingkungan yang aktif, secara harfiah mewujudkan peran Barongan Hijau sebagai pelindung alam. Program ini menciptakan lingkaran umpan balik positif, di mana seni mendukung ekologi, dan ekologi memperkuat spiritualitas seni.

Namun, tantangan terbesar tetaplah komersialisasi. Ketika wisatawan atau kolektor asing tertarik pada Barongan Hijau, muncul risiko topeng-topeng replika dibuat secara massal tanpa menjalani ritual inisiasi yang diperlukan. Topeng-topeng ini mungkin secara fisik mirip, tetapi dianggap hampa secara spiritual oleh masyarakat adat. Para Kuncen harus berjuang keras untuk membedakan antara Pusaka (pusaka sakral) dan Karya (karya seni komersial).

Pemerintah daerah dan institusi akademis kini mulai mengakui urgensi mendokumentasikan detail ritual Barongan Hijau. Proyek penelitian etnografi sedang dilakukan untuk merekam gerakan tarian yang spesifik (solah ijo), kidung pengiringnya, dan sejarah lisan yang hanya diketahui oleh beberapa sesepuh. Dokumentasi ini diharapkan menjadi benteng pertahanan terakhir melawan kepunahan spiritualitas yang terkandung dalam seni ini.

Secara estetika, Barongan Hijau juga mempengaruhi seni rupa modern Indonesia. Seniman sering menggunakan palet warna hijau gelap dan bentuk-bentuk organik Barongan ini untuk mengeksplorasi tema-tema tentang kekuatan tersembunyi, alam bawah sadar, dan identitas Jawa yang mistis. Penggunaan simbol ini dalam seni rupa kontemporer menunjukkan bahwa Barongan Hijau telah melampaui fungsinya sebagai topeng ritual; ia telah menjadi arketipe budaya yang kaya makna.

Kesimpulannya, Barongan Hijau adalah permata tersembunyi dari seni pertunjukan Nusantara. Ia adalah narasi tentang ketenangan, kesuburan, dan kesakralan. Dengan segala tantangan modernitas, keberadaannya tetap menjadi pengingat abadi bahwa seni yang paling kuat adalah seni yang akarnya tertanam jauh di dalam tanah dan spiritualitas masyarakatnya.

Upaya untuk melestarikan Barongan Hijau harus bersifat holistik. Ini berarti tidak hanya melindungi topeng dan tariannya, tetapi juga melindungi lingkungan alam tempat ia berasal, serta menjaga transmisi pengetahuan esoteris dari generasi ke generasi. Jika ini berhasil dilakukan, Barongan Hijau akan terus menari, membawa berkat dan keseimbangan ke Tanah Jawa.

***

Filosofi Hijau dan Konsep Dualitas Kosmis dalam Barongan

Dalam pandangan Jawa, kehidupan selalu diatur oleh dualitas: Rwa Bhineda, Loro Blonyo, atau Hitam dan Putih. Barongan Hijau menawarkan perspektif unik dalam dualitas ini. Ia bukanlah oposisi dari Barongan Merah (agresif/api), melainkan komplementer yang menyempurnakan siklus. Jika Merah mewakili kekuatan yang menghancurkan (agar dapat membangun kembali), Hijau mewakili kekuatan yang memelihara dan menyembuhkan. Keduanya harus ada. Sebuah komunitas yang terlalu banyak dipengaruhi oleh energi Merah (konflik, kekerasan) membutuhkan intervensi Hijau (kedamaian, penyembuhan alam).

Pendalaman filosofis ini sering dieksplorasi dalam tembang-tembang yang mengiringi Barongan Hijau. Syair-syair kuno sering membandingkan kulit Barongan dengan Watu Ijo (batu hijau, seperti giok atau lumut) yang melambangkan kekekalan, atau Suket Kalanjana (rumput abadi) yang selalu tumbuh meskipun diinjak. Analogi ini menekankan ketahanan spiritual dan keabadian alam.

Pada pementasan yang sangat jarang, Barongan Hijau akan menari bersama Barongan Putih. Perpaduan ini melambangkan kesucian alam (Putih) bertemu dengan vitalitas bumi (Hijau), menciptakan suasana yang sangat khidmat dan seringkali dipercaya membawa mukjizat kecil, seperti panen yang sangat melimpah atau kelahiran anak yang sehat setelah lama dinantikan. Duet ini adalah representasi visual dari doa-doa tertinggi masyarakat agraris.

Para penari Barongan Hijau seringkali mendedikasikan hidupnya pada laku spiritual. Mereka meyakini bahwa topeng memilih penarinya, bukan sebaliknya. Proses pemilihan ini seringkali melalui mimpi atau pertanda gaib. Penari yang terpilih harus memiliki karakter yang tenang, sabar, dan memiliki ikatan batin yang kuat dengan lingkungan sekitar. Jika penari memiliki karakter yang bertentangan dengan Barongan Hijau, dipercaya Barongan akan menolaknya, seringkali ditandai dengan topeng yang terasa sangat berat, atau bahkan penari yang jatuh sakit misterius.

Kekuatan Danyang yang disematkan pada Barongan Hijau juga menjadikannya subjek dari banyak mitos dan legenda lokal. Salah satu legenda menceritakan tentang seorang Danyang yang marah karena hutannya dirusak. Danyang ini kemudian menjelma menjadi Barongan Hijau raksasa yang menampakkan diri hanya untuk menghukum para penebang liar dengan penyakit misterius. Setelah ritual penyucian Barongan Hijau dilakukan oleh para sesepuh, hukuman tersebut dicabut, menegaskan kembali peran Barongan sebagai hakim moral alam.

Di masa kini, Barongan Hijau menjadi simbol perlawanan damai. Ketika komunitas menghadapi ancaman pembangunan yang merusak lingkungan (misalnya, pembangunan pabrik di atas lahan pertanian subur), pertunjukan Barongan Hijau sering dipentaskan di lokasi sengketa. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian publik melalui seni, sambil secara spiritual memohon perlindungan dari roh Barongan agar alam dipertahankan. Ini adalah contoh bagaimana seni tradisional bertransformasi menjadi aktivisme lingkungan yang sarat makna spiritual.

Dalam studi linguistik, istilah Barong sendiri memiliki konotasi ‘beruang’ atau ‘pemimpin yang kuat’. Barongan Hijau kemudian dapat diartikan sebagai ‘Pemimpin yang Kuat dari Alam’ atau ‘Penjaga Hutan Agung’. Interpretasi semacam ini membantu kita memahami mengapa ia dihormati sebagai entitas tertinggi di antara berbagai jenis Barongan lainnya dalam konteks ritual lokal tertentu.

Kesenian ini, pada intinya, adalah pelajaran tentang kerendahan hati. Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kekayaan atau kekuasaan manusia, melainkan pada kemampuan untuk hidup selaras dengan ritme alam yang tak terhindarkan. Dan di tengah hiruk pikuk modernitas, Barongan Hijau tetap berdiri sebagai mercusuar hijau, memancarkan cahaya spiritual dari hutan-hutan Jawa yang purba, mengingatkan kita semua akan warisan terpenting: Tanah dan Kehidupan.

***

Dengan demikian, Barongan Hijau bukan hanya sebuah topeng; ia adalah filosofi yang dinarasikan melalui tari, musik, dan ukiran. Ia adalah monumen hidup yang merayakan kesuburan, mistisisme, dan keberlanjutan. Melindungi dan mempelajari Barongan Hijau berarti melindungi inti dari spiritualitas ekologis masyarakat Jawa, sebuah tugas yang harus diemban oleh setiap generasi untuk memastikan bahwa warna hijau kehidupan tidak pernah pudar.

🏠 Homepage