Di tengah kekayaan seni pertunjukan Nusantara, terdapat sebuah entitas yang menggabungkan keindahan gerak, musik ritual, dan simbolisme spiritual yang intens: Barongan. Namun, dalam spektrum Barongan yang beragam—mulai dari yang ceria hingga yang anggun—muncul satu varian yang paling menarik perhatian sekaligus paling menakutkan: Barongan Devil Hitam. Sosok ini bukan sekadar topeng atau kostum; ia adalah manifestasi filosofis yang mendalam tentang kekuasaan, kegelapan, dan keseimbangan kosmis yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa dan Bali kuno.
Barongan Devil Hitam berdiri sebagai antitesis visual yang mencolok. Jika Barongan klasik sering kali menampilkan warna-warna cerah seperti merah, emas, dan hijau sebagai simbol kemakmuran atau keagungan raja, varian 'Devil Hitam' ini sepenuhnya diselimuti oleh warna hitam legam, dihiasi aksen merah darah dan taring putih yang menonjol. Warna hitam di sini melampaui sekadar warna fisik; ia adalah simbol dari kekuatan alam bawah, kegaiban, dan energi primordial yang tak terkendali. Ia mewakili sisi *Niskala* (tak terlihat) yang harus diakui keberadaannya demi menjaga harmoni *Sekala* (terlihat).
Eksplorasi terhadap Barongan Devil Hitam membawa kita ke persimpangan antara mitologi lokal dan ajaran spiritual. Ini adalah perjalanan untuk memahami mengapa kekuatan yang menakutkan, bahkan yang dianggap jahat, harus dirayakan dan diintegrasikan dalam ritual komunitas. Dalam konteks pertunjukan, kehadirannya bukan untuk menakut-nakuti secara dangkal, melainkan untuk melakukan pemurnian, menguji batas spiritual penonton, dan mengingatkan bahwa kegelapan adalah bagian integral dari terang. Artikel ini akan mengupas tuntas setiap lapisan dari sosok misterius ini, mulai dari akar historis, anatomis simbolis, hingga peran filosofisnya dalam menjaga keutuhan spiritual Nusantara.
Sejarah Barongan, sebagai seni pertunjukan topeng raksasa, memiliki akar yang sangat tua, jauh melampaui era kerajaan Islam. Barongan adalah warisan dari tradisi animisme dan dinamisme di mana topeng dan wujud binatang buas digunakan sebagai media komunikasi dengan leluhur atau roh pelindung. Topeng ini berfungsi sebagai *jimat* hidup, sebuah wadah tempat energi spiritual bersemayam.
Pada awalnya, Barongan kemungkinan besar merupakan representasi dari binatang totem yang diyakini memiliki kekuatan supranatural, seperti Harimau (simbol keberanian) atau Babi Hutan (simbol kesuburan dan kekuatan liar). Ketika Hindu-Buddha masuk, entitas-entitas ini diakomodasi ke dalam panteon dewa atau makhluk penjaga, seperti *Kala* (penguasa waktu/kematian) atau *Bhuta* (roh unsur alam).
Barongan Devil Hitam secara spesifik diduga kuat terinspirasi dari representasi Bhuta Kala—roh penguasa alam bawah yang haus darah dan kekuatan, namun yang keberadaannya sangat penting untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Dalam kosmologi Jawa dan Bali, Bhuta Kala bukanlah entitas jahat murni. Mereka adalah energi kekacauan (Chaos) yang harus dihormati, diberi sesaji (diupacarai), dan ditenangkan agar tidak mengganggu tatanan manusia. Warna hitam legam, yang merupakan inti dari Devil Hitam, secara tradisional diasosiasikan dengan dewa Siwa dalam aspeknya sebagai pelebur (Mahakala) atau yang menguasai arah utara, yang melambangkan misteri dan keabadian.
Transformasi dari roh hutan menjadi Barongan yang kita kenal sekarang melalui sinkretisme budaya yang kompleks. Di Jawa Timur, terutama terkait dengan tradisi Reog Ponorogo, Barongan (atau Dadak Merak) menggambarkan Singo Barong, raja hutan yang sombong. Sementara Barongan Devil Hitam cenderung memiliki karakter yang lebih purba, lebih dekat dengan konsep setan atau *Raksasa* dari cerita epik, namun dengan sentuhan lokal yang kental. Ia adalah manifestasi dari kekuatan liar yang dihormati, bukan ditaklukkan.
Istilah "Devil Hitam" sendiri adalah penamaan yang relatif modern, sering kali digunakan untuk membedakan Barongan yang karakternya sangat agresif dan dominan warna gelap dari Barongan lain yang lebih berwarna. Dalam tradisi yang lebih otentik, sosok ini mungkin disebut *Barongan Ireng*, *Barongan Kliwon*, atau *Barong Sewu* (Barong Seribu) yang merujuk pada kekuatannya yang tak terbatas.
Legenda sering menceritakan bahwa Barongan jenis ini berasal dari kayu sakral yang ditemukan di tempat keramat, seperti kuburan tua atau hutan angker (wingit). Kayu tersebut harus diambil pada malam *Jumat Kliwon* atau *Selasa Kliwon*, hari-hari yang dianggap paling kuat secara mistis. Prosesi pembuatan topeng Barongan Devil Hitam bukan sekadar pekerjaan seni, tetapi ritual spiritual yang melibatkan puasa, mantra, dan persembahan, memastikan bahwa roh yang diundang untuk bersemayam dalam topeng tersebut adalah roh yang kuat dan mampu melindungi, meskipun wujudnya menakutkan.
Kisah-kisah ini menegaskan bahwa Devil Hitam adalah perwujudan dari *roh penjaga* yang kekuatannya terletak pada penampilannya yang garang, yang berfungsi sebagai benteng spiritual. Ia menangkis roh-roh jahat lain dengan kekuatan yang setara atau lebih besar, menjalankan fungsi utama seni pertunjukan tradisional: Tolak Bala (menolak musibah).
Wujud fisik Barongan Devil Hitam adalah kanvas dari simbolisme yang padat. Setiap detail, mulai dari bahan baku hingga pewarnaan, memiliki makna filosofis yang terkunci dalam tradisi kerajinan tangan kuno.
Hitam adalah elemen kunci. Dalam pandangan kosmologi Jawa, warna hitam (atau ungu tua/biru pekat) sering dikaitkan dengan kedalaman, ketiadaan wujud yang jelas (void), dan asal-usul segala sesuatu. Ini adalah warna yang melambangkan kemisteriusan dan kekuatan yang belum terwujud (potensi). Secara spiritual, hitam melambangkan:
Bahan utama yang digunakan untuk mencapai kegelapan total ini seringkali adalah arang atau pigmen alami yang diyakini membawa energi tanah yang kuat. Tekstur bulu atau rambut yang menyelimuti Barongan (sering menggunakan ijuk hitam atau serat pohon aren) menambah kesan kuno, liar, dan tak tersentuh peradaban.
Meskipun Barongan ini didominasi kegelapan, elemen kontras sangat vital untuk memberi definisi karakter dan mengaktifkan energinya.
Merah digunakan pada mata, lidah, dan beberapa ornamen ukiran. Merah melambangkan api, keberanian, agresivitas, dan nafsu (amara). Dalam konteks Devil Hitam, merah adalah energi yang menggelegak di dalam kegelapan. Mata merah menyala menunjukkan bahwa makhluk ini sudah terbangun dan siap beraksi. Ini adalah perwujudan dari kekuatan *Rajas* (energi bergerak, hasrat) yang dikendalikan oleh kekuatan *Tamas* (kegelapan, misteri).
Taring dan gigi sering dicat putih bersih atau bahkan diberi lapisan gading/tulang asli. Putih melambangkan kesucian dan spiritualitas murni, tetapi ketika digunakan pada taring, ia melambangkan ketajaman, bahaya, dan kemampuan untuk merobek tabir ilusi. Kontras taring putih pada wajah hitam adalah titik fokus agresi visual—sebuah peringatan bahwa meskipun ia adalah penjaga, kekuatannya bersifat destruktif terhadap kejahatan.
Kadang-kadang, ukiran mahkota atau ornamen kecil di dahi Barongan Devil Hitam diberi sentuhan emas. Emas di sini bukan melambangkan kekayaan duniawi, melainkan kedudukan suci. Ia menegaskan bahwa kekuatan gelap ini berada di bawah otoritas kosmis yang lebih tinggi. Emas menunjukkan bahwa meskipun Barongan ini menyerupai setan, ia adalah setan yang 'disucikan' dan bertindak atas nama keadilan spiritual, bukan kejahatan sejati.
Anatomi wajah Devil Hitam dirancang untuk menimbulkan rasa gentar. Dahi yang menonjol, mata yang melotot keluar (kadang berbentuk lonjong atau segitiga), dan rahang yang besar adalah ciri khasnya. Desain ini secara psikologis memicu respons ketakutan naluriah pada manusia. Ukiran kayunya seringkali lebih kasar dan minimalis dibandingkan Barong Bali yang mewah, menekankan pada kekuatan murni dan primitif.
Mulut Barongan ini biasanya dibiarkan terbuka lebar. Dalam pertunjukan Reog atau Barongan Jawa Timur, rongga mulut ini berfungsi sebagai tempat penari Singo Barong menopang penari Jathilan. Namun, dalam konteks Devil Hitam, mulut terbuka ini juga melambangkan kesiapan untuk menelan masalah atau memuntahkan energi suci (sabda) yang menolak roh jahat.
Memahami Barongan Devil Hitam memerlukan pemahaman mendalam tentang konsep dualitas kosmis yang mendasari hampir seluruh kebudayaan Nusantara, terutama konsep Rwa Bhineda (Dua Perbedaan) atau keseimbangan Yin dan Yang versi Timur.
Dalam filosofi Jawa dan Bali, dunia tidak mengenal baik dan buruk mutlak, melainkan tatanan dan kekacauan. Kekuatan terang (Dharma, Kebaikan, Putih) tidak bisa berdiri sendiri tanpa Kekuatan gelap (Adharma, Kekacauan, Hitam). Kedua energi ini harus seimbang dan saling mendukung.
Barongan Devil Hitam adalah manifestasi visual dari Adharma yang berfungsi untuk Dharma. Jika Barong yang berwarna cerah (Barong Ket) melambangkan kebaikan dan kebahagiaan, Devil Hitam melambangkan elemen yang menakutkan, yang berfungsi sebagai penjaga gerbang realitas. Kehadiran Devil Hitam mengajarkan bahwa dalam diri setiap individu dan setiap komunitas, ada sisi liar, agresif, dan destruktif. Spiritualitas sejati bukanlah menghilangkan sisi gelap itu, melainkan mengintegrasikannya dan menggunakannya untuk tujuan perlindungan.
Barongan ini mengajarkan tentang kekuatan yang ditransformasi. Kegelapan yang disucikan menjadi penjaga. Rasa takut yang ditimbulkan oleh wujudnya adalah ujian mental bagi penonton. Barang siapa yang dapat melihat melampaui penampilan menakutkan dan mengenali fungsi pelindungnya, maka ia telah memahami esensi Rwa Bhineda.
Keberadaan Barongan Devil Hitam sangat erat kaitannya dengan ritual Bhuta Yadnya, yaitu persembahan yang ditujukan kepada Bhuta Kala. Tujuannya bukan untuk menyembah kejahatan, melainkan untuk memberikan hak mereka (sesaji) sehingga mereka kenyang dan tenang, serta bersedia membantu menjaga alam semesta. Devil Hitam, ketika tampil dalam upacara, bertindak sebagai perwakilan entitas-entitas Bhuta Kala yang "diundang" untuk hadir, menerima persembahan, dan kemudian kembali ke alamnya tanpa mengganggu manusia.
Tanpa keberadaan Devil Hitam, ritual pemurnian terasa kurang lengkap. Dia adalah kunci yang membuka gerbang spiritual untuk membuang energi negatif kolektif (sengkala) yang mungkin melekat pada desa atau masyarakat. Prosesi tarian yang intens dan musik yang menggetarkan (seperti Gamelan Angklung yang cepat atau Gamelan Selonding yang purba) adalah mekanisme untuk mengolah dan melepaskan energi ini, menciptakan ruang baru yang bersih.
Warna hitam juga dapat dihubungkan dengan konsep Sunyata (kekosongan) dalam Buddhisme Mahayana yang pernah sangat dominan di Nusantara. Kekosongan ini bukanlah kehampaan literal, melainkan realitas absolut yang melampaui semua dualitas. Barongan Devil Hitam, diselimuti warna ketiadaan, menjadi simbol bahwa pada akhirnya, semua bentuk dualistik (baik/buruk, terang/gelap) kembali ke Sunyata.
Warna hitam pada Barongan ini seolah-olah menyerap semua warna lain, menyiratkan bahwa ia adalah pemersatu dari segala potensi, baik yang terlihat maupun yang tidak. Dalam pertunjukan yang mencapai klimaks trance, penari yang kesurupan (kerasukan) menjadi jembatan antara dunia Sunyata dan dunia Sekala, memungkinkan Barongan Devil Hitam menjadi saluran kekuatan spiritual yang murni namun liar.
Barongan Devil Hitam tidak tampil di sembarang tempat. Kehadirannya selalu sarat makna ritual, bahkan ketika ia muncul dalam pertunjukan seni komersial, ia membawa aura keseriusan yang berbeda.
Salah satu elemen paling memukau dari pertunjukan Devil Hitam adalah potensi untuk Kesurupan atau *Ngelinggih* (di Bali). Penari yang memerankan Barongan ini harus memiliki kekuatan spiritual dan disiplin fisik yang luar biasa. Mereka tidak hanya menari, tetapi membiarkan energi (roh) Barongan masuk ke dalam diri mereka.
Tarian Devil Hitam cenderung lebih agresif, tiba-tiba, dan kurang teratur dibandingkan tarian Barong lain yang lebih luwes. Gerakannya melompat, membenturkan rahang Barongan ke tanah, atau melakukan gerakan menantang. Ini adalah upaya untuk meniru gerakan roh liar yang kerasukan, menunjukkan kepada penonton bahwa kekuatan yang mereka saksikan adalah kekuatan tak berakal budi yang sangat besar.
Dalam kondisi kerasukan, penari Barongan Devil Hitam seringkali menunjukkan kekuatan fisik yang abnormal, seperti memakan pecahan kaca (seperti Jathilan), mengunyah bara, atau menjadi kebal terhadap benda tajam. Fenomena ini bukan sekadar trik, melainkan demonstrasi visual dari transfer energi suci. Kekuatan ini, yang berasal dari Barongan Hitam, melindungi penari, sekaligus menunjukkan betapa berbahayanya energi yang mereka mainkan.
Musik Gamelan yang mengiringi Barongan Devil Hitam juga memiliki karakter yang khas. Ia biasanya lebih keras, lebih cepat, dan menggunakan instrumen yang menghasilkan suara yang lebih tajam dan mendominasi (seperti *kempul* dan *gong ageng* yang dipukul dengan ritme yang memburu).
Gending yang digunakan seringkali adalah gending-gending purba atau *Gending Bali Jero* (gending dari kawasan dalam/keramat) yang dirancang untuk memanggil roh. Ritme yang cepat dan berulang berfungsi sebagai katalisator trance, membantu penari dan bahkan sebagian penonton memasuki kondisi meditasi atau kerasukan ringan. Intensitas suara yang tinggi ini adalah bagian dari Bhuta Yadnya—menyediakan 'makanan' suara bagi Bhuta Kala, memuaskan hasrat mereka akan energi.
Dalam konteks sosial, Barongan Devil Hitam berfungsi sebagai katarsis kolektif. Ketika desa dilanda musibah, penyakit, atau kegagalan panen (yang diyakini disebabkan oleh roh jahat), Barongan Hitam diundang untuk tampil. Tujuannya adalah memancing dan melawan roh-roh negatif tersebut secara spiritual.
Pertarungan dramatis antara Devil Hitam dan tokoh protagonis (jika ada, seperti Patih atau Penari Leak yang baik) melambangkan konflik abadi antara tatanan dan kekacauan. Pada akhirnya, Devil Hitam, sebagai kekuatan yang telah dihormati dan diberi tempat, akan kembali ke posisinya sebagai penjaga, memastikan bahwa tatanan telah pulih dan masyarakat dapat hidup damai kembali. Tarian ini adalah terapi spiritual kolektif yang sangat kuat.
Di era globalisasi dan modernisasi, Barongan Devil Hitam menghadapi tantangan unik. Di satu sisi, ia menarik perhatian karena keunikan visual dan aura mistisnya yang kuat; di sisi lain, ia berisiko kehilangan kedalaman ritualnya dan tereduksi menjadi sekadar komoditas hiburan yang menakutkan.
Banyak kelompok seni pertunjukan modern mulai menciptakan topeng Barongan Devil Hitam yang meniru penampilan fisik yang mengerikan, tetapi menghilangkan ritual pensucian dan pengisian energi spiritual yang mendahuluinya. Barongan tanpa roh, menurut pandangan tradisional, hanyalah sebuah topeng kayu biasa. Ketika Devil Hitam tampil dalam festival atau acara pariwisata, fokusnya beralih dari pemurnian komunitas menjadi sensasi pertunjukan.
Tantangan terbesar adalah menjaga integritas filosofi. Jika Barongan Hitam hanya dilihat sebagai "setan" atau "iblis" dalam pengertian Barat yang dikotomi (jahat mutlak), maka fungsi aslinya sebagai penyeimbang dan pelindung akan hilang. Konservasi memerlukan edukasi yang menjelaskan bahwa kegelapan ini adalah sebuah aspek ketuhanan, bukan oposisi murni terhadap kebaikan.
Pelestarian Barongan Devil Hitam bergantung pada regenerasi seniman (pembuat topeng, penari, dan penabuh gamelan) yang masih memahami dan mempraktikkan ritual kuno. Pembuat topeng harus tetap menggunakan bahan-bahan sakral dan melalui proses spiritual yang ketat. Penari harus menjalani latihan fisik dan spiritual yang ketat, termasuk meditasi dan puasa, agar layak menjadi wadah bagi roh Barongan tersebut.
Beberapa komunitas adat, terutama di daerah pedalaman Jawa Timur, masih memegang teguh tradisi ini, memastikan bahwa setiap Barongan Devil Hitam yang dibuat adalah benda pusaka yang dihormati dan dipuja, bukan sekadar properti panggung. Mereka sering menyimpan topeng ini di tempat khusus (Pura atau Sanggar) dan hanya mengeluarkannya untuk ritual penting atau upacara besar.
Menariknya, citra Barongan Devil Hitam telah diadaptasi ke dalam berbagai media kontemporer, dari desain grafis, film horor independen, hingga seni jalanan. Meskipun hal ini membawa risiko komersialisasi, ia juga berfungsi untuk memperkenalkan ikonografi Nusantara ini ke audiens global.
Dalam seni kontemporer, Barongan Hitam sering digunakan untuk mengomentari isu-isu sosial—sebagai simbol dari energi politik yang kacau, atau sebagai representasi dari kekuatan alam yang murka karena dieksploitasi manusia. Hal ini membuktikan bahwa, meskipun wujudnya kuno, relevansi filosofisnya mengenai kekuatan liar dan kekacauan tetap abadi dan universal.
Detail yang sering terabaikan dalam analisis Barongan Devil Hitam adalah material dasar pembuatannya. Kayu yang digunakan untuk topeng Barongan bukan sembarang kayu. Ia haruslah kayu yang 'bernyawa' atau yang secara mistis memiliki energi spiritual tinggi.
Untuk Barongan Devil Hitam, kayu yang paling dicari adalah Dadap Serep, Pule (khususnya di Bali), atau jenis kayu hutan yang tumbuh di tempat yang dianggap keramat. Kayu-kayu ini dipilih karena memiliki serat yang kuat namun ringan, dan diyakini mampu menampung roh tanpa retak atau rapuh.
Proses pemotongan pohon dilakukan dengan ritual khusus, meminta izin kepada roh penjaga pohon (Dewi Sri atau roh hutan) dan memberikan sesaji. Ini memastikan bahwa energi yang diwariskan oleh kayu adalah energi positif yang telah melalui proses negosiasi, bukan energi yang dicuri. Ketika topeng Barongan Devil Hitam diukir dari kayu ini, ia membawa serta memori hutan, kekuatan bumi, dan daya tahan alam liar. Ini memperkuat simbolisme kegelapan yang alami, bukan kegelapan yang diciptakan oleh manusia.
Ijuk, serat hitam dari pohon aren, adalah salah satu elemen visual paling penting dari Devil Hitam. Ijuk memberikan tekstur kasar, liar, dan panjang yang melambangkan hutan yang tak terjamah dan kekejaman alami. Dalam mitologi, rambut panjang Barongan ini sering dianggap sebagai jaring penangkap roh-roh jahat. Ketika penari bergerak, ijuk tersebut berayun liar, seolah-olah menyapu dan membersihkan ruang pertunjukan dari segala aura negatif.
Ijuk juga sering dikaitkan dengan penolak bala karena sifatnya yang tangguh dan tahan lama. Ini melengkapi fungsi Barongan sebagai penjaga abadi. Perawatan Barongan Devil Hitam, termasuk proses pembersihan dan pengasapan ijuknya, seringkali menjadi ritual tersendiri yang harus dilakukan oleh seorang Juru Kunci atau seniman senior yang memiliki kemantapan spiritual.
Penggunaan material alami ini menjamin bahwa Barongan Devil Hitam tetap terikat pada energi bumi (pertiwi), memastikan bahwa kekuatannya adalah kekuatan yang bersumber dari akar spiritualitas Nusantara yang paling tua, jauh dari dogma agama terstruktur.
Selain fungsi ritual dan estetika, Barongan Devil Hitam menawarkan pelajaran psikologis yang mendalam bagi penonton. Ia memaksa kita untuk menghadapi sisi gelap yang kita pendam.
Dalam psikologi, terdapat konsep *Shadow Self* (Diri Bayangan)—aspek diri yang tidak kita sukai, kita tekan, atau kita tolak, yang sering kali muncul sebagai kemarahan, ketakutan, atau hasrat terlarang. Barongan Devil Hitam adalah representasi kolektif dari *Shadow Self* komunitas. Dengan melihat, mengakui, dan merayakan sosok menakutkan ini, masyarakat secara tidak sadar memproses dan mengintegrasikan ketakutan serta sisi destruktif mereka.
Reaksi ketakutan yang muncul saat melihat Barongan ini bukanlah akhir, melainkan awal. Jika seseorang mampu berdiri tegak dan menyaksikan pertunjukan intens Barongan Devil Hitam tanpa lari, ia dianggap telah berhasil mengatasi ketakutan internalnya sendiri. Ini adalah latihan meditasi aktif yang menggunakan seni dan ritual untuk mencapai ketenangan batin melalui konfrontasi visual dan emosional.
Barongan Devil Hitam juga berfungsi sebagai pengingat akan kerapuhan manusia. Di tengah modernitas yang sering mengagungkan rasionalitas dan kontrol, Barongan ini membawa unsur keacakan, ketidakpastian, dan kekuatan alam yang tak dapat dikontrol. Wujudnya yang menakutkan adalah penyeimbang terhadap keangkuhan intelektual.
Kehadiran Devil Hitam menuntut rasa hormat (takut yang dihormati) terhadap alam gaib dan kekuatan yang lebih besar dari diri kita sendiri. Ia mengajarkan kerendahan hati: bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari tatanan kosmis yang luas, dan bahwa di luar kendali logis kita, terdapat kekuatan-kekuatan primal yang menentukan nasib dan keseimbangan.
Barongan Devil Hitam adalah salah satu warisan budaya Nusantara yang paling kuat dan provokatif. Ia melampaui estetika seni pertunjukan semata dan menjadi teks filosofis berjalan yang membicarakan inti dari eksistensi: keseimbangan antara terang dan gelap, tatanan dan kekacauan, fisik dan gaib.
Melalui warna hitam pekatnya, ia tidak hanya menolak cahaya, tetapi menyerapnya, menjadi wadah bagi kekuatan yang tak terlukiskan. Melalui taring putihnya yang tajam dan mata merahnya yang membara, ia mengumumkan dirinya sebagai penjaga gerbang yang tak kenal ampun, yang tugasnya adalah menolak segala sesuatu yang mengganggu harmoni komunitas.
Kehadirannya dalam ritual terus menerus mengingatkan kita bahwa kekuatan yang paling efektif untuk melindungi seringkali adalah kekuatan yang paling menakutkan untuk dilihat. Barongan Devil Hitam adalah simbol yang abadi: kegelapan bukanlah ketiadaan, melainkan potensi tak terbatas yang, jika dihormati dan diarahkan dengan benar, akan selalu menjadi fondasi spiritual yang kokoh bagi peradaban Nusantara. Ia adalah bayangan yang melindungi terang, sebuah paradoks yang mendefinisikan jiwa seni dan spiritualitas bangsa ini.
Maka, saat menyaksikan Barongan Devil Hitam menari dengan liar diiringi tabuhan gamelan yang memekakkan, kita tidak sedang menyaksikan representasi kejahatan, melainkan menyaksikan manifestasi suci dari kekuatan alam bawah yang diundang untuk berdamai, menjaga, dan memurnikan kehidupan kita.