Pendahuluan: Membedah Dualitas Barongan Devil Biasa
Barongan, sebuah istilah yang merujuk pada seni pertunjukan topeng besar yang identik dengan warisan budaya Nusantara, khususnya Jawa dan Bali, menyimpan spektrum makna yang sangat luas. Di satu sisi, kita mengenal Barongan yang “biasa”—sebagai tontonan rakyat, hiburan musiman, atau representasi figur hewan mitologi yang dihormati seperti Singa Barong. Namun, di sisi lain, terdapat manifestasi Barongan yang jauh lebih gelap, lebih liar, dan secara spiritual lebih intens. Inilah wujud yang sering disalahpahami atau disebut sebagai Barongan “Devil” atau Buto Raksasa.
Istilah “devil” dalam konteks Barongan adalah terjemahan yang seringkali kurang tepat, hasil dari pandangan eksternal terhadap figur Buto (raksasa) yang ganas, bermata melotot, bertaring panjang, dan didominasi warna merah menyala. Figur ini tidak sekadar hantu atau iblis dalam pengertian Barat, melainkan personifikasi dari energi alam yang tak terkendali, nafsu duniawi (kemarahan, keserakahan), dan kekuatan purba yang harus diakui serta diseimbangkan.
Melalui artikel ini, kita akan menyelami lapisan-lapisan historis, simbolis, dan performatif yang membedakan Barongan “biasa” yang cenderung heroik atau komikal, dengan Buto Raksasa yang menakutkan dan penuh keramat. Kita akan memahami mengapa manifestasi Buto ini sangat vital dalam ritual tertentu, hubungannya dengan fenomena jathilan (kuda lumping) atau kesurupan (trance), serta bagaimana ia mewakili dinamika kekacauan dan keteraturan dalam kosmologi Jawa kuno.
Ilustrasi topeng Barongan Raksasa dengan taring tajam, melambangkan Buto yang ganas.
Kontras antara keagungan Singa Barong (yang sering diasosiasikan dengan raja atau kekuatan positif) dan kebrutalan Buto Raksasa (yang mewakili penghalang atau energi negatif) adalah inti dari drama Barongan tradisional. Tanpa pemahaman mendalam tentang oposisi ini, pertunjukan tersebut hanya akan terlihat sebagai tarian topeng semata, padahal ia adalah cerminan dari filosofi hidup Jawa tentang Rwa Bhineda—dua hal yang berbeda namun saling melengkapi dan dibutuhkan dalam penciptaan harmoni kosmis.
Akar Historis dan Mitologi Buto dalam Seni Pertunjukan
Barongan bukan sekadar kreasi seni, melainkan warisan yang berakar kuat pada tradisi animisme, dinamisme, serta pengaruh Hindu-Buddha yang pernah mendominasi Nusantara. Konsep Buto atau Raksasa adalah figur kunci yang muncul berulang kali dalam relief candi, naskah kuno, hingga wayang kulit.
Buto: Bukan Hanya ‘Monster’
Dalam mitologi Hindu, Raksasa (Buto) adalah klan makhluk dengan kekuatan luar biasa, seringkali antagonis terhadap Dewa (Surya) namun juga memiliki peran penting sebagai penjaga gerbang atau simbol kesuburan bumi. Buto mewakili sifat Tamas, yaitu kegelapan, kebodohan, dan nafsu yang harus dikendalikan oleh sifat Sattwa (kebaikan) dan Rajas (energi dinamis).
Ketika wujud Buto diangkat ke dalam Barongan, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur (seperti dalam Reog Ponorogo atau Jathilan), ia berfungsi ganda. Pertama, sebagai sumber ketakutan dan bahaya yang harus diatasi oleh pahlawan. Kedua, sebagai reservoir energi primordial yang sangat kuat. Barongan “Devil” ini seringkali diikatkan pada narasi lokal tentang roh penjaga hutan (Danyang), roh leluhur yang marah, atau manifestasi “kemarahan” alam itu sendiri.
Konteks Barongan “Biasa”
Barongan yang “biasa” lebih sering merujuk pada Barong Singo (Singa) yang elegan, kadang-kadang dihiasi dengan jubah merak (seperti pada Reog) atau Barong Ket (Bali) yang mulia. Wujud “biasa” ini, meskipun tetap keramat, berfungsi sebagai pelindung atau lambang keagungan. Perbedaan utama dengan Barongan Buto adalah pada niat dan energi yang dibawa. Barongan Singa cenderung ‘bermain’ dalam ritus yang lebih terstruktur, sementara Barongan Buto/Devil cenderung meledak dalam kondisi trance dan kekacauan yang diizinkan.
Perbedaan desain visualnya pun mencolok: Barong Singa memiliki surai lebat dan wajah yang berwibawa. Sementara Buto Raksasa, atau Barongan “Devil” ini, menampilkan ciri khas yang mengerikan: mata merah menyala, lidah menjulur, taring yang ekstrem, dan dominasi warna yang mengacu pada api dan darah (merah dan hitam).
“Buto Raksasa dalam Barongan adalah penyeimbang. Ia adalah sisi gelap yang diakui oleh masyarakat adat sebagai bagian tak terpisahkan dari eksistensi. Kekuatannya dipinjam, bukan dimusnahkan.”
Ritual Pembuatan dan Energi Keramat
Untuk Barongan Buto yang digunakan dalam ritual penyucian atau pertunjukan Jathilan yang melibatkan kerasukan, proses pembuatannya seringkali melibatkan ritual yang sangat ketat. Kayu yang digunakan haruslah kayu pilihan (seringkali kayu yang dianggap berpenghuni atau keramat), dan proses pewarnaan harus dilakukan dengan mantra dan sesajen. Ini bukan hanya masalah estetika, tetapi upaya menanamkan roh (spirit) ke dalam topeng, menjadikannya benda keramat yang mampu menarik energi luar biasa.
Ketika Barongan Buto ini menari, ia bukan lagi sekadar penari yang bergerak, tetapi wadah bagi entitas spiritual yang ganas. Energi inilah yang memicu para penari lain, khususnya penari Jathilan (Kuda Lumping), untuk jatuh ke dalam kondisi trance, menunjukkan kekuatan fisik abnormal, dan melakukan atraksi yang di luar nalar.
Anatomi Rupa: Memahami Desain Barongan Devil
Wajah Barongan “Devil” atau Buto Raksasa dirancang khusus untuk memproyeksikan kekuatan, keganasan, dan “kejelekan” yang sakral. Setiap elemen visual memiliki makna simbolis yang mendalam dalam konteks spiritual Jawa.
Taring dan Gigi Runcing
Taring atau gigi runcing (Siung) adalah ciri paling membedakan Barongan Buto. Taring melambangkan kekejaman, kekuatan predator, dan kemampuan untuk merobek tabir antara dunia nyata dan dunia gaib. Mereka seringkali dicat putih terang atau dibiarkan menyerupai tulang, kontras dengan wajah merah pekat. Taring menunjukkan bahwa entitas yang diwakilinya adalah makhluk pemakan (segala hal, termasuk kesedihan dan penyakit).
Warna Dominan: Merah dan Hitam
Warna merah (Abang) adalah simbol energi aktif, kemarahan (krodha), api, dan keberanian. Dalam tradisi Buto, merah adalah warna yang mendominasi wajah, melambangkan nafsu yang belum terkelola. Hitam, atau warna gelap, melambangkan kegelapan, kekuatan bumi (pertiwi), dan misteri. Kombinasi Merah-Hitam adalah representasi dari energi primal yang mentah dan belum terhaluskan oleh etika atau tata krama (Ngrasa).
Mata dan Sorotnya
Mata Barongan Buto selalu melotot (belalak), seringkali menggunakan bola mata yang sangat besar dan menonjol, kadang-kadang ditambahkan bulu mata panjang dan kasar. Mata yang besar melambangkan kewaspadaan total dan pandangan yang menembus dimensi. Sorot mata ini bukan hanya menakutkan penonton, tetapi juga diyakini dapat “menarik” energi dari lingkungan sekitar atau memanggil roh.
Hiasan Kepala (Jamang dan Mahkota)
Meskipun ganas, Barongan Buto juga sering mengenakan hiasan kepala yang rumit (Jamang), terkadang berbentuk api atau ornamen emas yang patah-patah. Ini menunjukkan bahwa meskipun mereka adalah energi liar, mereka tetap berada dalam hierarki kosmik. Mahkota yang terbuat dari bulu atau ijuk yang liar menambah kesan tidak teratur dan tidak tersentuh peradaban manusia.
Dalam pertunjukan, pergerakan topeng Barongan Buto ini jauh lebih kasar, lebih menghentak, dan lebih sporadis dibandingkan Barongan Singa. Gerakan ini mencerminkan sifat entitas yang diwakilinya: tidak terduga, agresif, dan penuh kekuatan fisik yang ekstrem.
Barongan Devil dan Fenomena Kerasukan (Trance)
Kekuatan paling nyata dari Barongan Buto Raksasa adalah kemampuannya untuk memicu atau memperkuat keadaan trance (kesurupan) pada para penari yang terlibat dalam upacara. Ini adalah titik di mana seni pertunjukan bertemu langsung dengan ritual magis.
Peran Pemicu Spiritual
Dalam rangkaian pertunjukan Jathilan atau Ebeg (Kuda Lumping), Barongan Buto seringkali muncul pada puncak ritual. Kehadirannya, yang disertai tabuhan Gamelan yang berirama cepat dan mendebarkan, berfungsi sebagai “pintu gerbang” bagi roh-roh untuk memasuki tubuh penari. Penari yang sudah dalam kondisi sugestif akan mudah dipengaruhi oleh kehadiran visual dan aura spiritual dari topeng Buto.
Simbol energi spiritual dan api, merepresentasikan kondisi trance dan kesurupan yang intens.
Atraksi Ekstrem
Ketika penari berada dalam kondisi kerasukan yang dipicu Barongan Buto, mereka seringkali menunjukkan aksi-aksi yang menantang batas kemampuan manusia, seperti memakan pecahan kaca (Beling), mengupas kelapa dengan gigi, atau kebal terhadap sabetan cambuk. Buto Raksasa, dalam kapasitasnya sebagai “Devil” atau roh liar, menyediakan kekuatan protektif dan energi yang memungkinkan penari memasuki kondisi tanpa rasa sakit.
Penting untuk dicatat bahwa dalam tradisi ini, kerasukan bukan selalu dilihat sebagai hal negatif. Ia adalah cara bagi komunitas untuk berkomunikasi dengan roh leluhur atau menguji batas fisik dan spiritual mereka. Barongan Buto adalah penguji batas tersebut, yang membawa kekacauan sesaat untuk menegaskan kembali tatanan setelah ritual berakhir.
Perbedaan Regional dalam Fungsi Buto
- Jawa Timur (Reog Ponorogo): Figur Buto (Gandarwa) seringkali diintegrasikan sebagai bagian dari adegan perang atau kekacauan sebelum munculnya Singa Barong yang heroik.
- Jawa Tengah (Jathilan/Ebeg): Buto Raksasa lebih sering berperan sebagai “pengganggu” atau roh yang harus ditenangkan melalui persembahan dan musik, berfungsi langsung sebagai pemicu trance massal.
- Bali (Barong Landung atau Calon Arang): Meskipun konsep Raksasa ada (Rangda), Barong utama (Barong Ket) selalu menjadi penyeimbang. Rangda (janda atau iblis) adalah manifestasi kekacauan, yang fungsinya sangat mirip dengan Barongan Buto dalam konteks Jawa, yaitu mewakili sisi destruktif yang harus ada agar Dewa (Barong Ket) dapat mewakili sisi konstruktif.
Barongan Biasa vs. Buto: Filosofi Rwa Bhineda
Pembahasan mengenai Barongan tidak akan lengkap tanpa memahami mengapa kedua wujud—yang “biasa” (pelindung/heroik) dan yang “devil” (liar/Buto)—harus ada dan ditampilkan bersama. Filosofi yang mendasarinya adalah Rwa Bhineda, yaitu dualitas yang saling melengkapi.
Simbolisme Kekacauan (Buto) dan Keteraturan (Barong Singa)
Dunia spiritual dan fisik dipercaya dibangun di atas tegangan antara dua kekuatan oposisi. Barongan Buto mewakili:
- Kekacauan (Anarki): Energi yang belum diatur, sering diasosiasikan dengan hutan belantara atau nafsu yang tak terkendali.
- Destruksi: Kekuatan yang mampu menghancurkan penyakit, malapetaka, atau kutukan.
- Kekuatan Mentah (Adigang Adigung Adiguna): Kekuatan fisik murni tanpa kebijaksanaan.
Sementara Barongan “biasa” (Barong Singa atau Barong Ket) mewakili:
- Keteraturan (Tata Krama): Disiplin spiritual dan sosial.
- Proteksi: Perlindungan dari ancaman dan penyakit.
- Kebijaksanaan: Kekuatan yang digunakan dengan kesadaran dan kehati-hatian.
Dalam pertunjukan, adegan konflik antara Barongan Buto dan Barongan Singa adalah klimaks yang paling dinanti. Konflik ini tidak berakhir dengan salah satu pihak menang total. Sebaliknya, ia berakhir dengan pengakuan bahwa kedua kekuatan itu diperlukan. Buto Raksasa diakui kekuatannya, diberi persembahan, dan kemudian ditenangkan. Kekuatannya yang liar tidak dimusnahkan, tetapi disalurkan untuk tujuan yang lebih harmonis.
Menyerap Energi Negatif Komunitas
Fungsi ritualistik Barongan Buto seringkali adalah sebagai “penyerap” atau “pengalih” energi negatif (sukerta) yang ada di desa. Ketika Buto menari dengan ganas dan memicu trance, ia dipercaya sedang mengumpulkan segala bentuk kesialan, penyakit, atau konflik sosial ke dalam dirinya. Melalui ritual penenang (ruwatan) di akhir pertunjukan, energi negatif ini dinetralkan atau dikembalikan ke alam dalam bentuk yang tidak membahayakan.
Oleh karena itu, Barongan “Devil” ini, meskipun menakutkan, sebenarnya adalah katarsis budaya. Ia memberi ruang bagi masyarakat untuk menghadapi ketakutan terdalam mereka, merayakan kekuatan destruktif, dan pada akhirnya, memperbaharui komitmen mereka terhadap keteraturan sosial dan spiritual.
Peranan Gamelan dan Iringan Musik dalam Membangkitkan Buto
Barongan “Devil” tidak bisa eksis tanpa iringan musik Gamelan yang spesifik. Musik bukan sekadar latar belakang; ia adalah “komando” yang memanggil roh, mengendalikan intensitas trance, dan membedakan antara tarian Barong yang santai dan tarian Buto yang eksplosif.
Gending Khusus Buto
Ada gending-gending tertentu yang secara tradisional dipercaya memiliki kekuatan magis untuk memanggil roh Buto. Irama ini biasanya sangat cepat (lincah), ritmis (kenceng), dan didominasi oleh instrumen yang memberikan efek suara keras dan mendebarkan, seperti gong besar dan kendang yang ditabuh dengan kecepatan tinggi.
- Kendang (Drum): Ditabuh dengan gaya yang sangat agresif, mengikuti ritme jantung yang terpacu. Kendang adalah “jantung” pertunjukan, yang mengomunikasikan emosi Buto yang sedang marah atau kegirangan.
- Bonang dan Saron: Instrumen metalofon ini memberikan melodi yang berulang (repetitif) yang berfungsi sebagai hipnosis audio, memudahkan penari dan penonton memasuki kondisi sugestif.
- Gong: Pukulan gong yang lambat dan berat menandakan awal dan akhir siklus, seringkali digunakan untuk mengakhiri kekacauan Buto atau menyadarkan penari yang sedang trance.
Ilustrasi instrumen Gamelan yang mengiringi tarian Barongan, fokus pada kendang dan gong.
Musik sebagai Pengontrol Energi
Pawang (pemimpin ritual) atau penabuh kendang memiliki peran krusial dalam mengendalikan Buto yang sedang menari. Jika Buto terlalu “liar” atau trance penari Jathilan menjadi tak terkendali, Pawang akan memberikan isyarat melalui perubahan ritme atau memasukkan melodi yang menenangkan (gending penutup). Musik adalah rantai spiritual yang memegang kendali atas energi “devil” yang telah diundang.
Tanpa irama Gamelan yang tepat, Buto Raksasa hanya akan menjadi topeng kayu mati. Dengan musik, ia dihidupkan, diberi suara, dan diberi izin untuk melepaskan kekuatannya yang destruktif dan protektif secara bersamaan.
Barongan Devil dalam Konteks Sosial dan Preservasi Modern
Meskipun Barongan Buto Raksasa terlihat menakutkan dan primitif, perannya dalam masyarakat modern tetap relevan. Ia berfungsi sebagai jembatan ke masa lalu dan sebagai alat penting untuk kohesi sosial di tengah gempuran budaya global.
Edukasi dan Pelestarian
Dalam banyak komunitas, khususnya di wilayah Blora, Jawa Tengah, dan beberapa kantong budaya di Jawa Timur, Barongan Buto terus dilestarikan melalui sanggar-sanggar. Para seniman kini berupaya keras mengedukasi generasi muda bahwa “devil” yang mereka lihat adalah simbol warisan, bukan entitas jahat murni.
Meskipun beberapa aspek ritualistik telah dikurangi atau disesuaikan demi keamanan publik dan tuntutan panggung, inti dari drama Buto Raksasa—yaitu konflik batin manusia melawan hawa nafsu dan kekacauan—tetap dipertahankan. Hal ini memastikan bahwa taring runcing dan mata melotot Barongan tidak hanya menjadi komoditas wisata, tetapi tetap membawa bobot filosofis yang mendalam.
Tantangan Globalisasi
Salah satu tantangan terbesar Barongan Buto adalah pelabelan. Di mata dunia luar, seringkali ia disamakan dengan entitas setan murni (devil), yang menghilangkan konteks kulturalnya yang kaya. Seniman harus berjuang keras menjelaskan bahwa Buto adalah representasi keseimbangan kosmik; ia adalah kengerian yang sakral.
Selain itu, kebutuhan akan penari yang memiliki kedekatan spiritual dengan tradisi semakin berkurang. Pertunjukan yang melibatkan trance (kesurupan) membutuhkan keahlian dan pengawasan spiritual yang tinggi. Sebagian besar pertunjukan Barongan kini memilih untuk mengurangi elemen kerasukan demi menjaga pertunjukan tetap “biasa” dan dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas, meninggalkan Barongan Buto yang asli hanya untuk ritual khusus yang tertutup.
Peran dalam Upacara Adat
Di beberapa desa yang memegang teguh tradisi, Barongan Buto Raksasa masih digunakan dalam upacara-upacara adat yang vital:
- Bersih Desa: Untuk mengusir roh jahat atau penyakit dari batas desa.
- Ritual Panen: Sebagai ucapan syukur dan permohonan agar hasil panen berikutnya dilindungi dari hama atau bencana alam (yang sering diasosiasikan dengan kemarahan Buto).
- Pelantikan Kepala Adat: Sebagai simbol bahwa pemimpin harus mampu mengendalikan energi yang liar (Buto) dan menjaga harmoni (Barong Singa).
Barongan “Devil” bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan energi yang terus berdenyut dalam denyut nadi spiritual masyarakat yang masih menghargai akar tradisi mereka. Ia adalah pengingat bahwa kekuatan terbesar seringkali terletak pada pengakuan terhadap sisi liar dan tak terduga dari kehidupan itu sendiri.
Ekspansi Mendalam: Buto Bajang dan Buto Gendruwo
Untuk memahami kompleksitas Barongan Buto Raksasa, kita perlu melihat variasi-variasi spesifik dari figur raksasa ini dalam mitologi Jawa. Dua figur yang sering diintegrasikan dalam karakterisasi “Barongan Devil” adalah Buto Bajang dan Buto Gendruwo. Meskipun keduanya berada di bawah payung Raksasa, intensitas dan fungsi spiritual mereka berbeda.
Buto Bajang: Kekuatan Muda yang Agresif
Buto Bajang, secara harfiah berarti “Raksasa Kecil” atau “Raksasa Remaja,” sering digambarkan dengan ukuran yang lebih kecil tetapi dengan tingkat agresivitas dan kenakalan yang tinggi. Dalam Barongan, Buto Bajang mungkin diwakili oleh penari yang lebih lincah dan enerjik, dengan topeng yang menunjukkan ekspresi kebodohan yang liar dan mata yang terlalu besar.
Buto Bajang melambangkan kekuatan alam yang belum matang, yang mudah marah dan sulit dikendalikan. Dalam pertunjukan, Bajang sering menjadi penyebab kekacauan awal yang harus ditenangkan oleh figur yang lebih tua atau oleh Barong Singa. Keberadaannya menyoroti pentingnya pendidikan spiritual dan kontrol diri. Kekuatan Bajang, jika tidak diarahkan, bisa menjadi destruktif total, mewakili bahaya dari nafsu yang belum teruji oleh kebijaksanaan.
Buto Gendruwo: Kegelapan dan Kekuatan Magis Tanah
Sementara itu, representasi yang lebih gelap dan kuat seringkali mengacu pada Buto Gendruwo. Gendruwo adalah makhluk mitologi yang sangat terkait dengan tanah, hutan, dan kekuatan seksual (nafsu duniawi yang dalam). Topeng Gendruwo dalam Barongan akan menampilkan rambut atau ijuk yang sangat lebat dan panjang, warna kulit yang sangat gelap (hitam atau ungu tua), dan tatapan yang lebih dingin, kurang agresif daripada Buto Merah, tetapi jauh lebih mengintimidasi.
Jika Buto Merah (Krodha) mewakili kemarahan, Buto Gendruwo mewakili energi magis yang menarik dan mematikan. Gendruwo seringkali dikaitkan dengan kemampuan mengubah wujud, yang dalam pertunjukan Barongan diinterpretasikan sebagai kondisi trance yang sangat dalam, di mana penari sepenuhnya kehilangan kesadaran dirinya dan mengambil persona Buto yang kuat dan manipulatif. Figur ini menuntut penghormatan yang lebih besar dan upacara yang lebih rumit karena hubungannya yang erat dengan roh penjaga lokasi (dhanyang).
Dengan adanya variasi ini, jelas bahwa Barongan “Devil” bukan satu kesatuan tunggal. Ia adalah keluarga besar entitas spiritual yang fungsinya berbeda-beda, mulai dari sekadar pelengkap tontonan hingga menjadi inti dari ritual ruwatan (penyucian).
Simbolisme Pakaian dan Aksesori Buto Raksasa
Kostum Barongan Buto Raksasa melengkapi topengnya dengan memperkuat citra kekejaman, kekuatan magis, dan kebebasan liar. Pakaiannya jauh dari kemewahan sutra para pahlawan atau Barong Singa, tetapi sarat makna spiritual.
Jubah Hitam dan Merah (Warna Tanah dan Api)
Tubuh penari Barongan Buto biasanya ditutupi oleh pakaian yang didominasi warna hitam atau merah. Pakaian ini seringkali terbuat dari bahan yang kasar atau serat alam (ijuk, rumbai-rumbai goni, atau kain beludru hitam). Tekstur kasar ini melambangkan keterkaitan Buto dengan alam yang belum “dihaluskan” oleh budaya manusia.
Pada beberapa tradisi, Barongan Buto menggunakan selimut kain kafan atau kain yang sengaja dirobek (gembel) untuk menunjukkan bahwa mereka adalah roh yang berada di luar batas kehidupan dan kematian, atau roh yang tidak lagi peduli pada tata krama duniawi. Ini berbeda drastis dari Barongan Singa yang jubahnya sering dihiasi manik-manik, sulaman, atau bahkan kulit macan tutul tiruan yang melambangkan kemewahan kerajaan.
Peran Ijuk atau Rambut Liar
Surai atau rambut Barongan Buto, yang sering dibuat dari ijuk, serat kelapa, atau rumbai-rumbai kasar lainnya, dibuat sangat acak dan liar. Ini melambangkan hutan yang tak terjamah dan energi yang tidak terikat. Rambut panjang yang berantakan, ketika menari dengan gerakan kepala yang cepat, menciptakan ilusi kekacauan visual dan memperkuat aura keganasan. Secara spiritual, rambut ini juga dapat dipercaya sebagai “penangkap” energi, tempat roh Buto bersemayam.
Aksesoris Tali dan Lilitan
Alih-alih perhiasan emas, Barongan Buto sering diikat dengan tali, rantai, atau lilitan kain merah yang kasar. Lilitan ini bisa diartikan sebagai “pengikat” sementara terhadap kekuatan Buto, menunjukkan bahwa meskipun liar, ia sedang “dipinjam” oleh pawang dan belum sepenuhnya bebas. Ketika penari Jathilan berada dalam kondisi kerasukan, lilitan ini seringkali terlepas atau dilepas dengan kekuatan luar biasa, melambangkan pelepasan penuh dari kontrol manusia.
Dengan demikian, setiap serat dan warna pada kostum Barongan “Devil” bukanlah kebetulan. Ia dirancang untuk memproyeksikan kekuatan yang menakutkan, sekaligus menegaskan identitasnya sebagai energi primordial yang berada di persimpangan antara dunia manusia dan dunia roh liar.
Filosofi Kekuatan dan Kontrol Diri di Balik Buto
Mengapa masyarakat Jawa kuno memilih untuk mempersonifikasikan kekuatan “devilish” ini sebagai Buto Raksasa dalam sebuah tarian? Jawabannya terletak pada konsep pengendalian diri dan pentingnya mengenal musuh batin.
Nafsu Amarah dan Keserakahan (Buto sebagai Simbol)
Dalam ajaran etika Jawa (seperti yang tercantum dalam serat-serat kebatinan), manusia dikendalikan oleh empat nafsu utama (Nafsu Amarah, Supiyah, Muthmainah, Lawwamah). Buto Raksasa paling kuat merepresentasikan Nafsu Amarah (kemarahan, agresi) dan Nafsu Lawwamah (nafsu rakus yang tidak pernah puas).
Ketika Buto ditampilkan, ia adalah cermin bagi penonton: Inilah wujud kekacauan jika hawa nafsu tidak dikendalikan. Pertunjukan Barongan Buto berfungsi sebagai peringatan visual. Tarian keras dan liar adalah demonstrasi betapa sulitnya mengendalikan energi Buto dalam diri kita sendiri. Pawang yang berhasil menenangkan Buto pada akhir pertunjukan adalah simbol dari manusia yang telah mencapai tingkat kontrol spiritual (laku) yang tinggi.
“Memanggil” Kekuatan untuk Melawan
Ironisnya, untuk melawan ancaman besar (seperti wabah, sihir hitam, atau malapetaka), masyarakat adat sering kali meyakini bahwa mereka harus memanggil kekuatan yang sama besar, yaitu kekuatan Buto itu sendiri. Mereka tidak meminta perlindungan dari kekuatan “biasa,” tetapi dari energi liar yang mampu menandingi energi jahat lain.
Dalam ritual, Buto dipanggil untuk mengacaukan dan menakuti roh-roh jahat lain yang “lebih kecil.” Dalam skema spiritual ini, Buto Raksasa berfungsi sebagai penjaga gerbang yang kejam. Ia tidak ramah, tetapi ia efektif. Ini adalah penggunaan kekuatan “devilish” untuk tujuan yang dianggap positif, yakni menjaga komunitas.
Pemahaman ini menjelaskan mengapa Barongan Buto Raksasa, meskipun digambarkan ganas, tetap dihormati dan diberi sesajen khusus. Ia bukan musuh yang harus dihancurkan, melainkan kekuatan yang harus dihormati dan diajak “kerja sama” demi keseimbangan.
Teknik Tari Barongan Buto: Agresi dan Ekstremitas
Tarian Barongan Buto Raksasa sangat berbeda dari keanggunan tarian keraton atau ketenangan Barong Bali yang melambangkan keseimbangan. Tarian Buto menekankan pada gerakan yang eksplosif, tidak terstruktur, dan seringkali berbahaya.
Gerakan Patah-patah dan Hentakan Kaki
Kunci dari tarian Buto adalah ketidakstabilan dan kekuatan. Penari harus menggerakkan topeng berat dengan gerakan yang patah-patah (geol-geol) dan tiba-tiba (njot), meniru kejutan energi liar. Kaki menghentak tanah dengan keras (gedrug), seolah-olah Buto berusaha mengguncang bumi, menegaskan hubungannya dengan elemen tanah.
Gerakan ini membutuhkan kekuatan fisik yang luar biasa karena topeng Buto Raksasa, terutama di Jawa Tengah, bisa mencapai puluhan kilogram. Penguasaan teknik ini menunjukkan bahwa penari tidak hanya menguasai koreografi, tetapi juga memiliki daya tahan untuk menahan berat dan intensitas emosional dari perannya.
Kepala sebagai Fokus Kekuatan
Karena topeng adalah inti dari Barongan, sebagian besar kekuatan tarian berpusat pada gerakan kepala. Buto akan menggelengkan kepalanya dengan cepat, membuat surai ijuknya beterbangan (ngobah), dan melakukan gerakan mencakar atau menggigit udara. Gerakan kepala ini dimaksudkan untuk meniru Buto yang sedang mengamuk, lapar, atau bersiap menyerang musuh spiritual yang tidak terlihat.
Saat Buto berinteraksi dengan penari Jathilan yang sedang trance, gerakan tarian berubah menjadi interaksi “perkelahian” atau “penangkapan” yang sangat agresif, di mana Buto secara harfiah “memangsa” atau “menarik” energi dari penari lain untuk meningkatkan kekuatannya sendiri.
Improvisasi dan Kebebasan Liar
Tarian Buto memiliki lebih banyak ruang untuk improvisasi dibandingkan tarian Barong “biasa” yang terikat pakem. Kebebasan ini penting karena tarian Buto harus mencerminkan sifat entitas yang tidak terikat oleh aturan. Tarian bisa tiba-tiba berubah arah, melibatkan interaksi mendadak dengan penonton (namun tetap dalam batas ritual), atau melakukan aksi akrobatik kecil yang tidak terduga, semuanya diiringi oleh tempo Gamelan yang terus meningkat.
Dengan teknik tarian yang ekstrem ini, Barongan Buto memastikan bahwa pertunjukan tersebut tidak hanya sekadar hiburan visual, tetapi pengalaman fisik dan spiritual yang intens bagi semua yang hadir.
Barongan Devil Biasa: Kontribusi pada Kekayaan Budaya Nusantara
Dalam konteks keseluruhan seni pertunjukan Indonesia, Barongan Buto Raksasa, terlepas dari sebutan “devil” yang melekat padanya, adalah bukti keragaman dan kedalaman filosofis budaya Nusantara. Ia menunjukkan kemampuan leluhur kita untuk mengambil figur yang menakutkan dan mengubahnya menjadi alat spiritual yang penting.
Warisan Primitif yang Lestari
Barongan adalah salah satu bentuk seni yang menjaga koneksi kuat dengan era pra-Hindu-Buddha dan pra-Islam, di mana kekuatan alam dan roh penjaga sangat dihormati. Konservasi Barongan Buto berarti konservasi filosofi animistik ini. Meskipun agama-agama besar telah meresap, penghormatan terhadap entitas seperti Buto (penjaga tanah) tetap hidup berdampingan, menunjukkan sinkretisme budaya yang unik di Indonesia.
Setiap goresan pada topeng Buto, setiap hentakan kaki dalam tarian, adalah narasi yang berusia ratusan tahun, menceritakan kisah tentang bagaimana manusia bernegosiasi dengan kekuatan alam yang lebih besar dari diri mereka. Buto mengajarkan bahwa keberanian sejati bukanlah tentang menghilangkan rasa takut, melainkan tentang menghadapi dan mengelola kekuatan yang menakutkan itu.
Barongan di Panggung Internasional
Ketika Barongan dipertunjukkan di luar negeri, wujud Buto Raksasa adalah yang paling menarik perhatian. Kontras antara keindahan musik Gamelan dan keganasan visual Buto menciptakan pengalaman yang tak terlupakan. Dalam konteks global, Barongan Buto berfungsi sebagai duta budaya yang menunjukkan bahwa spiritualitas Asia Tenggara mencakup spektrum penuh, dari keindahan surgawi hingga kebrutalan bumi.
Penyebutan Barongan “Devil” mungkin membantu menarik perhatian awal, tetapi tugas para pelestari adalah memastikan bahwa penonton pulang dengan pemahaman bahwa “devil” ini adalah bagian dari dewa-dewi lokal, sebuah manifestasi dari Shiva-Rudra yang ganas atau roh bumi yang menuntut penghormatan.
Dengan terus mendalami dan melestarikan Barongan Buto Raksasa, kita tidak hanya menjaga sebuah tarian, tetapi kita menjaga sebuah kitab suci yang terukir dalam kayu, kain, dan gerakan. Kita memastikan bahwa pelajaran kuno tentang kontrol diri, keseimbangan kosmik, dan Rwa Bhineda tetap relevan bagi generasi mendatang. Buto Raksasa adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya yang kaya dan abadi.
Kesimpulan Akhir: Buto Sebagai Penyeimbang Abadi
Dari pengamatan mendalam mengenai Barongan, jelas bahwa dikotomi antara “Barongan Devil” (Buto Raksasa) dan Barongan “biasa” (Singa Barong) bukanlah pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan dalam pengertian moral yang sederhana. Ini adalah representasi filosofis dari dua sisi mata uang eksistensi: keteraturan dan kekacauan. Keduanya diperlukan. Singa Barong memberikan arahan dan perlindungan; Buto Raksasa memberikan kekuatan mentah dan kapasitas untuk penghancuran yang membawa pembaruan.
Barongan Buto Raksasa, dengan taringnya yang menakutkan, mata yang menyala, dan irama Gamelan yang mendebarkan, adalah salah satu harta karun spiritual Indonesia yang paling kuat. Ia menantang kita untuk melihat di balik penampilan yang ganas dan memahami pesan tersembunyi tentang pengendalian diri, penghormatan terhadap alam liar, dan pengakuan bahwa energi “devilish” sekalipun dapat diubah menjadi alat yang keramat. Warisan Barongan akan terus hidup selama masyarakat masih mencari harmoni di tengah kekacauan, menjadikannya seni pertunjukan yang tak lekang dimakan waktu.
Melalui pelestarian yang sadar dan edukasi yang tepat, energi liar dari Barongan Buto Raksasa akan terus mengalir, mengingatkan kita semua bahwa di balik setiap keindahan terdapat kekuatan mentah yang, jika dihormati, akan menjadi pelindung terkuat bagi komunitas.
***
Artikel ini telah menggali secara komprehensif seluruh aspek yang berhubungan dengan Barongan, mulai dari konteks mitologis Buto Raksasa, perbedaan visual dan spiritual dengan Barongan “biasa,” peranan krusial musik Gamelan, hingga fungsi sosiologisnya dalam ritual trance dan pelestarian budaya. Detail mengenai anatomi rupa, kostum, dan teknik tari telah disajikan untuk memberikan gambaran lengkap mengenai fenomena Barongan Devil yang kompleks dan kaya makna. Kekuatan representasi Buto, sebagai manifestasi dari energi alam yang liar dan tak terkendali, menunjukkan kedalaman pemikiran filosofis Nusantara yang menempatkan kekacauan sebagai prasyarat bagi terciptanya keseimbangan kosmis yang abadi.
Kesinambungan tradisi ini, meskipun menghadapi arus modernitas, dipertahankan melalui pemahaman bahwa Buto adalah bagian integral dari identitas budaya, bukan sekadar monster. Ia adalah roh penjaga yang menuntut harga mahal, tetapi menawarkan perlindungan tak tertandingi. Seni pertunjukan ini adalah ritual hidup yang terus berevolusi namun akarnya tetap kokoh menghujam pada tanah spiritual Jawa kuno. Pemahaman ini sangat penting untuk menghargai Barongan secara utuh, melampaui sekadar pertunjukan seni, menjadi sebuah pelajaran tentang hidup dan mati, tatanan dan kekacauan.
Setiap babak dalam pertunjukan Barongan adalah pengulangan narasi kosmik, di mana keganasan Buto Raksasa adalah ujian yang harus dilalui oleh komunitas untuk mencapai pemurnian dan keberkatan. Tarian ini mengajarkan bahwa untuk mencapai pencerahan spiritual, seseorang harus terlebih dahulu berani menatap wajah ketakutan terbesar, yang dalam budaya Jawa, seringkali berwujud Buto yang bertaring tajam dan bermata merah menyala. Dengan demikian, Barongan Buto tetap menjadi salah satu simbol paling kuat dari kekuatan spiritual yang dihormati dan ditakuti secara bersamaan di Indonesia.