Kesenian Reog Ponorogo adalah salah satu manifestasi budaya Jawa Timur yang paling kompleks, heroik, dan memiliki lapisan makna filosofis yang sangat tebal. Di antara seluruh elemen yang membentuk pertunjukan kolosal ini, tidak ada yang lebih menonjol, lebih memukau, dan lebih sarat beban—baik fisik maupun spiritual—selain Barongan Dadak Merak. Ini adalah puncak visual, simbol kekuatan Singa Barong yang perkasa, dihiasi dengan mahkota bulu merak yang gemerlap, merepresentasikan keagungan Raja Singo Barong.
Dadak Merak bukan sekadar topeng raksasa; ia adalah perwujudan mitos, jembatan antara dunia nyata dan spiritualitas Jawa kuna. Menggambarkan perpaduan kontras antara kegarangan Singa dan keindahan Merak, konstruksi ini menuntut kekuatan fisik luar biasa dari pembawanya, seorang penari yang harus menopang beban puluhan kilogram hanya dengan kekuatan gigi dan lehernya, sambil tetap mampu menari dengan lincah dan berwibawa.
Untuk memahami Dadak Merak, kita harus menelusuri kembali kisah utama Reog Ponorogo. Walaupun terdapat beberapa versi narasi sejarah—mulai dari pemberontakan Raja Kelana Sewandana hingga sindiran politik terhadap Kerajaan Majapahit—versi yang paling diterima masyarakat luas adalah kisah heroik yang melibatkan perebutan putri cantik Dewi Songgolangit dari Kediri oleh Raja Singo Barong dari hutan Wengker, serta Patih Bujangganong.
Dadak Merak secara harfiah berarti 'Sayap Merak yang tiba-tiba' atau 'Merak yang mendadak muncul'. Konfigurasi ini muncul dari mitos yang menyatakan bahwa Singo Barong, raja hutan yang ganas dan berkuasa, ingin mempersembahkan mahkota terindah kepada Dewi Songgolangit. Namun, bukannya mahkota emas, Singo Barong justru terpesona oleh keindahan burung Merak dan menjadikannya hiasan kepala, simbol penaklukan dan keagungan. Perpaduan ini menciptakan dualisme filosofis:
Perpaduan Singa dan Merak pada satu tubuh penari adalah representasi sempurna dari keseimbangan semesta: kekuatan harus dibalut dengan keindahan, dan kekuasaan harus disertai kebijaksanaan. Tanpa Merak, Singo Barong hanyalah kekuatan brutal. Dengan Merak, ia menjadi Raja yang Agung.
Barongan Dadak Merak adalah keajaiban teknik tradisional. Dimensinya yang masif dan beratnya yang mencapai 30 hingga 50 kilogram menjadikannya properti seni pertunjukan paling menantang di dunia. Konstruksi ini bukan dibuat untuk pertunjukan sesaat, melainkan untuk tarian yang enerjik dan berdurasi panjang, terkadang hingga berjam-jam, di bawah terik matahari atau dalam semarak malam.
Konstruksi Dadak Merak terbagi menjadi dua komponen utama: topeng Singo Barong dan rangkaian ekor Merak (Dadak). Kedua bagian ini harus seimbang sempurna agar penari dapat mengendalikan gerakan kepala dan lehernya.
Topeng Singo Barong dibuat dari kayu mentaos atau kayu randu, dipilih karena bobotnya yang relatif ringan namun kuat. Bagian ini memiliki rahang bawah yang bisa digerakkan (ngablak), dikontrol oleh tali yang diikatkan pada tangan penari. Bagian terpenting adalah cekungan penyangga yang terletak di belakang dagu topeng, tempat penari meletakkan kekuatan gigitannya. Gigi dan leher penari adalah satu-satunya penyangga utama.
Dadak adalah bingkai melengkung raksasa yang meniru ekor merak yang sedang memekarkan diri. Rangkaian ini dibuat dari anyaman bambu atau rotan yang kokoh. Namun, yang memberikan bobot adalah hiasan dan bulu-bulu aslinya. Bulu Merak yang digunakan haruslah bulu merak jantan hijau yang indah (Pavo muticus). Ribuan helai bulu disusun sedemikian rupa sehingga menciptakan efek optik yang memukau, dihiasi pula dengan ornamen manik-manik dan kain beludru untuk menutupi rangka. Kerapatan bulu Merak inilah yang menyumbang mayoritas bobot total.
Penari yang membawa Dadak Merak disebut ‘Penthul’ atau sering juga disebut ‘Jebeng’ dalam konteks yang lebih umum. Teknik yang digunakan disebut ‘ngentul’ atau ‘nyuwit’, yaitu menahan beban topeng menggunakan gigitan rahang. Ini bukan sekadar menggigit, tetapi melibatkan otot leher, bahu, dan punggung atas yang dilatih secara ekstrem.
Latihan seorang Penthul dimulai sejak usia dini, seringkali menggunakan versi miniatur yang ringan, dan secara bertahap ditingkatkan bobotnya. Kunci dari tarian ini adalah kemampuan untuk menjaga momentum. Jika penari berhenti secara tiba-tiba, beban akan terasa berkali lipat. Oleh karena itu, gerakan Penthul harus cair, terus menerus, dan terkontrol, memanfaatkan ayunan badan untuk mengurangi tekanan langsung pada leher.
Kesempurnaan tarian Dadak Merak terletak pada ilusi optik bahwa kepala Singo Barong seolah-olah mengapung dan bulu merak bergerak mengikuti irama gamelan tanpa terlihat adanya usaha keras dari penari. Ini membutuhkan sinkronisasi yang sempurna antara kekuatan fisik, ketahanan mental, dan pemahaman mendalam tentang irama musik tradisional.
Di balik kemegahan visual dan tantangan fisik, Dadak Merak menyimpan narasi filosofis yang kaya, yang menjadikannya lebih dari sekadar tontonan hiburan. Setiap elemen pada topeng raksasa ini berbicara tentang kosmologi Jawa, hierarki sosial, dan perjuangan batin.
Meskipun secara fisik Dadak Merak adalah perpaduan Singa dan Merak, secara simbolis, ia juga mencerminkan karakter Raja Kelana Sewandana, yang dikenal karena kemuliaan dan keindahan gerak tarinya. Dalam beberapa interpretasi, Merak melambangkan keinginan Raja Kelana Sewandana untuk tampil anggun dan memukau demi memenangkan hati Dewi Songgolangit.
Tarian Dadak Merak sering kali diiringi dengan suasana mistis, bahkan diyakini beberapa penari mencapai kondisi ‘trance’ atau kesurupan. Dalam konteks spiritual, tarian ini dianggap sebagai ritual pembersihan. Penari (Penthul) melepaskan dirinya dari beban duniawi dan memasuki dialog dengan roh Singo Barong. Berat fisik yang ditanggung adalah analogi dari beban kehidupan yang dipikul manusia. Saat penari berhasil menguasai topeng raksasa tersebut, ia telah mencapai ‘kesempurnaan’ sementara, menunjukkan kemenangan jiwa atas raga.
Bahkan Warok, sang pengawal dan pembimbing spiritual, memiliki peran krusial di sini. Warok tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga bertindak sebagai ‘penghubung’ atau mediator antara penari dan kekuatan spiritual yang menguasai Dadak Merak. Filosofi Warok adalah tentang kesetiaan, kejujuran, dan kekuatan batin—nilai-nilai yang harus dimiliki oleh siapa pun yang berani menyatu dengan Dadak Merak.
Dadak Merak tidak dapat dipisahkan dari irama Gamelan Reog Ponorogo. Musik ini bukan sekadar latar belakang; ia adalah nyawa yang menggerakkan tarian, penentu tempo, dan pemicu energi spiritual.
Gamelan Reog didominasi oleh instrumen yang menghasilkan suara keras dan menghentak, seperti Kendang, Gong, dan Kethuk-Kenong. Namun, elemen pembeda adalah alat musik unik yang disebut ‘Angklung Reog’ atau ‘Angklung Klentengan’ yang terbuat dari bambu. Suara yang dihasilkan bersifat ritmis, repetitif, dan memiliki kemampuan untuk menciptakan suasana magis.
Ketika Dadak Merak memasuki arena, irama musik berubah menjadi lebih megah dan berwibawa. Irama ‘gandrung’ atau ‘jaranan’ yang cepat mengiringi tarian Jathil dan Bujangganong, sementara irama khusus yang disebut ‘Lelaku Dadak Merak’ digunakan saat Singo Barong menunjukkan kekuatannya. Ritme ini sangat penting karena membantu Penthul menjaga ritme ayunan dan memastikan bahwa beban yang digigitnya terdistribusi secara harmonis sesuai ketukan.
Interaksi antara musik dan tarian adalah dialog tanpa kata. Ketika musik mencapai klimaksnya (seringkali ditandai dengan tabuhan Gong yang masif), Singo Barong akan melakukan gerakan ‘mengamuk’ atau ‘melompat’ yang membutuhkan fokus dan kekuatan ekstra dari Penthul. Ini adalah momen dimana estetika dan kegarangan bertemu dalam sebuah ledakan energi.
Sebagai warisan budaya tak benda yang telah diakui secara nasional, pelestarian Dadak Merak menghadapi tantangan yang unik di era modern, terutama yang berkaitan dengan transmisi pengetahuan, material, dan perubahan sosial.
Ilmu membawa Dadak Merak bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari melalui buku teks; ia diwariskan secara lisan dan fisik, melalui sistem ‘maguru’ (berguru) yang ketat. Seorang calon Penthul harus melewati masa pelatihan yang panjang, tidak hanya dalam teknik fisik tetapi juga dalam etika dan spiritualitas Reog. Mereka harus belajar tentang ‘aji’ atau kekuatan spiritual yang menyertai tarian tersebut.
Tantangan terbesar adalah regenerasi. Tidak banyak generasi muda yang bersedia menanggung beban latihan fisik yang ekstrem dan risiko cedera leher atau gigi. Hal ini menyebabkan populasi Penthul profesional kian menyusut, dan kelompok-kelompok seni harus berjuang keras untuk menemukan penerus yang tidak hanya kuat tetapi juga memiliki dedikasi spiritual terhadap kesenian ini.
Dadak Merak asli harus menggunakan bulu merak asli (Pavo muticus) untuk mencapai efek visual dan bobot yang otentik. Meskipun merak adalah satwa yang dilindungi, di Ponorogo ada sistem peternakan legal yang dikelola untuk tujuan budaya. Namun, biaya dan ketersediaan bulu berkualitas tinggi semakin menjadi kendala. Satu set Dadak Merak yang berkualitas bisa memerlukan ribuan helai bulu, yang harganya sangat mahal, memaksa banyak kelompok kecil menggunakan bulu sintetis, yang secara signifikan mengurangi bobot dan keotentikan tarian.
Upaya konservasi tidak hanya berfokus pada pelatihan penari, tetapi juga pada pengelolaan sumber daya alam, memastikan bahwa tradisi dapat berlanjut tanpa merusak ekosistem alam, serta mempertahankan standar kualitas kesenian yang otentik, berbeda dengan versi komersial yang lebih ringan dan mudah dikendalikan.
Terdapat sejumlah gerakan dan teknik yang hanya dapat dilakukan oleh Penthul yang benar-benar mahir, menunjukkan keharmonisan antara penari dan beban raksasa yang dipikulnya.
Gerakan ‘Jejeg’ adalah saat Singo Barong berdiri tegak, hampir statis, menunjukkan keagungan tanpa bergerak. Pada momen ini, Penthul harus menahan bobot total di lehernya sambil mempertahankan pandangan lurus ke depan. Keseimbangan statis ini membutuhkan kontrol otot leher yang luar biasa, seringkali dipertahankan selama beberapa detik, untuk memberikan waktu bagi Jathil atau Bujangganong beraksi di bawah Dadak Merak.
‘Ngengklak’ adalah gerakan mengayunkan kepala Singo Barong ke kiri dan kanan dengan irama yang cepat dan patah-patah, meniru gerakan Singa yang sedang waspada atau mengancam. Teknik ini memanfaatkan momentum sentrifugal. Jika dilakukan dengan salah, penari bisa mengalami kelelahan yang cepat. Penthul mahir akan memastikan bahwa ayunan tersebut tidak hanya horizontal, tetapi juga memberikan efek vertikal pada bulu Merak, membuatnya tampak seperti gelombang hijau-biru yang mengagumkan.
Bujangganong, sang patih, seringkali berinteraksi langsung dengan Dadak Merak. Ia melompat, menaiki, atau bahkan berdiri di atas kepala Singo Barong. Interaksi ini memerlukan koordinasi yang presisi, karena kesalahan sedikit saja dapat menyebabkan beban ganda pada leher Penthul atau merusak struktur Dadak Merak. Pertunjukan ini seringkali menunjukkan ketangkasan Bujangganong yang berani 'mengganggu' Singo Barong, sebuah representasi humor dan hierarki tradisional.
Di era globalisasi, Dadak Merak tidak hanya menjadi artefak statis; ia terus berkembang dan menemukan tempat di panggung-panggung internasional. Namun, perkembangan ini juga memicu debat tentang otentisitas dan inovasi.
Untuk kebutuhan tur internasional atau pertunjukan yang membutuhkan mobilitas tinggi, beberapa kelompok seni mulai menciptakan Dadak Merak versi 'ringan'. Struktur bambu diganti dengan serat kaca atau bahan komposit, dan bulu merak digantikan dengan bulu sintetis berkualitas tinggi. Meskipun versi ini lebih mudah dibawa dan memungkinkan Penthul tampil lebih lama tanpa cedera, kritikus tradisional sering menyoroti hilangnya 'roh' atau spiritualitas yang hanya bisa dicapai melalui beban dan material otentik.
Inovasi ini membuka peluang baru, namun tantangan utamanya adalah memastikan bahwa nilai filosofis dan teknik ‘ngentul’ yang otentik tidak hilang. Esensi dari Dadak Merak adalah perjuangan melawan beban fisik; jika beban itu hilang, maka sebagian besar makna heroik tarian juga akan lenyap.
Dadak Merak adalah duta budaya Indonesia yang paling mencolok. Ketika dipertunjukkan di luar negeri, ia menjadi simbol kekuatan, keindahan, dan warisan Jawa yang kuno. Pemerintah lokal dan komunitas diaspora di luar negeri aktif menggunakan kesenian ini sebagai jembatan budaya, memperkenalkan kekayaan tradisi Nusantara kepada mata dunia. Kehadiran Dadak Merak di festival-festival internasional seringkali menarik perhatian yang luar biasa karena skalanya yang masif dan cara penari mengendalikannya yang hampir mustahil.
Meskipun Ponorogo adalah pusat utama Reog, Dadak Merak telah menyebar ke berbagai daerah, termasuk ke Blitar, Kediri, Madiun, bahkan hingga ke luar Jawa seperti di Sumatera dan Kalimantan, dibawa oleh para perantau. Variasi regional muncul, terutama dalam detail konstruksi dan ritual spiritual.
Keagungan Dadak Merak juga bergantung pada kinerja kolektif dari seluruh ‘jejaran’ atau rombongan. Kuda lumping (Jathil), Bujangganong, dan Warok harus bergerak harmonis untuk menciptakan panggung yang layak bagi Raja Singo Barong.
Jathil: Penari berkuda (kuda lumping) yang melambangkan kekuatan pasukan berkuda Dewi Songgolangit. Mereka menari dengan elegan dan lincah, kontras dengan kegarangan Dadak Merak. Kekuatan fisik Jathil juga tidak bisa diremehkan, mengingat mereka harus menari sambil menjaga kuda-kudaan mereka tetap stabil.
Bujangganong: Sosok patih yang lucu, cerdik, dan energetik. Ia berfungsi sebagai 'pemecah ketegangan' dan pemicu interaksi dengan penonton, namun juga menunjukkan ketangkasan akrobatik. Kehadirannya memastikan bahwa Dadak Merak, meskipun menakutkan, tetap terintegrasi dalam pertunjukan yang hidup dan interaktif.
Dalam konteks tradisional, persiapan Barongan Dadak Merak melibatkan ritual spiritual yang mendalam. Kesenian ini tidak dianggap sekadar pertunjukan, tetapi sebagai upaya menghormati leluhur dan roh penjaga.
Saat pembuatan topeng Singo Barong dan rangka Dadak Merak selesai, seringkali dilakukan upacara ‘penyucian’ atau ‘pengisian’ yang dipimpin oleh sesepuh atau dukun setempat. Tujuannya adalah memberikan 'nyawa' atau aura magis pada properti tersebut, memastikan bahwa Singo Barong benar-benar memiliki wibawa dan mampu melindungi para penarinya.
Sesajen (persembahan) menjadi bagian tak terpisahkan sebelum pertunjukan dimulai. Sesajen ini biasanya terdiri dari bunga tujuh rupa, kemenyan, kopi pahit, kopi manis, dan jajan pasar. Persembahan ini dimaksudkan untuk memohon izin kepada alam dan roh leluhur agar pertunjukan berjalan lancar dan jauh dari mara bahaya. Ritual inilah yang membedakan Dadak Merak otentik dengan pertunjukan komersial semata.
Setiap kali kelompok Reog memulai musim pentas baru, atau saat properti baru selesai dibuat, dilakukan upacara ‘Wiwitan’. Ini adalah momen sakral di mana seluruh anggota kelompok, dari Warok hingga Penthul, berkumpul untuk memperbarui janji spiritual mereka terhadap kesenian. Bagi Penthul, momen ini sangat penting karena ia harus memperkuat ikatan spiritualnya dengan Dadak Merak, menerima tanggung jawab atas beban fisik dan metafisik yang akan ia pikul.
Dadak Merak adalah jantung visual Ponorogo. Tidak hanya menjadi ikon wisata, tetapi juga elemen sentral dalam identitas kolektif masyarakat. Di Ponorogo, setiap anak tumbuh dengan kesadaran akan keagungan Barongan, menjadikannya standar kebanggaan lokal.
Di masa depan, pelestarian Dadak Merak menuntut keseimbangan antara menjaga tradisi yang menuntut pengorbanan fisik luar biasa, dan inovasi yang membuatnya relevan bagi generasi baru. Upaya untuk mencatatkan Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO menunjukkan betapa pentingnya warisan ini di mata dunia. Ketika Barongan Dadak Merak berdiri megah, mengayunkan ekornya yang luas, ia tidak hanya menari; ia menceritakan sejarah panjang Jawa, perjuangan spiritual, dan kekuatan manusia untuk memanggul beban yang mustahil.
Kekuatan yang luar biasa ini, yang bersumber dari paduan Singa yang ganas dan Merak yang indah, akan terus menjadi mahkota agung kesenian tradisional Indonesia, sebuah legenda hidup yang berdenyut di setiap gigitan Penthul dan setiap helai bulu Merak yang berkilauan di bawah cahaya panggung.
Setiap detail konstruksi Dadak Merak—mulai dari pilihan kayu mentaos yang ringan namun kuat, ikatan rotan yang lentur, hingga ribuan helai bulu merak yang disusun berdasarkan gradasi warna dan panjang—adalah sebuah puisi teknik yang diwariskan turun-temurun. Keterampilan ini tidak hanya tentang merangkai; ini tentang menciptakan sebuah struktur yang mampu bergerak dinamis, yang menuntut pengrajin memiliki pemahaman mendalam tentang aerodinamika tradisional dan pusat gravitasi yang presisi.
Para pengrajin Barongan, seringkali merupakan Warok atau seniman tua yang telah pensiun dari panggung, menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk memastikan bahwa setiap Barongan memiliki ‘rasa’ dan ‘spirit’ yang tepat. Mereka memahami bahwa jika Barongan terlalu kaku, ia akan sulit diayunkan. Jika terlalu lentur, ia akan kehilangan wibawanya. Keseimbangan inilah yang merupakan rahasia dibalik kemampuan Dadak Merak untuk bertahan lama dalam pertunjukan yang sangat menguras tenaga.
Latihan fisik adalah satu hal, tetapi penghayatan batin Penthul adalah elemen yang tak terlihat namun paling penting. Penthul harus dapat menaklukkan rasa sakit dan kelelahan, mengalihkannya menjadi energi tarian. Ada keyakinan bahwa jika Penthul menari dengan hati yang ‘kosong’ (hanya mengandalkan kekuatan fisik), ia akan cepat menyerah. Namun, jika ia menari dengan keyakinan spiritual dan memasukkan jiwa Singo Barong ke dalam dirinya, beban 50 kilogram itu seolah-olah lenyap.
Dalam kondisi ini, Penthul tidak lagi dilihat sebagai individu, tetapi sebagai perwujudan Raja Singo Barong yang sesungguhnya, memancarkan aura kegarangan dan karisma yang luar biasa. Transformasi ini—dari manusia biasa menjadi raja hutan yang dimahkotai—adalah puncak dari seni peran Dadak Merak.
Pengorbanan Penthul, yang seringkali menyebabkan masalah gigi kronis atau cedera leher dalam jangka panjang, adalah pengorbanan atas nama seni dan pelestarian budaya. Ini bukan sekadar profesi, tetapi panggilan jiwa yang menempatkan tradisi di atas kenyamanan pribadi.
Di tengah arus modernisasi, Dadak Merak berdiri tegak sebagai simbol kedaulatan budaya lokal yang menolak untuk punah. Ia adalah pengingat bahwa kekuatan terbesar sering kali datang dari perjuangan yang paling berat. Dalam setiap kibasan bulu merak dan setiap hentakan kaki Singo Barong, terdengar gema sejarah, filosofi, dan spiritualitas Jawa yang abadi. Warisan yang luar biasa ini terus menuntut penghargaan, perlindungan, dan penerus yang berani memikul bebannya, baik secara harfiah maupun metaforis.
Oleh karena itu, ketika seseorang menyaksikan Barongan Dadak Merak, ia tidak hanya melihat tarian; ia menyaksikan sebuah monumen bergerak, sebuah manifestasi seni rupa, teknik, dan spiritualitas yang jarang tertandingi di dunia.
***