Indonesia, sebuah kepulauan yang kaya akan warisan budaya, menyimpan sejuta misteri dan keindahan yang terwujud dalam berbagai bentuk kesenian tradisional. Salah satu manifestasi budaya yang paling kuat, mistis, dan memukau adalah Barongan asli. Kesenian Barongan bukan sekadar pertunjukan teater jalanan atau tari topeng biasa; ia adalah jembatan spiritual yang menghubungkan masa kini dengan leluhur, sebuah narasi visual yang penuh makna filosofis, ritual, dan sejarah panjang peradaban Jawa kuno hingga Bali.
Ketika kita membahas Barongan asli, kita merujuk pada bentuk kesenian yang masih memegang teguh pakem, ritual, dan esensi spiritualitasnya, jauh dari sekadar komodifikasi hiburan massa. Barongan, dalam berbagai manifestasinya—baik sebagai Singo Barong dalam Reog Ponorogo, maupun sebagai Barong Ket di Bali—selalu mewakili sosok pelindung, simbol kekuatan kosmik, dan penolak bala. Memahami Barongan adalah menyelami jantung mistisisme Nusantara.
Kesenian Barongan memiliki silsilah yang sangat tua, diperkirakan berasal dari era pra-Hindu Buddha, di mana masyarakat Nusantara sangat menghormati roh alam dan kekuatan binatang buas. Namun, bentuk yang dikenal saat ini sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur, terutama pada masa Majapahit dan pasca-Majapahit.
Salah satu narasi paling kuat yang melatarbelakangi Barongan asli adalah kisah Raja Klana Sewandana, yang berkeinginan mempersunting Dewi Songgolangit dari Kediri. Dalam konteks Reog Ponorogo, Barongan (atau Singo Barong) diinterpretasikan sebagai tunggangan atau manifestasi dari kekuatan pengawal Raja Klana Sewandana. Singo Barong digambarkan sebagai makhluk hibrida yang menakutkan namun sakral, perpaduan antara Harimau (singa) dan merak raksasa yang mewakili kegagahan, kekuasaan, dan ambisi kerajaan.
Namun, dalam dimensi yang lebih purba, tokoh Singo Barong sering dikaitkan dengan figur Dhadhak Merak, yang memiliki akar mitologi dalam kosmologi Jawa kuno. Ia adalah representasi dari kekuatan alam yang liar dan tak terjamah, yang kemudian "dijinakkan" dan diintegrasikan ke dalam struktur ritual masyarakat. Barongan asli selalu melalui proses sakralisasi yang panjang, mulai dari pemilihan bahan baku kayu hingga upacara pelantikan (penjamasan) yang menjadikannya bukan sekadar topeng, melainkan ‘wadah’ bagi roh penjaga.
Sebelum Islam masuk secara masif, masyarakat Jawa memegang erat kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka percaya bahwa benda-benda tertentu, terutama patung atau topeng yang dibuat dari bahan alami, dapat dihuni oleh roh leluhur atau dewa. Topeng Barongan adalah salah satu medium paling efektif untuk memanggil kekuatan-kekuatan tersebut. Fungsi utamanya adalah sebagai penangkal roh jahat atau wabah penyakit. Prosesi Barongan asli, yang sering kali diiringi dengan ritual kesurupan (trance), adalah bukti nyata dari sisa-sisa praktik spiritual kuno ini.
Kesinambungan tradisi ini menunjukkan betapa Barongan bukan hanya warisan seni, melainkan warisan spiritual yang dijaga oleh para sesepuh dan pawang (pemimpin ritual). Ketaatan pada pakem ini yang membedakan pertunjukan Barongan asli yang sakral dari pertunjukan yang telah diadaptasi murni untuk hiburan turis. Keaslian Barongan terletak pada intensitas spiritual yang dilepaskan selama pertunjukan, sering kali melibatkan interaksi energi yang sangat kuat antara pemain, pemusik, dan penonton.
Sebuah Barongan, khususnya yang dikategorikan sebagai Barongan asli, tidak dibuat dari bahan sembarangan. Setiap elemen, dari ujung rambut hingga taring, memuat simbolisme yang mendalam, mencerminkan pandangan dunia masyarakat Jawa Kuno.
Pemilihan kayu adalah langkah pertama dan paling krusial. Dalam tradisi Barongan asli di Jawa Timur, kayu yang sering digunakan adalah kayu pohon Randu (kapok) atau Dadap. Kedua jenis kayu ini dipilih karena bobotnya yang ringan (penting untuk pemain yang harus menahan beban berat) dan, yang lebih penting, karena diyakini memiliki aura spiritual yang kuat, mudah ‘dimasuki’ oleh roh penjaga. Pohon yang akan ditebang harus melalui ritual perizinan kepada ‘penunggu’ pohon tersebut, sebuah upacara yang dikenal sebagai ndemah atau slametan.
Setelah kayu dipahat menjadi bentuk kepala Barongan (disebut Kethek Ogleng atau Dhadhak Merak), ia menjalani proses pengisian. Di sinilah peran seorang pawang atau dukun sangat penting. Proses pengisian energi atau isi ini dilakukan melalui mantra-mantra khusus dan benda-benda pusaka yang ditanamkan ke dalam rongga kepala Barongan. Hal ini memastikan bahwa Barongan tersebut bukan hanya topeng, tetapi sebuah benda hidup yang memiliki kekuatan magis dan perlindungan.
Rambut pada Barongan asli, terutama Singo Barong Reog, biasanya menggunakan serat tali ijuk atau benang rafia yang dicat hitam pekat, tebal, dan panjang menjuntai. Rambut ini melambangkan keganasan, keagungan, dan juga aura mistis yang menyelimuti kekuatan Barongan. Ketika pemain menggoyangkan kepala Barongan, gerakan rambut menciptakan kesan visual yang dramatis dan liar, mencerminkan kekuatan alam yang tak terkontrol.
Hiasan yang paling mencolok pada Barongan asli Jawa adalah Dhadhak Merak, hiasan berbentuk kipas raksasa yang terbuat dari bulu merak. Bulu merak melambangkan kecantikan, keindahan, dan kekuasaan tertinggi (sering dikaitkan dengan kerajaan). Kombinasi antara wajah Barongan yang menakutkan (representasi kekuatan kasar) dengan hiasan merak yang indah (representasi kebijaksanaan dan keagungan) menciptakan dialektika sempurna antara kekuatan fisik dan spiritual. Bobot Dhadhak Merak ini bisa mencapai puluhan kilogram, dan hanya dapat dipikul dengan kekuatan leher dan gigi, simbolisasi totalitas pengorbanan penari.
Meskipun memiliki akar yang sama dalam tradisi topeng singa dan spiritualisme, Barongan memiliki bentuk dan fungsi yang beragam di berbagai daerah. Membedah variasi ini membantu kita menghargai kekayaan interpretasi dari konsep Barongan asli.
Di Bali, Barongan diwujudkan sebagai Barong Ket (Barong Macan/Singa), yang merupakan tokoh sentral dalam mitologi Rwa Bhineda, konsep dualitas abadi. Barong adalah representasi dari Dharma (kebaikan), sementara lawannya, Rangda (ratu Leak), mewakili Adharma (kejahatan). Pertarungan abadi antara Barong dan Rangda dalam tari Calon Arang adalah simbolisasi perjuangan manusia dalam menjaga keseimbangan kosmik.
Barong Bali sangat berbeda dalam ritual pembuatannya. Ia lebih sering dibuat dengan kayu Pule yang dianggap sakral. Barong Bali dimainkan oleh dua orang, dan gerakannya lebih ritmis serta terkontrol, mengikuti pakem tarian Hindu Dharma yang kental. Ia disimpan di Pura (tempat ibadah) dan hanya dikeluarkan pada saat-saat upacara besar atau hari raya tertentu. Keaslian Barong Bali terletak pada ketaatan ritual Ngereh (penyucian) dan posisinya sebagai tapel (topeng suci) yang memiliki kekuatan nyata.
Singo Barong dalam konteks Reog Ponorogo adalah manifestasi kekuatan tertinggi yang dipertontonkan. Ia bukan sekadar penari, melainkan elemen yang harus ada dalam setiap pertunjukan Reog. Barongan asli di Ponorogo menuntut kekuatan fisik dan mental yang luar biasa dari pemikulnya, yang sering kali harus menari sambil memikul beban berat di atas kepala, menggunakan gigi sebagai tumpuan utama.
Selain fungsinya sebagai representasi kekuasaan, Singo Barong juga merupakan titik fokus spiritual. Pawang Singo Barong dianggap memiliki kemampuan khusus untuk berkomunikasi dengan dimensi lain, memastikan bahwa roh yang merasuki Barongan tetap terkendali dan tidak membahayakan penonton atau anggota kelompok. Tradisi ini menuntut disiplin spiritual yang ketat, termasuk puasa dan tirakat, bagi para calon pemikul Barongan.
Di Jawa Tengah, terutama di daerah Blora dan Kudus, terdapat varian Barongan yang lebih sederhana namun tetap kuat dalam esensi ritualnya. Barongan Blora, misalnya, dikenal dengan wajahnya yang lebih menyerupai banteng atau barongsai Tiongkok, menunjukkan adanya akulturasi budaya. Pertunjukan Barongan Blora cenderung lebih dinamis, melibatkan banyak penari jalanan, dan sering kali dilakukan sebagai bentuk nadar (kaul) atau hiburan rakyat saat panen tiba.
Barongan Kudus memiliki kekhasan dalam kostumnya yang lebih berwarna-warni dan didominasi unsur Islami (karena Kudus adalah salah satu pusat penyebaran Islam). Meskipun demikian, aspek kesurupan atau ndadi tetap menjadi bagian integral dari pertunjukan mereka, menegaskan bahwa meskipun bentuknya berubah, esensi spiritual dan ritualistik dari Barongan asli tetap dipertahankan sebagai media komunikasi dengan dunia gaib.
Inti dari Barongan asli terletak pada serangkaian ritual yang mengelilingi pertunjukannya. Ritual ini memastikan bahwa pertunjukan tidak hanya menghibur, tetapi juga memenuhi fungsi spiritual dan sosial yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya.
Seorang penari yang memikul Barongan, terutama dalam kelompok tradisional, tidak boleh sembarangan. Mereka harus menjalani tirakat, puasa, dan mandi kembang untuk membersihkan diri secara fisik dan spiritual. Tujuan dari tirakat ini adalah untuk ‘mengosongkan’ diri agar roh penjaga Barongan dapat masuk tanpa hambatan. Keberhasilan pertunjukan sering kali diukur dari tingkat kesempurnaan kesurupan yang dialami oleh penari, yang membuktikan bahwa Barongan tersebut memang ‘hidup’.
Prosesi sebelum pertunjukan dimulai dengan pembacaan mantra-mantra oleh pawang. Sesajen berupa bunga tujuh rupa, kemenyan, dan makanan tradisional disajikan untuk memohon restu leluhur. Ritual ini adalah prasyarat mutlak yang tidak boleh dihilangkan. Hilangnya ritual ini secara otomatis menghilangkan status Barongan sebagai Barongan asli, mereduksinya menjadi sekadar tari topeng biasa tanpa kekuatan spiritual.
Kesurupan, atau yang sering disebut ndadi dalam bahasa Jawa, adalah klimaks dari pertunjukan Barongan asli. Dalam keadaan trance, penari menunjukkan kekuatan dan kelakuan di luar nalar manusia normal, seperti makan pecahan kaca, mengupas kelapa menggunakan gigi, atau kebal terhadap pukulan cambuk. Fenomena ini diyakini sebagai momen ketika roh Barongan mengambil alih raga penari untuk sementara waktu.
Peran pawang (pengendali) sangat vital di sini. Pawang bertugas memastikan bahwa roh yang masuk adalah roh baik yang bersifat pelindung, serta mengendalikan intensitas trance agar penari tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Ritual penyadaran kembali (dipulihke) juga dilakukan oleh pawang setelah pertunjukan usai, mengembalikan kesadaran penari melalui doa dan sentuhan spiritual.
Barongan asli sering kali dipentaskan untuk memenuhi fungsi sosial yang spesifik:
Barongan tidak pernah berdiri sendiri. Ia dikelilingi oleh ekosistem seni pendukung yang saling melengkapi, menciptakan drama budaya yang utuh dan kompleks. Komponen-komponen ini, seperti Jathilan, Warok, dan Gamelan, adalah bagian tak terpisahkan dari representasi Barongan asli.
Jathilan, atau tari kuda lumping/kuda kepang, adalah kelompok penari yang selalu menyertai Barongan. Mereka digambarkan sebagai prajurit berkuda yang setia mengawal Singo Barong. Penari Jathilan memainkan peran penting dalam menciptakan suasana mistis. Mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap fenomena ndadi, sering kali menjadi titik awal dari kekacauan spiritual yang kemudian dikendalikan oleh pawang.
Kuda-kudaan yang mereka gunakan terbuat dari anyaman bambu, simbol kesederhanaan dan kemampuan adaptasi rakyat jelata. Meskipun sederhana, kuda kepang ini memiliki energi spiritual yang kuat karena melalui proses pengisian sebelum digunakan. Kuda Lumping dalam Barongan asli sering menunjukkan perilaku aneh saat trance, seperti memakan rumput, arang, atau benda-benda tajam, yang menegaskan bahwa mereka telah dikuasai oleh roh kuda atau roh prajurit kuno.
Di wilayah Ponorogo dan sekitarnya, figur Warok adalah penjaga Barongan yang paling dihormati. Warok adalah sosok laki-laki dewasa yang digambarkan sangat kuat, berwibawa, dan memiliki ilmu kanuragan (ilmu kebatinan). Secara fisik, mereka mencolok dengan pakaian serba hitam, kumis tebal, dan selendang merah atau hitam yang melilit leher.
Peran Warok jauh melampaui sekadar pengawal. Mereka adalah pelestari etika, moral, dan pakem pertunjukan Barongan. Warok bertanggung jawab memastikan bahwa seluruh ritual dilaksanakan dengan benar, menjaga keamanan penari yang sedang kesurupan, dan melindungi Barongan dari hal-hal yang dapat merusak kesuciannya. Mereka adalah simbol kekuatan maskulin yang bijaksana dan protektif, elemen penting dalam menjaga keaslian Barongan.
Musik Gamelan, atau Karawitan, adalah nyawa dari pertunjukan Barongan. Irama Gamelan yang dimainkan—terutama dari instrumen seperti Kenong, Gong, Kempul, dan Kendang—bukan sekadar pengiring, melainkan elemen yang secara aktif memediasi terjadinya kesurupan. Pola ritmis yang repetitif dan intens berfungsi sebagai frekuensi spiritual yang membantu penari memasuki kondisi trance.
Dalam konteks Barongan asli, Gamelan harus dimainkan dengan formasi dan lagu (Gendhing) yang khas dan sakral. Gendhing-Gendhing tertentu dipercaya memiliki kekuatan magis untuk memanggil roh atau untuk menenangkan roh yang sedang merasuk. Ketidaktepatan dalam memainkan Gamelan dapat mengganggu keseimbangan ritual dan berpotensi menyebabkan Trance yang tidak terkendali.
Barongan Asli adalah manifestasi dari berbagai ajaran filosofis Jawa kuno, terbungkus dalam seni tari dan drama. Gerakannya yang eksplosif, liar, namun terkadang anggun, menyampaikan pelajaran tentang kekuasaan, moralitas, dan hubungan antara manusia dan alam.
Gerakan Barongan sering kali penuh dengan kontradiksi: ia bisa tiba-tiba melonjak ganas, lalu mendadak bergerak perlahan penuh wibawa. Kontradiksi ini mencerminkan dualisme yang ada di alam semesta. Barongan adalah kekuatan liar (Singa) yang dikendalikan oleh kecerdasan manusia (Penari). Ini adalah pelajaran bahwa kekuatan terbesar harus diimbangi dengan kebijaksanaan dan pengendalian diri. Dalam filsafat Barongan, penari tidak menaklukkan roh, melainkan bernegosiasi dan bersinergi dengannya, mencerminkan harmoni yang dicari dalam kehidupan.
Saat penari memasuki kondisi kesurupan, mereka melakukan tindakan penyerahan diri total. Mereka membiarkan kekuatan yang lebih besar mengendalikan raga mereka. Secara filosofis, ini adalah cerminan dari konsep Jawa tentang pasrah—penyerahan total kepada kehendak Ilahi atau leluhur. Kondisi pasrah ini dianggap sebagai jalan menuju pembersihan diri dan penerimaan kekuatan spiritual. Tanpa kemampuan pasrah yang tulus, Barongan dianggap tidak akan mau ‘turun’ atau merasuk dengan sempurna.
Konsep penyerahan diri ini juga diwujudkan dalam tantangan fisik yang harus dihadapi penari Singo Barong di Reog, yang menopang beban berat di leher dan gigi. Rasa sakit dan upaya fisik yang ekstrem itu adalah ritual pengorbanan yang membebaskan roh, sebuah manifestasi fisik dari tapa brata (asketisme) yang diperlukan untuk mencapai kekuatan spiritual yang superior.
Di tengah gempuran budaya pop global dan perkembangan teknologi, pelestarian Barongan asli menghadapi tantangan besar. Komersialisasi sering kali mengancam esensi ritual, mengubah seni sakral menjadi pertunjukan semata.
Ketika Barongan dipertunjukkan untuk tujuan pariwisata atau komersial, sering kali unsur-unsur yang dianggap ‘mengganggu’ atau ‘terlalu mistis’—seperti ritual sesajen, durasi yang panjang, atau bahkan fenomena kesurupan—dihilangkan atau disensor. Hal ini mengakibatkan degradasi ritual, di mana Barongan kehilangan roh dan kekuatan aslinya. Generasi muda mungkin hanya mengenal Barongan sebagai kostum atau tarian akrobatik tanpa mengetahui latar belakang filosofis dan spiritualnya.
Barongan asli menolak perubahan yang menghilangkan pakem. Para sesepuh yang masih memegang teguh tradisi berjuang keras untuk memastikan bahwa setiap pertunjukan tetap didahului oleh ritual wajib, terlepas dari tuntutan pasar. Perjuangan ini adalah kunci untuk menjaga agar Barongan tetap menjadi warisan spiritual, bukan hanya artefak sejarah.
Tantangan terbesar kedua adalah regenerasi. Memainkan Barongan asli, terutama Singo Barong yang berat, membutuhkan keahlian fisik dan spiritual yang diturunkan secara turun-temurun melalui proses magang yang ketat. Pengetahuan tentang Gendhing sakral, mantra-mantra, dan teknik pengendalian trance adalah pengetahuan eksklusif yang tidak dapat dipelajari di sekolah seni formal.
Saat ini, minat generasi muda terhadap disiplin spiritual dan tirakat yang diperlukan untuk menjadi pawang atau penari Barongan asli semakin menurun. Dibutuhkan upaya keras dari komunitas adat dan pemerintah daerah untuk mendokumentasikan dan memfasilitasi transmisi pengetahuan ini sebelum ia hilang bersama generasi tua.
Kelangsungan hidup Barongan asli sangat bergantung pada paguyuban (komunitas) dan kelompok adat lokal. Merekalah yang menjaga Barongan sebagai pusaka, merawatnya melalui upacara jamasan (pencucian pusaka) rutin, dan memastikan bahwa tidak ada unsur modern yang menghilangkan kesakralannya. Paguyuban ini berfungsi sebagai benteng terakhir pertahanan tradisi, menegaskan bahwa Barongan adalah identitas spiritual, bukan sekadar komoditas budaya.
Dalam banyak kasus, Barongan yang paling dihormati adalah Barongan yang tidak pernah dipentaskan untuk umum kecuali untuk ritual desa yang sangat penting. Barongan semacam ini disimpan di tempat khusus, sering kali di rumah kepala desa atau rumah pawang, dan diperlakukan seperti anggota keluarga yang dihormati, membuktikan statusnya yang lebih dari sekadar properti pentas.
Upaya untuk mendefinisikan dan membatasi istilah Barongan asli adalah pekerjaan yang rumit karena tradisi ini terus berkembang dalam bingkai yang sangat ketat. Keasliannya tidak terletak pada bentuk fisik topeng, melainkan pada intensitas ritual dan keyakinan spiritual yang mengiringinya. Barongan adalah simbol kekuatan primordial yang dihormati, dikendalikan, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan kolektif.
Kisah Barongan adalah kisah tentang Nusantara itu sendiri: sebuah perpaduan harmonis antara mitos pra-Hindu, pengaruh kerajaan besar, dan adaptasi spiritual Islam dan Hindu yang berkelanjutan. Ia adalah cerminan dari kepercayaan bahwa alam semesta dipenuhi oleh energi yang dapat dipanggil dan diinteraksi melalui ritual yang tepat.
Ketika mata Barongan yang besar dan melotot menatap penonton, ia bukan hanya melihat mereka, tetapi ia melihat jauh ke dalam sejarah kolektif dan spiritualitas mereka. Kekuatan yang dilepaskan dalam tarian, suara teriakan penari yang kesurupan, dan irama Gamelan yang memekakkan telinga, semuanya adalah manifestasi dari janji kuno: bahwa selama tradisi dijaga, kekuatan pelindung leluhur akan terus hadir di tengah-tengah masyarakat.
Menghargai Barongan asli berarti menghargai disiplin, pengorbanan, dan ketaatan spiritual yang diperlukan untuk menghidupkannya. Ini adalah warisan yang menuntut rasa hormat yang tinggi, sebuah permata budaya yang terus bersinar terang di tengah modernitas, menjadi pengingat abadi akan akar spiritual bangsa Indonesia.
Tarian Barongan asli menuntut lebih dari sekadar kelincahan fisik; ia membutuhkan sinkronisasi sempurna antara penari dan irama Gamelan, serta pengendalian napas yang luar biasa. Gerakan utama Barongan, yang disebut Ngigel, adalah gerakan memutar kepala Barongan secara vertikal dan horizontal. Di Ponorogo, penari Singo Barong harus mampu melakukan Ngigel sambil menahan berat Dhadhak Merak, sebuah prestasi yang hanya bisa dicapai melalui latihan fisik dan pengendalian mental selama bertahun-tahun.
Ada beberapa level dalam tarian Barongan. Level pertama adalah Tari Pembukaan, di mana Barongan bergerak dengan wibawa, memperkenalkan diri kepada penonton dan lingkungan. Level kedua adalah Tari Konflik, di mana gerakan menjadi lebih eksplosif, seringkali melibatkan pertarungan simbolis dengan penari Jathilan atau Warok. Pada level inilah sering terjadi transisi menuju Ndadi (kesurupan), ditandai dengan gerakan tidak teratur, meraung, dan menunjukkan kekuatan supranatural.
Teknik menopang Barongan Reog Ponorogo melibatkan penggunaan lilitan kain khusus yang diikat di kepala penari, yang kemudian bertumpu pada dagu dan gigi. Struktur kayu kepala Barongan memiliki palang khusus untuk digigit. Jika penari tidak memiliki kekuatan gigi dan leher yang memadai, risiko cedera tulang belakang sangat tinggi. Oleh karena itu, persiapan fisik ini adalah bagian tak terpisahkan dari ritual yang membentuk mentalitas dan kekuatan Barongan asli.
Banyak Barongan asli yang sakral memiliki benda pusaka yang ditanamkan di dalamnya. Benda-benda ini bisa berupa jimat, rajah (tulisan magis), atau bahkan sisa-sisa bagian tubuh dari Barongan sebelumnya yang telah diwariskan. Benda pusaka ini dianggap sebagai ‘nyawa’ atau inti spiritual dari Barongan tersebut. Ketika sebuah Barongan lama harus diganti, inti spiritualnya dipindahkan ke Barongan yang baru melalui upacara Ngunduh Banyu (mengambil air kehidupan).
Perawatan pusaka ini dilakukan melalui ritual Jamasan. Jamasan adalah upacara pencucian Barongan menggunakan air kembang tujuh rupa dan minyak wangi, biasanya dilakukan pada malam 1 Suro (Tahun Baru Jawa/Islam) atau hari baik lainnya yang ditentukan oleh pawang. Melalui Jamasan, energi Barongan diperbarui dan dibersihkan dari pengaruh negatif yang mungkin didapat selama pementasan. Barongan yang tidak dijamasi secara teratur diyakini akan kehilangan kekuatannya atau menjadi ‘bandel’ dan sulit dikendalikan oleh penari.
Filosofi di balik Jamasan adalah konsep pembaruan diri dan pemurnian. Sama seperti manusia yang harus membersihkan diri secara fisik dan spiritual, Barongan sebagai wadah energi spiritual juga harus dimurnikan. Prosesi ini menegaskan bahwa Barongan adalah entitas hidup yang membutuhkan perhatian dan penghormatan, bukan sekadar topeng kayu biasa.
Pawang, atau dhukun dalam konteks tertentu, adalah figur paling krusial dalam pertunjukan Barongan asli. Tanpa pawang, Barongan hanyalah properti mati. Pawang bertindak sebagai mediator antara alam manusia dan alam roh penjaga Barongan. Kekuatan seorang pawang tidak diukur dari kemampuan menari, melainkan dari ilmu batin dan kharisma spiritualnya.
Seorang pawang harus menguasai berbagai macam mantra dan doa, mulai dari mantra pemanggil (pamrayoga) hingga mantra penenang (pamulih). Selain itu, pawang harus memiliki pemahaman mendalam tentang karakter dari setiap roh yang mungkin merasuki penari. Misalnya, roh Singo Barong mungkin memiliki temperamen yang berbeda dari roh Jathilan, dan pawang harus tahu cara berinteraksi dengan masing-masing entitas tersebut.
Dalam pertunjukan, pawang selalu berada di garis depan, memantau setiap pergerakan penari kesurupan. Jika ada penari yang terlalu liar atau agresif, pawang akan menggunakan cemeti (cambuk) atau sentuhan tangan yang telah diisi energi untuk mengendalikan mereka, memastikan bahwa energi yang dilepaskan tetap berada dalam koridor ritual yang aman. Kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan pawang adalah fondasi yang memungkinkan pertunjukan Barongan tetap sakral dan autentik.
Pengembangan Barongan di daerah perbatasan seperti Blora dan Ngawi memberikan perspektif unik tentang akulturasi budaya. Barongan Blora, misalnya, sangat dipengaruhi oleh tradisi agraris dan kehutanan. Kostum dan topengnya sering menggunakan bahan-bahan yang ditemukan di hutan setempat, dan mitologinya erat kaitannya dengan legenda hutan jati. Barongan di sini berfungsi sebagai penjaga hutan dan kekayaan alam.
Di Ngawi, Barongan cenderung lebih dipengaruhi oleh seni tari keraton Mataram (meski tidak seformal itu), namun tetap mempertahankan unsur kesurupan Reog Ponorogo. Adaptasi ini menunjukkan fleksibilitas Barongan asli untuk menyerap elemen budaya baru sambil tetap mempertahankan intinya yang mistis. Meskipun variannya berbeda, semua komunitas ini sepakat pada satu hal: Barongan harus diperlakukan dengan penuh hormat dan melalui ritual inisiasi yang benar.
Adaptasi ini juga terlihat dalam penggunaan iringan musik. Sementara Barongan Ponorogo menggunakan Gamelan yang lebih keras dan heroik, beberapa Barongan Jawa Tengah mungkin menggabungkan alat musik tradisional lain seperti Angklung atau Tarawangsa, memberikan nuansa yang berbeda namun tetap menghasilkan efek hipnotis yang diperlukan untuk prosesi trance. Adaptasi ini membuktikan vitalitas Barongan sebagai seni yang hidup dan responsif terhadap lingkungannya, selama intisari spiritualnya tidak dikompromikan.
Menjelajahi Barongan asli adalah perjalanan ke masa lalu yang mendalam, di mana batas antara realitas dan mitologi menjadi kabur. Kesenian ini mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan, pengorbanan, dan penghormatan terhadap kekuatan yang lebih besar dari diri kita. Setiap detail, mulai dari pahatan kayu yang dipilih secara ritual hingga setiap dentuman gong yang dimainkan, adalah bagian dari narasi panjang yang membentuk identitas spiritual Nusantara.
Barongan asli akan terus menjadi penjaga tradisi yang tak kenal lelah, sebuah monumen bergerak yang mengingatkan kita bahwa di tengah laju modernisasi, akar spiritual dan budaya bangsa harus tetap kokoh. Keberlangsungan Barongan adalah cerminan dari kekuatan dan ketahanan masyarakat Indonesia dalam menjaga pusaka leluhur mereka, memastikan bahwa teriakan Singo Barong akan terus bergema di pelosok desa, dari ujung Jawa hingga Bali, sebagai penanda kehidupan dan semangat yang tak pernah padam.
Dengan memelihara tradisi ritual dan etika yang mengelilingi pertunjukan ini, kita tidak hanya melestarikan seni, tetapi juga menjaga keberlangsungan jalur spiritual yang telah menghubungkan generasi demi generasi dengan roh bumi dan leluhur mereka. Inilah esensi sejati dari Barongan yang sesungguhnya: sebuah doa dalam bentuk tarian, sebuah perlindungan dalam bentuk topeng, dan sebuah kekuatan yang hidup dalam setiap denyut nadi bangsa.
Keunikan Barongan, yang membedakannya secara fundamental dari pertunjukan seni lainnya, terletak pada pemahaman bahwa objek fisik—kepala Singo Barong—adalah wadah sementara bagi kekuatan kosmik. Proses pembuatan dan penyimpanan topeng ini sama pentingnya dengan pertunjukannya. Setelah selesai digunakan, Barongan tidak boleh diletakkan sembarangan. Ia harus ditutup dengan kain putih atau kain mori, disimpan di tempat yang tinggi, dan diberi sesajen ringan secara berkala. Hal ini untuk menghormati roh yang bersemayam di dalamnya, memastikan bahwa ia tetap tenang dan bersedia membantu kelompok di masa depan.
Tradisi Barongan juga mengajarkan tentang hierarki sosial. Dalam kelompok Barongan tradisional, ada pembagian tugas yang sangat jelas: Pawang, Pemukul Gong (yang paling senior dalam Gamelan), Penari Utama (pemikul Barongan), dan penari pendukung (Jathilan). Setiap peran memiliki derajat spiritual dan tanggung jawab yang berbeda. Kepatuhan mutlak terhadap hierarki ini adalah kunci kesuksesan ritual. Seorang penari junior tidak diperbolehkan menyentuh atau merawat kepala Barongan tanpa izin atau bimbingan dari pawang, karena risiko spiritual yang ditimbulkan sangat besar.
Mengenai bahan baku bulu merak pada Dhadhak Merak, Barongan asli sangat mengutamakan keaslian dan kualitas bulu. Pengadaan bulu merak dilakukan dengan penuh kehati-hatian, sering kali didapat dari koleksi pribadi atau melalui jalur tradisional yang menghormati kehidupan hewan tersebut. Bulu-bulu ini disusun secara berlapis, diikat pada kerangka bambu yang kokoh namun elastis. Bobot total Dhadhak Merak yang bisa mencapai 40-50 kg adalah representasi nyata dari beban tanggung jawab dan kemuliaan yang harus dipikul oleh seorang pemimpin atau pelindung, sebuah simbolisasi filosofis yang mendalam tentang kekuasaan dan kepemimpinan.
Dalam konteks Jawa Timur, ada perbedaan subtle antara Barongan Ponorogo (yang heroik) dan Barongan Jawa Timuran lainnya, seperti Barongan Kediri atau Jombang. Barongan Kediri seringkali dikaitkan dengan mitos Dewi Kilisuci dan memiliki elemen tarian yang lebih lembut, sementara Barongan Jombang, meskipun tetap kuat, mungkin lebih fokus pada interaksi komedi dengan penonton, menunjukkan variasi interpretasi lokal terhadap konsep Singa penjaga.
Namun, di mana pun Barongan itu berada, prinsip Barongan asli tetap sama: ia adalah seni yang berdarah, berkeringat, dan bernapas dengan kekuatan spiritual. Kesenian ini adalah media bagi masyarakat untuk mengolah ketakutan mereka terhadap kekuatan alam, mengubah keganasan menjadi perlindungan, dan kekacauan menjadi harmoni. Ini adalah seni yang meminta Anda untuk percaya, untuk meninggalkan skeptisisme modern sejenak, dan membiarkan diri Anda terserap ke dalam pusaran energi primordial yang dilepaskan oleh Singo Barong.
Pengalaman menyaksikan Barongan asli secara langsung adalah pengalaman yang transformatif. Aroma kemenyan yang dibakar, ritme Gamelan yang mendesak, jeritan penari yang kerasukan, dan pemandangan Barongan yang mengamuk, semuanya menyatu menciptakan sebuah teater spiritual yang tak tertandingi. Ini bukan hanya pertunjukan warisan; ini adalah praktik keyakinan yang hidup, sebuah manifestasi dari kosmologi yang mendalam dan abadi yang telah dijaga oleh leluhur selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Upaya untuk menjaga keasliannya adalah tugas suci bagi generasi penerus.
Penelusuran lebih jauh mengenai anatomi topeng Barongan asli mengungkap detail pahatan yang sarat makna. Misalnya, mata Barongan selalu dipahat melotot dan berwarna merah menyala, melambangkan kemarahan suci atau kewaspadaan yang tinggi. Taringnya yang runcing melambangkan kekuatan menembus dan membinasakan kejahatan. Warna-warna yang digunakan, seperti merah, hitam, dan emas, memiliki kaitan erat dengan konsep Catur Warna dan arah mata angin dalam kosmologi Jawa dan Bali, menegaskan bahwa tidak ada elemen Barongan yang bersifat kebetulan.
Peran musik dalam menjaga Barongan asli juga patut digarisbawahi. Setiap Gendhing memiliki tujuan spesifik. Ada Gendhing pembukaan yang bersifat menenangkan, Gendhing pemanggil roh yang bersifat hipnotis (sering disebut Gendhing Kebo Giro atau Gendhing Trance), dan Gendhing penutup yang berfungsi untuk mengembalikan kesadaran penari. Para pemain Gamelan yang mengiringi Barongan harus memiliki kepekaan luar biasa terhadap kondisi emosional dan spiritual penari di panggung. Mereka harus tahu kapan harus meningkatkan tempo untuk memicu trance, dan kapan harus menurunkannya untuk membantu pawang mengendalikan situasi. Sinkronisasi spiritual antara pawang, penari, dan pemusik adalah segitiga vital yang menjaga keseluruhan ritual tetap otentik.
Dalam komunitas Bali, Barong Ket sering diiringi oleh Gamelan Gong Kebyar atau Semar Pegulingan, yang memiliki ritme berbeda dengan Gamelan Jawa, namun tujuannya sama: menciptakan resonansi spiritual. Barong Bali, dengan kain hiasan yang mewah dan cermin-cermin kecil (kaca bingkai), merefleksikan kemegahan dan keilahian yang berbeda dari representasi Barongan Jawa yang lebih kasar dan membumi. Namun, kedua tradisi sama-sama menjunjung tinggi aspek Ngereh (pengisian roh) dan Ngelinggihan (penempatan topeng suci), menunjukkan akar spiritual yang sama dalam menghormati kekuatan pelindung binatang mistis.
Kepala Barongan di Jawa, khususnya, seringkali dihiasi dengan jenggot atau kumis tebal yang terbuat dari ekor kuda atau ijuk yang diwarnai. Jenggot ini menambah kesan kebuasan dan usia, menyimbolkan kebijaksanaan kuno. Dalam banyak tradisi Barongan, jenggot ini juga dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh pendamping yang lebih kecil, yang membantu Barongan utama dalam tugasnya menolak bala. Setiap helai ijuk memiliki nilai historis dan spiritual, menjadikannya bagian tak ternilai dari pusaka Barongan tersebut.
Secara keseluruhan, pemahaman holistik tentang Barongan asli mengharuskan kita untuk melihatnya sebagai artefak multidimensi—sejarah, spiritualitas, seni, dan etika sosial, semuanya terjalin erat. Warisan ini adalah cerminan dari keyakinan abadi bahwa dunia spiritual dan dunia material saling terkait erat, dan bahwa seni adalah sarana paling kuat untuk menavigasi hubungan kompleks tersebut.