Kesenian Barongan, khususnya yang berkembang di wilayah pesisir utara dan sebagian Jawa Timur, bukanlah sekadar tarian rakyat atau pertunjukan hiburan semata. Di balik gemerlap kostum, deru kendang yang memekakkan telinga, dan lengkingan terompet yang menusuk, tersimpan sebuah dimensi spiritual yang gelap, dalam, dan seringkali mengerikan—dimensi yang membuat Barongan dikenal sebagai entitas yang ‘angker’.
Istilah ‘angker’ dalam konteks budaya Jawa tidak hanya merujuk pada tempat yang menakutkan, tetapi lebih kepada entitas atau objek yang memiliki kekuatan spiritual yang sangat besar, suci, dan berbahaya jika tidak diperlakukan dengan penuh penghormatan. Barongan, sebagai perwujudan roh singa mitologis, adalah wadah bagi kekuatan ini. Ia adalah penjelmaan danyang—roh penjaga wilayah—yang diundang secara khidmat untuk ‘masuk’ ke dalam topeng dan tubuh pemain. Proses pemanggilan inilah yang membedakan Barongan dari seni pertunjukan biasa; menjadikannya sebuah ritual transendental yang memicu fenomena kesurupan massal atau yang dikenal dengan istilah lokal sebagai *ndadi* atau *nglumpruk*.
Untuk memahami mengapa Barongan dianggap angker, kita harus membedah dua komponen utama: material fisik topeng (Barong) dan energi spiritual yang menghuninya (Danyang). Kedua entitas ini menyatu melalui serangkaian ritual ketat yang diwariskan turun-temurun, memastikan bahwa kekuatan yang bangkit saat pertunjukan adalah kekuatan yang liar, tetapi terikat pada tradisi.
Topeng Barongan, seringkali berbentuk kepala singa raksasa atau macan gembong, bukanlah hasil pahatan kayu biasa. Kayu yang digunakan seringkali harus diambil dari pohon keramat, seperti Pohon Beringin atau Pohon Asem yang tumbuh di lokasi wingit (sakral). Pembuatan topeng harus didampingi oleh sesaji dan doa, sebuah proses yang secara simbolis menjadikannya ‘rumah’ yang layak bagi arwah leluhur atau roh penunggu. Kontrak spiritual ini adalah inti dari keangkeran Barongan.
Ketika topeng selesai, ia diberikan ‘nyawa’ melalui upacara inisiasi. Di sinilah Batara Kala atau Singo Barong yang dihormati diundang. Tanpa upacara ini, topeng hanyalah kayu mati. Dengan upacara tersebut, ia berubah menjadi benda pusaka yang sensitif, yang bisa bereaksi keras jika diabaikan, dipindah tanpa izin, atau bahkan diceritakan secara sembarangan di luar konteks ritual.
Keangkeran Barongan adalah perpaduan antara kearifan lokal dalam memanggil roh alam dan seni pertunjukan yang ekstrem. Ini bukan sekadar lakon, melainkan interaksi langsung antara dimensi manusia dan dimensi gaib. Setiap gerakan Barongan diyakini didikte oleh entitas lain yang jauh lebih tua dan kuat.
Sesajen (persembahan) adalah jembatan komunikasi antara dunia manusia dan Barongan. Jika sesajen tidak lengkap atau disajikan dengan hati yang tidak bersih, kekuatan yang dipanggil bisa menjadi marah dan tidak terkendali. Ritual ini adalah prasyarat mutlak sebelum Barongan mulai menari. Ubo rampe khas yang wajib ada meliputi:
Kelalaian dalam menyediakan ubo rampe ini dapat menimbulkan dampak yang fatal, mulai dari pertunjukan yang gagal, alat musik yang mendadak rusak, hingga fenomena kesurupan yang ekstrem yang sulit dikendalikan oleh sang pawang.
Puncak dari keangkeran Barongan adalah saat sang penari (pembarong) mengalami *ndadi* atau *nglumpruk*—istilah lokal untuk kerasukan atau kesurupan. Ini adalah momen ketika roh yang bersemayam dalam topeng mengambil alih kendali fisik pembarong, menjadikannya medium untuk menunjukkan kekuatan spiritualnya di hadapan khalayak.
Proses kesurupan Barongan biasanya dipicu oleh irama musik Gamelan yang spesifik dan repetitif, khususnya suara Saron, Kenong, dan Gong yang berdentum dalam tempo cepat dan menghentak. Irama ini, yang disebut *Gending Gajah-gajahan* atau *Kebo-keboan* dalam beberapa varian, dirancang untuk memecah batas kesadaran normal sang penari.
Tahap-tahap transisi yang diamati sering meliputi:
Kekuatan yang keluar saat *ndadi* ini murni berasal dari entitas gaib, bukan dari pelatihan fisik penari. Kekuatan inilah yang melahirkan cerita-cerita tentang Barongan yang mampu mengangkat beban berat, menahan tusukan senjata tajam, atau berlari kencang tanpa rasa lelah selama berjam-jam, jauh melampaui batas energi manusia normal. Hal ini memperkuat pandangan bahwa Barongan memang bukan hanya seni, tetapi manifestasi kekuatan alam yang tersembunyi.
Dalam pertunjukan yang melibatkan kesurupan, Pawang (atau dalam beberapa daerah disebut *Bomoh*) adalah figur terpenting. Pawang bukan sekadar koreografer, ia adalah mediator dan pengendali spiritual. Tugas utama Pawang adalah memastikan bahwa roh yang dipanggil tidak keluar batas dan membahayakan penonton atau bahkan Barongan itu sendiri.
Pawang harus memiliki ilmu kebatinan yang tinggi, karena ia bertanggung jawab untuk:
Jika Pawang melakukan kesalahan, atau jika ilmunya kalah kuat dari roh yang masuk, maka Barongan yang kerasukan dapat menyerang secara membabi buta, sebuah kejadian yang sering menjadi inti dari cerita-cerita Barongan yang paling angker dan menakutkan.
Keangkeran Barongan tidak hanya terlihat saat pertunjukan; ia juga menyelimuti sejarah, penyimpanan, dan bahkan transportasi topeng itu sendiri. Banyak kisah yang beredar di masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah yang memperkuat citra Barongan sebagai pusaka hidup yang memerlukan perlakuan istimewa.
Salah satu legenda urban yang paling umum adalah Barongan yang ‘menolak’ untuk dipindahkan dari desa asalnya. Dikisahkan di Blora, ada sebuah kelompok Barongan yang sangat tua dan diyakini ditempati oleh danyang kuat. Ketika suatu kelompok modern mencoba membelinya dan membawanya ke kota besar untuk tujuan komersil, serangkaian kejadian aneh terjadi:
Akhirnya, kelompok tersebut terpaksa mengembalikan Barongan ke sanggar aslinya. Sesampainya Barongan di tempatnya, semua kesialan menghilang. Cerita ini mengajarkan bahwa Barongan terikat pada tanah (bumi) dan energi leluhur di mana ia diciptakan.
Topeng Barongan harus dijaga kesuciannya. Salah satu cerita yang paling sering diulang adalah tentang seorang penonton yang meremehkan atau menghina topeng tersebut, menganggapnya hanya sebagai ‘mainan kayu’. Ketika orang tersebut melontarkan kata-kata meremehkan di dekat panggung, Barongan yang sedang menari mendadak menghentikan gerakannya, berbalik, dan menatap tajam ke arah penghina tersebut.
Dalam beberapa versi cerita, orang tersebut langsung jatuh sakit, sementara dalam versi lain, Barongan yang kerasukan melompat turun panggung dan mengejar orang tersebut. Kejadian ini sering menjadi peringatan keras bagi publik agar selalu menjaga sopan santun dan menghormati aspek spiritual dari kesenian rakyat.
Terdapat cerita-cerita yang menceritakan bahwa roh yang merasuki Barongan memiliki kebutuhan fisik yang ekstrem, yang harus dipenuhi oleh Pawang. Dalam keadaan kerasukan yang sangat dalam, Barongan seringkali menunjukkan keinginan untuk 'makan' benda-benda yang dianggap tidak lazim atau berbahaya. Ini bukan keinginan penari, melainkan manifestasi dari sifat liar roh yang masuk.
Keinginan makan yang sering muncul meliputi:
Jika keinginan ini tidak segera dipenuhi, Barongan akan mengamuk, menabrak penonton, atau bahkan merusak properti. Fenomena ini menunjukkan bahwa roh yang menghuni Barongan adalah entitas primitif dan predator, jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang teratur.
Keangkeran Barongan tidak tercipta secara kebetulan. Ia didukung oleh struktur spiritual dan sosial yang kuat dalam masyarakat Jawa, yang melihat kesenian ini sebagai media untuk menyalurkan energi negatif dan menjaga keseimbangan alam.
Barongan seringkali dikaitkan dengan *Danyang* atau roh penunggu suatu wilayah. Ketika sebuah kelompok Barongan tampil di desa tertentu, Pawang akan melakukan ritual izin khusus kepada Danyang setempat. Jika Danyang tidak mengizinkan, maka Barongan tidak akan bisa menari dengan baik, atau bahkan bisa terjadi konflik spiritual di panggung, yang mengakibatkan kesurupan ganda dan kekacauan. Barongan adalah perwujudan kekuatan lokal yang dihormati, menjadikannya sangat teritorial dan sensitif terhadap lingkungan sekitarnya.
Kekuatan Barongan juga dipengaruhi oleh lokasi pertunjukan. Menari di persimpangan jalan (perempatan) atau di dekat makam keramat dipercaya akan meningkatkan intensitas mistis secara drastis, karena lokasi tersebut dianggap sebagai titik pertemuan antara dunia nyata dan dunia gaib (*portal*).
Filosofi di balik Barongan adalah seni menghormati ketidakpastian. Masyarakat Jawa menerima bahwa roh dan kekuatan tak terlihat adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Barongan menjadi katarsis komunal, tempat di mana kegilaan (*ndadi*) bisa disalurkan secara aman (di bawah kontrol Pawang). Dengan membiarkan roh liar menguasai tubuh sementara waktu, masyarakat merasa telah membayar ‘upeti’ kepada alam gaib, sehingga kehidupan sehari-hari bisa berjalan lebih tenang.
Barongan adalah simbol dialektika antara ketertiban (seni tarian) dan kekacauan (kesurupan). Keangkerannya adalah pengingat bahwa di balik tatanan kehidupan, ada energi primordial yang siap meledak jika tidak dihormati atau dipanggil melalui ritual yang tepat.
Meskipun Barongan seringkali dikaitkan dengan Reog Ponorogo (karena kesamaan elemen Singa dan Jaranan), intensitas keangkeran spiritual mereka memiliki fokus yang berbeda. Reog Ponorogo lebih fokus pada kekuatan fisik Warok dan manifestasi kesaktian pribadi, sementara Barongan lebih menekankan pada manifestasi roh alam yang masuk secara langsung ke dalam tubuh penari.
Reog (khususnya Dadak Merak) memiliki unsur mistik, tetapi penekanan utamanya adalah pada kekuatan otot dan ketahanan Warok dalam menopang beban berat. Ritual Reog seringkali bertujuan untuk mendapatkan *kekuatan* (kesaktian). Sementara itu, Barongan (khususnya yang berkembang di Blora, Kudus, atau daerah utara) fokus utamanya adalah *kerasukan* (dipinjam roh) dan *komunikasi* dengan danyang.
Dalam Barongan, keberhasilan pertunjukan dinilai dari seberapa 'hidup' Barongan itu, yang diukur dari kedalaman dan kebrutalan fenomena ndadi yang terjadi. Semakin liar dan sulit dikendalikan Barongan, semakin dianggap kuat dan sakti kelompok tersebut, karena roh yang masuk diyakini adalah roh kelas tinggi.
Musik memainkan peran yang sangat berbeda. Dalam Reog, musik bertujuan mendukung gerakan heroik. Dalam Barongan, musik (khususnya irama *terompet* dan *kendang* yang sangat cepat dan mengulang-ulang) adalah kunci pemicu trance. Frekuensi dan ritme tertentu dipercaya mampu membuat getaran aura penari selaras dengan dimensi roh, membuka pintu gerbang bagi kesurupan. Jika musik mendadak berhenti atau salah ritme saat *ndadi* sedang terjadi, ini bisa membuat roh yang masuk terkejut dan marah, meningkatkan risiko kekerasan di panggung.
Di era modern, kelompok Barongan menghadapi dilema besar: bagaimana menjaga keangkeran dan kesakralan seni ini di tengah tuntutan komersialisasi dan modernisasi pertunjukan.
Dalam pertunjukan komersial yang dipesan di kota, seringkali ada tekanan untuk mempercepat prosesi atau bahkan menghilangkan ritual sesajen yang dianggap tidak praktis atau terlalu ‘klenik’ (takhayul) oleh audiens modern. Kelompok Barongan yang mematuhi tuntutan ini seringkali melaporkan adanya konsekuensi spiritual.
Beberapa Pawang menolak keras pengurangan ritual, karena mereka percaya bahwa melewatkan prosesi ini sama saja dengan mengundang roh tanpa memberikan penghormatan yang layak, menghasilkan Barongan yang hanya kerasukan separuh atau roh yang masuk adalah roh iseng (bukan danyang), yang jauh lebih berbahaya dan sulit dikendalikan. Ini adalah perdebatan abadi antara menjaga tradisi yang angker dengan tuntutan hiburan yang modern.
Dulu, menjadi pembarong memerlukan laku (praktik spiritual), puasa, dan penyucian diri. Pembarong harus memiliki kesiapan fisik dan mental untuk menjadi wadah bagi kekuatan spiritual. Saat ini, banyak anak muda yang tertarik pada Barongan hanya karena atraksi dan sisi fisiknya, tanpa memahami kedalaman ritual yang diperlukan.
Kurangnya pemahaman spiritual ini membuat generasi baru pembarong rentan. Mereka mudah kerasukan, tetapi sulit dikeluarkan rohnya, karena mereka tidak memiliki fondasi spiritual yang kuat. Hal ini meningkatkan risiko keselamatan, dan memperkuat stigma bahwa Barongan adalah seni yang berbahaya jika disentuh oleh orang yang tidak berhak.
Keangkeran Barongan juga mencakup aspek kosmologi yang lebih luas, terutama dalam kaitannya dengan ajaran Jawa Kuno tentang Singa Barong sebagai simbol kekuasaan dan alam liar yang tak tertaklukkan.
Dalam mitologi Jawa, Singa Barong seringkali dianggap sebagai representasi dari roh hutan atau raja alam gaib. Ketika Barongan menari, ia tidak hanya menirukan singa, tetapi menirukan pergerakan energi kosmik yang diwakili oleh Singa tersebut. Kepalanya yang besar, matanya yang melotot, dan gerakannya yang kasar melambangkan kekuatan alam yang tidak dapat dijinakkan oleh akal manusia.
Oleh karena itu, ketika seseorang melihat Barongan, ia dihadapkan pada gambaran kekuasaan yang absolut dan liar. Aura angker ini timbul dari pengakuan bahwa apa yang dilihat bukanlah makhluk duniawi, tetapi entitas yang berasal dari dimensi yang lebih tinggi dan menakutkan.
Ritual Barongan pada dasarnya adalah upaya untuk menyelaraskan energi manusia dengan energi alam yang buas. Kerasukan, dalam pandangan spiritual, adalah momen di mana individu melepaskan ego dan membiarkan energi kosmik mengalir melalui dirinya. Ini adalah sebuah bentuk penyembuhan kolektif, di mana ketegangan masyarakat dilepaskan melalui keriuhan musik dan kekacauan fisik yang terjadi di panggung.
Namun, penyelarasan ini datang dengan harga yang mahal. Barongan yang angker menuntut ketaatan penuh. Setiap kali kelompok Barongan tampil, mereka seolah-olah mempertaruhkan diri mereka sendiri kepada kekuatan yang mereka panggil. Kekuatan ini bisa memberkati mereka dengan kekebalan dan kekayaan spiritual, tetapi juga bisa menghancurkan mereka jika kesuciannya dinodai.
Kepercayaan lokal menegaskan bahwa Barongan adalah cermin dari alam. Jika alam sedang tenang, Barongan akan menari dengan indah. Jika alam sedang marah atau ada bencana yang akan datang, Barongan akan menunjukkan perilaku yang sangat liar dan tidak terduga saat kesurupan, berfungsi sebagai pertanda atau peringatan dini.
Di luar kesurupan, bahkan gerakan Barongan yang disengaja pun dipenuhi dengan bahasa simbolik yang menambah aura keangkerannya. Setiap langkah, ayunan kepala, dan sentakan ekor memiliki makna ritual yang dalam, seringkali menceritakan kisah pertarungan antara kebaikan (yang direpresentasikan oleh para penari Jathilan) dan kekuatan primordial (Barongan).
Topeng Barongan yang baik memiliki mata yang dirancang sedemikian rupa sehingga seolah-olah selalu menatap penonton dengan intensitas yang mengerikan. Tatapan ini diyakini oleh banyak penonton sebagai tatapan langsung dari roh yang menghuni topeng, bukan sekadar celah tempat penari melihat. Dalam tradisi, dilarang menatap mata Barongan terlalu lama, terutama saat musik mencapai klimaks, karena hal itu diyakini dapat menarik perhatian roh tersebut dan menyebabkan penonton ikut kerasukan atau mengalami ketidaknyamanan spiritual.
Barongan yang kerasukan tidak menari mengikuti pola koreografi manusia. Gerakannya seringkali tiba-tiba, melompat, berguling, dan memamerkan kekuatan yang brutal. Gerakan liar ini adalah manifestasi dari sifat roh hutan, yang tidak terikat oleh aturan sosial. Inilah yang membuat pertunjukan Barongan begitu mendebarkan dan angker; penonton tahu bahwa mereka menyaksikan sesuatu yang sepenuhnya berada di luar kendali akal sehat manusia, sebuah tontonan kebrutalan spiritual yang dilegalkan.
Ketidakterdugaan ini adalah sumber kekuatan Barongan. Pertunjukan yang terlalu rapi atau koreografi yang terlalu terstruktur dianggap mengurangi kekuatan mistiknya. Keangkeran Barongan terletak pada janji ketidakpastian—bahwa kapan saja, batas antara panggung dan realitas bisa runtuh, dan roh yang terkurung dalam kayu bisa menyerang dunia manusia.
Meskipun zaman terus berubah dan teknologi mendominasi, penghormatan terhadap Barongan yang angker tetap bertahan. Generasi muda yang mewarisi kesenian ini masih memegang teguh larangan-larangan spiritual yang diwariskan leluhur, sebuah bukti bahwa kekuatan tradisi ini terlalu kuat untuk diabaikan.
Topeng Barongan yang dianggap sakral tidak boleh diletakkan sembarangan. Ia harus disimpan di tempat yang tinggi, bersih, dan seringkali didampingi dengan sesaji rutin, bahkan saat tidak digunakan. Tempat penyimpanan ini sering disebut sebagai *omah Barongan* (rumah Barongan) dan diperlakukan layaknya tempat ibadah kecil.
Beberapa aturan ketat yang masih dijalankan meliputi:
Pelanggaran terhadap aturan penyimpanan ini diyakini membawa sial bagi seluruh kelompok, mulai dari sakit parah hingga kecelakaan beruntun, menegaskan status Barongan sebagai pusaka yang hidup dan menuntut perlakuan yang setara dengan leluhur.
Di masa depan, tantangan terbesar bagi Barongan adalah bagaimana menjaga dimensi keangkerannya agar tidak tereduksi menjadi sekadar pertunjukan teater. Para Pawang senior dan juru kunci adat terus berusaha mendidik generasi penerus bahwa kekuatan Barongan terletak pada pengabdian spiritual, bukan pada trik panggung. Selama komunitas masih percaya pada kekuatan danyang yang bersemayam dalam kayu dan menghormati mantra-mantra purba, Barongan akan terus menjadi salah satu kesenian rakyat Jawa yang paling sakral, gelap, dan tak tertandingi keangkerannya.
Barongan bukan hanya tontonan, melainkan sebuah gerbang yang terbuka. Ia adalah warisan budaya yang membawa kita berhadapan langsung dengan roh-roh yang membentuk lanskap spiritual nusantara. Ketika Barongan mulai menari, gemuruh Gamelan bukan lagi sekadar musik, melainkan panggilan suci yang mengundang Singa Angker untuk kembali menguasai panggung dunia.
Kesenian Barongan: Bukan Sekadar Tarian, Melainkan Ritual Jiwa.