Menyelami Kedalaman Filosofi, Ritual, dan Mistik Tapel Suci
Di antara berbagai wujud sakral Barong yang dikenal dalam kosmologi Bali, Barong Bangkal memegang posisi yang unik dan sangat dihormati. Ia bukanlah sekadar pertunjukan seni tari, melainkan perwujudan energi spiritual yang mendalam, menjaga keseimbangan alam, dan menjadi penolak bala yang diyakini memiliki kekuatan purwa. Untuk memahami esensi Barong Bangkal, kita harus menelusuri bukan hanya bentuk fisiknya yang menyerupai babi hutan, tetapi juga konteks ritual dan filosofi Rwa Bhineda yang menjadi inti dari keberadaannya.
Dalam sistem kepercayaan Hindu Dharma di Bali, Barong adalah simbol Dharma (kebaikan), musuh abadi dari Rangda (Adharma/kejahatan). Namun, berbeda dengan Barong Ket (yang menyerupai singa atau harimau) yang seringkali tampil lebih anggun, Barong Bangkal, dengan wujud babi jantan atau celeng, mewakili aspek energi alam yang lebih purba, liar, dan tak terduga. Keberadaannya menuntut penghormatan dan perlakuan khusus, membedakannya secara tegas dari Barong yang hanya berfungsi sebagai hiburan semata.
Ilustrasi Tapel Barong Bangkal yang sakral, melambangkan kekuatan purba dan penjaga spiritual.
Istilah Bangkal dalam bahasa Bali merujuk pada babi jantan dewasa. Dalam konteks mitologi, babi hutan (celeng) memiliki dualitas makna. Di satu sisi, ia adalah makhluk yang dekat dengan unsur tanah, melambangkan kesuburan, kemakmuran, dan kekuatan agraris. Di sisi lain, ia adalah makhluk yang liar, destruktif, dan sulit dijinakkan, mewakili kekuatan alam yang belum diatur.
Barong Bangkal seringkali dihubungkan dengan manifestasi Dewa Wisnu dalam aspek pemeliharaan dan juga peleburan, terutama ketika ia muncul dalam ritual yang bertujuan membersihkan desa dari wabah penyakit (Gering) atau energi negatif. Perannya yang purba ini membedakannya dari Barong lain yang mungkin lebih terasosiasi dengan perlindungan istana atau pura besar.
Konsep Rwa Bhineda—dua hal yang berbeda namun saling melengkapi—adalah landasan utama spiritualitas Bali. Barong Bangkal adalah representasi sempurna dari konsep ini. Jika Rangda mewakili Adharma, Barong adalah Dharma. Namun, Barong Bangkal, sebagai wujud yang lebih kasar dan primitif, menunjukkan bahwa energi kebaikan pun tidak selalu harus tampil dalam bentuk yang halus atau indah. Ia adalah perlindungan yang agresif.
Dualitas dalam Barong Bangkal termanifestasi dalam:
Penting untuk dicatat bahwa Barong Bangkal tidak hanya sekadar 'maskot' babi. Ia adalah tapel (topeng) sakral yang telah melalui proses penyucian dan pemberian kekuatan spiritual (Pasupati). Kekuatan yang terkandung di dalamnya disebut Taksu, energi ilahi yang membuat penari atau pengusung Barong berada dalam kondisi trance atau kesurupan, yang merupakan indikasi bahwa roh pelindung telah bersemayam.
Tapel (topeng) Barong Bangkal adalah inti dari semua ritual. Pembuatannya, atau yang dikenal sebagai proses Nyejer, melibatkan rangkaian upacara yang sangat ketat dan bahan-bahan yang dipilih dengan cermat. Tapel sakral ini seringkali diwariskan turun-temurun oleh keluarga tertentu atau dijaga oleh pura desa.
Kayu yang digunakan untuk tapel haruslah kayu pilihan yang dianggap memiliki vibrasi spiritual, seperti kayu Pule atau Cempaka. Pemilihan kayu ini tidak boleh sembarangan; harus melalui ritual meminta izin kepada alam (Nunas Izin) dan terkadang harus diambil pada hari-hari baik (Dewasa Ayu).
Setelah tapel diukir, proses sakralisasi adalah tahapan paling krusial. Proses ini meliputi:
Hiasan Barong Bangkal biasanya didominasi oleh ijuk atau bulu yang kasar, mencerminkan sifat liarnya. Taring yang menonjol adalah ciri khas yang membedakannya secara visual dari Barong lainnya, menandakan kemampuan perlindungannya yang kuat dan agresif. Warna yang dominan adalah coklat kemerahan atau hitam, melambangkan unsur tanah dan kekuasaan Bhumi.
Meskipun semua Barong adalah pelindung Dharma, fungsi ritual mereka berbeda:
Keunikan Barong Bangkal terletak pada spiritualitasnya yang intim dengan desa. Ia tidak hanya dijaga di Pura Dalem, tetapi seringkali memiliki tempat khusus di Pura Puseh atau di Balai Banjar tertentu yang ditunjuk sebagai tempat penyimpanan benda sakral.
Barong Bangkal memiliki peran integral dalam kalender ritual Bali, terutama dalam upacara besar dan situasi darurat spiritual. Manifestasinya dalam ritual adalah saat energi ilahi bertemu dengan dunia manusia, menciptakan jembatan antara sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata).
Salah satu ritual paling terkenal yang melibatkan Barong Bangkal adalah Ngelawang, yang biasanya dilaksanakan selama perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Ngelawang adalah tradisi di mana Barong diarak mengelilingi desa dari satu rumah ke rumah lainnya.
Saat Ngelawang, Barong Bangkal tidak hanya bertujuan mengumpulkan dana (sesari), tetapi fungsi utamanya adalah pembersihan kosmik. Setiap langkah Barong dan setiap gerakan tapel diyakini membersihkan aura negatif, menolak roh jahat (Bhuta Kala) yang mungkin berkeliaran, dan memulihkan harmonisasi desa. Karena sifat Bangkal yang purba, pergerakannya saat Ngelawang seringkali lebih energetik dan sporadis dibandingkan Barong Ket.
Dalam konteks Ngelawang, kekuatan magis Barong Bangkal sangat diandalkan. Masyarakat percaya bahwa dengan memberikan persembahan (canang dan sesari) kepada Barong, mereka secara otomatis mendapatkan perlindungan dari ancaman niskala. Energi yang dilepaskan oleh Barong Bangkal selama ritual ini menciptakan pagar niskala di sekitar batas-batas desa, melindungi warganya hingga siklus Galungan berikutnya.
Keberadaan Barong Bangkal adalah penegasan bahwa Dharma selalu hadir untuk melindungi, bahkan melalui wujud yang paling primitif dan kuat. Ia adalah pelindung yang berani menghadapi kekasaran energi negatif dengan kekasaran yang suci.
Ketika sebuah desa dilanda wabah penyakit atau bencana alam (disebut *Gering Agung* atau *Gering Sasab*), Barong Bangkal sering dipanggil untuk melakukan ritual yang lebih intensif. Pada saat-saat kritis ini, Barong diyakini berfungsi sebagai penyerap energi negatif. Ia akan diarak ke sudut-sudut desa, ke perbatasan, bahkan ke kuburan (setra) untuk "mengambil" dan menetralisir penyakit yang disebabkan oleh gangguan Bhuta Kala.
Ritual ini menuntut kesiapan spiritual yang tinggi dari para pengusung Barong. Saat berada dalam kondisi trance (kerauhan), mereka menjadi perantara langsung antara dunia manusia dan dewa pelindung. Kata-kata yang diucapkan saat kerauhan seringkali dianggap sebagai ramalan atau instruksi langsung dari Ida Ratu (Barong) mengenai langkah-langkah pembersihan yang harus dilakukan oleh masyarakat adat.
Simbolisme Rwa Bhineda, konsep keseimbangan dualitas yang dijiwai oleh Barong Bangkal.
Memainkan atau mengusung Barong Bangkal bukan sekadar keterampilan menari; ini adalah kehormatan spiritual yang membutuhkan persiapan fisik dan mental yang mendalam. Para pengusung Barong (disebut *Jero Tapakan* atau *Penabuh*) harus menjalani berbagai pantangan dan penyucian diri sebelum dan selama ritual berlangsung.
Taksu adalah elemen kunci. Taksu didefinisikan sebagai kekuatan, wibawa, dan karisma spiritual yang memancar dari suatu benda atau individu. Dalam konteks Barong Bangkal, Taksu adalah manifestasi ilahi yang memungkinkan topeng tersebut "hidup." Jika seorang penari tidak memiliki Taksu, gerakan Barong akan terasa hambar dan pertunjukannya tidak akan memiliki kekuatan magis.
Taksu Barong Bangkal sangat erat kaitannya dengan Pura tempatnya disimpan. Tapel tersebut secara terus-menerus 'diberi makan' melalui persembahan harian (Banten Saiban) dan upacara bulanan. Pemeliharaan ini memastikan energi suci (Taksu) tidak pernah pudar.
Dalam situasi ritual intensif, terutama saat melawan Rangda (meskipun Barong Bangkal jarang terlibat dalam drama Calonarang sekompleks Barong Ket, ia terlibat dalam ritual pembersihan desa), pengusung Barong Bangkal dapat mengalami kerauhan (trance). Kerauhan adalah kondisi di mana kesadaran manusia digantikan oleh roh suci yang bersemayam di dalam tapel.
Saat kerauhan, perilaku Barong menjadi liar dan tak terduga, mencerminkan sifat asli Bangkal. Gerakan ini bukan lagi tarian yang dihafal, melainkan ekspresi murni dari energi spiritual yang sedang beraksi. Kerauhan ini sering diikuti oleh adegan yang menguji keberanian, seperti menusuk diri (ngurek) dengan keris tumpul, yang tidak melukai mereka karena perlindungan Barong.
Pengalaman kerauhan adalah bukti nyata bagi masyarakat akan keampuhan dan kesakralan Barong Bangkal. Ini menegaskan bahwa objek tersebut bukanlah replika seni, tetapi wadah spiritual yang hidup dan berkuasa.
Meskipun Barong Bangkal memiliki fokus utama pada spiritualitas dan ritual, ia juga merupakan warisan seni ukir dan pertunjukan yang tak ternilai. Detail dalam pembuatan tapel mencerminkan pengetahuan yang mendalam tentang anatomi binatang liar dan estetika sakral Bali.
Pembuat topeng sakral (disebut Undagi Tapel) harus memahami tidak hanya teknik mengukir, tetapi juga filosofi di baliknya. Tapel Bangkal seringkali menampilkan detail yang kasar dan kuat: moncong yang tegas, taring besar yang menunjuk ke atas dan bawah, serta mata yang tajam dan menakutkan, sering dihiasi dengan warna merah atau emas.
Proses pewarnaan tapel juga penting. Warna primer seperti merah (brahma), putih (siwa), dan hitam (wisnu) harus digunakan sesuai dengan aturan tradisi, memastikan bahwa topeng tersebut berfungsi sebagai mandala spiritual dalam bentuk tiga dimensi.
Setiap goresan pada kayu diyakini memberikan kehidupan pada roh yang akan bersemayam. Oleh karena itu, Undagi Tapel harus menjaga kesucian diri (melakukan puasa dan meditasi) selama proses pengerjaan, karena mereka bekerja langsung dengan materi yang akan menjadi rumah bagi Ida Ratu.
Bagian badan Barong Bangkal, yang terbuat dari kain beludru atau kulit, dihiasi dengan ornamen-ornamen yang mencolok. Berbeda dengan Barong Ket yang mungkin memakai cermin-cermin kecil (prada) untuk menambah kemewahan, Bangkal seringkali menggunakan ijuk kasar, bulu kambing, atau kulit binatang yang diwarnai, menekankan aspeknya yang berhubungan dengan alam liar dan kesederhanaan purba.
Hiasan dari daun lontar kering atau janur (daun kelapa muda) sering ditambahkan, terutama pada ritual Ngelawang, yang berfungsi sebagai simbol pemurnian. Seluruh kostum, dari kepala hingga ekor, adalah kesatuan representasi fisik yang harus dihormati layaknya pakaian suci.
Di era modernisasi dan globalisasi, tantangan terbesar bagi keberadaan Barong Bangkal adalah menjaga otentisitas dan kesakralan di tengah arus pariwisata dan komersialisasi. Barong Bangkal, sebagai Barong yang paling sakral di beberapa desa, menghadapi risiko dipertunjukkan di luar konteks ritual yang semestinya.
Komunitas adat (Krama Banjar) memegang peranan vital dalam menjaga Barong Bangkal. Ada aturan tak tertulis yang melarang tapel sakral ini diabadikan secara sembarangan, apalagi disentuh oleh orang yang tidak disucikan (seperti turis). Penyimpanan tapel harus berada di tempat yang sangat suci, seringkali di Pelinggih (tempat suci) khusus di pura.
Ritual tahunan untuk membersihkan dan merawat tapel (disebut Nangkil atau Mebayuh) harus terus dilakukan secara konsisten, tidak peduli kondisi ekonomi atau sosial desa. Kelalaian dalam perawatan spiritual ini diyakini dapat mendatangkan musibah bagi desa, karena energi pelindung (Taksu) akan pudar.
Perawatan fisik tapel juga merupakan ilmu tersendiri. Penggunaan minyak wangi tradisional, penggantian kain penutup, dan pembersihan dari debu dilakukan dengan upacara khusus, bukan sekadar membersihkan benda seni biasa. Ini adalah tugas suci yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Meskipun banyak seniman Barong membuat replika Barong Bangkal untuk tujuan seni atau souvenir, masyarakat adat harus tegas membedakan antara replika seni dan tapel sakral. Tapel yang di-Pasupati tidak boleh dipindahtangankan atau diperjualbelikan layaknya barang biasa. Kekuatan Barong Bangkal terletak pada hubungannya yang tak terpisahkan dengan Pura dan garis keturunan spiritual desa yang menjaganya.
Edukasi kepada generasi muda tentang makna filosofis Barong Bangkal juga menjadi tantangan. Mereka harus memahami bahwa di balik bentuknya yang menyerupai babi hutan, terdapat ajaran mendalam tentang Dharma, keseimbangan, dan tanggung jawab terhadap lingkungan niskala. Memastikan bahwa semangat pengabdian (seperti menjadi pengusung Barong) tetap kuat di kalangan pemuda adalah kunci keberlangsungan tradisi ini.
Barong Bangkal adalah lebih dari sekadar warisan budaya; ia adalah pilar spiritual yang menguatkan keyakinan masyarakat Bali akan adanya kekuatan pelindung ilahi yang selalu bekerja di balik layar kehidupan sehari-hari. Ia adalah simbol keberanian untuk menghadapi Adharma dengan kekuatan alam yang murni dan tak terkalahkan.
Wujudnya yang liar, primitif, dan perkasa mengingatkan kita bahwa kekuatan spiritual yang efektif seringkali datang dalam bentuk yang paling jujur dan tidak terduga. Dalam setiap gerakannya saat Ngelawang, dalam setiap dentingan genta Pendeta saat Pasupati, dan dalam setiap detak jantung para pengusungnya yang mengalami kerauhan, Barong Bangkal terus menegaskan perannya sebagai pelindung sejati yang menjembatani kekacauan alam liar dan tatanan spiritual desa.
Memahami Barong Bangkal adalah memahami esensi Rwa Bhineda: bahwa kebaikan (Dharma) membutuhkan energi yang kuat dan purba untuk menyeimbangkan dan mengendalikan kegelapan (Adharma). Keberadaannya adalah doa yang berwujud, sebuah manifestasi spiritual yang akan terus hidup selama tradisi dan penghormatan Bali tetap dijunjung tinggi.
Meskipun Barong secara umum dikaitkan dengan perwujudan pelindung, Barong Bangkal memiliki resonansi khusus dengan Dewa Wisnu, sang pemelihara. Dalam mitologi Hindu, Wisnu memiliki avatar-avatar yang berbeda, dan babi hutan (Varaha) adalah salah satunya. Avatar Varaha muncul untuk menyelamatkan Bumi dari iblis Hiranyaksha yang menenggelamkan Bumi ke dasar samudra. Varaha mengangkat Bumi dengan taringnya, menjadikannya simbol penyelamatan dan regenerasi.
Keterkaitan Barong Bangkal dengan Varaha memberikan dasar teologis yang kuat terhadap fungsinya sebagai penyelamat desa dari kehancuran (wabah, kelaparan, atau bencana). Ia adalah manifestasi Dewata yang turun ke tingkat Bhumi (dunia manusia) dengan wujud kasar, agar lebih efektif melawan kekuatan Bhuta Kala yang juga berasal dari tingkat yang sama. Ini menjelaskan mengapa Barong Bangkal seringkali dianggap lebih 'ampuh' dalam urusan penolak bala dibandingkan Barong Ket yang cenderung lebih bersifat celestial.
Dalam kepercayaan Bali, Bhuta Kala adalah kekuatan yang menyebabkan ketidakseimbangan, kekacauan, dan penderitaan. Kekuatan ini harus dinetralisir, bukan dimusnahkan, melalui ritual yang disebut Caru. Barong Bangkal memainkan peran sentral dalam menyeimbangkan Bhuta Kala. Ia tidak hanya melawan, tetapi juga 'memakan' atau mengubah energi negatif tersebut.
Ritual yang melibatkan Barong Bangkal seringkali didahului dengan persembahan Caru yang besar. Barong Bangkal, dengan sifatnya yang kasar, memiliki kemampuan untuk berinteraksi langsung dengan Bhuta Kala tanpa harus tercemar olehnya. Ini seperti api suci yang membersihkan kotoran. Gerakan kasarnya, suara gemerincingnya, dan energi trance-nya adalah bahasa yang dipahami oleh roh-roh pengganggu, memaksa mereka untuk kembali ke posisi kosmik yang seimbang.
Ketika sebuah desa mengalami krisis, Krama Banjar akan membawa Barong Bangkal ke perempatan jalan (Catus Pata)—tempat yang dianggap paling rawan interaksi Bhuta Kala. Di sana, melalui ritual yang mendalam, Barong Bangkal berfungsi sebagai mediator yang menenangkan dan mengarahkan kembali energi-energi liar tersebut agar tidak mengganggu kedamaian manusia.
Dalam seni rupa Bali, warna memiliki makna mendalam yang terkait dengan arah mata angin dan manifestasi Dewa Siwa (Nawa Sanga). Pada Barong Bangkal, pemilihan warna cokelat, hitam, dan merah memiliki arti spesifik:
Kombinasi warna-warna ini memastikan bahwa Barong Bangkal adalah sebuah mandala bergerak, yang saat beraksi, memancarkan spektrum energi kosmik yang lengkap untuk menangkis segala jenis ancaman.
Kepemilikan Barong Bangkal adalah milik komunal desa adat, bukan individu. Namun, tugas spesifik untuk merawat, menjaga kesucian, dan menjadi pengusung utama seringkali diserahkan kepada keluarga tertentu yang dikenal sebagai Jro Tapakan. Posisi ini adalah kehormatan sekaligus beban spiritual yang berat.
Jro Tapakan harus menjalani disiplin spiritual yang ketat. Mereka adalah orang-orang yang paling dekat secara fisik dengan Tapel, bertanggung jawab atas upacara harian (ngejot) dan memastikan tidak ada pantangan yang dilanggar di sekitar Barong. Jika Barong Bangkal adalah Ida Ratu, maka Jro Tapakan adalah abdi setia-Nya.
Sebelum Ngelawang atau upacara besar, Jro Tapakan harus:
Proses Pasupati, yang memberikan nyawa spiritual, bukanlah ritual sekali jalan. Barong Bangkal, sebagai benda sakral, memerlukan penguatan Taksu secara berkala. Ini dilakukan melalui upacara yang lebih kecil yang disebut Melasti (menyucikan ke sumber air suci) atau saat Piodalan (ulang tahun pura) Barong itu sendiri.
Pada saat Melasti, Tapel Barong Bangkal diarak ke laut (Segara) atau sumber mata air (Campuhan). Air suci adalah elemen pemurnian utama. Prosesi ini menegaskan hubungan Barong dengan siklus alam dan memastikan bahwa energi spiritualnya diperbarui dan dibersihkan dari interaksi negatif yang mungkin terjadi selama Ngelawang di desa.
Barong Bangkal tidak dapat dipisahkan dari musik pengiringnya, atau Gamelan. Jenis tabuh yang digunakan untuk Barong Bangkal seringkali berbeda, lebih ritmis, dan memiliki irama yang menghentak, mencerminkan sifat liarnya. Beberapa instrumen tabuh yang khas, seperti Gong Gede atau Baleganjur, digunakan untuk membangkitkan aura sakral yang kuat.
Tabuh berfungsi sebagai pemanggil (pengundang) Taksu. Ketika irama tertentu dimainkan, ia menciptakan frekuensi spiritual yang mempermudah terjadinya kerauhan. Ritme yang bersemangat saat Ngelawang menjaga energi tetap tinggi, memungkinkan Barong Bangkal melakukan tugas pembersihannya tanpa lelah.
Sebagai wujud babi hutan, Barong Bangkal membawa makna kesuburan yang signifikan dalam masyarakat agraris Bali. Babi hutan di alam adalah simbol dari kemampuan alam untuk beregenerasi dan memberikan kehidupan yang melimpah (hasil bumi).
Barong Bangkal sering menjadi pusat perhatian dalam upacara Ngusaba, yang merupakan perayaan panen raya atau ritual kesuburan desa. Kehadirannya dipercaya dapat memastikan tanah subur, melindungi tanaman dari hama (yang dalam pandangan niskala disebabkan oleh roh jahat), dan menjamin kelimpahan bagi komunitas.
Di beberapa desa di Bali Utara dan Timur yang masih sangat bergantung pada sektor pertanian, Barong Bangkal dapat dibawa ke sawah atau ladang tertentu pada waktu penanaman atau panen. Ini adalah cara masyarakat memohon restu Ida Ratu Bangkal untuk menjaga siklus kehidupan agraris tetap berjalan harmonis.
Barong Bangkal juga mengajarkan pentingnya menghormati alam liar. Babi hutan, meskipun terkadang dianggap hama oleh petani, dihormati sebagai bagian integral dari ekosistem. Barong Bangkal mewakili pengakuan bahwa kekuatan yang memberi kesuburan juga bisa menjadi kekuatan yang menuntut penghormatan dan batasan (Tabu).
Filosofi ini mencerminkan ajaran Tri Hita Karana—tiga penyebab kebahagiaan—yang meliputi hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan lingkungan (Palemahan). Barong Bangkal secara spesifik menguatkan aspek Palemahan dan Parhyangan, menghubungkan kesucian Dewata dengan kekuasaan alam liar.
Sejarawan seni dan antropolog percaya bahwa Barong Bangkal mungkin merupakan salah satu wujud Barong paling kuno, mendahului Barong Ket. Asalnya diperkirakan berakar pada kepercayaan animisme dan dinamisme kuno yang menghormati kekuatan binatang totemis sebelum Hinduisasi penuh.
Pada masa pra-Hindu, penghormatan terhadap roh leluhur dan roh binatang yang kuat adalah praktik umum. Babi hutan, sebagai binatang yang kuat, tangguh, dan sangat teritorial, menjadi totem pelindung yang ideal. Ketika Hinduisme masuk, totem ini diserap dan diinkorporasikan, mendapatkan dimensi Dewata (seperti koneksi dengan Varaha).
Karena akar purbanya inilah, Barong Bangkal sering ditemukan di pura-pura desa tertua atau di daerah Bali Aga (desa-desa Bali kuno) yang mempertahankan tradisi yang sangat ketat dan resisten terhadap pengaruh luar. Konservatisme ritual yang mengelilingi Barong Bangkal adalah bukti nyata dari usia dan kedalaman spiritualnya.
Barong modern, yang sering dilihat dalam pertunjukan tari untuk pariwisata, biasanya adalah Barong Ket karena wujudnya yang lebih visual dan gerakannya yang elegan. Barong Bangkal, sebaliknya, mempertahankan gerakan yang lebih organik, kasar, dan kurang terstruktur. Penampilan Bangkal seringkali bersifat sporadis—hanya muncul saat dibutuhkan secara ritual, bukan untuk jadwal pertunjukan rutin.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa Bangkal telah berhasil mempertahankan statusnya sebagai benda hidup (Ida Ratu) yang tidak bisa diperlakukan sebagai properti panggung. Statusnya yang semi-primitif adalah lambang otentisitas spiritual Bali yang menolak kompromi demi hiburan visual.
Secara keseluruhan, Barong Bangkal adalah cermin filosofi Bali yang kompleks: mengakui bahwa kebaikan dan kejahatan, keteraturan dan kekacauan, harus selalu berdampingan. Dan dalam pertarungan abadi untuk keseimbangan tersebut, energi liar dan primitif seringkali menjadi pelindung yang paling efektif.
Keagungan Barong Bangkal terletak pada kesederhanaan wujudnya yang kasar, yang di dalamnya bersemayam kekuatan ilahi yang mampu menyelamatkan komunitas dari krisis spiritual dan fisik, menjadikannya warisan tak ternilai yang terus dihormati oleh Krama Bali.