Representasi visual semangat militeristik Ungern: Perpaduan simbol otokrasi dan senjata kavaleri.
Di antara semua tokoh yang muncul dari kekacauan berdarah Perang Saudara Rusia, tidak ada yang sebanding dengan aura mistik, kegilaan, dan kekejaman Baron Roman Feodorovich von Ungern-Sternberg. Seorang bangsawan Baltik Jerman, keturunan salib dan bajak laut Teutonik, Ungern-Sternberg mengubah dirinya menjadi panglima perang yang menyimpang di Steppe Asia. Dikenal sebagai "Baron Gila" atau "Baron Putih" oleh para musuhnya dan pengikutnya, ia bukan hanya seorang Jenderal Putih yang bertempur melawan Bolshevik, tetapi seorang visioner gila yang bermimpi mendirikan kembali kekaisaran monarki dari Pasifik hingga Ural, dengan sentuhan Buddha dan syariat barbar yang unik.
Kisah hidupnya adalah perpaduan ekstrem antara idealisme kuno dan teror modern, sebuah studi kasus tentang bagaimana kehancuran sosial total dapat melahirkan pemimpin yang, menurut definisinya sendiri, berada di luar batas moralitas dan rasionalitas Eropa. Tujuannya bukan hanya memulihkan Romanov; tujuannya adalah membalikkan jalannya sejarah, menyucikan dunia dari apa yang ia anggap sebagai racun liberalisme, materialisme, dan komunisme, dimulai dari jantung Asia Tengah.
Meskipun masa kekuasaannya di Mongolia sangat singkat—hanya beberapa bulan—dampaknya sangat mendalam, meninggalkan warisan ketakutan dan legenda yang bertahan hingga hari ini. Untuk memahami Baron Ungern-Sternberg, kita harus menyelam jauh ke dalam latar belakangnya, ideologinya yang kacau, dan kampanye militer mengerikan yang ia lakukan di gurun dan pegunungan Mongolia.
Roman Nikolaus von Ungern-Sternberg lahir dalam keluarga bangsawan kuno yang berasal dari Ordo Teutonik, yang berarti nenek moyangnya adalah para tentara salib dan administrator feodal yang menguasai wilayah Baltik (sekarang Estonia dan Latvia). Keluarga Ungern-Sternberg dikenal memiliki sejarah panjang dalam pelayanan militer, tetapi juga reputasi yang cenderung eksentrik, bahkan gila. Garis keturunan mereka dihiasi dengan cerita tentang duel, tindakan kekerasan yang impulsif, dan obsesi terhadap kehormatan kesatria abad pertengahan.
Masa mudanya ditandai oleh ketidakstabilan. Setelah dibesarkan di Reval (Tallinn) dan kemudian di Estonia pedesaan, ia menunjukkan sifat yang cepat marah dan sulit diatur. Ia dibesarkan dalam budaya militer yang kuat, dididik di Sekolah Kadet Angkatan Laut sebelum akhirnya pindah ke Sekolah Militer Pavlovsk di St. Petersburg. Lingkungan ini memperkuat pandangan dunianya yang sangat konservatif dan monarkis. Ia percaya teguh pada tatanan hierarkis, yang memandang kaum bangsawan memiliki hak ilahi untuk memerintah dan kewajiban untuk menjaga kesucian tatanan itu.
Ungern memiliki ketertarikan yang mendalam pada Timur, yang jauh melampaui rasa ingin tahu militer biasa. Setelah lulus, ia secara sukarela dikirim ke Siberia. Lingkungan Siberia dan Steppe Asia yang keras menawarkan pelarian dari kemewahan dan intrik St. Petersburg, tempat yang ia anggap telah tercemar oleh modernitas. Di wilayah Transbaikal, ia mulai mengadopsi gaya hidup yang lebih dekat dengan Cossack dan suku-suku nomaden di sana, mengembangkan kekaguman yang fanatik terhadap kekuatan primal dan spiritualitas Asia.
Sebelum gejolak global, ia menghabiskan waktu di perbatasan Tiongkok dan Mongolia, sebuah area yang dipenuhi ketegangan etnis dan politik. Ia mempelajari bahasa daerah, adat istiadat, dan mulai mengembangkan ideologi sinkretisnya sendiri: bahwa peradaban Eropa telah gagal, dan bahwa masa depan terletak pada kebangkitan monarki mistis di Timur, dipimpin oleh kekuatan kavaleri yang tak kenal lelah.
Perang Dunia Pertama menjadi panggung pertama bagi Ungern untuk melepaskan potensi kekejaman dan keberaniannya. Ia bertempur dengan kavaleri Cossack di front Prusia Timur. Reputasinya di masa perang adalah reputasi seorang prajurit yang benar-benar tanpa rasa takut—ia mengumpulkan beberapa medali atas keberaniannya, namun pada saat yang sama, ia dikenal karena kecenderungannya untuk melakukan kekerasan yang tidak perlu, termasuk memukuli atasannya dan melakukan tindakan disiplin yang sangat brutal terhadap anak buahnya. Ia adalah perwira yang berbahaya bagi musuh maupun bagi temannya.
Ketika Kekaisaran Rusia runtuh, melepaskan gelombang anarki yang dikenal sebagai Revolusi, Ungern-Sternberg menolak semua bentuk pemerintahan baru, baik liberal (Pemerintahan Sementara) maupun sosialis (Bolshevik). Bagi Ungern, revolusi adalah penyakit, manifestasi kegelapan metafisik yang harus disembuhkan melalui pertumpahan darah yang ekstrim dan pemulihan tatanan kerajaan yang sakral.
Ia bergabung dengan pasukan anti-Bolshevik, atau 'Putih', di Siberia di bawah komando Ataman Grigory Semenov, seorang panglima perang Cossack yang sangat kejam. Ungern segera mendapatkan wilayah kekuasaan yang independen di wilayah Dauria, dekat perbatasan Mongolia dan Tiongkok. Wilayah ini menjadi laboratorium bagi ideologi terornya. Di sini, ia membentuk unit yang akan menjadi kendaraan utamanya: Divisi Kavaleri Asia (The Asiatic Cavalry Division).
Divisi ini adalah campuran etnis yang kacau balau, namun disatukan oleh kesetiaan brutal kepada Ungern. Mereka terdiri dari:
Ungern memerintah pasukannya bukan dengan strategi militer konvensional, tetapi dengan campuran disiplin yang kejam dan karisma mistis. Ia sering mempraktikkan pengobatan tradisional Asia dan mengklaim memiliki perlindungan spiritual. Namun, ciri khas Divisi Kavaleri Asia adalah kekejaman yang tak terbayangkan. Mereka melakukan perampokan, penyiksaan, dan pembunuhan massal terhadap siapa pun yang dianggap sebagai ancaman monarki atau agen modernitas—Bolshevik, Yahudi, liberal, atau bahkan petani yang dianggap kurang hormat.
Di Dauria, Ungern menerapkan rezim teror yang intens. Ia jarang mandi, mengenakan pakaian compang-camping, dan seringkali membawa cambuk. Keputusannya seringkali impulsif dan didorong oleh ramalan atau firasat. Kekejaman ini, yang ia yakini perlu untuk membersihkan dunia, membuatnya dijuluki "The Bloody Baron" bahkan oleh sekutunya sendiri.
Yang membedakan Ungern dari panglima perang Putih lainnya adalah ideologinya yang melampaui sekadar memulihkan Dinasti Romanov. Ia melihat dirinya sebagai reinkarnasi seorang prajurit suci, yang ditugaskan untuk menyatukan Timur dan membangun sebuah Kekaisaran Tengah yang didasarkan pada prinsip-prinsip monarki absolut dan spiritualitas Asia.
Ungern terpesona oleh Buddhisme Vajrayana, terutama yang dipraktikkan di Tibet dan Mongolia. Meskipun ia dibesarkan sebagai Lutheran (dan kemudian berpindah ke Ortodoks Rusia), ia mengintegrasikan ajaran Buddha, khususnya konsep reinkarnasi dan Karma, ke dalam visi perangnya. Ia percaya bahwa ia bertarung dalam perang metafisik melawan perwujudan kejahatan, yang diidentifikasi sebagai kaum Bolshevik dan semua orang yang mempromosikan materialisme.
Para Lama Mongolia, para biksu Buddhis terkemuka, terbagi dalam pandangan mereka tentang Ungern. Beberapa melihatnya sebagai manifestasi dari salah satu dewa perang yang datang untuk membersihkan negeri. Legenda menyebar di Steppe bahwa ia adalah inkarnasi Mahakala (Dewa Pelindung yang Murka). Pandangan ini memberi Divisi Kavaleri Asia, yang sebagian besar anggotanya adalah penganut Buddha, legitimasi spiritual yang kuat.
"Ungern tidak hanya ingin mengalahkan Komunisme; ia ingin menghancurkan seluruh abad ke-20. Ia adalah seorang anachronist, seorang ksatria abad pertengahan yang terdampar di tengah mobil lapis baja dan ideologi massa. Ia melihat Asia sebagai wadah tatanan suci yang dapat menghancurkan korupsi Barat."
Bagian integral dari ideologi gelap Ungern adalah pandangan anti-Semit yang intens. Ia yakin bahwa Revolusi Bolshevik adalah konspirasi Yahudi yang bertujuan menghancurkan tatanan Kristen dan monarki global. Pandangan ini menyebabkan pembunuhan massal orang Yahudi di Dauria dan kemudian di Mongolia, menjadikannya salah satu manifestasi paling ekstrem dari kekejaman anti-Semit di front Timur Jauh. Baginya, pembersihan rasial dan ideologis adalah bagian dari tugas suci untuk memurnikan Asia.
Pada periode kekacauan setelah pecahnya Perang Saudara, Mongolia secara nominal berada di bawah kendali Tiongkok (meskipun klaim kedaulatan Tiongkok seringkali lemah). Pemerintah Mongolia, yang dipimpin oleh pemimpin spiritualnya, Bogd Khan (Jebtsundamba Khutuktu ke-8), ingin menegaskan kemerdekaan mereka.
Ungern melihat Mongolia sebagai panggung yang sempurna untuk melancarkan Kekaisaran Asia-nya. Ini adalah negara yang secara spiritual kuat, secara politik rapuh, dan secara ideologis menolak modernitas. Bagi Ungern, menyelamatkan Mongolia dari pendudukan Tiongkok akan memberinya basis kekuasaan, sumber daya, dan yang paling penting, legitimasi spiritual yang ia dambakan.
Pada musim gugur tahun itu, Divisi Kavaleri Asia, yang meskipun jumlahnya tidak besar, terkenal karena mobilitas dan kebrutalannya, bergerak melintasi perbatasan ke Mongolia. Tujuan utama mereka adalah Urga (sekarang Ulaanbaatar), ibu kota Mongolia, yang dijaga oleh garnisun besar tentara Tiongkok.
Peta simbolis yang menunjukkan lokasi geografis operasi Ungern di Steppe, pusat konflik di Urga.
Pengepungan Urga adalah momen klimaks Ungern. Setelah dua kali gagal dalam serangan langsung yang berdarah, Ungern menyadari bahwa kekuatan numerik ada pada pihak Tiongkok. Ia kemudian melakukan tipuan yang berani dan gila. Ia memerintahkan sebagian kecil pasukannya untuk menyerang dari utara sementara ia, bersama sekelompok kecil tentara elit, menyelinap ke selatan. Aksi ini menunjukkan kemampuannya sebagai ahli taktik kavaleri yang luar biasa, jika tidak ortodoks.
Pada malam yang diselimuti badai salju, Ungern memimpin serangan mendadak di biara-biara dan penjara tempat Bogd Khan ditahan oleh Tiongkok. Setelah membebaskan pemimpin spiritual Mongolia itu, keberanian ini mengangkat moral pasukannya dan memunculkan desas-desus di kalangan penduduk Mongolia bahwa Ungern adalah penyelamat yang dikirim oleh surga. Serangan akhir di Urga berhasil, didorong oleh ketakutan musuh dan keyakinan spiritual pasukannya. Pada awal periode itu, Urga jatuh ke tangan Divisi Kavaleri Asia.
Pembebasan ini segera diikuti oleh salah satu episode paling gelap dalam karier Ungern. Setelah kemenangan, pasukannya melancarkan pembersihan brutal. Tentara Tiongkok yang tertangkap dieksekusi secara massal. Namun, fokus utama kekejaman adalah pembantaian komunitas pedagang dan profesional Rusia dan Yahudi di Urga, yang dituduh Ungern sebagai pendukung revolusi. Pembunuhan ini dilakukan dengan metode yang biadab, seringkali dengan penyiksaan publik, mencerminkan kebencian ideologis Ungern terhadap kaum intelektual, pedagang, dan apa pun yang berbau modernitas borjuis.
Setelah merebut Urga, Ungern mengembalikan Bogd Khan ke takhtanya sebagai Monarki Teokratis Mongolia. Sebagai imbalannya, Bogd Khan memberinya gelar Khan (Pangeran) dan pangkat tertinggi. Ungern kemudian memerintah sebagai diktator militer de facto di bawah payung legitimasi spiritual Bogd Khan, dengan kekuasaan absolut atas urusan militer dan politik.
Masa kekuasaan Ungern di Mongolia adalah periode singkat dari utopia yang didasarkan pada teror. Ia mencoba memaksakan kembalinya tatanan sosial yang ia yakini ideal: struktur feodal yang kaku, didominasi oleh kehormatan kesatria dan keyakinan spiritual, bebas dari pengaruh Barat.
Ungern mengeluarkan serangkaian dekrit dan hukum yang aneh dan brutal. Hukuman untuk pelanggaran sekecil apa pun seringkali adalah kematian. Ia tidak menggunakan pengadilan atau penjara dalam pengertian modern; ia menggunakan palang hukuman dan eksekusi di tempat. Tujuan dari kekejaman ini bukanlah kekuasaan semata, melainkan untuk menanamkan rasa takut ilahi dan untuk "menyucikan" populasi dari dosa modernitas. Korupsi dan perampokan dalam pasukannya sendiri juga dihukum mati, menunjukkan bahwa Ungern menuntut standar moralitas yang brutal dan pribadi dari semua orang di sekitarnya.
Ia menjalankan administrasi pemerintahan yang minimal. Fokusnya adalah pada militer dan keamanan, sementara urusan sipil diserahkan kepada para Lama dan bangsawan Mongolia. Ia mencoba untuk melembagakan kembali sistem perpajakan tradisional dan secara aktif menekan pedagang asing, kecuali mereka yang tunduk pada hukum kavaleri militernya.
Namun, gaya hidupnya semakin aneh. Ia menghabiskan malamnya dengan merenung di tenda, didampingi oleh astrolog dan biksu. Ia jarang tidur, mengandalkan kumis (susu kuda fermentasi) dan energi saraf yang tinggi. Penampilan fisiknya yang keras, mata birunya yang menusuk, dan kecenderungannya untuk masuk ke dalam kemarahan yang tiba-tiba memperkuat reputasinya sebagai seorang kesatria gila.
Meskipun Ungern berhasil menguasai Mongolia, ia tidak pernah berniat untuk berhenti di sana. Visi besarnya adalah menggunakan Mongolia sebagai batu loncatan untuk menyerang kaum Bolshevik di Siberia, memicu pemberontakan Pan-Monarkis di seluruh Asia, dan pada akhirnya, mendirikan rezim kekaisaran yang akan meluas ke Rusia. Ini adalah tujuan yang mustahil bagi pasukan yang kecil, kelelahan, dan secara internal terfragmentasi oleh kekejaman pemimpinnya sendiri.
Menjelang pertengahan tahun itu, Tentara Merah, yang telah berhasil mengonsolidasikan kemenangan mereka di sebagian besar Rusia, mengalihkan perhatian mereka ke Timur Jauh dan ancaman yang ditimbulkan oleh "Baron Gila" yang tidak terduga ini.
Ungern meluncurkan dua serangan ke wilayah Soviet, ke arah utara menuju Transbaikal. Meskipun awalnya mendapatkan sedikit keberhasilan karena elemen kejutan dan ketakutan yang mendahului namanya, serangan-serangan ini dengan cepat gagal. Pasukan Ungern, yang lebih mahir dalam aksi penjarahan dan gerilya daripada perang skala besar melawan Tentara Merah yang semakin terorganisir, menghadapi perlawanan yang kuat. Bolshevik telah menyiapkan pasukan besar, termasuk unit Mongolia pro-Soviet, untuk menghadapi ancaman Ungern.
Kegagalan militer ini diperparah oleh keretakan internal. Kekejaman Ungern mulai membebani para perwiranya. Prajurit lelah, persediaan habis, dan kengerian pembunuhan massal telah merusak moral Divisi Kavaleri Asia. Mereka menyadari bahwa tujuan gila Ungern akan membawa mereka semua pada kehancuran.
Siluet Ungern Sternberg, seorang pemimpin yang memadukan kedisiplinan militer Eropa dengan kekejaman Asia.
Ketika pasukan Ungern mundur dari Siberia, beberapa perwira memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri mereka dan pasukan mereka adalah dengan menyingkirkan komandan mereka. Ungern mencoba melarikan diri ke Tibet, tempat suci yang ia yakini akan memberinya perlindungan, tetapi ia ditangkap oleh sekelompok tentaranya sendiri. Pengkhianatan ini mengakhiri mimpi kekaisarannya. Setelah melucutinya, para pemberontak menyerahkannya kepada patroli Tentara Merah yang sedang memburu mereka.
Ironisnya, pasukan Bolshevik menemukan Ungern dalam kondisi yang menyedihkan—lelah, kotor, dan diikat, tetapi masih memegang teguh keyakinannya. Penangkapan Ungern adalah kemenangan propaganda besar bagi Bolshevik di Timur Jauh.
Baron Ungern-Sternberg dibawa ke Novonikolayevsk (sekarang Novosibirsk) di Siberia untuk diadili. Pengadilan ini bukan hanya acara hukum; itu adalah sandiwara politik yang dirancang oleh Bolshevik untuk mendemonstrasikan kekuatan rezim baru dan untuk mencela kebobrokan rezim lama (monarki dan feodalisme). Vladimir Lenin sendiri dilaporkan menunjukkan minat pribadi pada hasil pengadilan Ungern.
Ungern didakwa atas beberapa tuduhan berat, yang mencakup:
Selama interogasi dan persidangan, Ungern sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atau ketakutan. Ia menggunakan panggung tersebut untuk menegaskan pandangan dunianya. Ia tidak menyangkal kekejamannya; sebaliknya, ia membenarkannya sebagai tindakan yang diperlukan dalam perang suci melawan setan modernitas.
Ia berbicara panjang lebar tentang perlunya memulihkan monarki suci di seluruh Eropa dan Asia, tentang kejahatan peradaban Barat yang didominasi oleh uang, dan tentang misinya sebagai prajurit di medan perang metafisika. Bagi para interogator Bolshevik, yang menganggap dirinya rasionalis materialis, Ungern adalah manifestasi kegilaan feodal yang harus dilenyapkan.
Saksi-saksi yang dipanggil, yang terdiri dari korban kekejamannya dan perwira-perwira Tentara Merah, memberikan kesaksian yang mengerikan tentang pembantaian di Dauria dan Urga, melukiskan potret seorang panglima perang yang didorong oleh impuls yang tidak terkendali dan ideologi yang kejam.
Putusan pengadilan sudah pasti: Ungern dinyatakan bersalah atas semua tuduhan. Ia dijatuhi hukuman mati dengan ditembak. Menjelang periode akhir itu, Baron Roman von Ungern-Sternberg dieksekusi oleh regu tembak. Ia menghadapi akhir hidupnya dengan keberanian khasnya yang nihilistik, menolak penutup mata dan menunjukkan kekerasan hati yang mencerminkan seluruh hidupnya.
Dengan kematiannya, upaya gila untuk menciptakan kekaisaran Asia yang didominasi oleh ideologi kavaleri kuno berakhir. Namun, kematiannya justru memperkuat mitos tentang dirinya di Steppe, sebuah wilayah yang sangat menghargai pahlawan yang tragis, gila, dan melampaui batas manusia biasa.
Meskipun Ungern-Sternberg berkuasa hanya untuk sesaat dan berakhir sebagai kegagalan militer, ia telah mengukir dirinya ke dalam imajinasi kolektif Asia Tengah, Rusia, dan Eropa.
Bagi Uni Soviet, ia menjadi simbol kejahatan reaksioner, sebuah contoh sempurna dari kaum bangsawan yang brutal dan gila yang harus dihancurkan oleh revolusi proletar. Propaganda Soviet menjadikannya monster dan karikatur feodalisme yang paling buruk.
Di Mongolia, warisannya jauh lebih kompleks. Ia dianggap oleh beberapa orang sebagai 'Penyelamat Nasional' karena ia mengusir penjajah Tiongkok dan mengembalikan Bogd Khan ke takhta. Namun, ia juga dikenal karena kekejamannya yang tak tertandingi. Sebagian besar orang Mongolia mengenangnya sebagai sosok pahlawan yang bengis, manifestasi Dewa Perang yang ditakuti namun dihormati karena menantang kekuasaan Tiongkok dan Bolshevik.
Dalam historiografi Barat dan ideologi marginal, Ungern-Sternberg sering disalahartikan atau diromantisasi. Ia dilihat oleh beberapa kelompok ultranasionalis dan esoteris sebagai:
Analisis psikologisnya menunjukkan bahwa ia mungkin menderita kondisi mental yang parah, diperburuk oleh trauma perang dan kehidupan keras di perbatasan. Namun, terlepas dari kondisi mentalnya, ia berhasil mengubah trauma pribadinya menjadi ideologi yang mampu menggerakkan ribuan prajurit di tengah kekacauan, membuktikan bahwa pada masa kehancuran, keyakinan fanatik—sekalipun gila—dapat memiliki daya tarik yang sangat besar.
Untuk memahami mengapa Ungern dianggap "gila" oleh orang Barat, tetapi "pahlawan murka" oleh beberapa orang di Asia, kita harus melihat bagaimana ia menjalankan kekuasaan sehari-hari di Urga selama periode singkatnya sebagai penguasa de facto.
Di Urga, Ungern menerapkan hukum yang dikenal sebagai Yassa (Hukum Chinggis Khan) versi pribadinya. Hukum ini, meskipun secara nominal didasarkan pada tradisi Mongolia, diinterpretasikan oleh Ungern untuk membenarkan pembersihan massal. Kekuatan terbesarnya adalah para perwira khususnya—seringkali individu-individu yang sama berbahayanya dengan dia—yang dikenal karena kesetiaan fanatik mereka terhadap pemimpin mereka.
Ia sangat membenci uang kertas dan berulang kali mencoba untuk kembali ke sistem barter atau penggunaan koin logam murni, karena ia melihat kertas dan utang sebagai simbol korupsi materialis yang berasal dari Barat. Ungern adalah seorang yang kontradiktif: ia ingin memulihkan tatanan kekaisaran, tetapi ia juga seorang anarkis yang menolak hampir semua struktur birokrasi, mengandalkan kekerasan dan ketakutan langsung untuk menegakkan kehendaknya.
Meskipun ia dikenal karena kekejamannya, ada satu pengecualian menarik dalam hubungan pribadinya: pernikahannya dengan Putri Manchuria. Putri ini adalah bagian dari upaya Ungern untuk mendapatkan legitimasi di antara suku-suku Asia dan mewujudkan mimpinya tentang kekaisaran Pan-Mongol. Namun, pernikahannya tetap bersifat politik dan strategis, bukan romantis, yang sesuai dengan pandangannya bahwa tugas ksatria harus selalu lebih diutamakan daripada kenyamanan pribadi.
Kehadiran perempuan bangsawan Asia dalam lingkaran kekuasaannya menunjukkan upayanya yang disengaja untuk meninggalkan identitas Eropa-Rusia demi identitas Asia yang ia anggap lebih murni dan spiritual. Ini adalah upaya untuk menunjukkan kepada pasukannya yang sebagian besar Asia bahwa ia bukan sekadar seorang Gyalat (orang Barat), melainkan seorang pemimpin yang ditakdirkan oleh takdir Mongolia dan takdir kuno.
Sejarah Ungern-Sternberg tidak dapat dipisahkan dari diskusi mengenai kekejaman. Dibandingkan dengan panglima perang lain selama Perang Saudara Rusia—baik Merah maupun Putih—Ungern menonjol karena kekejaman yang dilakukannya memiliki motif ideologis dan hampir religius, bukan sekadar pragmatis. Ia tidak membunuh hanya untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi untuk melakukan 'pembersihan spiritual'.
Hal ini menempatkannya dalam kategori pemimpin yang sangat berbahaya: mereka yang percaya bahwa tindakan yang paling mengerikan sekalipun dibenarkan oleh tujuan suci. Ungern adalah contoh utama dari apa yang terjadi ketika perang, agama, dan kegilaan individu bertemu di tempat yang tidak memiliki hukum dan tatanan.
Fakta bahwa banyak pengikutnya, yang berasal dari berbagai latar belakang, terus mengikutinya melalui kampanye yang brutal dan tanpa harapan menunjukkan daya tarik nihilisme radikal yang ia tawarkan. Pada masa ketika tatanan lama telah hancur dan tatanan baru (Komunisme) terasa asing, janji Ungern tentang kembalinya kehormatan kuno dan takdir heroik menawarkan makna, meskipun harga yang harus dibayar adalah darah dan jiwa.
Kisah Ungern juga merupakan bagian dari gambaran yang lebih besar tentang Perang Saudara Rusia sebagai salah satu konflik yang paling mengerikan dalam sejarah modern, tempat garis antara perang konvensional dan genosida hampir tidak ada. Di wilayah Siberia dan Asia Tengah, pertempuran melibatkan panglima perang yang beroperasi di luar kendali pusat manapun, memungkinkan tindakan kekejaman yang tidak tertandingi oleh aturan perang Eropa manapun.
Peran Ungern dalam sejarah Mongolia adalah memicu kemerdekaan, meskipun dengan cara yang paling brutal. Namun, 'pembebasan' yang ia tawarkan hanyalah jeda singkat sebelum Uni Soviet campur tangan, mendirikan negara komunis Mongolia yang berumur panjang. Jadi, Ironi terbesarnya adalah bahwa upayanya untuk melawan Komunisme justru mempercepat konsolidasi kekuasaan Soviet di wilayah itu.
Pada akhirnya, Baron Roman von Ungern-Sternberg tetap menjadi salah satu tokoh sejarah paling misterius dan menakutkan di abad modern. Ia adalah perwujudan kegilaan yang lahir dari kehancuran total Kekaisaran Rusia, seorang ksatria yang mencari kerajaan suci di atas tumpukan mayat, dan seorang pemimpin yang keyakinannya pada tatanan kuno mengakhiri hidupnya dengan peluru modern.