*Lambang kehormatan seorang perwira kavaleri Kekaisaran Pertama.*
Nama Jean-Baptiste Antoine Marcellin Marbot, atau lebih dikenal sebagai Baron Marbot, mungkin tidak sering disebut dalam daftar Jenderal Agung Napoleon, namun warisannya melampaui gelar-gelar militer tertinggi. Marbot adalah seorang perwira kavaleri, seorang "Chasseur à Cheval" yang gagah berani, yang kariernya terentang dari hari-hari awal Konsulat hingga bencana Waterloo. Namun, kontribusi terbesarnya bagi sejarah bukanlah jumlah kampanye yang ia ikuti atau luka yang ia derita—melainkan memoirnya yang monumentalnya.
Diterbitkan jauh setelah akhir kekaisaran, Mémoires du Général Marbot adalah salah satu sumber primer paling berharga dan paling hidup tentang Perang Napoleon. Bukan sekadar catatan logistik atau strategi, memoir Marbot menawarkan sudut pandang unik: kisah medan perang yang dilihat dari punggung kuda, detail pertarungan individu yang brutal, dan gambaran jujur mengenai keberanian heroik maupun kebodohan fatal yang dilakukan oleh perwira tinggi. Kedalaman narasinya membuat pembaca seolah-olah ditarik langsung ke tengah lumpur, debu, dan salju di medan-medan perang Eropa yang luas. Memoir ini bukan hanya sejarah; ini adalah epos pribadi seorang prajurit yang nyaris tidak pernah absen dari kancah kekacauan yang mendefinisikan eranya.
Kisah hidupnya adalah cerminan langsung ambisi, kejayaan, dan kehancuran Grande Armée. Dari pawai kemenangan melintasi Italia dan Austria hingga horor di padang es Rusia dan pengkhianatan di Waterloo, Marbot hadir di hampir setiap babak penting. Untuk memahami skala konflik Napoleonic, kita harus mendengarkan suara mereka yang bertempur di garis depan, dan di antara suara-suara tersebut, Baron Marbot berdiri sebagai narator yang paling bersemangat, detil, dan, pada saat-saat tertentu, paling kontroversial.
Lahir di La Rivière pada periode bergejolak, Marbot adalah putra seorang jenderal Republik, Marbot senior. Lingkungan keluarganya segera menanamkan semangat militer. Ia memasuki dunia militer sebagai seorang remaja pada usia yang sangat muda, tepat ketika Prancis sedang beralih dari kengerian Revolusi menuju Konsulat di bawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte. Lingkungan pendidikan awalnya adalah kamp-kamp militer, dan pengangkatannya yang cepat mencerminkan kebutuhan Republik akan perwira muda yang cerdas dan bersemangat.
Awal karier militernya dimulai di unit kavaleri ringan, sebuah peran yang paling cocok untuk sifatnya yang lincah dan berani. Kavaleri ringan—Hussar dan Chasseur—adalah mata dan telinga tentara, bertugas sebagai pengintai, penjaga sayap, dan pemburu musuh. Pengalaman awalnya ini membentuk keahliannya yang legendaris: kecepatan, observasi tajam, dan kemampuan untuk bertarung dalam pertempuran kecil yang intens.
Momen penting di awal kariernya adalah ketika ia bertugas di bawah pimpinan Jenderal Augereau dan kemudian Jenderal Lannes, dua komandan yang brutal namun efektif. Di bawah Lannes, ia belajar tentang kepemimpinan yang tegas dan pentingnya menjaga moral pasukan dalam kondisi terburuk sekalipun. Ia bertempur dalam kampanye di Italia Utara, sebuah wilayah yang penuh dengan pertempuran gerilya dan manuver cepat. Pengalaman ini mengasah naluri Marbot dalam membaca medan dan memprediksi gerakan musuh, kemampuan vital bagi seorang perwira kavaleri.
Ketika Napoleon memproklamirkan Kekaisaran dan merencanakan invasi ke Inggris, Marbot sudah menjadi perwira kavaleri yang dihormati. Namun, invasi itu dibatalkan, dan Grande Armée dipaksa berbalik ke timur untuk menghadapi Koalisi Ketiga. Inilah masa-masa emas bagi Marbot. Ia berpartisipasi dalam kampanye Austerlitz yang brilian (1805), yang sering disebut sebagai “Pertempuran Tiga Kaisar.”
Meskipun ia tidak memainkan peran sentral di pusat pertempuran, tugas pengintaian dan penyampaian pesan vitalnya di medan yang kacau menunjukkan keandalan dan keberaniannya. Ia menyaksikan langsung kejeniusan taktis Napoleon yang menghancurkan pasukan gabungan Rusia dan Austria, sebuah pemandangan yang mengukuhkan keyakinannya pada sang Kaisar.
Dua tahun kemudian, pada 1806, Prancis menghadapi Prusia. Kampanye Jena-Auerstedt adalah kilat. Marbot, yang kini berpangkat kapten, terlibat dalam pengejaran brutal setelah kemenangan besar di Jena. Ia menggambarkan dengan detail kengerian pengejaran: pasukan Prusia yang moralnya hancur, perwira yang menyerahkan diri dalam jumlah besar, dan betapa cepatnya sebuah negara adidaya militer bisa runtuh di bawah tekanan serangan yang tak henti-hentinya. Dalam memoirnya, ia menceritakan tentang pertempuran-pertempuran kecil di sekitar sungai Saale dan bagaimana semangat kavaleri Prancis mengalahkan musuh yang jauh lebih besar.
“Kavaleri adalah senjata yang berani. Kami tidak hanya menyerang; kami bernapas dalam kekacauan, dan kami hidup dalam kecepatan yang menentukan nasib satu hari. Kecepatan adalah sahabat terbaik kami, dan keputusasaan adalah hukuman terburuk.”
Puncaknya datang pada Pertempuran Eylau (1807), sebuah pertarungan berdarah di tengah badai salju Polandia yang hampir tidak menghasilkan kemenangan bagi Prancis. Di sini, Marbot menyaksikan salah satu serangan kavaleri terbesar dalam sejarah militer, dipimpin oleh Marsekal Murat. Marbot menggambarkan bagaimana ribuan kuda menyerbu melalui salju tebal, menembus garis musuh, tetapi dengan kerugian yang sangat besar. Eylau mengajarkannya bahwa kejayaan militer sering kali berlumuran darah yang tak tertahankan, sebuah pelajaran yang akan terulang berulang kali di tahun-tahun mendatang.
Setelah perdamaian singkat di Tilsit, perhatian Napoleon beralih ke Spanyol. Perang Semenanjung (1808-1814) adalah neraka bagi Grande Armée. Berbeda dengan kampanye klasik melawan tentara monarki, di Spanyol Prancis menghadapi perang gerilya yang brutal, di mana setiap desa bisa menjadi benteng dan setiap warga sipil adalah musuh potensial. Marbot dikirim ke sana dan melayani di bawah Marsekal Lannes dan kemudian Masséna.
Marbot menceritakan dengan jujur betapa sulitnya perang ini. Jalur pasokan yang terus-menerus diserang, iklim yang ekstrem, dan kebencian mendalam rakyat Spanyol terhadap penjajah Prancis menciptakan lingkungan permusuhan total. Ia terlibat dalam pengepungan Zaragoza yang legendaris, sebuah peristiwa di mana peperangan kota mencapai tingkat kekejaman yang ekstrem. Ia menggambarkan rumah demi rumah harus direbut, dan bagaimana penyakit serta kelaparan menjadi musuh yang lebih mematikan daripada peluru musuh.
Pengepungan Zaragoza (1808-1809) adalah titik balik psikologis bagi banyak prajurit Prancis. Marbot menulis tentang keberanian fanatik para pembela Spanyol—warga sipil, pendeta, wanita—yang berjuang hingga nafas terakhir. Ia menyaksikan kota yang secara harfiah dimakan oleh pertempuran dan penyakit. Kejadian ini meninggalkan kesan mendalam padanya tentang sifat sejati perang yang tidak mengenal belas kasihan. Kematian Jenderal Lannes di Zaragoza juga menjadi momen kehilangan pribadi yang besar baginya.
Setelah Zaragoza, Marbot terus berjuang dalam operasi yang bertujuan menaklukkan Portugal dan mengamankan Spanyol Selatan. Ia terlibat dalam serangkaian pertempuran pengejaran yang melelahkan. Ia menonjol dalam peran sebagai penghubung dan komandan unit kavaleri kecil, di mana ia harus membuat keputusan cepat untuk menghindari jebakan gerilya atau mengamankan posisi vital. Dalam periode inilah ia mengalami salah satu luka terparah dalam kariernya dan nyaris ditangkap beberapa kali.
Salah satu anekdot terkenal dari memoirnya yang berasal dari Perang Semenanjung adalah saat ia memimpin detasemen kecil yang disergap di lembah terpencil. Dengan menggunakan tipuan taktis dan memanfaatkan kegelapan malam, ia berhasil membalikkan keadaan dan meloloskan pasukannya, membawa kembali intelijen penting. Kisah-kisah ini, yang diceritakan dengan kejelasan dramatis, memberikan gambaran yang hidup tentang kehidupan sehari-hari kavaleri yang menghadapi ancaman konstan dari musuh yang tidak terlihat.
Perang di Semenanjung adalah perang gesekan. Bagi Marbot, ini adalah masa di mana idealismenya diuji oleh realitas brutal. Ia melihat korupsi di antara perwira yang lebih tua dan kelelahan yang memakan moral Grande Armée. Perang Spanyol adalah "kanker" yang menggerogoti Kekaisaran, dan Marbot berada tepat di tengah-tengah infeksi tersebut.
Panggilan untuk invasi Rusia pada tahun 1812 membawa Marbot ke dalam skala konflik yang belum pernah ia saksikan. Sebagai perwira yang kini lebih berpengalaman, ia bergabung dengan pasukan yang berjumlah lebih dari 600.000 orang, berbaris menuju kedalaman benua dengan keyakinan akan kemenangan yang cepat.
Marbot, yang kini melayani di staf tinggi, memberikan laporan yang mengerikan tentang pawai awal. Bukan pertempuran, melainkan logistik dan iklim yang segera menjadi musuh utama. Disiplin runtuh, makanan menipis, dan hujan lebat serta panas yang menyengat di musim panas awal menghancurkan kesehatan kuda dan prajurit bahkan sebelum mencapai Smolensk. Ia mencatat bagaimana Grande Armée, sebuah mesin perang yang sempurna di Austerlitz, kini menjadi kerumunan massa yang berjuang melawan kelaparan dan kelelahan.
Pertempuran Borodino adalah salah satu kancah pembantaian terbesar di mana Marbot berpartisipasi. Ia menggambarkan Borodino sebagai pertempuran yang paling mengerikan, di mana kedua belah pihak menunjukkan ketahanan yang luar biasa, namun tanpa manuver cerdas yang biasa ia lihat di bawah Napoleon. Ini adalah pertarungan adu kuat dan kekerasan murni. Ia menyampaikan pesan melintasi medan yang penuh mayat dan asap, nyaris tidak dapat melihat sekelilingnya karena intensitas tembakan artileri. Marbot selamat dari hari itu, tetapi ia melihat dengan jelas betapa tipisnya garis antara kemenangan dan kehancuran total.
Masuknya Prancis ke Moskow adalah kemenangan yang kosong. Kebakaran besar, yang Marbot yakini sengaja disulut oleh Rusia, menghancurkan ibu kota kuno tersebut, meninggalkan tentara tanpa tempat berlindung atau persediaan yang cukup untuk musim dingin yang akan datang. Kisah-kisahnya di Moskow penuh dengan keputusasaan: upaya sia-sia untuk menjarah di tengah puing-puing dan realisasi yang mengerikan bahwa mereka telah masuk terlalu jauh.
Ketika Napoleon memerintahkan retret, Marbot menyaksikan disintegrasi total pasukan. Suhu turun drastis, kuda-kuda mati beku, dan disiplin lenyap. Marbot menceritakan bagaimana ia harus berjuang untuk dirinya sendiri dan sisa pasukannya, menghadapi serangan Cossack yang tak henti-hentinya dan ancaman kelaparan yang lebih besar.
Bagian paling detail dan emosional dari memoirnya adalah deskripsi penyeberangan Sungai Berezina. Marbot, sebagai seorang perwira yang masih berfungsi, harus membantu mengatur penyeberangan. Ia menggambarkan kekacauan yang tak terlukiskan: ribuan orang berebut untuk menyeberangi jembatan yang rapuh, tentara yang putus asa saling dorong, dan ribuan orang yang jatuh ke sungai yang membeku, tenggelam atau mati kedinginan. Ia menyaksikan bagaimana sisa-sisa Grande Armée berubah menjadi hantu, kehilangan peralatan, senjata, dan yang paling penting, harapan. Marbot sendiri hanya dapat bertahan karena ketahanan pribadinya dan loyalitas beberapa anak buahnya.
Ia mencatat dengan detail kondisi kuda-kuda kavaleri. Kuda adalah harta paling berharga, namun dalam retret, banyak yang harus disembelih untuk dimakan oleh tentara yang kelaparan. Kehilangan kuda-kuda tersebut adalah pukulan ganda: hilangnya alat transportasi dan hilangnya identitas sebagai prajurit kavaleri. Ketika Marbot akhirnya keluar dari Rusia, ia kembali ke Prancis sebagai bayangan dirinya yang dulu, tetapi dengan cerita yang sangat kaya akan horor.
*Simbol kejayaan yang ternoda oleh kekalahan di Rusia.*
Setelah bencana Rusia, Napoleon dengan cepat membangun kembali pasukannya, merekrut "Marie-Louise" (wajib militer remaja) dan menarik veteran dari Spanyol. Meskipun ia telah mencapai pangkat kolonel, Marbot tetap menjadi sosok yang tak tergantikan dalam komando lapangan. Kampanye 1813 di Jerman adalah upaya putus asa Napoleon untuk mempertahankan Kekaisaran melawan Koalisi Keenam yang bersatu.
Marbot berjuang dalam pertempuran Lützen dan Bautzen, di mana keterampilan taktis Napoleon masih bersinar, tetapi kavaleri Prancis sangat menderita karena kurangnya kuda veteran yang berkualitas. Marbot, yang terbiasa memimpin kavaleri yang unggul, kini harus berjuang dengan pasukan yang kurang berpengatih dan kuda yang lemah. Ia menyadari bahwa kualitas Grande Armée yang dulu telah hilang.
Pertempuran Leipzig (1813) adalah akhir yang tak terhindarkan. Pertempuran terbesar sebelum Perang Dunia I, Leipzig adalah kekalahan telak yang memastikan Prancis akan didorong mundur ke perbatasannya sendiri. Marbot berada di sayap yang rentan, menyaksikan bagaimana pasukan koalisi, yang jumlahnya jauh melebihi Prancis, secara perlahan menghancurkan garis pertahanan. Ia menceritakan momen-momen keputusasaan ketika pasukan sekutu Jerman, yang dulunya berjuang untuk Napoleon, tiba-tiba membelot dan menyerang mantan rekan-rekan mereka, sebuah pengkhianatan yang ia gambarkan dengan sangat pahit.
Dalam retret yang kacau dari Leipzig, Marbot sekali lagi menunjukkan ketenangannya. Ia membantu mengamankan penyeberangan sungai Elster, dan ia menulis dengan marah tentang kesalahan fatal yang menyebabkan jembatan vital meledak terlalu cepat, menjebak puluhan ribu prajurit Prancis yang tersisa di tepi yang salah. Ia menyebut insiden ini sebagai salah satu kegagalan manajemen bencana terbesar yang pernah ia saksikan, menambah daftar panjang penderitaan yang ia alami.
Pada tahun 1814, perang terjadi di tanah Prancis. Napoleon menunjukkan kejeniusan militernya yang terakhir, memenangkan serangkaian pertempuran kecil yang brilian melawan musuh yang jauh lebih unggul. Marbot berjuang di setiap sudut pertempuran ini, seringkali memimpin unit kavaleri kecilnya dalam serangan kejutan yang bertujuan mengganggu jalur komunikasi Koalisi.
Namun, kelelahan dan sumber daya yang habis membuat perlawanan itu mustahil dipertahankan. Marbot menyampaikan secara rinci suasana di Paris menjelang kejatuhan: kepanikan di kalangan penduduk sipil, ketidakmampuan para pemimpin politik, dan kesedihan yang mendalam di kalangan prajurit yang loyal. Ia menyaksikan penyerahan diri Napoleon yang pertama di Fontainebleau dan kembalinya Bourbon, sebuah masa yang ia pandang dengan sinisme total.
Ketika Napoleon melarikan diri dari Elba pada tahun 1815, Marbot adalah salah satu dari banyak perwira yang segera berbondong-bondong kembali ke panji Elang Kekaisaran. Loyalitasnya kepada Kaisar, meskipun ia kritis terhadap beberapa keputusan Napoleon, tidak pernah goyah di saat krisis. Marbot segera diberi tugas penting di bawah Marsekal Soult.
Kampanye Seratus Hari adalah ledakan singkat dari harapan yang cepat layu. Marbot berpartisipasi dalam pertempuran awal di Quatre Bras, di mana ia mencatat kekacauan dalam koordinasi antara komandan Prancis. Ia mencatat bagaimana kesalahan kecil dan ketidakmampuan beberapa jenderal senior merusak peluang Prancis bahkan sebelum mereka menghadapi Wellington.
Di Waterloo, Marbot berada di tengah-tengah salah satu pertempuran kavaleri paling terkenal: serangan besar-besaran kavaleri Prancis ke dataran tinggi Sekutu. Ia menggambarkan bagaimana serangan ini, meskipun terlihat megah, sering kali dilakukan tanpa dukungan infanteri atau artileri yang memadai. Ia menyaksikan dengan ngeri bagaimana kavaleri, yang kini berada di bawah api meriam dan menghadapi bujur sangkar infanteri Inggris yang solid, dipukul mundur berulang kali. Kuda-kuda jatuh, prajurit dibantai, dan energi yang tersisa dari Grande Armée terkuras habis.
Marbot tidak hanya menceritakan kengerian pertempuran, tetapi juga detail-detail kecil yang hanya bisa diamati oleh prajurit di lapangan. Ia menceritakan tentang perannya dalam upaya terakhir untuk menahan Prusia yang tiba di sayap kanan. Ia menyaksikan runtuhnya Pengawal Kekaisaran yang legendaris, dan kekacauan total yang terjadi ketika pasukan Prancis menyadari bahwa pertempuran telah kalah.
Setelah kekalahan, Marbot harus berjuang untuk melarikan diri dari medan perang yang penuh dengan musuh yang mengejar. Ia menggambarkan suasana kehancuran moral yang total, jauh lebih buruk daripada retret dari Rusia karena kekalahan ini berarti akhir dari mimpi Kekaisaran. Marbot, yang telah bertahan dari semua yang terburuk yang ditawarkan Napoleon, menyaksikan saat tirai akhirnya ditutup.
Setelah pemulihan Raja Louis XVIII, Marbot, seperti banyak perwira Bonapartis lainnya, diasingkan dari dinas aktif. Periode ini adalah periode ketidakpastian dan bahkan penganiayaan bagi mereka yang secara terbuka loyal kepada Napoleon. Namun, keterampilan militernya terlalu berharga untuk diabaikan sepenuhnya, dan ia akhirnya dipanggil kembali bertugas di bawah Monarki Juli (1830) dan diangkat menjadi Marsekal Lapangan (Jenderal Divisi).
Meskipun ia kembali ke kejayaan militer dan politik, masa tua Marbot dihabiskan untuk satu proyek penting: menyusun memoirnya. Ia mulai menulis pada tahun 1840-an, didorong oleh kebutuhan untuk memperbaiki apa yang ia anggap sebagai ketidakakuratan dalam catatan sejarah resmi tentang perang tersebut. Memoirnya, yang terbit secara anumerta pada tahun 1891, menjadi sensasi seketika.
Mengapa memoir Marbot begitu berharga? Karena ia adalah salah satu dari sedikit perwira lapangan yang berjuang dalam setiap kampanye besar dan selamat untuk menceritakannya dengan detail yang luar biasa. Tidak seperti memoar Marsekal yang cenderung berfokus pada strategi tingkat tinggi dan pembenaran politik, Marbot memberikan pandangan dari tengah-tengah tindakan:
Kejelasan narasinya, meskipun kadang-kadang dicurigai dilebih-lebihkan untuk efek dramatis (seperti kisah tentang seekor berang-berang yang menyelamatkannya dari tenggelam), telah diuji oleh sejarawan dan sebagian besar terbukti akurat dalam garis besar peristiwa. Memoirnya memberikan warna, bau, dan suara Perang Napoleon yang tidak dapat ditemukan dalam dokumen arsip biasa.
Baron Marbot menjalani kehidupan yang luar biasa panjang setelah kejatuhan Napoleon, meninggal pada tahun 1854. Namun, warisannya tidak terletak pada pangkat militernya yang diperoleh di masa damai, melainkan pada ratusan halaman tulisan yang ia tinggalkan. Memoirnya telah menjadi bacaan wajib bagi para sejarawan militer dan penggemar sejarah selama lebih dari satu abad.
Kisah Marbot bukan hanya tentang kejayaan Napoleon, tetapi tentang ketahanan individu, horor yang tak terhindarkan dari konflik, dan kemampuan manusia untuk beradaptasi dan bertahan dalam menghadapi kehancuran total. Ia adalah suara kavaleri, seorang perwira yang melihat kekaisaran bangkit dan runtuh, dan yang melalui pena, memastikan bahwa penderitaan dan keberanian generasinya tidak akan pernah dilupakan. Ia memberi kita potret intim dari era perang yang paling agung sekaligus paling tragis dalam sejarah Eropa.
Untuk benar-benar menghargai kedalaman memoir Marbot, kita harus melihat lebih dalam pada detail-detail kecil yang ia abadikan. Ia adalah master dalam menggambarkan momen-momen intens yang sering diabaikan dalam sejarah besar:
Dalam kampanye 1809 (Perang Koalisi Kelima), Marbot terlibat dalam serangkaian pertempuran cepat di sekitar Ratisbon (Regensburg). Ia dengan jelas menceritakan bagaimana ia memimpin serangan kavaleri yang nekat untuk merebut kembali jembatan penting yang dijaga ketat oleh Austria. Ini adalah pertarungan yang brutal, pedang lawan bayonet, dan kuda yang tergelincir di atas darah. Marbot menekankan bahwa dalam pertempuran kecil seperti ini, yang paling penting bukanlah jumlah, melainkan kecepatan dan kemauan untuk menyerang terlebih dahulu. Keberaniannya di Ratisbon memberinya pengakuan lebih lanjut.
Meskipun mengagumi keberanian Masséna di lapangan, Marbot secara terbuka mencela sifat Masséna yang serakah dan sering sembrono, terutama selama kampanye di Portugal. Ia menceritakan bagaimana Masséna, yang terobsesi dengan uang dan kenyamanan, sering membuat keputusan buruk yang membahayakan pasukannya. Marbot mempertaruhkan kariernya beberapa kali hanya untuk menyampaikan kebenaran yang tidak ingin didengar oleh atasannya. Detail ini penting karena menunjukkan bahwa Marbot menulis bukan hanya untuk memuji, tetapi untuk memberikan catatan yang jujur tentang kepemimpinan militer Prancis yang sering kali bercampur antara kejeniusan dan kesombongan.
Salah satu kisah yang paling ikonik adalah pengalamannya dalam menyelamatkan bendera resimennya. Dalam satu pertempuran yang kacau, bendera resimennya jatuh ke tangan musuh yang kini menyeberangi sungai. Meskipun terluka parah dan kedinginan, Marbot menolak untuk menyerah pada kehormatan resimen. Ia berenang melintasi sungai yang deras, terlibat dalam duel singkat dengan perwira musuh yang membawa bendera tersebut, dan berhasil merebutnya kembali. Tindakan heroik ini, yang ia ceritakan dengan kerendahan hati yang mengejutkan, bukan hanya memperkuat legenda pribadinya tetapi juga menyoroti betapa pentingnya kehormatan dan standar militer bagi seorang perwira pada masa itu.
Marbot sangat pandai melukiskan suasana. Setelah Jena-Auerstedt, ia tidak hanya mencatat kemajuan; ia menggambarkan desa-desa yang diserahkan tanpa perlawanan, perwira Prusia yang menangis karena malu, dan bagaimana tentara Prancis, meskipun kelelahan, didorong oleh aroma kemenangan. Ia menceritakan tentang persediaan makanan yang melimpah yang ditinggalkan oleh musuh, memungkinkan pasukannya untuk makan dengan baik untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, sebuah kontras dramatis dengan kelaparan yang akan ia hadapi enam tahun kemudian di Rusia.
Keseluruhan narasi Marbot adalah kain tenun yang kaya, menggabungkan strategi global dengan pengalaman pribadi di parit dan punggung kuda. Ia mengabadikan perbincangan malam di sekitar api unggun, rasa takut sebelum serangan, dan kesenangan singkat dari kemenangan. Ia adalah suara seorang perwira yang mencintai pertempuran, menghormati Kaisar, tetapi tidak pernah membiarkan realitas brutal perang terdistorsi oleh propaganda. Memoirnya berdiri sebagai monumen abadi bagi semua prajurit yang berjuang dan jatuh di bawah bayangan Elang Kekaisaran.