Mengukir Sejarah, Menjaga Marwah Kalimantan Selatan
PS Barito Putera bukan sekadar sebuah klub sepak bola; ia adalah manifestasi nyata dari harga diri, semangat, dan identitas sejati masyarakat Kalimantan Selatan. Didirikan dengan landasan kekeluargaan dan visi jauh ke depan oleh seorang tokoh yang kelak dikenal sebagai patron abadi, H. Sulaiman HB, klub ini berdiri sebagai monumen kebanggaan regional yang menolak untuk dibayangi oleh kekuatan sepak bola Jawa atau Sumatera. Sejak awal kehadirannya di kancah persepakbolaan nasional, Barito Putera telah menorehkan jejak yang unik, sebuah narasi yang penuh perjuangan, loyalitas yang mendalam, dan serangkaian nama-nama yang diukir dalam memori kolektif pendukungnya.
Kisah Barito Putera adalah kisah tentang kesabaran dalam membangun fondasi yang kokoh, di mana setiap batu bata diletakkan dengan penuh makna. Nama 'Barito' diambil dari sungai besar yang melintasi bumi Banjar, melambangkan aliran kehidupan, kekuatan alami, dan sumber daya tak terbatas. 'Putera' menegaskan identitas sebagai anak kandung daerah, murni lahir dari tanah Banjar. Dengan julukan 'Laskar Antasari', merujuk pada Pahlawan Nasional Pangeran Antasari, klub ini mengemban warisan keberanian dan perlawanan tanpa henti. Semua elemen ini—nama, julukan, dan semangat—bersatu padu membentuk entitas yang jauh melampaui lapangan hijau, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari denyut nadi masyarakat Banjar.
Tidak mungkin membicarakan legenda Barito Putera tanpa memberikan penghormatan tertinggi kepada sosok pendiri, H. Sulaiman HB. Beliau melihat sepak bola bukan hanya sebagai tontonan, tetapi sebagai alat pemersatu dan wadah pembinaan karakter. Di masa ketika klub-klub daerah sering menghadapi tantangan finansial dan struktural, H. Sulaiman HB memberikan jaminan stabilitas dan dedikasi yang luar biasa. Klub ini tidak pernah dianggap sebagai proyek sampingan atau investasi jangka pendek; melainkan sebagai warisan kultural yang harus dijaga dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang.
Filosofi kepemimpinan beliau tercermin dalam etos kerja tim: kerja keras, kejujuran, dan yang paling penting, keterikatan emosional dengan Banua (kampung halaman). Keputusannya untuk selalu memprioritaskan pemain-pemain lokal yang berbakat, meskipun harus bersaing dengan klub-klub yang mengandalkan pemain bintang dari luar, adalah bukti komitmen terhadap pengembangan sumber daya manusia Kalimantan Selatan. Visi ini melahirkan gelombang pertama legenda, para pemain yang berjuang bukan hanya demi gaji, tetapi demi kehormatan logo di dada mereka.
Lambang Kebanggaan Barito Putera: Simbol Kekuatan dan Identitas Banjar.
Dalam sejarah panjang klub ini, warisan H. Sulaiman HB tidak hanya diukur dari prestasi di atas lapangan, tetapi juga dari keberlanjutan filosofi klub. Semangat kekeluargaan yang ditanamkannya memastikan bahwa setiap pemain, baik bintang maupun cadangan, diperlakukan sebagai anggota keluarga besar. Inilah kunci mengapa Barito Putera sering kali dianggap sebagai salah satu klub dengan ikatan emosional terkuat antara manajemen, pemain, dan suporter.
Periode 1990-an adalah masa di mana Barito Putera mulai menancapkan taringnya di peta sepak bola nasional. Setelah berjuang keras di era perserikatan, pembentukan Liga Indonesia (Ligina) pada tahun 1994 membuka babak baru. Musim perdana Ligina 1994/1995 menjadi panggung tempat Barito Putera menunjukkan bahwa tim dari luar Jawa mampu bersaing di level tertinggi. Prestasi klub pada musim itu, yang berhasil menembus babak semifinal, bukanlah kebetulan semata; itu adalah hasil dari perpaduan taktis brilian di bawah kepemimpinan pelatih Daniel Roekito dan keberanian para pemain di lapangan.
Keberhasilan mencapai semifinal Ligina I adalah momen epik yang mengubah persepsi publik terhadap sepak bola Kalimantan. Di tengah dominasi tim-tim besar yang beranggotakan banyak pemain nasional, Barito Putera hadir sebagai 'kuda hitam' yang disegani. Mereka bermain dengan intensitas tinggi, disiplin taktis, dan, yang paling penting, semangat juang yang tak pernah padam. Momen-momen krusial, seperti kemenangan dramatis di perempat final, masih diceritakan dari generasi ke generasi sebagai bukti bahwa Batulicin dan Banjarmasin adalah markas kekuatan yang sesungguhnya.
Kejayaan itu dibangun oleh sekelompok pemain yang namanya kini menjadi sinonim dengan kata 'legenda'. Mereka adalah para pemain yang, meskipun tidak selalu memiliki profil gemerlap seperti bintang ibukota, memiliki hati yang berlumuran darah Banjar di setiap pertandingan. Mereka adalah jembatan antara aspirasi daerah dan realitas kompetisi nasional.
Jika ada satu nama yang melambangkan dedikasi dan kepemimpinan di era tersebut, itu adalah Frans Sinatra Huwae. Bermain sebagai gelandang, Frans dikenal karena staminanya yang luar biasa, visi permainannya yang tajam, dan kemampuannya mengatur tempo di lini tengah. Ia adalah kapten yang dihormati, baik oleh kawan maupun lawan. Kepemimpinannya melampaui sekadar memimpin pemanasan; ia adalah mentor, mediator, dan yang paling utama, penjelmaan langsung dari ketegasan Laskar Antasari. Setiap tekel yang dilakukannya, setiap umpan terobosan yang dilepaskannya, adalah pelajaran tentang bagaimana seorang legenda sejati berjuang untuk kehormatan klubnya.
Kisah Frans Sinatra Huwae adalah kisah pengabdian. Bahkan setelah gantung sepatu, ia tetap terikat erat dengan klub dalam berbagai peran, memastikan bahwa DNA Barito Putera terus mengalir dalam tubuh tim. Ini adalah ciri khas legenda sejati: mereka tidak hanya bermain untuk klub, tetapi mereka hidup untuk klub tersebut, sepanjang hayat mereka.
Salahudin mewakili mimpi setiap anak Banjar yang ingin membela tanah kelahirannya. Sebagai pemain, ia adalah pemain sayap yang cepat dan berbahaya, sering menjadi momok bagi pertahanan lawan. Namun, warisan terbesarnya terletak pada perjalanannya kembali ke Barito Putera sebagai pelatih. Salahudin adalah simbol dari siklus kesetiaan: pemain yang tumbuh dari sistem klub, menjadi legenda di lapangan, lalu kembali untuk membimbing generasi penerus. Ketika Barito Putera berjuang kembali ke kasta tertinggi setelah masa-masa sulit, Salahudin adalah nakhoda yang memimpin kebangkitan itu, membuktikan bahwa identitas lokal adalah kekuatan, bukan kelemahan. Kembalinya Barito Putera ke Liga Super Indonesia di bawah asuhannya adalah salah satu bab paling emosional dalam sejarah klub.
Meskipun bukan berasal dari Kalimantan, Jacksen F. Tiago menemukan rumah spiritualnya di Banjarmasin dan diabadikan sebagai salah satu legenda penyerang asing paling berpengaruh. Kedatangannya membawa dimensi baru bagi serangan Barito. Dengan kecepatan, kekuatan fisik, dan insting mencetak gol yang buas, Jacksen segera menjadi idola. Gol-golnya di musim 1994/1995 bukan hanya sekadar angka di papan skor; itu adalah loncatan kegembiraan yang memecah kesunyian malam di Stadion 17 Mei. Kontribusinya sangat vital dalam perjalanan tim mencapai babak empat besar, menjadikannya 'orang luar' yang diangkat derajatnya sebagai 'putera' Barito Putera sejati. Warisan Jacksen adalah bukti bahwa Barito Putera menghargai loyalitas dan kontribusi, terlepas dari mana asal pemain tersebut.
"Barito Putera mengajarkan saya arti kekeluargaan sejati. Di sini, kami tidak hanya bermain bola, kami hidup bersama. Itu adalah kekuatan yang membuat kami mampu mengalahkan siapapun di era 90-an." — Sebuah kutipan yang mencerminkan etos para pemain era emas.
Prestasi mencapai semifinal Ligina I adalah fondasi yang kokoh. Meskipun Barito Putera belum berhasil meraih gelar juara Liga Indonesia, keberhasilan ini menanamkan keyakinan kolektif bahwa mereka adalah kekuatan yang harus diperhitungkan. Hal ini juga memberikan cetak biru (blueprint) bagi generasi selanjutnya tentang standar perjuangan yang harus dipelihara.
Setelah periode emas 90-an, seperti halnya siklus klub profesional lainnya, Barito Putera menghadapi masa-masa sulit. Tantangan finansial, perubahan format liga, dan tekanan persaingan membuat klub sempat terdegradasi ke kasta di bawah. Masa ini, yang sering disebut sebagai 'Era Ujian Sejati', justru menjadi penentu loyalitas dan ketangguhan klub.
Degradasi bukanlah akhir, melainkan jeda untuk refleksi. Di masa-masa Liga Divisi Satu dan Divisi Utama, dukungan masyarakat Banjar tidak pernah surut. Inilah momen di mana identitas 'Laskar Antasari' benar-benar diuji. Para legenda yang dulunya berjuang di Liga utama, kini mengambil peran di belakang layar atau di bangku cadangan, memastikan bahwa semangat Barito tidak hilang di liga yang lebih rendah. Ini adalah pengorbanan yang jarang terlihat di klub-klub lain: dedikasi tanpa pamrih untuk mengembalikan klub ke tempat yang seharusnya.
Proses kebangkitan Barito Putera menuju kompetisi tertinggi (sekarang Liga 1) adalah salah satu kisah yang paling heroik dan berlarut-larut dalam sejarah sepak bola Indonesia modern. Dalam perjalanan ini, peran para legenda menjadi sangat krusial. Mereka bertindak sebagai jembatan yang membawa pengalaman dan filosofi era keemasan kepada para pemain muda yang baru muncul.
Frans Sinatra Huwae, misalnya, mengambil peran penting dalam pembinaan. Kehadirannya di pinggir lapangan atau di struktur manajemen memberikan energi positif dan rasa memiliki yang kuat. Ia memastikan bahwa setiap pemain baru memahami betapa berharganya seragam kuning-biru yang mereka kenakan. Pelajaran tentang kerja keras, kedisiplinan, dan kehormatan regional selalu ditekankan olehnya, menjadikannya pilar moral klub.
Salahudin, sebagai pelatih utama saat itu, berhasil merangkai tim yang padu antara talenta lokal dan pemain berpengalaman. Kenaikan kasta yang sukses adalah bukti nyata bahwa strategi yang berakar pada identitas lokal dapat menghasilkan prestasi maksimal. Momen perayaan promosi kembali ke Liga Super Indonesia disambut dengan histeria massa, bukan hanya karena tim kembali ke level atas, tetapi karena tim kembali di bawah asuhan salah satu putra terbaik Banjar.
Kesuksesan ini tidak hanya tentang memenangkan pertandingan, tetapi juga tentang memenangkan kembali kepercayaan dan mempertahankan warisan yang telah dibangun oleh H. Sulaiman HB. Itu adalah janji yang ditepati kepada suporter yang setia berdiri di tribun Stadion 17 Mei, bahkan ketika tim sedang berjuang di kasta kedua.
Setiap klub besar memiliki filosofi yang menjiwai permainannya, dan bagi Barito Putera, filosofi itu terangkum dalam satu kata: Wasaka. Singkatan dari Waja Sampai Kaputing, yang secara harfiah berarti 'Besi Sampai ke Ujung' atau 'Berjuang Sampai Akhir'. Wasaka adalah mantra yang diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah janji bahwa Laskar Antasari tidak akan pernah menyerah, tidak peduli seberapa berat tantangan di depan.
Spirit Wasaka adalah representasi dari karakter masyarakat Banjar yang dikenal ulet, pantang menyerah, dan teguh pada pendirian. Dalam konteks sepak bola, Wasaka diterjemahkan menjadi:
Para legenda Barito Putera, dari Frans Sinatra hingga pemain modern yang mendapatkan bimbingan mereka, adalah duta besar dari Wasaka. Ketika Frans Sinatra Huwae berlari tanpa lelah selama 90 menit di lini tengah, ia menunjukkan Wasaka. Ketika Salahudin tetap bertahan mendampingi tim di masa-masa sulit, ia mempraktikkan Wasaka. Dan ketika Jacksen Tiago berjuang sendirian di lini depan melawan bek-bek tangguh, ia mewujudkan Wasaka.
Spirit ini jugalah yang menjelaskan mengapa Barito Putera sering kali mampu menghasilkan kejutan besar di Liga Indonesia, terutama saat bermain di kandang. Energi dari tribun yang meneriakkan Wasaka adalah dorongan spiritual yang membuat pemain lokal merasa bertanggung jawab atas kehormatan daerah mereka. Ini adalah faktor X yang membuat Barito Putera, bahkan ketika secara materi pemain dinilai biasa, mampu bertransformasi menjadi tim yang sulit dikalahkan.
Semangat Wasaka: Waja Sampai Kaputing, Janji Perjuangan Abadi.
Identitas klub dibangun oleh momen, tetapi warisan klub dibangun oleh individu. Di Barito Putera, terdapat sekumpulan individu yang pengabdiannya melampaui statistik. Mereka adalah 'Monumen Hidup' yang kisahnya wajib dikenang oleh setiap generasi pendukung Laskar Antasari.
Frans Sinatra Huwae bukan hanya seorang pemain; ia adalah metafora bagi ketangguhan Barito Putera di era 90-an. Sebagai kapten, ia memimpin dari depan, memainkan peran ganda sebagai gelandang bertahan sekaligus penghubung serangan. Kemampuan Frans untuk membaca permainan dan memutus serangan lawan di tengah lapangan seringkali menjadi penentu kemenangan. Kehadirannya memberikan rasa aman bagi barisan belakang dan kepercayaan diri bagi para penyerang.
Detail karirnya di Barito Putera mencakup lebih dari satu dekade, suatu hal yang langka di sepak bola modern yang sarat dengan transfer pemain. Kesetiaannya dipertanyakan ketika klub-klub besar dari Jawa mendekatinya dengan tawaran menggiurkan, namun Frans selalu menolak. Keputusan ini, yang mengutamakan loyalitas regional di atas potensi gaji yang lebih tinggi, mengabadikannya sebagai legenda sejati di mata publik Banjar. Ia memahami bahwa beberapa hal—seperti kehormatan Banua—tidak dapat dibeli dengan uang.
Pasca pensiun, Frans melanjutkan kontribusinya. Ia telah mengisi berbagai posisi, mulai dari staf pelatih hingga asisten manajer. Pengalaman dan pemahamannya yang mendalam tentang kultur klub menjadikannya penjaga tradisi yang vital. Ketika ia berbicara kepada para pemain muda di akademi, kata-katanya membawa bobot sejarah yang tak terbantahkan, mengingatkan mereka bahwa seragam ini pernah dibasahi oleh keringat perjuangan legendaris. Inilah mengapa Frans Sinatra Huwae tetap relevan; ia adalah koneksi langsung Barito Putera masa kini dengan keagungan masa lalunya.
Sebagai salah satu penyerang asing pertama yang benar-benar meninggalkan jejak abadi di Barito Putera, Jacksen F. Tiago datang sebagai talenta muda yang eksplosif. Kecepatan lari di atas rata-rata dan kemampuan penyelesaian akhir yang dingin membuatnya segera menjadi favorit di Stadion 17 Mei. Di musim 1994/1995, kontribusinya sangat fenomenal, menghasilkan banyak gol penting yang mengantar tim ke babak semifinal.
Apa yang membuat Jacksen begitu dicintai? Bukan hanya golnya, tetapi semangatnya yang menyatu dengan filosofi Wasaka. Meskipun ia orang Brasil, ia berjuang seolah-olah ia adalah Putera daerah. Ia menunjukkan etos kerja yang keras dan selalu menghormati kultur klub dan suporter. Hubungan emosionalnya dengan suporter sangat unik; mereka menganggapnya sebagai bagian dari keluarga besar Banjar. Seiring berjalannya waktu, keputusannya untuk melatih dan membina karir pelatihnya di Indonesia juga menunjukkan ikatan yang mendalam dengan negeri ini, sebuah ikatan yang pertama kali ditempa di Banjarmasin.
Kisah Jacksen sering digunakan untuk menggambarkan bagaimana Barito Putera memiliki kemampuan untuk mengubah orang luar menjadi bagian integral dari identitas mereka. Ia adalah bukti bahwa legenda tidak harus lahir di Banjar, tetapi harus berjuang dengan hati Banjar.
Salahudin melambangkan idealisme putra daerah. Karirnya adalah cerminan dari dedikasi total. Sebagai pemain, ia adalah pemain sayap yang gesit, sering menciptakan peluang dari sisi lapangan dengan umpan silang akurat. Ia adalah salah satu pilar lokal yang menopang keberhasilan era 90-an. Namun, puncak dari legenda Salahudin datang ketika ia kembali sebagai pelatih untuk memimpin Barito Putera dalam masa transisi terberat.
Momen kepemimpinannya saat tim berjuang di Divisi Utama adalah periode yang penuh tekanan. Ekspektasi dari suporter sangat tinggi, namun sumber daya yang tersedia terbatas. Di bawah kepelatihan Salahudin, Barito Putera bermain dengan gaya yang pragmatis namun efektif, mengandalkan kolektivitas dan semangat Wasaka. Keberhasilan membawa Barito kembali ke kasta tertinggi Liga Indonesia adalah prestasi manajerial yang monumental. Hal ini membuktikan bahwa ia tidak hanya legenda di atas lapangan, tetapi juga seorang ahli strategi yang mampu mengaplikasikan nilai-nilai luhur klub ke dalam taktik modern.
Warisan Salahudin adalah warisan pengabdian tulus. Ia menunjukkan bahwa cinta terhadap klub dapat diterjemahkan menjadi keberhasilan nyata, dan ia menjadi inspirasi bagi banyak pelatih muda lokal lainnya di Kalimantan.
Selain trio utama di atas, sejarah Barito Putera juga dihiasi oleh nama-nama lain yang memberikan kontribusi tak ternilai. Agung Setyabudi, meskipun karirnya juga identik dengan Timnas Indonesia, adalah benteng pertahanan Barito yang tangguh. Kehadirannya memberikan ketenangan di lini belakang, sebuah keharusan bagi tim yang mengandalkan serangan balik cepat.
Kemudian ada Buyung Ismu, gelandang pekerja keras yang melengkapi Frans Sinatra di lini tengah. Buyung dikenal karena disiplinnya dan kemampuannya memenangkan duel-duel krusial. Kombinasi stamina dan determinasi Buyung adalah pelumas yang membuat mesin permainan Barito Putera berjalan mulus. Para pemain ini mungkin kurang mendapat sorotan media dibandingkan penyerang atau kapten, tetapi peran mereka sebagai roda penggerak tim sangat vital. Mereka adalah legenda yang dihormati karena konsistensi dan integritas mereka dalam mengenakan seragam kebanggaan Banjar.
Sepak bola di Kalimantan Selatan jauh melampaui olahraga; ia adalah ritual sosial, perayaan identitas, dan ekspresi kolektif dari masyarakat Banjar. Barito Putera, sejak kelahirannya, telah menjadi poros di mana emosi dan harapan publik berkumpul. Dampak klub ini terhadap kultur regional adalah warisan tak terlihat yang sama pentingnya dengan prestasi di lapangan.
Stadion 17 Mei, markas bersejarah Barito Putera, adalah saksi bisu dari setiap tawa, tangis, dan teriakan Wasaka. Stadion ini bukanlah struktur beton biasa; ia adalah rumah spiritual. Di masa kejayaan 90-an dan masa perjuangan di kasta bawah, stadion ini selalu penuh. Kehadiran ribuan suporter yang setia memberikan aura mistis yang sering kali meruntuhkan mental lawan. Suporter Barito Putera dikenal karena loyalitasnya yang ekstrem—mereka mendukung tim bukan karena gelar, tetapi karena ikatan darah dan kebanggaan daerah.
Keterikatan ini menciptakan 'faktor kandang' yang sangat kuat. Jarak tempuh dan atmosfer yang panas di Kalimantan Selatan seringkali menjadi rintangan pertama bagi tim tamu. Namun, bagi para legenda Barito Putera, energi dari tribun adalah sumber kekuatan. Mereka bermain dengan pemahaman bahwa mereka mewakili seluruh populasi Banjar, dan kehormatan itu adalah motivasi terbesar.
Media lokal, baik cetak maupun elektronik, telah memainkan peran besar dalam memelihara legenda Barito Putera. Kisah-kisah perjuangan, pengorbanan para pemain, dan dedikasi H. Sulaiman HB diceritakan berulang kali, membentuk narasi kolektif yang kokoh. Narasi ini penting karena memastikan bahwa generasi muda yang mungkin tidak menyaksikan langsung era emas 90-an tetap terhubung dengan akar klub.
Setiap transfer pemain baru, setiap kemenangan besar, dan setiap kekalahan pahit, selalu dibingkai dalam konteks Wasaka dan warisan para legenda. Ini menciptakan ekosistem di mana Barito Putera bukan hanya tim, tetapi sebuah institusi pendidikan informal yang mengajarkan nilai-nilai Banjar melalui sepak bola.
Warisan Barito Putera tidak berhenti pada para pemain yang gantung sepatu. Yang paling menarik adalah bagaimana klub ini berhasil melahirkan dan menarik kembali talenta-talenta lokal yang menjanjikan, memastikan bahwa ‘DNA Banjar’ tetap kuat. Kebijakan untuk selalu memberikan tempat utama bagi putra daerah di skuat utama, meskipun ada godaan untuk merekrut pemain mahal dari luar, adalah bentuk penghormatan terhadap filosofi pendiri dan para legenda.
Pemain-pemain muda yang kini membela Barito Putera tumbuh dengan mendengarkan kisah Frans Sinatra Huwae, melihat penampilan heroik Salahudin, dan mengagumi ketajaman Jacksen. Bagi mereka, mengenakan seragam Laskar Antasari adalah tugas suci, bukan sekadar pekerjaan. Mereka menyadari bahwa mereka adalah penjaga api, bertugas membawa warisan Wasaka ke masa depan kompetisi yang semakin ketat.
Dalam bentangan sejarah sepak bola Indonesia, banyak klub yang mengalami pasang surut, namun Barito Putera memiliki keunikan dalam hal kontinuitas visi. Visi yang ditanamkan oleh H. Sulaiman HB telah diteruskan oleh generasi keluarga berikutnya, yang memastikan bahwa nilai-nilai kekeluargaan dan dedikasi kepada Banua tetap menjadi prioritas utama. Kontinuitas kepemimpinan ini sangat penting dalam menjaga relevansi kisah para legenda.
Berbeda dengan banyak klub yang sering berganti kepemilikan dan arah strategi, Barito Putera menikmati stabilitas manajerial yang luar biasa. Stabilitas ini memungkinkan klub untuk melakukan investasi jangka panjang dalam pembinaan usia dini dan akademi. Program akademi Barito Putera, yang secara konsisten berupaya mencari dan memoles talenta-talenta Kalimantan, adalah penghormatan terbaik terhadap semangat Salahudin dan Frans Sinatra Huwae yang selalu ingin melihat putra daerah berkembang.
Akademi menjadi tempat di mana legenda masa lalu berbagi ilmu dan etos kerja. Sesi latihan bukan hanya tentang taktik, tetapi tentang penanaman karakter Wasaka. Ini memastikan bahwa meskipun para legenda era 90-an mungkin tidak lagi berlari di lapangan, prinsip dan semangat mereka tetap membimbing langkah-langkah para penerus mereka. Filosofi ini menciptakan ikatan yang kuat, di mana pemain muda merasa memiliki tanggung jawab untuk meneruskan nama baik yang telah diukir oleh para pendahulu.
Memori kolektif suporter Barito Putera sangat kaya akan detail, yang sering kali diwariskan melalui cerita lisan. Salah satu momen yang paling sering diceritakan adalah pertandingan-pertandingan penentuan di era 90-an, di mana Barito Putera mampu menumbangkan raksasa-raksasa Jawa dengan permainan yang bersemangat. Mereka mengenang gol-gol Jacksen yang dramatis, tekel-tekel Frans yang tepat waktu, dan sorakan gemuruh yang menggema hingga ke Pelaihari.
Kisah-kisah ini bukan sekadar nostalgia; mereka adalah panduan taktis. Ketika tim modern Barito Putera menghadapi situasi sulit, para suporter akan mengingatkan tentang 'semangat yang sama' yang pernah membawa Barito Putera melewati masa-masa yang jauh lebih gelap. Ini adalah kekuatan dari legenda: mereka menjadi standar moral dan motivasi yang tak lekang oleh waktu.
Salah satu cerita yang sering diulas adalah perjuangan tim saat kembali ke kasta tertinggi. Momen-momen di Divisi Utama, yang penuh lumpur, stadion yang sepi, dan tantangan logistik yang berat, kini dilihat sebagai babak pemurnian. Para legenda yang memilih tetap tinggal di masa itu—entah sebagai pemain senior atau staf—adalah pahlawan sejati, karena mereka menunjukkan bahwa loyalitas tidak bersyarat pada gemerlap lampu sorot liga utama.
Warisan Barito Putera adalah mozaik indah yang terdiri dari dedikasi H. Sulaiman HB, ketangguhan Frans Sinatra Huwae, ketajaman Jacksen F. Tiago, dan kesetiaan Salahudin. Mereka telah menetapkan standar keunggulan, bukan hanya dalam hal keterampilan teknis, tetapi dalam hal karakter dan kecintaan terhadap tanah air. Barito Putera akan terus berjuang, Wasaka, Waja Sampai Kaputing, karena legenda mereka telah menunjukkan jalannya.
Untuk memastikan agar legenda-legenda ini tetap hidup, Barito Putera terus berinvestasi dalam pelestarian sejarah klub. Dari museum kecil hingga dokumentasi digital, upaya ini bertujuan untuk memberikan konteks kepada para pemain baru dan suporter muda. Mengetahui bahwa mereka berdiri di atas pundak raksasa seperti Frans Sinatra atau Buyung Ismu memberikan perspektif yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kompetisi modern.
Klub menyadari bahwa identitas yang kuat adalah mata uang paling berharga dalam sepak bola. Sementara klub lain mungkin berganti filosofi setiap beberapa musim, Barito Putera berpegang teguh pada Wasaka. Ini adalah penghormatan abadi kepada para legenda yang, melalui pengorbanan mereka, telah mengubah klub sepak bola Banjarmasin menjadi mercusuar kebanggaan regional yang cahayanya terus bersinar terang di kancah nasional. Mereka adalah Laskar Antasari, dan kisah mereka adalah sejarah abadi yang akan terus diceritakan.
Setiap peluh yang menetes di lapangan latihan, setiap teriakan kegembiraan dari tribun, dan setiap lambaian bendera di Stadion 17 Mei adalah gema dari perjuangan yang telah dimulai oleh para legenda. Barito Putera bukan hanya tentang mengejar gelar; ia tentang menjaga janji, janji untuk berjuang 'sampai ke ujung', selaras dengan semangat Wasaka yang tidak akan pernah mati. Inilah mengapa mereka bukan sekadar pemain, melainkan simbol yang hidup dari ketahanan dan kehormatan Kalimantan Selatan.
Kontribusi para legenda ini menciptakan sebuah siklus yang harmonis: mereka membangun fondasi, mereka mengajarkan nilai-nilai, dan mereka kembali untuk memastikan warisan itu terus hidup. Dalam setiap generasi Barito Putera, kita akan selalu menemukan bayangan Frans, kecepatan Jacksen, dan kepemimpinan Salahudin. Mereka adalah jiwa yang menggerakkan mesin Laskar Antasari, kemarin, hari ini, dan selamanya.
Dedikasi terhadap klub tidak hanya diukur dari jumlah trofi yang dimenangkan, tetapi dari seberapa dalam ikatan yang terjalin antara klub, pemain, dan masyarakatnya. Dalam hal ini, Barito Putera telah memenangkan gelar yang jauh lebih berharga: gelar sebagai klub yang paling dicintai dan dihormati di Kalimantan Selatan, berkat pengorbanan dan cinta tak terbatas dari para legendanya.